Apakah Tiongkok “Belanda Baru” untuk Indonesia?

Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yakni 23,7% dari total cadangan dunia. Tiga daerah dengan kandungan nikel terbesar tersebar di Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%). Implikasi dari pengesahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba adalah diizinkannya kegiatan penambangan nikel melalui izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah lantas menerbitkan ratusan IUP nikel di seluruh Indonesia sehingga memicu peningkatan produksi dan ekspor bijih nikel, terutama ke Tiongkok. Puncaknya terjadi di tahun 2013 dengan ekspor bijih nikel Indonesia yang mencapai 64,8 juta ton dengan nilai USD 1,6 milyar.

Pada tahun yang sama, Indonesia menjadi pemasok utama bijih nikel ke Tiongkok (50%). Pemerintah Indonesia menerbitkan larangan ekspor nikel kadar rendah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019. Kebijakan ini mempertimbangkan pertambahan nilai nikel melalui proses pengolahan di dalam negeri serta pesatnya pembangunan smelter beberapa tahun terakhir sehingga memerlukan pasokan nikel yang cukup.

Kemudian Agustus 2019 Presiden Jokowi juga meneken Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk transportasi jalan. Aturan ini ditujukan untuk memicu pertumbuhan industri kendaraan listrik di Indonesia, terutama berbasis baterai berbahan baku nikel.

Sulawesi Tengah menjadi sasaran utama investasi korporasi pertambangan nikel di Indonesia. Hilirisasi pengolahan nikel di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (PT. IMIP) Kabupaten Morowali dan kawasan PT. Gunbuster Nikel Indonesia GNI di kabupaten Morowali Utara misalnya, menjadi salah satu potret sukses industrialisasi baja nirkarat Indonesia. Namun sukses industrialisasi nikel telah menimbulkan berbagai dampak kerusakan lingkungan di wilayah daratan, pesisir dan laut.

Konflik agraria, perampasan dan penghancuran ruang produksi nelayan, bencana ekologis, perburuhan dan pemenuhan hak pekerja menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan dan telah mewarnai transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Ironisnya dampak kerusakan yang ditimbulkan sepertinya tidak berbanding lurus dengan kontribusi sektor pertambangan dan industri pengolahan nikel terhadap pendapatan daerah dan tingkat kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka mengurai kompleksitas berbagai masalah industri pengolahan nikel di Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah, maka Celebes Bergerak bersama TuK INDONESIA menyelenggarakan diskusi bertajuk “Menakar Dampak Kebijakan Hilirisasi Industri Nikel di Sulawesi Tengah”. Diskusi akan diselenggarakan Sabtu ini, 11 Maret 2023, pkl 14.00 WIB, di Kantor Celebes Bergerak, Jl. Dewi Sartika Per. Venna Garden C/09. Diskusi yang akan dihadiri oleh:

  1. Ahlis Djirimu, SE. DEA. PhD., Akademisi Universitas Tadulako
  2. Richard Fernandes Labiro, Yayasan Tanah Merdeka
  3. Edi Sutrisno, TuK INDONESIA

Puluhan Petani Batui Bermalam dan Bertahan di Lokasi Pemalangan Jalan PT Sawindo Cemerlang

Di tengah upaya pelemahan perlawanan, Kamis malam 9 Maret 2023, Petani Batui Lingkar Sawit tetap bertahan di lokasi pemalangan jalan, Seseba, Desa Honbola, Kecamatan Batui. Hingga kini, Jumat, 10 Maret 2023, puluhan petani tetap melakukan aksi protes sampai mendapatkan titik temu dengan pihak PT. Sawindo Cemerlang.

Sumber foto: SA

Aksi yang dilakukan Petani Lingkar Sawit Batui merupakan bentuk kekecewaan dan protes akan tidak dipenuhinya kesepakatan yang tercantum pada Berita Acara Kesepakatan Rapat Mediasi Warga dengan Perusahaan di Pemda Banggai.

Pada rapat mediasi tersebut, turut hadir Bupati Banggai, Forkopimda Kab Banggai, Tim Pokja Percepatan Penyelesaian Permasalahan Sumber Daya Alam, dan Direktur PT Sawindo Cemerlang dengan hasil tercantum dalam Berita Acara adalah:

  1. Perusahaan PT Sawindo Cemerlang siap menyelesaikan patok batas pada areal Hak Guna Usaha (HGU) dalam waktu 1 bulan sejak tanggal ditandatangani Berita Acara ini.
  2. Lahan petani yang bersertifikat yang berada di HGU harus dikeluarkan atau di plasmakan dan untuk lahan yang memiliki SKPT/Surat Keterangan Tanah akan ditelitikan dokumen mana yang lebih kuat serta dilakukan mediasi, dan apabila tidak ada penyelesaiannya, maka dapat dilakukan melalui jalur hukum.
  3. Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) dari petani oleh perusahaan berdasarkan harga yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
  4. Diminta kepada pihak perusahaan agar membicarakan dengan pengurus Koperasi Sawit Maleo Sejahtera dan petani plasma (anggota koperasi) sistem tanggung renteng pengelolaan sawit berdasarkan luasan areal plasma termasuk membicarakan terkait SPK dan SPHU dan hasilnya disampaikan kepada Pokja. Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Banggai agar melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap Koperasi Sawit Maleo Sejahtera dalam penyelesaian permasalahan dengan anggota koperasi.
  5. Pihak Koperasi Sawit Maleo Sejahtera tidak berkeberatan jika sistem pengelolaan sawit dilakukan sistem tanggung renteng berdasarkan kelompok atau blok.
  6. Hutang petani sebesar kurang lebih Rp63juta akan ditinjau kembali dikolerasikan dengan kajian studi kelayakan pendirian perkebunan sawit (plasma).
  7. Setelah dilakukan verivikasi administrasi terhadap alas hak yang bersertifikat akan dilakukan validasi lapangan.
  8. Pemerintah Daerah tidak akan melakukan intervensi terhadap proses hukum tetapi akan memberikan pendampingan hukum terhadap petani plasma.

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA 

Kontak: Linda Rosalina ([email protected]/+62 812 1942 7257)

 

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

Masyarakat sipil menuntut peran OJK dan Kementerian Keuangan untuk mendorong Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh Negara G20 yang Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggar HAM

 

Jakarta, 10 November 2022 – TuK INDONESIA bersama dengan Eksekutif Nasional WALHI, Dan WALHI Jakarta melakukan aksi protes di depan Kementerian Keuangan, OJK dan tiga bank besar Indonesia, BNI, BRI dan Mandiri hari ini. Aksi ini menindaklanjuti laporan koalisi Forests & Finance yang menemukan 90% bank-bank dari negara G20  telah mendanai kerusakan hutan dan pelanggaran HAM di Indonesia. Bank-bank dari Indonesia, Brazil, Uni Eropa, Cina, dan Amerika menjadi kreditur teratas dari negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang berisiko terhadap hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah.

 

“Menjelang pertemuan G20 Kementerian Keuangan seharusnya bisa memperkuat negosiasi global untuk mendorong implementasi Keuangan Berkelanjutan kepada negara-negara anggota G20 lainnya. Tidak hanya itu, Indonesia juga seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh bank-bank BUMN. Namun kenyataanya Bank Mandiri, BRI, BNI masih menjadi Bank BUMN teratas yang terlibat dalam kejahatan lingkungan memimpin 33 bank lainnya di Indonesia dengan tetap membiayai perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak perusakan hutan dan perampasan lahan masyarakat lokal, seperti sawit dan pulp & paper”, Ungkap Edi Sutrisno selaku Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

“Skema pembiayaan hijau yang diusung sejumlah bank di Indonesia kontra produktif dengan kondisi faktual di lapangan dimana bank tersebut justru menjadi aktor penyebab krisis ekologis.  Dengan embel-embel hijau, seharusnya bank dapat secara tegas melakukan screening dalam skema pembiayaan proyek dan tidak mendukung proyek solusi palsu iklim yg justru jauh dari prinsip-prinsip keadilan ekologis”, Suci Fitria Tanjung selaku Direktur WALHI Jakarta menambahkan.

 

Bank Mandiri misalnya masih mendanai perusahaan sawit Astra Agro Lestari Tbk. (AALI). Padahal salah satu anak perusahaan AALI, PT. Lestari Tani Teladan (PT.LTT) di Sulteng mendapatkan nilai terendah terkait aspek tata kelola & sosial (LST) karena tidak memenuhi minimal 20% pembangunan kebun masyarakat. Tidak hanya itu, PT.LTT juga tidak segera menyelesaikan sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

 

Kasus anak perusahaan AALI lainnya PT Agro Nusa Abadi (PT.ANA), di Sulteng mendapatkan nilai LST terendah karena tidak memiliki legalitas penguasaan lahan dan legalitas usaha perkebunan. Lokasi PT.ANA juga ditemukan tumpang tindih dengan lokasi usaha perkebunan lainnya dan wilayah kelola masyarakat. Pada bulan Oktober 2022, perusahaan merek raksasa dunia Nestlé berkomitmen menangguhkan rantai pasok sawit dari AALI yang terlibat dalam kasus LST tersebut. Perusahaan merek besar lainnya Procter & Gamble juga menyampaikan menangguhkan AALI setelah menyimpulkan hasil investigasi dari penilaian pihak ketiga pada anak perusahaan AALI yakni PT. LTT, PT. Agro Nusa Abadi, dan PT. Mamuang. 

 

Kejahatan perbankan lainnya juga terungkap melalui pembiayaan BNI kepada Korindo. PT. Papua Agro Lestari (PT.PAL) anak perusahaan Grup Korindo, sebelumnya telah dilaporkan oleh TuK INDONESIA bersama koalisi Forests & Finance kepada BNI melalui whistle blowing system atas dugaan korupsi atas perolehan izin konsesi PT.PAL. Sertifikasi FSC Korindo kemudian dicabut setelah penyelidikan independen menemukan sejumlah pelanggaran sosial dan lingkungan di seluruh konsesi Korindo di Papua dan Maluku Utara. Lebih dari 65.000 ha izin pemanfaatan hutan: PT. PAL (32.348 ha), PT. Tunas Sawa Erma (19.001 ha) dan PT Berkat Cipta Abadi II (14.435 ha) dicabut KLHK pada 5 Januari 2022. Namun fakta ini tidak cukup membuka mata BNI untuk segera menghentikan pembiayaan BNI pada Korindo.

 

BRI juga masih menjadi pemberi dana setia perusahaan raksasa produsen minyak sawit Sinar Mas yang anak perusahaannya, PT. Kresna Duta Agrindo terlibat dalam kasus deforestasi, pencemaran air dan udara, sengketa tanah, perampasan lahan, penembakan oleh polisi, serta represi, dan intimidasi terhadap petani di Jambi. (Menuntut akuntabilitas, sepuluh studi kasus terhadap sektor minyak sawit Indonesia. (FPP, PUSAKA, WALHI, TuK INDONESIA, Juni 2021)

 

“Bank-bank ini harus menyusun indikator LST yang lebih detail, memberlakukan review berkala terhadap penerima dana disertai dengan uji lapangan yang komprehensif. Sektor jasa keuangan juga perlu membangun transparansi terkait informasi indikator LST dan menyediakan mekanisme komplain bagi publik”, Edi menambahkan.

 

“Kepada OJK, kami minta agar segera membangun hub-informasi untuk indikator LST sebagai bagian dari transparansi publik, termasuk di dalamnya mekanisme komplain. Selain itu perlu ada konsekuensi mandatoris terhadap izin usaha dan izin konsesi terkait pemenuhan indikator LST”, tukas Edi.

90% Kreditor Negara G20 Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggaran HAM

90% Kreditor Negara G20 Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggaran HAM

Jakarta, 18 Oktober 2022. Temuan terbaru koalisi Forests and Finance mengungkapkan sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyalurkan dana 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan. Sebesar 90% diantaranya bank-bank berasal dari Negara G20.

 

Brazil, Uni Eropa, Indonesia, Cina, Amerika adalah kreditor teratas dari Negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah. Daging sapi, pulp & paper, dan kedelai merupakan komoditas terbesar di Amerika Latin yang mendapatkan aliran dana tersebut. Sementara di Asia Tenggara, dana banyak mengalir untuk komoditas kelapa sawit dan pulp & paper.

 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menegaskan, negara-negara G20 berperan besar dalam perusakan hutan dan pelanggaran HAM yang dapat dilihat dari fasilitas pembiayaan kepada perusahaan sawit milik Grup Astra Agro Lestari (AALI). Grup AALI memiliki 41 anak perusahaan sawit yang tersebar di delapan Provinsi. Sepanjang lima tahun terakhir, WALHI fokus memonitoring PT Lestari Tani Teladan, PT Agro Nusa Abadi, dan PT Mamuang, anak perusahaan sawit AALI di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dalam catatan WALHI, perusahaan ini telah mengkriminalisasi warga, melakukan penanaman di luar HGU, beroperasi di dalam hutan lindung dan hutan produksi terbatas, melakukan deforestasi, mengambil Wilayah Kelola Rakyat dan ruang hidup rakyat, serta beroperasi secara illegal sebab terdapat anak perusahaan tidak memiliki HGU dan IUP.

 

“Fakta bagaimana negara-negara maju yang menjadi bagian dari G20 berinvestasi kotor dan jahat dengan merampas Wilayah Kelola Rakyat dan mengubah bentang hutan kita menjadi kebun kayu, sawit dan industri ekstraktif lainnya. Bukan hanya itu, bisnis yang eksploitatif ini membawa dunia pada situasi darurat iklim. Pemerintah Indonesia harusnya mendesak negara-negara maju ini bertanggungjawab dengan mengoreksi konsumsi, mengubah corak bisnis yang eksploitatif dan keuangan yang berkelanjutan,” ungkap Uli.

 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Made Ali, koordinator JIKALAHARI. Menurut Made, temuan Forests and Finance terkait fasilitas pembiayaan oleh negara-negara G20 menunjukkan kian melanggengnya kejahatan korporasi HTI di Riau, merusak hutan alam, dan merampok tanah masyarakat adat. Hasil investigasi JIKALAHARI dan koalisi Eyes on the Forest pada Januari 2022 menemukan anak perusahaan APP Sinarmas yaitu PT Arara Abadi dan PT Sekato Pratama Makmur melakukan penebangan vegetasi alam dan perluasan HTI di dalam cagar biosfir UNESCO Giam Siak Kecil. “Sepatutnya negara-negara G20 bertanggungjawab mutlak atas kejahatan korporasi yang terjadi di Riau,” tegas Made.

 

Pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. Tuan rumah untuk pertemuan negara-negara G20 dalam membicarakan bagaimana memitigasi iklim dan pembangunan hijau. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA mengungkapkan ketidakselarasan pembicaraan G20 terkait keberlanjutan, padahal fasilitas pembiayaan oleh negara-negara G20 banyak mengalir kepada perusahaan yang terlibat dalam deforestasi dan pelanggaran HAM di Indonesia. “Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 saat ini seharusnya menjadi momentum untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan secara mandatoris,” pungkas Edi.

 

***

Narahubung:

  1. Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected])
  2. Koordinator JIKALAHARI, Made Ali ([email protected]@gmail.com)
  3. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian ([email protected])

 

*Tersedia bahan tayang TuK INDONESIA dan JIKALAHARI

#jikalahari

 

Laporan: Kebijakan Bank Global Tidak Memadai dalam Mencegah Pembiayaan Atas Deforestasi, Perubahan Iklim, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Laporan: Kebijakan Bank Global Tidak Memadai dalam Mencegah Pembiayaan Atas Deforestasi, Perubahan Iklim, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

 

Seiring dengan meningkatnya krisis iklim dan keanekaragaman hayati, kredit kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan juga meningkat hingga 160% antara tahun 2020 dan 2021. 

 

Laporan terbaru, yang dirilis hari ini oleh Koalisi Forests & Finance (Rainforest Action Network, Profundo, TuK INDONESIA, Bank Track, Amazon Watch, Reporter Brasil, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth AS) menemukan bahwa tak satupun bank dan investor terbesar yang membiayai sektor berisiko tinggi Pertanian, Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya (AFOLU) memiliki kebijakan Lingkungan, Sosial atau Tata Kelola (LST) yang memadai. Forests & Finance menyediakan satu-satunya platform transparansi  yang mengungkapkan aliran dana pada perusahaan terbesar dengan komoditas yang merisikokan hutan, yang beroperasi di kawasan hutan tropis. Himpunan data yang ekstensif dan dapat ditelusuri telah diperbarui dengan menyertakan kredit, kepemilikan obligasi dan saham per September 2022.

Temuan mengungkap aliran dana kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan terus mengalir secara tidak terkendali. Sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyuntikkan dana sebesar 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan, dan memegang obligasi dan saham atas komoditas yang merisikokan hutan senilai 40 miliar dolar AS.

 

“Saat ini, semakin jelas terlihat dunia menghadapi krisis kembar: perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang menimbulkan ancaman terhadap lintas generasi dan keberlanjutan bumi. Meski demikian, lembaga keuangan dunia justru nyata-nyata terus meningkatkan pembiayaannya kepada industri yang telah mengantarkan umat manusia ke ambang k ehancuran,” ujar Tom Picken, Direktur Kampanye Forests and Finance RAN; sekaligus pendiri Forests & Finance Coalition. “Penilaian terbaru ini menunjukkan ketidakmampuan bank dan investor institusional melihat urgensi atas keadaan saat ini. Kebijakan sektor keuangan masih sangat tidak memadai. Dengan sektor AFOLU yang menyumbangkan 23% emisi karbon global, sudah jelas kita harus merombak regulasi dan pengambilan keputusan bank dan investor jika hendak serius menghadapi kondisi darurat iklim global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pemenuhan hak.”

 

Penilaian terbaru yang dilakukan terhadap 200 bank dan investor terbesar dalam komoditas global yang merisikokan hutan di kawasan hutan tropis menimbulkan kekhawatiran serius. Secara keseluruhan, skor rata-rata hanya 1,6  dalam skala 1-10 dan 59% lembaga keuangan hanya mendapat skor di bawah 1 yang menunjukkan kegagalan besar dalam mengelola dan mengurangi risiko LST. Hanya 3 lembaga keuangan yang mendapatkan skor 7 atau lebih tinggi yang masih dapat lebih ditingkatkan dan belum mencerminkan urgensi yang harus dihadapi dunia untuk mengatasi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

 

Laporan singkat ini menyoroti peran lembaga keuangan bagi dua sektor yang secara khusus merusak hutan, yakni sektor bubur kertas dan kertas di Asia Tenggara dan sektor daging sapi di Amazon. Industri bubur kertas Asia Tenggara dapat dikaitkan dengan deforestasi lahan seluas lebih dari 170.000 ha dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, sejak Perjanjian Paris, sektor ini mengantongi kredit sebesar 23,6 juta dolar AS. Lima bank terbesar yang memberikan pembiayaan kepada divisi bubur kertas Royal Golden Eagle dan Sinar Mas di Asia Tenggara antara tahun 2016 dan September 2022 adalah Bank Rakyat Indonesia (4,3 miliar dolar AS), Bank Mandiri (2,7 miliar dolar AS), Bank Central Asia (2,5 miliar dolar AS), Bank Negara Indonesia (1,4 miliar dolar AS), dan British Barclays (2 miliar dolar AS). Skor rata-rata kebijakan bank yang menyediakan dana bagi sektor bubur kertas dan kertas ini hanya 1,3 dalam skala 1-10.

 

Sektor daging sapi merupakan pendorong deforestasi terbesar di Amazon. Meski kenyataannya tidak ada rumah potong yang dapat menjamin produknya bebas deforestasi, bank tetap menyuntikkan dananya untuk sektor ini. Bank terbesar di Brasil yang memberikan pembiayaan kepada perusahaan raksasa daging sapi JBS, Marfrig, dan Minerva antara 2016 dan September 2022 adalah Bradesco (1 miliar dolar AS), Santander (774 juta dolar AS), HSBC (746 juta dolar AS), Banco do Brasil (723 juta dolar AS), dan BTG Pactual (648 juta dolar AS). Grup perusahaan daging sapi ini juga menerima investasi dari BNDES (566 juta dolar AS), Vanguard (60 juta dolar AS), Algemeen Burgerlijk Pensioenfonds/ABP (55 juta dolar AS), dan BlackRock (46 juta dolar AS). Skor rata-rata kebijakan lembaga keuangan ini terkait sektor daging sapi hanya 1 dari 10.

 

Penilaian Forests & Finance tahun 2022 terhadap bank dan investor terbesar menunjukkan bahwa sebagian besar bank dan investor tidak memiliki kebijakan untuk mencegah deforestasi, degradasi gambut, kebakaran hutan dan lahan, atau menegakkan HAM, termasuk hak Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) bagi masyarakat adat dan masyarakat setempat, atau mencegah praktik kerja paksa atau pekerja anak. Kebijakan yang ada sangat minim dan jauh di bawah standar bagi upaya perlindungan. Pembuat kebijakan harus sadar dan berhenti bergantung pada lembaga jasa keuangan untuk menyediakan solusi atas krisis iklim dan alam melalui tindakan sukarela yang terbatas. Laju dan skala transisi ekonomi yang bergerak cepat  membutuhkan antisipasi lembaga publik yang lebih sigap.

 

Pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. Momentum ini harusnya dipergunakan oleh Indonesia untuk mendorong penerapan keuangan berkelanjutan. Hal ini dilatarbelakangi dari dua fakta mendasar:

  1. Negara-negara G20 mewakili pembiyaan yang cukup dominan pada sektor-sektor yang merisikokan hutan:
    1. Pada 3 region (Afrika Tengah dan Barat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara), 90% kreditor berasal dari negara G20
    2. Pada 3 region (Afrika Tengah dan Barat, Amerika Lating, dan Asia Tenggara), 54% investor berasal dari negara G20.
    3. Pada region Asia Tenggara, 71% kreditor berasal dari negara G20.
    4. Pada region Asia Tenggara, 40% investor berasal dari negara G20
  2. Pada riset-riset TuK INDONESIA, termasuk diantaranya pembiayaan Bank Mandiri terhadap Astra Agro Lestari, ditemukan kecenderungan kepatuhan administrasi tidak selalu berbanding lurus dengan indikator Lingkungan, Sosial, dan Tata-Kelola (LST).

Melihat fakta di atas, Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menegaskan, “Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 saat ini harusnya menjadi momentum untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan secara mandatoris.”

**Laporan tersedia dalam bahasa Inggris, Portugis, dan Indonesia

**Tersedia bahan tayang, TuK Indonesia & Jikalahari

Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong

Konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan emas PT. Trio Kencana di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah mencapai puncaknya pada 12 Februari 2022. Masyarakat yang menolak hadirnya aktivitas pertambangan, karena khawatir akan mempengaruhi lingkungan dan ekosistem pertanian. Saat itu masyarakat melakukan protes yang berujung pada pembubaran massa oleh aparat kepolisian gabungan dari Polres Parimo dan Polda Sulawesi Tengah. Akibat kejadian tersebut menyebabkan tewasnya seorang warga ER (21 tahun) akibat tembakan aparat. Selain itu, terdapat 59 orang ditangkap oleh pihak kepolisian, hanya saja satu orang dibebaskan di tingkat Polsek Kasimbar, sehingga yang dibawa ke tingkat Polda Sulawesi Tengah sebanyak 58 orang.

Konflik tersebut merupakan latar belakang yang mendorong diinisiasinya Penelitian “Keberterimaan Sosial dan Persepsi Masyarakat terhadap Usaha Pertambangan serta Dampaknya” (Studi Kasus Pertambangan Emas di Parigi Moutong), Studi ini kemudian dikembangankan menjadi rekomendasi kebijakan dalam bentuk “Policy Brief Perlindungan Lingkungan & Pangan di Kab. Parigi Moutong”.

secara lengkap, policy brief tersebut dapat diunggah pada tautan berikut : Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong

Siaran Pers : Bank Mendanai USD 37,7 Miliar ke Perusahaan Tambang Yang Menyebabkan Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran HAM

Jakarta, 20 April 2022 – Data terbaru yang diluncurkan hari ini oleh koalisi internasional Forests & Finance mengungkap bank-bank yang telah memberikan kredit sebesar USD 37,7 miliar kepada 23 perusahaan pertambangan kecil hingga besar yang berisiko menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tiga wilayah tropis. 5 pemodal teratas adalah Citigroup, BNP Paribas, SMBC Group, MUFG dan Standard Chartered. Dari semua kredit yang diberikan sejak tahun 2016 setelah Perjanjian Paris ditandatangani, 43% kredit diberikan kepada perusahaan di Asia Tenggara (USD 16,1 miliar), sementara Afrika Tengah & Barat dan Amerika Latin keduanya menerima USD 10,8 miliar.

Tabel 1 : Lima belas kreditur terbesar berdasarkan wilayah; dengan hutan yang berisiko selama tahun 2016-2021 (dalam juta dolar AS)

 

Selengkapnya siaran pers ini bisa diakses pada tautab berikut ini : Siaran Pers Data Investasi Tambang 2022

Untuk bahan tayang yang dipaparkan oleh panelis bisa diakses pada tautan berikut di bawah ini :

  1. FnF_Preskon_Miningdata
  2. Rekam Jejak Kasus Pertambangan

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.

Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.

Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.

Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.

Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.

Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.

 

Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal

Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal

 

Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.

 

Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.

 

“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA. 

 

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”

 

“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi. 

 

Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.

 

Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah. 

 

***

 

Narahubung:

Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257

Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458

Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA

Masyarakat Sipil Menuntut Bank Danamon Ikut Bertanggung Jawab terhadap Krisis Iklim

Aksi mengirimkan kado dan karangan bunga menuntut Bank Danamon untuk berhenti mendanai perusahaan yang merusak hutan, menyebabkan krisis iklim dan melanggar HAM

 

Jakarta, 25 Agustus 2021. Masyarakat sipil menuntut peran progresif perbankan agar lebih bertanggung jawab dan berperan aktif dalam menghentikan krisis iklim. Aksi ini menindaklanjuti laporan terbaru Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang memberikan “peringatan untuk kemanusiaan” (code red for humanity). Laporan tersebut memprediksi bahwa bumi akan mengalami kenaikan suhu rata-rata yang melampaui batas aman lebih cepat dari yang diperkirakan. Ironisnya dalam lima tahun sejak Perjanjian Paris, 60 bank terbesar di dunia telah mendanai bahan bakar fosil hingga $3,8 triliun. Pendanaan yang tidak terkendali untuk ekstraksi bahan bakar fosil dan infrastruktur ini telah memicu krisis iklim dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang. 

 

“Krisis iklim sudah kita alami, kerugian akibat bencana tidak terhindari, kita perlu peran progresif dunia perbankan sebagai pemberi dana perusahaan ekstraktif dan perusahaan agribisnis yang berisiko terhadap hutan agar segera menyelaraskan kebijakan pendanaannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dan Perjanjian Iklim Paris,” ungkap Linda Rosalina, Juru Kampanye Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA yang menjadi pencetus petisi #StopDanaMonster di situs petisi daring change.org.

 

Lebih lanjut Linda mengusulkan, “Sudah seharusnya bank-bank besar bertransformasi dari pembiayaan konvensional ke pembiayaan berkelanjutan. Sebab saat ini, bank-bank sudah tidak bisa lagi menghindari tanggung jawab atas ketidak hati-hatian pembiayaan mereka. Bank Danamon sebagai anak perusahaan dari bank terbesar di Jepang MUFG, memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menjadi bank yang lebih bertanggung jawab dan memainkan peran integral dengan berkomitmen untuk menjaga tegakan hutan, menghormati HAM, dan segera mewajibkan seluruh perusahaan yang dibiayainya untuk menjunjung tinggi dan menegakkan standar lingkungan dan sosial melalui perjanjian kontrak, serta menghentikan hubungan dengan pihak-pihak yang merusak masa depan kita.”

 

Dalam kebijakan pengamanan perbankan terkait Lingkungan, Sosial, Tata Kelola (LST) harus mensyaratkan kepatuhan terhadap standar ‘Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut dan Nol Eksploitasi’ (NDPE), serta menetapkan penghormatan terhadap hak tenurial masyarakat lokal dan Masyarakat Adat, hak ketenagakerjaan ILO, namun selama ini, Bank Danamon tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap praktik terbaik NDPE. Bank Danamon sampai saat ini juga tidak mengungkapkan risiko LST dan rencana mitigasinya dan bahkan tercatat memberikan Pinjaman Korporasi dan Fasilitas Kredit Bergulir kepada Sinar Mas Grup (SMG), grup korporasi dengan berbagai catatan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, yang melibatkan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan.

 

Komitmen lembaga jasa keuangan, dalam hal ini lembaga perbankan, terhadap pembiayaan berkelanjutan akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakat sudah mulai sadar dan mengalami dampak krisis iklim, mereka juga mulai menyadari adanya risiko investasi dalam mempertimbangkan dan memilih produk jasa keuangan mana yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan keberlanjutan. “Lewat platform petisi change.org, hampir seribu orang telah meminta Bank Danamon untuk menghentikan pendanaan bagi perusahaan perusak lingkungan. Ini artinya banyak masyarakat yang peduli hutan Indonesia. Seharusnya upaya ini di apresiasi dan didengarkan oleh Bank Danamon”, ungkap Elok Faiqotul Mutia, Associate Campaign Manager Change.org

 

Melalui aksi pemberian kado dan karangan bunga perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, masyarakat sipil berharap Bank Danamon bisa memperkuat slogannya untuk menumbuhkan prinsip kehati-hatian, terutama dalam hal memilih mitra bisnis dan grup usaha yang didanai untuk berkolaborasi. Karena sesuai dengan slogan perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, yakni “Tumbuh melalui Kolaborasi”, sudah selayaknya Bank Danamon juga memiliki pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan berkelanjutan, yakni dengan cara menghentikan pendanaan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar HAM.

 

###

 

Narahubung:

Pengkampanye TuK Indonesia: Linda Rosalina ([email protected] / 081219427257)

Associate Campaign Manager Change.org: Elok Faiqotul Mutia (085211042626)

 

Untuk mengetahui jumlah tanda tangan petisi #StopDanaMonster bisa klik di sini (https://www.change.org/p/bank-danamon-stop-kasih-pendanaan-yang-merusak-lingkungan)