Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaSiaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.
“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.
Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu.
Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi.
Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.
Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.
Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.
Baca Juga :
– LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
–KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Siaran Pers – Koalisi ResponsiBank Indonesia
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Kebijakan, Kegiatan, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaKoalisi ResponsiBank Indonesia
Menilai Komitmen Penerapan Keuangan Berkelanjutan
pada Perbankan di Indonesia Masih Rendah
Jakarta, Jumat, 28 Juli 2023 – Koalisi ResponsiBank Indonesia sebagai koalisi masayrakat sipil yang bekerja untuk mendorong kebijakan dan praktik pembiayaan yang bertanggungjawab kembali merilis laporan terkait kinerja perbankan dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Laporan ke lima kali ini dilakukan untuk menilai kinerja perbankan dari berbagai aspek sesuai panduan/metodologi keuangan internasional yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International (FFGI). Penilaian ini dilakukan pada 11 bank di Indonesia, yang mewakili kelompok bank umum/komersial terbesar di Indonesia baik dalam hal besaran total aset maupun modal inti. Ke-11 bank tersebut adalah Bank BNI, BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, BJB, Permata Bank, DBS, dan HSB.
Terdapat empat bank yang mengalami penurunan peringkat yakni Maybank, BNI, Bank Permata dan BJB dibandingkan penilaian di tahun 2020. Dari keempat bank tersebut BNI mengalami penurunan paling signifikan, yakni dari peringkat lima, menjadi peringkat sembilan di tahun 2022. BNI tidak mendapatkan skor pada 9 tema yang dinilai karena dalam dokumen yang dipublikasikan oleh BNI tidak ditemukan pengungkapan atas informasi ataupun kebijakan terkait.
Meskipun terjadi peningkatan komitmen maupun kebijakan dari aspek lingkungan, sosial dan tata kelola, namun tidak cukup memuaskan karena masih berada dalam kategori “sangat kurang” dan “kurang”. “Memang sudah terdapat kemajuan dalam kebijakan keberlanjutan perbankan di Indonesia, namun skornya masih sangat rendah dan belum bergerak signifikan. Bank-bank di Indonesia belum berani untuk menetapkan target-target yang tinggi,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dan Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia.
Contohnya pada tema perubahan iklim, poin tertinggi masih pada rentang nilai cukup (4,0). Beberapa bank bahkan mendapatkan skor 0,0 pada tema ini seperti BNI, BCA, dan BJB. Ketiga bank ini masih belum memiliki target terukur untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), baik untuk kegiatan operasional maupun pembiayaannya. Meskipun beberapa bank sudah mulai bergerak untuk mendukung target Net Zero Emisison, namun sayangnya belum ada komitmen untuk menghentikan portofolio ke sektor batu bara. Sebagai contoh BRI meskipun telah memiliki daftar pengecualian pada aset pembiayaan yang terkait dengan bahan bakar fosil, namun tidak ditemukan komitmen/kebijakan tertulis terkait hal tersebut.
“Sektor keuangan berperan penting dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, untuk itu sudah saatnya lembaga keuangan memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang dilakukan. Lebih lanjut peran OJK disini sangat penting, sehingga OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan menerapkan taksonomi hijau” pungkas Maftuchan.
Dwi Sawung, Pengkampanye infrastruktur dan tata ruang WALHI menambahkan, “Laporan keberlanjutan bank baru menampilkan pengurangan emisi dari kegiatan operasionalnya, belum menunjukkan lebih nyata berapa pembiayaan bank terhadap sektor yang memiliki emisi yang tinggi seperti batubara, pembangkit fosil dan perkebunan yang membuka hutan. Rencana pengurangan ataupun kapan menghentikan pembiayaan terhadap energi kotor yang menyebabkan perubahan iklim juga belum terlihat jelas. Dari situ terlihat komitmen perbankan terhadap perubahan iklim masih lemah”.
Lebih lanjut, Maftuchan menjelaskan tema inklusi keuangan dan perlindungan konsumen kembali mendapatkan rata-rata nilai paling tinggi dalam penilaian. Bank-bank di Indonesia masih cenderung fokus pada meningkatkan inklusi keuangan melalui digitalisasi dan penyediaan layanan keuangan tanpa bank. Di sisi lain, pada tema HAM dan kesetaraan gender, banyak bank masih masuk dalam kategori nilai paling rendah.
Komitmen perbankan terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan anti diskriminasi masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam kaitannya dengan kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hanya HSBC, CIMB Niaga dan BCA yang menunjukkan komitmen untuk mematuhi HAM melalui kebijakannya. Namun pada pemeringkatan tahun 2022 ini Bank BNI, Mandiri, Danamon, BJB dan Permata Bank belum memiliki kebijakan terkait kepatuhan terhadap prinsip HAM.
Harapannya, bank perlu memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang lebih bertanggungjawab dengan menetapkan kriteria, safeguarding, hingga uji tuntas untuk pinjaman pada sektor perekonomian yang berisiko tinggi. Bank juga perlu mengakselerasi pembiayaan ke sektor hijau untuk mendukung implementasi taksonomi hijau dan berkontribusi pada perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
TuK Indonesia menyampaikan bahwa praktik perbankan di Indonesia ini masih jauh dari aspek kehati-hatian. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya 213 unit usaha perkebunan sawit yang menanam di dalam kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasar SK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahap XI Nomor 196/2023 tentang kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di Bidang kehutanan. Perusahaan-perusahaan tersebut berafiliasi dengan berbagai grup perusahaan perkebunan skala besar yang banyak diberikan fasilitas pembiayaan oleh bank. Lebih jauh, berdasar data pemerintah Kalimantan Tengah, dari 213 hanya 71 perusahaan yang memiliki izin di bidang perkebunan, sisanya 142 perusahaan tidak berizin. Temuan ini memunculkan fakta bahwa perbankan masih abai dalam melakukan penilaian yang lebih komprehensif terkait pembiayaan kepada industri perkebunan sawit yang merisikokan hutan di Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengatur perbankan dapat mengakselerasi implementasi keuangan berkelanjutan dan pembiayaan hijau dengan menerapkan taksonomi hijau secara mandatory. OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan. Lebih lanjut, untuk memastikan implementasi taksonomi hijau perlu adanya gugus tugas yang terdiri atas seluruh stakeholder termasuk CSO dan pihak swasta.
“OJK harus memperkuat pengawasan utamanya berani menyemprit bank-bank yang masih membiayai perusahaan-perusahaan yang telah melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan. Tentu saja jika pengawasan ini tidak dilakukan akan memunculkan dampak risiko reputasi kepada bank itu sendiri. Kedua, OJK segera membentuk task force keuangan berkelanjutan yang multipihak dengan mengutamakan partisipasi dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya alam. Ketiga, Pemerintah khususnya KLHK dapat melakukan upaya hukum atas temuan tanaman sawit di dalam kawasan hutan tersebut”, kata Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.
Laporan lengkap terkait Pemeringkatan Bank dapat diunduh di sini:
Narahubung:
Dwi Rahayu Ningrum ([email protected]; 085212696987)
#TuKIndonesia #WALHI
#HSBC #CIMB #BCA
#BNI #Mandiri #Danamon #BJB #PermataBank
Baca Juga : MUFG – KOALISI MASYARAKAT SIPIL MENUNTUT BANK MUFG DAN DANAMON
Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Isu, Keadilan Sosial, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAKontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.
Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.
“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”
“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi.
Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.
Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah.
***
Narahubung:
Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257
Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458
Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091
SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Isu, Kegiatan, laporan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAMasyarakat Sipil Menuntut Bank Danamon Ikut Bertanggung Jawab terhadap Krisis Iklim
Aksi mengirimkan kado dan karangan bunga menuntut Bank Danamon untuk berhenti mendanai perusahaan yang merusak hutan, menyebabkan krisis iklim dan melanggar HAM
Jakarta, 25 Agustus 2021. Masyarakat sipil menuntut peran progresif perbankan agar lebih bertanggung jawab dan berperan aktif dalam menghentikan krisis iklim. Aksi ini menindaklanjuti laporan terbaru Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang memberikan “peringatan untuk kemanusiaan” (code red for humanity). Laporan tersebut memprediksi bahwa bumi akan mengalami kenaikan suhu rata-rata yang melampaui batas aman lebih cepat dari yang diperkirakan. Ironisnya dalam lima tahun sejak Perjanjian Paris, 60 bank terbesar di dunia telah mendanai bahan bakar fosil hingga $3,8 triliun. Pendanaan yang tidak terkendali untuk ekstraksi bahan bakar fosil dan infrastruktur ini telah memicu krisis iklim dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang.
“Krisis iklim sudah kita alami, kerugian akibat bencana tidak terhindari, kita perlu peran progresif dunia perbankan sebagai pemberi dana perusahaan ekstraktif dan perusahaan agribisnis yang berisiko terhadap hutan agar segera menyelaraskan kebijakan pendanaannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dan Perjanjian Iklim Paris,” ungkap Linda Rosalina, Juru Kampanye Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA yang menjadi pencetus petisi #StopDanaMonster di situs petisi daring change.org.
Lebih lanjut Linda mengusulkan, “Sudah seharusnya bank-bank besar bertransformasi dari pembiayaan konvensional ke pembiayaan berkelanjutan. Sebab saat ini, bank-bank sudah tidak bisa lagi menghindari tanggung jawab atas ketidak hati-hatian pembiayaan mereka. Bank Danamon sebagai anak perusahaan dari bank terbesar di Jepang MUFG, memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menjadi bank yang lebih bertanggung jawab dan memainkan peran integral dengan berkomitmen untuk menjaga tegakan hutan, menghormati HAM, dan segera mewajibkan seluruh perusahaan yang dibiayainya untuk menjunjung tinggi dan menegakkan standar lingkungan dan sosial melalui perjanjian kontrak, serta menghentikan hubungan dengan pihak-pihak yang merusak masa depan kita.”
Dalam kebijakan pengamanan perbankan terkait Lingkungan, Sosial, Tata Kelola (LST) harus mensyaratkan kepatuhan terhadap standar ‘Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut dan Nol Eksploitasi’ (NDPE), serta menetapkan penghormatan terhadap hak tenurial masyarakat lokal dan Masyarakat Adat, hak ketenagakerjaan ILO, namun selama ini, Bank Danamon tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap praktik terbaik NDPE. Bank Danamon sampai saat ini juga tidak mengungkapkan risiko LST dan rencana mitigasinya dan bahkan tercatat memberikan Pinjaman Korporasi dan Fasilitas Kredit Bergulir kepada Sinar Mas Grup (SMG), grup korporasi dengan berbagai catatan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, yang melibatkan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan.
Komitmen lembaga jasa keuangan, dalam hal ini lembaga perbankan, terhadap pembiayaan berkelanjutan akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakat sudah mulai sadar dan mengalami dampak krisis iklim, mereka juga mulai menyadari adanya risiko investasi dalam mempertimbangkan dan memilih produk jasa keuangan mana yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan keberlanjutan. “Lewat platform petisi change.org, hampir seribu orang telah meminta Bank Danamon untuk menghentikan pendanaan bagi perusahaan perusak lingkungan. Ini artinya banyak masyarakat yang peduli hutan Indonesia. Seharusnya upaya ini di apresiasi dan didengarkan oleh Bank Danamon”, ungkap Elok Faiqotul Mutia, Associate Campaign Manager Change.org
Melalui aksi pemberian kado dan karangan bunga perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, masyarakat sipil berharap Bank Danamon bisa memperkuat slogannya untuk menumbuhkan prinsip kehati-hatian, terutama dalam hal memilih mitra bisnis dan grup usaha yang didanai untuk berkolaborasi. Karena sesuai dengan slogan perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, yakni “Tumbuh melalui Kolaborasi”, sudah selayaknya Bank Danamon juga memiliki pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan berkelanjutan, yakni dengan cara menghentikan pendanaan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar HAM.
###
Narahubung:
Pengkampanye TuK Indonesia: Linda Rosalina ([email protected] / 081219427257)
Associate Campaign Manager Change.org: Elok Faiqotul Mutia (085211042626)
Untuk mengetahui jumlah tanda tangan petisi #StopDanaMonster bisa klik di sini (https://www.change.org/p/bank-danamon-stop-kasih-pendanaan-yang-merusak-lingkungan)
SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA
/0 Comments/in Berita, Database, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Pernyataan, Publikasi, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaData Terbaru Mengungkap 50 Bank dan Investor Terbesar Dunia Mendorong Deforestasi Melalui Investasi Besar dan Kebijakan yang Lemah
Investor ternama seperti BlackRock, Vanguard, State Street, PNB, EPF, GPIF, dan KWAP semuanya mendapatkan skor terendah

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA
SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA. Jakarta, 9 Juni 2021 – 50 bank dan investor terbesar di dunia mendorong deforestasi melalui investasi besar dan kebijakan yang lemah pada komoditas terkait dengan perusakan hutan hujan tropis, menurut penelitian baru oleh Forests & Finance –– sebuah koalisi riset yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil Amerika Serikat, Indonesia, Belanda, Brazil dan Malaysia. Penelitian ini menilai lembaga keuangan atas kinerjanya, termasuk bank internasional besar seperti Bank of America, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), dan investor utama seperti BlackRock, Vanguard, dan State Street, yang berada pada skor yang sangat rendah.
Desain terbaru pusat data Forests & Finance menunjukkan bahwa kebijakan lebih dari 50 lembaga keuangan ––menyumbang 128 miliar USD dalam bentuk kredit dan penjaminan untuk komoditas terkait dengan deforestasi sejak tahun 2016 s.d. 2020 dan 28,5 miliar USD dalam bentuk investasi per April 2021. Secara kolektif sangat lemah, dengan skor rata-rata 2,4 dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan untuk berbagai komoditas yang mendorong deforestasi (daging sapi, kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, kedelai dan kayu) tidak tunduk pada kriteria dasar sosial, lingkungan atau pemeriksaan tata kelola, apalagi memenuhi verifikasi standar klien yang sebenarnya. Data terbaru juga menambahkan fitur-fitur penilaian kebijakan yang diperluas pada 6 sektor yang berisiko terhadap hutan; data obligasi dan kepemilikan saham yang diperbarui; serta studi kasus tentang dampak sosial dan lingkungan dari keuangan yang tidak bertanggung jawab.
“Melindungi hutan tropis dunia benar-benar tidak pernah sepenting ini bagi seluruh kehidupan di bumi. Akan tetapi, lembaga keuangan malah menulis cek kosong kepada perusahaan yang mendorong perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga keuangan harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko ini dalam portofolio mereka, dan bukannya malah memberikan perusahaan-perusahaan ini hak untuk menghancurkan hutan.” ujar Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests & Finance.
“Blackrock, manajer aset terbesar di dunia, memberikan sejumlah besar modal kepada perusahaan yang mendorong deforestasi dan merongrong hak-hak Masyarakat Adat, hingga mencapai 2 miliar USD. Nilai tersebut meningkat 157% dibandingkan April tahun lalu, saat kehidupan para penjaga Bumi kian terancam dan penggundulan hutan terus meroket. Blackrock perlu mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pendanaan perusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pelanggaran hak Masyarakat Adat, terutama di bioma sensitif seperti Amazon,” kata Moira Birss, Direktur Iklim dan Keuangan Amazon Watch.
“Lima investor terbesar di perusahaan terkait deforestasi di Asia Tenggara, semuanya mendapat skor sangat rendah dalam penilaian kami”. Kata Meenakshi Raman, Presiden SAM. “Kami membutuhkan investor untuk mengambil tanggung jawab atas investasi mereka. Hal ini termasuk mendanai masa depan yang berkembang untuk Asia Tenggara, alih-alih menghancurkannya.”
“Perbankan Indonesia, meski masih mendapat skor sangat rendah, menunjukkan beberapa peningkatan dalam penilaian kami sejak 2018”. Ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. “Perbaikan positif ini adalah jalan yang tepat bagi bank-bank Indonesia. Hanya saja masih perlu untuk meningkatkan kebijakannya dan serius dalam penerapannya”. Lanjut Edi.
“Meski masih mendapat skor rendah pada kebijakannya, BNDES, investor terbesar komoditas berbasis lahan di Amerika Selatan, telah menurunkan eksposurnya pada perusahaan komoditas berisiko terhadap hutan yang beroperasi di Amerika Selatan selama setahun terakhir. Di sisi lain, lima investor teratas lainnya ––BlackRock, Fidelity Investments, Vanguard dan GPIF–– malah meningkatkan eksposur mereka. Semua perusahaan ini mendapat nilai sangat rendah dan masih ada investasi signifikan yang mengalir ke penggundulan hutan Amazon, dengan sedikit upaya lembaga keuangan untuk menghentikannya”. Ungkap Marcel, Direktur Eksekutif Repórter Brasil.
Sebuah studi mengindikasikan bahwa perusakan ekosistem hutan berkorelasi dengan munculnya penyakit zoonosis baru seperti virus corona, ini berarti menghentikan deforestasi sangat penting untuk mencegah terjadinya pandemi di masa depan. Namun, pada tahun 2020 saja 12,2 juta hektar hutan tropis hilang. Dari penilaian ini ditemukan bahwa lembaga keuangan telah meningkatkan investasi mereka untuk penggundulan hutan pada periode yang sama. Dibandingkan tahun 2020. Total nilai investasi pada perusahaan komoditas berbasis hutan telah meningkat dari 37,2 miliar USD pada April 2020 menjadi 45,7 miliar USD pada April 2021.
Penilaian tersebut juga menganalisis kebijakan umum dari sekitar 50 bank dan investor terbesar di dunia berdasarkan 35 kriteria Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG), serta menggabungkannya dengan data yang dihitung dengan menggunakan informasi pembiayaan dan investasi yang tersedia di database Forest & Finance (periode Januari 2016 – April 2020 untuk data kredit, dan April 2021 untuk data investasi). Setiap bank atau investor diberi peringkat berdasarkan kebijakan mereka serta jumlah pembiayaan pembiayaan komoditas yang berisiko terhadap hutan untuk menghitung keseluruhan skor lembaga keuangan tersebut.
###
Catatan untuk redaksi:
- Forests & Finance merupakan koalisi organisasi yang terdiri dari Rainforest Action Network, TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US.
- Untuk mengetahui lebih lanjut tentang data terbaru Forest & Finance dan bagaimana menggunakan platform ini untuk mengidentifikasi tren keuangan, mengungkapkan transaksi dan membandingkan bank dan investor, silahkan bergabung dengan kami dalam Webinar Multinasional: Peluncuran Data Forests And Finance 2021. Webinar ini akan dilaksanakan pada: Rabu, 9 Juni 2021 | 15.00–16.30 WIB | via Zoom (dengan ID Webinar 942 5815 1688 atau klik ly/forestfinanceid untuk registrasi). Webinar ini rencananya akan dihadiri:
- Fiona Armintasari, Peneliti Responsi Bank
- Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests and Finance
- Ward Warmerdam, Peneliti Profundo
- Edi Sutrsino, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
- Bapak Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK*
- Ibu Tria Mutiari Meilan, BRI Sustainable Finance Team*
Kontak media:
Linda Rosalina: [email protected]/+62 812-1942-7257
Chinese Banks’ Forest-Risk Financing
/0 Comments/in Artikel, Berita, Isu, laporan, Lingkungan Hidup, Pernyataan, Publikasi, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaForest-Risk – Financial flows and client risks
About this report
This report has been commissioned by Rainforest Action Network. It is supported by TuK Indonesia, BankTrack, China Environmental Paper Network, and Jikalahari.
About Forests & Finance
Forests & Finance is an initiative by a coalition of campaign and research organisations including Rainforest Action Network, TuK Indonesia, Profundo, Repórter Brasil, Amazon Watch, BankTrack and Sahabat Alam Malaysia. Collectively, they seek to achieve improved financial sector transparency, policies, systems and regulations, that ultimately prevent financial institutions from supporting the kind of environmental and social abuses that are all too common in the operations of many forest-risk sector clients.
About Profundo
With profound research and advice, Profundo aims to make a practical contribution to a sustainable world and social justice. Quality comes first, aiming at the needs of our clients. Thematically we focus on commodity chains, the financial sector and corporate social responsibility. More information on Profundo can be found at www.profundo.nl.
Authorship
This report was researched and written by Ward Warmerdam with contributions from Wen Bo, Sergio Bafoni and Merel van der Mark. Correct citation of this document: Warmerdam, W. (2021, March), Chinese forest-risk financing – Financial flows and clients risks, Amsterdam, The Netherlands: Profundo. Front page cover photograph by Jan Kronies – Unsplash.
Acknowledgements
The author would like to thank Wen Bo, Sergio Baffoni, Tom Picken, Steph Dowlen, Merel van der Mark for their input and support.
Disclaimer
Profundo observes the greatest possible care in collecting information and drafting publications but cannot guarantee that this report is complete. Profundo assumes no responsibility for errors in the sources used, nor for changes after the date of publication. The report is provided for informational purposes and is not to be read as providing endorsements, representations or warranties of any kind whatsoever
Read Detail And Download Report HERE
Refers To : http://forestsandfinance.org/
Belajar dari Dua Pakar Keuangan Berkelanjutan Global
/0 Comments/in Berita, Kegiatan, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaJalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Dalam kurun waktu hanya sekitar satu bulan, dua pakar keuangan berkelanjutan global datang ke Indonesia. Keduanya punya beragam urusan, namun sama-sama bersedia meluangkan waktu untuk berbagi pemikiran dengan publik di Indonesia. Yang pertama, Myriam Vander Stichele dari SOMO (Center for Research on Multinational Corporation), yang memberikan kuliah di Universitas Trisakti pada tanggal 5 Agustus 2017. Yang kedua, Jan Willem van Gelder dari Profundo, yang mempresentasikan gagasannya di Mercantile Club pada 7 September 2017.
Apa yang bisa kita pelajari dari kedua pakar tersebut? Sangat banyak, tentu saja. Namun, untuk kepentingan keringkasan dari artikel ini, maka hanya pelajaran-pelajaran yang terpenting saja yang akan disampaikan di sini. Pertama-tama, dengan meringkas isi materi yang mereka sampaikan masing-masing. Kedua, dengan menunjukkan kesimpulan paling penting yang bisa kita ambil dari keduanya.
Myriam dan Praktik Keuangan Berkelanjutan
Presentasi Myriam diberi judul Sustainable Finance: What It Means in Practice (for Accountants). Dalam pembukaannya, dinyatakan bahwa tujuan presentasi ini untuk mendiskusikan tiga hal. Pertama, apa nilai penting dari keuangan berkelanjutan terhadap profesi akuntan dan ekonomi secara keseluruhan. Kedua, bagaimana peran yang dimainkan oleh berbagai lembaga jasa keuangan terhadap pembangunan berkelanjutan—termasuk dan terutama SDGs dan Kesepakatan Paris. Ketiga, apa saja alternatif solusi yang tersedia dari keuangan berkelanjutan.
Hingga sekarang, laporan perusahaan yang dianggap paling penting adalah laporan keuangan tahunannya. Isinya adalah pernyataan keuntungan serta strategi bagaimana keuntungan itu diperoleh. Sayangnya, laporan itu tidak berisikan bagaimana keuntungan itu dalam praktiknya benar-benar didapat. Demikian juga, tak ada laporan tentang dampak yang komprehensif atas praktik perusahaan dalam mendapatkan keuntungannya itu. Lantaran dibatasi periode pelaporan setahun, maka apa yang terjadi dalam jangka yang lebih panjang juga tak dilaporkan secara memadai. Padahal, dampak jangka panjang inilah yang akan memengaruhi kondisi—termasuk profitabilitas—perusahaan dan ekonomi secara umum.
Karenanya, perusahaan—termasuk para akuntan yang berada di dalamnya—sangat perlu untuk menyadari bahwa laporan keberlanjutan adalah norma baru yang penting. Perusahaan-perusahaan global sudah mengadopsi bentuk pelaporan ini. Governance and Accountability Institute melakukan pelacakan dan menemukan perkembangan yang sangat cepat. Apabila pada tahun 2011 baru 20% dari perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam S&P 500 yang memiliki laporan tersebut, pada awal 2016 proporsinya sudah mencapai 81%. Dan, yang terpenting untuk disadari, adalah isinya yang komprehensif, yaitu isu-isu tata kelola, ekonomi, sosial, dan lingkungan terkait perusahaan—bukan kegiatan karitatif.
Tantangan bagi perusahaan jasa keuangan adalah ragam dari jasa keuangan terasuk transaksi derivatif. Ini berarti memerlukan pemahaman atas dampak apa saja dari jasa keuangan yang mereka berikan. Lebih jauh lagi, kalau di masa depan kita harus menggeser ke arah ekonomi yang rendah (atau bahkan tanpa) karbon, maka perlu diketahui pula berapa jumlah pembiayaan yang dibutuhkan dan oleh siapa. Di level global kini diperkirakan bahwa transisi itu membutuhkan USD90 triliun dalam 15 tahun, tetapi berapa nilainya di Indonesia belumlah diketahui secara tepat. Di level global juga sudah diketahui bahwa sekitar 10% pinjaman bank sekarang ditujukan untuk mendukung projek-projek yang ramah lingkungan, sementara obligasi yang demikian hanya sekitar 1% saja. Di Indonesia, kita belum mengetahuinya.
Bagi lembaga jasa keuangan, isu-isu keberlanjutan—seperti perubahan iklim, polusi, kemiskinan dan HAM—sesungguhnya sangat relevan. Namun, belum banyak yang menyadarinya. Dari sudut pandang risiko saja, sangat jelas bahwa membiayai kredit perumahan yang nilainya turun lantaran ternyata daerahnya kerap dikunjungi angin topan, membiayai operasi migas yang mengalami masalah aset terdampar (stranded assets), membiayai kegiatan pertanian yang menghadapi bencana kekeringan dan banjir, atau membiayai perkebunan yang tanahnya bersengketa dengan masyarakat, seluruhnya memiliki risiko tinggi. Sudah seharusnya para analis kredit memahami isu-isu seperti itu dalam mengambil keputusan pembiayaan.
Soal stranded assets ini menjadi perhatian Myriam dengan sungguh-sungguh. Dengan mengambil contoh industri kelapa sawit dengan berbagai konteksnya, stranded assets—yang didefinisikan sebagai segala jenis properti berharga milik perusahaan yang mengalami penurunan nilai dalam waktu yang relatif cepat—memang sangat penting. Kebun yang sudah dikembangkan perusahaan, bila kemudian terbukti adalah milik pihak lain bisa tiba-tiba tidak berharga. Bila perusahaan tidak mengelola hubungan sosial dengan memadai, dan masyarakat menghentikan operasi perusahaan, aset kemudian menjadi sulit dimanfaatkan. Bila perusahaan terlibat dalam kebakaran hutan, dan mendapatkan hukuman dari pemerintah, maka nilainya juga bisa turun. Bahkan, lantaran perusahaan dianggap merusak hutan dan bertanggung jawab pada perubahan iklim, bisa jadi konsumen—terutama di Eropa dan AS—memutuskan kontrak pembelian dan perusahaan menjadi sasaran kampanye negatif. Itu semua bisa menurunkan nilai (properti) perusahaan dalam waktu yang sangat cepat.
Myriam mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti yang telah disebutkan sesungguhnya bisa dicegah dari hulu, apabila lembaga-lembaga jasa keuangan mau mengadopsi keuangan berkelanjutan. Apa yang menjadi karakteristik keuangan berkelanjutan ada 4, yaitu: menghormati standar nasional dan internasional terkait isu-isu keberlanjutan; melindungi lingkungan dan mencegah perubahan iklim; mencegah dampak negatif jangka panjang atas keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan transparen dalam apa saja dan bagaimana projek dibiayai. Terkadang, keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai implementasi kebijakan lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, disingkat ESG). Masalahnya, memang apa yang masuk ke dalam masing-masing aspek itu belum secara tegas diregulasi.
Myriam kemudian mengajukan sebuah definisi progresif atas keuangan berkelanjutan, yaitu: “…contribute in transparent way to improving social and environmental aspects in short and long term, pro-actively aim to achieve the SDGs and the Paris Agreement, implement ESG issues throughout their value chain, and avoid financial instability.” Menariknya, ia juga melihat bahwa keuangan Islam—atau keuangan syariah—yang relatif popular di Indonesia bisa menjadi dasar bagi keuangan berkelanjutan yang progresif itu, apabila memasukkan kebijakan terkait dukungan terhadap SDGs, misalnya terkait pengentasan orang miskin dan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan.
Lalu, bagaimana caranya memastikan bahwa transisi menuju keuangan berkelanjutan itu terjadi? Menurut Myriam, ada 4 hal terpenting untuk itu. Pertama adalah regulasi keuangan yang memasukkan unsur-unsur ESG yang jelas. Kedua, pembiayaan yang menghindari berbagai dampak negatif, mendukung projek-projek berkelanjutan, dan pada akhirnya menunju kepada pembentukan bank-bank berkelanjutan. Ketiga, analisis risiko dan penilaian dampak yang kokoh, termasuk oleh lembaga pemeringkatan kredit, uji tuntas oleh pemberi pinjaman, sertifikasi keberlanjutan, serta informasi dari komunitas dan LSM. Dan terakhir, transparensi informasi maksimum oleh perusahaan jasa keuangan atas dampak keberlanjutan yang benar-benar dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan.
Dalam hal tersebut, Myriam menekankan bahwa LSM memang sudah aktif dalam memberikan masukan dan tekanannya, kumpulan perusahaan sendiri sudah bergerak untuk membuat standar-standar sukarela seperti RSPO di industri kelapa sawit, namun itu tidak memadai tanpa regulasi yang kokoh dan pemerintah. Yang belakangan inilah yang dinilai Myriam paling terbelakang, sehingga perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Masih terlampau sedikit negara yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan, termasuk di Eropa. Regulasi pendukungnya, seperti insentif fiskal dan indikasi jumlah uang yang dibutuhkan untuk mencapai SDGs dan Kesepakatan Paris, juga belum jelas.
Jan Willem dan Tantangan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia
Jan Willem memulai presentasinya dengan menunjukkan tiga grafik yang menunjukkan tantangan keberlanjutan. Pertama, grafik yang menunjukkan bahwa populasi global yang kini telah melampaui 7 miliar orang diperkirakan akan mencapai 9 miliar di tahun 2050. Pada saat yang sama, kebutuhan pangan masing-masing orang cenderung meningkat. Kalau pada dekade 1960an setiap orang mengkonsumsi sekitar 2.000 kalori/hari, pada tahun 2030 saja diperkirakan akan semakin dengan dengan 3.000 kalori/hari. Demikian juga dengan kebutuhan energi global yang bila pada tahun 2015 lalu belum mencapai 600 exajoules, pada 2035 kelak diperkirakan mencapai hampir 800 exajoules. Dengan peningkatan yang seperti itu, Jan Willem mengingatkan: kita hanya punya satu Bumi, dan kita sekarang sudah memanfaatkan sumberdaya yang melampaui 1,5 kali lipat daya dukungnya.
Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah tujuan, target, dan cara yang disepakati oleh 193 negara—termasuk Indonesia—untuk menjawab tantangan itu. Sehingga, keuangan berkelanjutan sangatlah terkait dengan SDGs, yaitu sistem keuangan yang diarahkan untuk mencapai SDGs dan tujuan lain yang terkait, seperti Kesepakatan Paris. Menurut Jan Willem, ada tiga cara mencapainya, yaitu, (1) melalui pembiayaan inovasi produk yang memenuhi beragam kebutuhan global di bidang pangan, energi, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, (2) melalui pembiayaan yang menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara hati-hati dan efisien, dan (3) melalui pembiayaan yang berperspektif keadilan sosial, yang memastikan bahwa setiap orang bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
Kebijakan-kebijakan keuangan berkelanjutan pun diperlukan untuk memastikan ketiganya bisa terlaksana. Hingga sekarang, dikenal dua jenis kebijakan, yaitu yang dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan, terutama bank, sendiri; serta yang dikembangkan secara kolektif. Yang disebut belakangan ini contohnya adalah UNEP Finance Initiative, Equator Principles, dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Kebijakan-kebijakan yang dibuat secara kolektif kemudian juga banyak diadopsi dan diadaptasi oleh perusahaan keuangan.
Indonesia sendiri, dalam pandangan Jan Willem, memiliki sejumlah tantangan yang menurutnya membuat keuangan berkelanjutan menjadi mendesak untuk diberlakukan. Mengutip survei yang dilakukan oleh OECD pada Oktober 2016, masih ada 28 juta warga Indonesia yang masuk kategori miskin, sementara kesenjangan kaya-miskin di sini adalah salah satu yang paling lebar di dunia. Anggaran pembangunan oleh pemerintah, dan pemasukan dari pajak, juga masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk tetangga terdekat. Korupsi masih tinggi, dan menghambat pertumbuhan serta kesejahteraan. Kondisi lingkungan dan kesehatan yang buruk juga menjadi tantangan tersendiri untuk keberlanjutan dan dalam mewujudkan inklusi pembangunan.
Dalam kondisi yang penuh tantangan seperti itu, bank-bank yang ada di Indonesia—sebagai bagian penting dari lembaga jasa keuangan—sendiri masih jauh dari praktik atau bahkan ide keuangan berkelanjutan. Mengutip penelitian mutakhir Responsibank, Jan Willem menunjukkan bahwa bank lokal yang skor kebijakannya terbaik adalah Danamon, yang hanya mendapatkan 16,35 dari 100. BNI yang mendapatkan tempat kedua terbaik—dan satu-satunya bank dari Indonesia yang menjadi anggota UNEP FI—malahan hanya mendapatkan skor 9,89. CIMB Niaga, yang terendah dalam penelitian tersebut, memiliki skor 3,46.
Jan Willem kemudian menunjukkan sisi yang lain mengapa keuangan berkelanjutan itu penting, yaitu melalui industri kelapa sawit. Secara ‘teori’, industri ini sangatlah menjanjikan bagi Indonesia. Perkebunan kelapa sawit bisa memanfaatkan kekayaan lahan yang dimiliki Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Pendapatan dari kelapa sawit bisa diperoleh dari ekspor ke berbagai negara, pajak yang dibayarkan, selain pendapatan lainnya. Peluang ketenagakerjaan yang timbul juga tidak sedikit, dan tentu saja peluang kerjasama produksi antara perkebunan inti dan plasmanya. Indonesia yang kini menguasai setidaknya 47% produksi minyak sawit dunia bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Sayangnya, sisi baik dari industri ini juga disertai berbagai ekses yang membuat ‘teori’ itu tak seindah realitasnya. Dari sisi lingkungan, deforestasi dalam 15 tahun sangat banyak yang terkait dengan pembukaan kebun kelapa sawit, demikian juga dengan kebakaran hutan. Hilangnya keanekaragaman hayati, hutan dengan carbon stock yang tinggi, termasuk lahan-lahan gambut juga terkait dengan ekspansi kelapa sawit. Di sisi sosial, konflik lahan dengan masyarakat, pelanggaran hak-hak tenaga kerja, serta ketimpangan hubungan dengan petani kecil telah banyak didokumentasi. Persoalan tata kelola juga sangat jelas, terutama terkait dengan penghindaran pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan kelapa sawit, juga korupsi.
Di sinilah peran penting keuangan berkelanjutan. Bagaimanapun, industri kelapa sawit—dan industri apapun—membutuhkan pembiayaan. Sehingga, apabila para pembiaya itu bisa memersyaratkan aspek-aspek ESG itu secara merata, mencipatkan level playing field dalam keberlanjutan, tentu pengaruhnya akan sangat besar. Apa yang perlu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, menurut Jan Willem, adalah memahami isu-isunya secara komprehensif, mengembangkan visi yang jelas untuk keberlanjutan setiap sektor yang dibiayai, membuat berbagai kebijakan dengan standar yang jelas, melatih staf untuk menegakkan kebijakan yang dibuat, menapis proposal pembiayaan dari klien dengan kebijakan yang baru, melakukan pemantauan terhadap kinerja keberlanjutan klien, merundingkan tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan oleh klien, serta membuat mekanisme penyelesaian keberatan.
Dalam hal ini, Jan Willem menyatakan bahwa HSBC—yang merupakan tuan rumah dalam diskusi tersebut—berada di jalur yang tepat. HSBC, dalam penilaian Responsibank, adalah bank dengan skor kebijakan kehutanan tertinggi, yaitu 56,25 dalam skala 100. Selain karena sudah lama memiliki sejumlah kebijakan keberlanjutan, sebagai anggota RSPO yang baru saja memerbarui kebijakan untuk industri kelapa sawitnya, HSBC mendapatkan skor yang jauh di atas bank-bank Indonesia. Tetapi, tentu saja skor tersebut masih bisa ditingkatkan lebih jauh. Masalahnya, kompetisi yang belum adil dengan bank-bank lainnya di kawasan Asia Tenggara mungkin membuat HSBC ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.
Tetapi, HSBC jelas memiliki kepasitas untuk menjadi lebih baik lagi. Jan Willem menunjukkan setidaknya dua jalur pengaruh yang sangat kuat bisa dimainkan oleh HSBC. Pertama, dalam pembiayaan industri kelapa sawit, antara 2010-2017 berpartisipasi dalam 102 sindikasi pembiayaan, dengan total USD2,9 miliar. Kedua, HSBC sendiri juga meminjamkan uang kepada bank-bank lainnya di kawasan ini, termasuk melalui loan sebesar USD4,4 miliar, serta underwriting sebanyak USD9,7 miliar (termasuk obligasi yang bernilai USD4,5 miliar). Dengan kekuatan kapital seperti itu, jelas HSBC punya pengaruh besar yang bisa dimanfaatkannya untuk mendorong keuangan berkelanjutan.
Jan Willem kemudian menjelaskan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan membuat Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan dan POJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan sangatlah tepat. Langkah selanjutnya yang dipandang sangat krusial adalah mewajibkan pelaporan berkelanjutan yang memanfaatkan standar dari Global Reporting Initiative (GRI), memastikan adanya mekanisme penyelesaian keberatan terhadap pembiayaan, serta membuat regulasi tanggung jawab bersama dalam kinerja sosial dan lingkungan antara klien dengan pembiayanya. Khusus terkait industri kelapa sawit, OJK bisa memastikan eksklusi deforestasi, high conservation value (HCV), dan gambut; menerapkan free, prior and informed consent terhadap masyarakat adat dan lokal; mengadopsi standar ILO tentang ketenagakerjaan dan UN Guiding Principles on Business and Human Rights; dan mengidentifikasi serta mencegah korupsi dan penghindaran pajak.
Harapan juga disematkan Jan Willem kepada LSM seperti TuK Indonesia yang menjadi salah satu penyelenggara diskusi. Pertama, agar semakin giat mendampingi masyarakat yang mengalami konflik, dan berusaha menuntaskan kasus-kasus itu. Kedua, mendukung lembaga jasa keuangan dalam mengadopsi berbagai kebijakan yang relevan untuk keberlanjutan, serta mendorong pemanfaatan kekuatan lembaga jasa keuangan dalam menyelesaikan konflik. Terakhir, memberikan data yang relevan kepada lembaga jasa keuangan supaya mereka bisa mengambil keputusan pembiayaan dengan tepat, juga dalam melakukan pemantauan.
Pesan-pesan Terpenting
Jelas, kedua pakar tersebut menyatakan bahwa keuangan berkelanjutan ini bukanlah tantangan yang mudah diselesaikan oleh Indonesia atau negara manapun. Menyeimbangkan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang adalah keniscayaan, dan karena selama ini fokusnya kebanyakan hanya di jangka pendek, maka cakrawala waktu perlu ditarik jauh ke depan. Ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Keniscayaan yang lain untuk hal itu adalah kerjasama erat antar-pemangku kepentingan keuangan berkelanjutan, bukan saja dengan pemangku kepentingan di dalam negeri, melainkan juga di tingkat regional dan global—mengingat asal kapital yang diinvestasikan di Indonesia adalah juga dari negeri-negeri lain.
Berbagi data adalah hal yang sangat ditekankan oleh Myriam dan Jan Willem. Keduanya menyatakan bahwa baik untuk keperluan uji tuntas sebelum keputusan pembiayaan itu diambil, maupun untuk keperluan pemantauan, data yang sahih adalah esensial. Data yang sahih juga yang bisa berperan penting dalam menyelesaikan berbagai konflik; sementara minimnya konflik adalah prasyarat agar operasi bisa berjalan lancar dan manfaat bagi seluruh pihak bisa dirasakan.
Konflik juga merupakan sumber dari permasalahan aset terdampar yang bakal membuat perusahaan dan lembaga jasa keuangan yang membiayainya terpapar pada risiko finansial. Sehingga, penyelesaian konflik dengan cara-cara yang adil dan menjamin kedamaian yang hakiki sesungguhnya merupakan kepentingan seluruh pihak. Kedua pakar menekankan bahwa Indonesia perlu memastikan bahwa kebun atau aset berharga perusahaan-perusahaan sektor apapun tidak menjadi terdampar dan muspra. Oleh karenanya, isu ini perlu benar-benar dipahami untuk dihindari.
Terakhir, sangat jelas bahwa Myriam dan Jan Willem menempatkan SDGs dan Kesepakatan Paris sebagai aspirasi yang tepat untuk memandu keberlanjutan seluruh sektor, tak terkecuali sektor keuangan. Jelas, keduanya itu tidaklah mudah dicapai, dan interpretasinya yang tepat secara lokal dan oleh masing-masing sektor juga masih perlu dibuat. Jelas, bukan tugas yang mudah. Tetapi, seperti kalimat terakhir yang dinyatakan oleh Jan Willem dalam presentasinya, “A long road to go, but there’s no alternative,” jalan itulah satu-satunya yang perlu ditempuh agar Indonesia menjadi lebih baik.
Nasihat bagi pemodal atas akuisisi perusahaan pulp Eldorado Brasil
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaInvestor wajib meminta pembeli Eldorado Brasil, untuk berkomitmen dalam menerapkan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang ketat, sehingga akan memperbaiki kinerja sosial, lingkungan dan tata kelola Eldorado. Bila tidak, maka akan pemodal akan terpapar kepada risiko keuangan dan risiko kerusakan reputasi.
Kinerja Eldorado pada isu-isu Sosial, Lingkungan dan Tata Kelola belum menjadi sesuatu yang patut dicontoh. Perusahaan yang memiliki pabrik pulp satu lini terbesar di dunia (1.7 juta ton per tahun), telah terlibat di dalam skandal korupsi dan karena ukurannya yang besar dan rencana ekspansinya (lini produksi ke dua [note] http://www.eldoradobrasil.com.br/Institucional/Quem-Somos/vanguarda20 [/note] yang berkapasitas 2.5 juta ton per tahun), Eldorado memiliki risiko besar untuk terlibat di dalam konflik sosial dan lingkungan hidup.
Menurut laporan media yang baru keluar[note] http://www.valor.com.br/international/news/5078116/asia-pulp-paper-poised-buy-eldorado-brasil; http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app; http://www.valor.com.br/empresas/5096624/app-oferece-r-15-bi-pela-eldorado https://www.reuters.com/article/us-global-oil-idUSKCN1BB01Z[/note] , J&F tengah bernegosiasi dengan APP dan China Paper. Penawar lainnya yang dilaporkan adalah Arauco, Fibria dan APRIL. Perusahaan-perusahaan ini memiliki tingkat komitmen terhadap kebijakan berkelanjutan yang berbeda-beda, di mana beberapa diantaranya terkenal sangat buruk. Investor dengan demikian disarankan untuk mengevaluasi kapasitas pembeli potensial untuk memperbaiki rekam jejak Eldorado, supaya terhindar dari risiko ESG (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola). Panduan mengenai kriteria minimum absolut bagi pemodal dapat ditemukan di dalam dokumen Green Paper, Red Lines dan pada situs web Forests & Finance.
1. Sebuah analisis rekam jejak ESG dari para Pembeli Potensial
1.1 APP
Asia Pulp and Paper (APP), anak perusahaan dari konglomerat Indonesia, Sinar Mas Group adalah salah satu dari perusahaan pulp & kertas terbesar di dunia yang terintegrasi secara penuh dan berkontribusi lebih dari setengah kapasitas total pulp Indonesia. APP dilaporkan memberikan penawaran sekitar USD 4.8 miliar (BRL 15 miliar)[note] http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app [/note] untuk Eldorado Brasil. [note] RAN 2017, Every investor has a responsibility (Setiap Investor memiliki sebuah tanggung jawab). Available at: https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/1497 287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352 [/note] http://www.scmp.com/business/companies/article/1780979/us14b-default-forgotten-indonesia-billionaire- widjaja-sells-debt [/note]
APP gagal memenuhi kewajiban finansialnya sebesar USD 14 miliar [note] pada tahun 2001. APP juga terlibat di dalam kasus korupsi besar yang melibatkan penerbitan izin tanah yang ilegal di Riau, sebuah kasus yang membuat Gubernur Riau dipenjara selama 15 tahun [note] http://wwf.panda.org/wwf_news/?159162/APPs-forest-clearing-linked-to-12-years-of-human-and-tiger- deaths-in-Sumatra [/note]. Pabrik pulp dan kertas APP di Indonesia telah mendorong deforestasi besar-besaran [note]https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/ 1497287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352[/note], pengeringan lahan gambut, dan konflik sosial di 38 konsesi pemasoknya yang mencakup 2.6 juta hektar, dan ratusan ribu konsesi APP terbakar di dalam kebakaran besar yang terjadi pada tahun 2015. APP dikeluarkan dari FSC pada tahun 2007 [note]https://ic.fsc.org/en/what-is-fsc/what-we-do/dispute-resolution/current-cases/asia-pulp-and-paper-app[/note]. APP mengadopsi Kebijakan Konservasi Hutan di tahun 2013, namun pejabat Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia baru-baru ini mengatakan “Kebijakan Konservasi Hutan APP jelas hanyalah sebuah jargon [note]http://www.foresthints.news/app-business-transformation-not-substantial-monitoring-finds[/note]”, setelah Kementerian sekali lagi menemukan kalau APP menanam ulang akasia di dalam lahan gambut yang dilindungi, yang adalah ilegal dan bertentangan dengan Kebijakan APP.
Sebuah evaluasi independen di tahun 2014-15 menemukan ratusan sengketa kepemilikan lahan masyarakat [note]http://www.rainforest-alliance.org/sites/default/files/uploads/4/150205-Rainforest-Alliance-APP- Evaluation-Report-en.pdf[/note] dan konflik sosial di sepanjang konsesi pemasok APP. Sebagian besar konflik ini masih belum diselesaikan[note]https://www.asiapulppaper.com/system/files/170313_fcp_progress_updates_-_march2017v2_0.pdf[/note] hingga tahun 2017, bertentangan dengan Kebijakan Konservasi Hutan 2013 milik mereka[note]https://www.asiapulppaper.com/sustainability/vision-2020/forest-conservation-policy[/note].
BTG Pactual, bank investasi terbesar di Amerika Latin, dilaporkan memberikan nasihat kepada APP terkait dengan kesepakatan potensial ini. Karena BTG Pactual tidak memiliki kebijakan sektor yang kuat[note]http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/[/note] mengenai investasi di sektor kehutanan, kami mendesak BTG Pactual untuk menerapkan uji tuntas (due diligence) ekstra untuk menghindarinya terpapar risiko kerusakan reputasi dan risiko ESG (lingkungan, sosial dan tata kelola). Peringatan yang serupa juga diterapkan kepada pemodal besar APP (lihat Forests&Finance.org), yang mana kemungkinan juga terlibat di dalam akuisisi Eldorado, dan tidak memiliki kebijakan yang kuat.
1.2 Korporasi Kertas China[note]Jangan bingung dengan China Paper Holdings karena apa yang telah dilakukan oleh banyak media. China Paper Holdings adalah sebuah perusahaan induk yang didirikan di Bermuda. Sebelumnya dijual pada Bursa Saham Singapura. Namun demikian, setelah api pada operasinya di China, rekaman keuangannya kemudian hilang. Dengan demikian tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada bursa saham, dan kemudian ditangguhkan. Satu-satunya anak perusahaan dengan aktivitas usaha apapun adalah anak perusahaannya di China. Anak perusahaan ini sekarang juga ditangguhkan di China. Holding company ini nampaknya masih beroperasi, walaupun tidak jelas dimana lokasi operasi-operasinya..[/note]
Perusahaan China ini dilaporkan memberikan penawaran sebesar USD 5.06 miliar (BRL 16 miliar) untuk 100 % saham Eldorado Brasil[note]https://www.reuters.com/article/us-eldorado-m-a-china-paper-idUSKCN1B31P0[/note]. Perusahaan tersebut adalah perusahaan induk investasi yang terlibat di dalam manufaktur dan distribusi kertas dan produk kimia kertas[note]https://www.bloomberg.com/research/stocks/private/snapshot.asp?privcapId=10945484[/note]. Namun di atas perusahaan tersebut terdapat perusahaan yang memilikinya -– China Chengtong – yang dimiliki langsung oleh Komisi Administrasi dan Pengawas Aset Dewan Provinsi (SASAC)[note]Qi Xin Bao (2017, August), China Chengtong, p. 1.[/note] yang merupakan komisi milik negara
Korporasi Kertas China memiliki 3 anak perusahaan yang terdaftar: Foshan Huaxin Packaging, Guangdong Guanhao High-Tech dan Yueyang Paper. Ketiga perusahaan tersebut terdaftar di Bursa Saham China[note]http://www.zwt.com.cn/contents/2/1.html[/note]. Korporasi Kertas China baru-baru ini mencapai sebuah kesepakatan di awal tahun ini dengan Grup Produk Hutan milik Rusia yang akan berinvestasi sebanyak USD 1 miliar untuk membangun pabrik pulp dengan kapasitas 700,000 ton per tahun di Rusia[note]China Pulp & Paper (2017, January 12), “Investments exceed US$ 1 billion, China Paper plans to build 700,000 ton per annum capacity pulp mill in Russia”, online: http://www.chinapulp.cn/news/201701/12/zx11426.html, viewed in August 2017[/note].
Korporasi Kertas China, terlibat di banyak kasus pelanggaran kontrak dengan pemasok di China[note]20 Qi Xin Bao (2017, August), China Paper Investment – Risks, p. 1.[/note]
1.3 Fibria
Fibria telah dilaporkan juga memberikan penawaran untuk 21 Perusahaan ini sudah memiliki sebuah pabrik dengan kapasitas 1.2 juta ton per tahun di Três Lagoas dan dalam waktu dekat akan membuka lini pabrik ke dua. Fibria dapat melakukan penghematan biaya yang signifikan dari sebuah akuisisi namun Fibria dapat menghadapi pemeriksaan melekat antitrust yang ketat di Brasil[note]https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN[/note]
Fibria adalah penghasil pulp eucalyptus terbesar di dunia. Pabriknya di Bahira dan Espírito Santo telah terlibat di dalam beberapa konflik sosial yang sudah berlangsung lama, melibatkan masyarakat adat, gerakan pekerja tanpa lahan dan masyarakat keturunan Afrika[note]http://awsassets.panda.org/downloads/brazilpulppapercasestudy_pdf.pdf;[/note]. Di pabriknya yang berada di Três Lagoas, perusahaan ini dituduh oleh para pegawainya, mengenai keanehan tenaga kerja yang serius[note]http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/brazil-rising-profits-do-not-prevent-layoffs- fibria-celulosa-in-mato-grosso-do-sul/[/note]
Fibria memang memiliki FSC untuk sebagian besar perkebunannya, namun telah dituduh sebagai kontributor utama atas masalah desertifikasi di Espírito Santo[note]https://news.mongabay.com/2017/03/pressure-over-water-in-brazil-puts-pulp-industry-in-the- spotlight/?n3wsletter&utm_source=Mongabay+Newsletter&utm_campaign=70c741f76a- newsletter_2017_03_02&utm_medium=email&utm_term=0_940652e1f4-70c741f76a-67232023[/note]
1.4 COPEC
Copec, yang memiliki perusahaan pulp Chile, Arauco, merupakan penghasil pulp terbesar di dunia. Copec mendapatkan kesepakatan dengan Eldorado untuk melakukan pembicaraan eksklusif mengenai pengambil alihan ini, namun waktu untuk pembicaraan seperti ini telah berakhir di awal Agustus, tanpa menghasilkan kesepakatan apapun[note]https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN[/note]
Arauco, sebagai perusahaan perkebunan milik Chile lainnya, terlibat di dalam sengketa lahan Chile dengan masyarakat adat[note]http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/[/note]. Arauco juga dihubungkan dengan kelangkaan air, yang disebabkan oleh konsumsi air dalam jumlah besar oleh perkebunan-perkebunannya[note]http://resumen.cl/2015/05/agua-para-quien-escasez-hidrica-y-plantaciones-forestales-en-la-provincia-de- arauco-un-informe-develador-y-por-eso-indignante/[/note], dan dihubungkan dengan kebakaran besar yang mengamuk melewati Chile awal tahun ini. Arauco memiliki sertifikasi FSC, namun hal ini telah dikritisi oleh beberapa organisasi masyarakat sipil[note]tp://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/[/note]
Pada tahun 2004, sebuah tumpahan di pabriknya di Valdivia menyebabkan ribuan angsa leher hitam di suaka marga satwa Rio Cruces mati, sebuah situs Ramsar yang dilindungi secara internasional[note]/wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/uruguay-the-ence-arauco-and-stora-ensos- eucalyptus-and-pulp-fairytales/[/note]. Rencana untuk membangun sebuah pipa untuk membuang limbah langsung ke laut telah mengundang protes besar-besaran oleh masyarakat lokal[note]http://www.noalducto.com/[/note]
1.5 APRIL
APRIL, dimiliki oleh Grup RGE milik Indonesia, merupakan perusahaan pulp dan kertas terbesar ke dua di Indonesia. April dilaporkan[note]http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app[/note] memberikan penawaran terhadap Eldorado Brasil.
APRIL memiliki rekam jejak deforestasi yang besar, pengeringan dan pengrusakan lahan gambut dan konflik sosial terkait lahan. Perusahaan ini dikeluarkan dari FSC. APRIL mengadopsi sebuah Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan pada tahun 2014, namun setelah itu menerima banyak tuduhan pelanggaran atas kebijakan tersebut[note]https://www.banktrack.org/company/april#popover=issues[/note]
2. Isu-isu lingkungan, sosial dan tata kelola Eldorado
Eldorado Brasil hendak dijual, karena pemiliknya, J&F Holdings, harus mengumpulkan dana untuk membayar denda sebesar USD 3.2 miliar (BRL 10.3 miliar) karena perannya di dalam skandal korupsi [note] http://www.bbc.com/news/world-latin-america-40109232[/note] yang mengancam untuk menggulingkan Presiden Michel Temer. Diantara lain, penuntut sedang menyelidiki kejahatan-kejahatan potensial yang melibatkan persetujuan dan pencairan pinjaman bernilai miliaran Reais [note] http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-jbs-fine-idUSKBN1910MW[/note] dari Bank Pembangunan Negara BNDES kepada J&F. Eldorado juga sedang diselidiki atas penipuan untuk mendapatkan pendanaan dari skema pensiun [note] http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-idUSKBN16F25W[/note], dan sedang dituntut oleh Fibria karena menyalahgunakan clones [note] http://www.fibria.com.br/r2015/en/multas-acoes-judiciais.html[/note] http://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/library/sitelist.pdf[/note] yang dimiliki oleh kompetitornya.
Pabrik Eldorado berada di sisi timur dekat dengan lahan basah Pantanal, yang merupakan situs Ramsar yang penting secara internasional[note] dan merupakan situs warisan dunia berdasarkan UNESCO.[note]http://whc.unesco.org/en/list/999[/note]Karena besarnya area yang dibutuhkan untuk perkebunan yang akan memasok kepada pabrik, terdapat risiko perubahan penggunaan lahan yang akan mendorong perambahan ke area Pantanal. Juga terdapat risiko di mana bila perkebunan tidak dikelola menurut praktik-praktik terbaik, mereka akan memberikan dampak yang besar kepada keanekaragaman hayati lokal, menguras sumber air dan menyebabkan bahaya kebakaran.
Pabrik Eldorado membuang limbahnya ke dalam sungai Paraná. Sungai ini melewati Taman Nasional Ilha Grande yang mana terdapat air terjun Iguaçu yang terkenal, juga menerima limbah dari pabrik Fibria. Bila rencana ekspansi dari kedua pabrik dilaksanakan, sungai tersebut akan menerima limbah dari 4 pabrik kertas, yang memiliki total kapasitas sebesar 7 juta ton pulp per tahun. Limbah pabrik pulp mengandung klorin dan bahan kimia beracun lainnya yang dapat memberikan dampak merugikan pada organisme-organisme akuatik.
Terdapat risiko yang lebih tinggi bagi dampak-dampak lingkungan ini, karena Analisis Dampak Lingkungan tidak menilai dampak perkebunan, dan juga tidak menilai dampak kumulatif dari 2 (apalagi 4) pabrik kertas besar yang saling bersebelahan. [note] tp://www.environmentalpaper.eu/wp-content/uploads/2017/03/170314-Pulp-Mill-Expansion-in-Brazil- discussion-document.pdf [/note] Lebih jauh lagi, berdasarkan Kantor Penuntut Umum, [note] http://www.prms.mpf.mp.br/servicos/sala-de-imprensa/noticias/2015/08/mpf-ms-ibama-deve-averiguar- impactos-cumulativos-de-empreendimentos-no-rio-parana [/note] Analisis Dampak Lingkungan Eldorado disetujui oleh otoritas yang tidak kompeten – Badan Lingkungan Hidup Provinsi (Imasul) – alih-alih Badan Federal (Ibama).
Eldorado Brasil memiliki sertifikasi FSC bagi sebagian besar perkebunannya, namun audit [note] http://fsc.force.com/servlet/servlet.FileDownload?file=00P3300000hq2VJEAY [/note] https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/terceirizados-da-eldorado-decretam-greve-mais-uma-vez/45191/ [/note] FSC khusus di tahun 2016 menemukan kalau Eldorado Brasil tidak berhasil untuk mengidentifikasi dengan benar area-area dengan Nilai Konservasi Tinggi dan untuk mendiskusikannya dengan pemangku kepentingan relevan. Eldorado tidak menyediakan peta dari area tempat pasokannya berasal. Sertifikat FSC akan kadaluwarsa pada November tahun ini dan pembaruannya akan bergantung kepada pemilik barunya. Ini bisa menjadi sulit bila pemilik barunya adalah perusahaan yang saat ini dikeluarkan dari FSC, seperti APP dan APRIL. Tidak memiliki sertifikasi FSC akan menyebabkan beberapa pembeli untuk beralih kepada pemasok lain, kemungkinan akan menurunkan pendapatan secara signifikan. Lebih jauh lagi, bila tidak memiliki sertifikat FSC akan membatasi pasar yang dapat dipasok oleh Eldorado atau APP, sekali lagi ini memiliki potensi untuk berdampak kepada kinerja keuangan perusahaan-perusahaan ini.
Eldorado juga telah terlibat di dalam konflik tenaga kerja, di mana para pekerja mogok [note] karena kondisi kerja yang buruk, dan karena ditolak haknya untuk membentuk serikat, yang mana bertentangan dengan standar tenaga kerja Inti ILO [note] https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/justica-manda-eldorado-reintegrar-funcionario-demitido-ha-3- meses/89756/ [/note]
Konflik tenaga kerja dapat berdampak kepada kinerja keuangan perusahaan. Mogok kerja mendatangkan biaya yang signifikan karena hilangnya produksi dan pendapatan di saat yang sama biaya tetap masih tetap ada. Lebih jauh lagi, resolusi konflik juga dapat memberikan biaya, dan ketika resolusi hanya dicapai di pengadilan, ini juga dapat berakhir dengan denda karena bertentangan dengan standar atau hukum ketenagakerjaan.
Intinya, Eldorado menderita oleh berbagai isu lingkungan, sosial dan tata kelola yang dapat berdampak parah kepada kelayakan keuangan perusahaan bila pemilik barunya tidak mengatasi isu-isu ini dengan baik.
Kesimpulan
Akuisisi Eldorado oleh sebuah pihak dengan rekam jejak yang buruk dalam perlindungan lingkungan hidup, dalam mempertimbangkan hak azasi manusia, atau patuh kepada standar-standar tata kelola fundamental, dapat mendatangkan bencana.
Pemodal potensial didorong untuk meminta pembeli akan menerapkan pengelolaan praktik-praktik terbaik dan memelihara standar dan praktik ESG tingkat tinggi.
Kami mendesak Bank Sentral Brasil, Dewan Administratif Brasil untuk Pertahanan Ekonomi (Conselho Administrativo de Desas Econômica – CADE), Komisi Pengawas Sekuritas dan Perdagangan Saham (Comissão de Valores Mobilíarios – CVM) dan otoritas berkompeten lainnya untuk terlibat dengan pemangku kepentingan finansial yang terlibat untuk meminta kriteria ESG yang diterapkan.
1 http://www.eldoradobrasil.com.br/Institucional/Quem-Somos/vanguarda20
2 http://www.valor.com.br/international/news/5078116/asia-pulp-paper-poised-buy-eldorado-brasil; http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app; http://www.valor.com.br/empresas/5096624/app-oferece-r-15-bi-pela-eldorado https://www.reuters.com/article/us-global-oil-idUSKCN1BB01Z
3 http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app
4 RAN 2017, Every investor has a responsibility (Setiap Investor memiliki sebuah tanggung jawab). Available at: https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/1497 287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352
5 http://www.scmp.com/business/companies/article/1780979/us14b-default-forgotten-indonesia-billionaire- widjaja-sells-debt
6 http://wwf.panda.org/wwf_news/?159162/APPs-forest-clearing-linked-to-12-years-of-human-and-tiger- deaths-in-Sumatra
7 https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/ 1497287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352
8 https://ic.fsc.org/en/what-is-fsc/what-we-do/dispute-resolution/current-cases/asia-pulp-and-paper-app
9 http://www.foresthints.news/app-business-transformation-not-substantial-monitoring-finds
10 http://www.rainforest-alliance.org/sites/default/files/uploads/4/150205-Rainforest-Alliance-APP- Evaluation-Report-en.pdf
11 https://www.asiapulppaper.com/system/files/170313_fcp_progress_updates_-_march2017v2_0.pdf
12 https://www.asiapulppaper.com/sustainability/vision-2020/forest-conservation-policy
13 http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
14 Jangan bingung dengan China Paper Holdings karena apa yang telah dilakukan oleh banyak media. China Paper Holdings adalah sebuah perusahaan induk yang didirikan di Bermuda. Sebelumnya dijual pada Bursa Saham Singapura. Namun demikian, setelah api pada operasinya di China, rekaman keuangannya kemudian hilang. Dengan demikian tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada bursa saham, dan kemudian ditangguhkan. Satu-satunya anak perusahaan dengan aktivitas usaha apapun adalah anak perusahaannya di China. Anak perusahaan ini sekarang juga ditangguhkan di China. Holding company ini nampaknya masih beroperasi, walaupun tidak jelas dimana lokasi operasi-operasinya..
15 https://www.reuters.com/article/us-eldorado-m-a-china-paper-idUSKCN1B31P0
16 https://www.bloomberg.com/research/stocks/private/snapshot.asp?privcapId=10945484
17 Qi Xin Bao (2017, August), China Chengtong, p. 1.
18 http://www.zwt.com.cn/contents/2/1.html
19 China Pulp & Paper (2017, January 12), “Investments exceed US$ 1 billion, China Paper plans to build 700,000 ton per annum capacity pulp mill in Russia”, online: http://www.chinapulp.cn/news/201701/12/zx11426.html, viewed in August 2017.
20 Qi Xin Bao (2017, August), China Paper Investment – Risks, p. 1.
21 http://markets.businessinsider.com/news/stocks/r-china-paper-mulls-5-bln-bid-for-brazils-eldorado– media-2017-8-1002279006; http://economia.estadao.com.br/noticias/geral,fibria-quer-se-unir-a-arauco- na-eldorado,70001869890
22 https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN
23 http://awsassets.panda.org/downloads/brazilpulppapercasestudy_pdf.pdf;
http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/brazil-the-monoculture-eucalyptus-company- veracel-celulosa-is-trying-to-evict-indigenous-pataxo-from-their-land/; http://quote.morningstar.com/stock-filing/Annual-Report/2015/12/31/t.aspx?t=:FBR&ft=20- F&d=aa4b39ba1af27c1f40724129528ff5fd
24 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/brazil-rising-profits-do-not-prevent-layoffs- fibria-celulosa-in-mato-grosso-do-sul/
25 https://news.mongabay.com/2017/03/pressure-over-water-in-brazil-puts-pulp-industry-in-the- spotlight/?n3wsletter&utm_source=Mongabay+Newsletter&utm_campaign=70c741f76a- newsletter_2017_03_02&utm_medium=email&utm_term=0_940652e1f4-70c741f76a-67232023
26 https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN
27 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/
28 http://resumen.cl/2015/05/agua-para-quien-escasez-hidrica-y-plantaciones-forestales-en-la-provincia-de- arauco-un-informe-develador-y-por-eso-indignante/
29 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/
30 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/uruguay-the-ence-arauco-and-stora-ensos- eucalyptus-and-pulp-fairytales/
31 http://www.noalducto.com/
32 http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app
33 https://www.banktrack.org/company/april#popover=issues
34 http://www.bbc.com/news/world-latin-america-40109232
35 http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-jbs-fine-idUSKBN1910MW
36 http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-idUSKBN16F25W
37 http://www.fibria.com.br/r2015/en/multas-acoes-judiciais.html
38 http://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/library/sitelist.pdf
39 http://whc.unesco.org/en/list/999
40 http://www.environmentalpaper.eu/wp-content/uploads/2017/03/170314-Pulp-Mill-Expansion-in-Brazil- discussion-document.pdf
41 http://www.prms.mpf.mp.br/servicos/sala-de-imprensa/noticias/2015/08/mpf-ms-ibama-deve-averiguar- impactos-cumulativos-de-empreendimentos-no-rio-parana
42 http://fsc.force.com/servlet/servlet.FileDownload?file=00P3300000hq2VJEAY
43 https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/terceirizados-da-eldorado-decretam-greve-mais-uma-vez/45191/
44 https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/justica-manda-eldorado-reintegrar-funcionario-demitido-ha-3- meses/89756/
POJK yang baru mengenai Keuangan Berkelanjutan
/0 Comments/in Berita, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaRegulasi Indonesia tentang Keuangan Berkelanjutan yang baru merupakan langkah penting di dalam mengatasi peran bank dan investor di dalam kerusakan hutan dan pelanggaran hak azasi manusia
18 Agustus 2017
Pada bulan Juli 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang baru mengenai Keuangan Berkelanjutan. POJK ini disambut dengan baik dan merupakan langkah penting di dalam mengatasi peran bank dan investor di dalam kerusakan hutan dan pelanggaran hak azasi manusia di Indonesia.
Read the briefing
Follow us on Facebook
Newsletter
TuK INDONESIA
Jl Tebet Utara IIC No.22 A RT 004 RW 001
Kelurahan Tebet Timur
Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan 12820
Telepon : 021-22909920
Email: [email protected]