Pelatihan Monitoring Industri Berisiko Tinggi
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kebijakan, Kegiatan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Publikasi, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaPernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaSiaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.
“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.
Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu.
Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi.
Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.
Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.
Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.
Baca Juga :
– LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
–KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Siaran Pers – Koalisi ResponsiBank Indonesia
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Kebijakan, Kegiatan, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaKoalisi ResponsiBank Indonesia
Menilai Komitmen Penerapan Keuangan Berkelanjutan
pada Perbankan di Indonesia Masih Rendah
Jakarta, Jumat, 28 Juli 2023 – Koalisi ResponsiBank Indonesia sebagai koalisi masayrakat sipil yang bekerja untuk mendorong kebijakan dan praktik pembiayaan yang bertanggungjawab kembali merilis laporan terkait kinerja perbankan dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Laporan ke lima kali ini dilakukan untuk menilai kinerja perbankan dari berbagai aspek sesuai panduan/metodologi keuangan internasional yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International (FFGI). Penilaian ini dilakukan pada 11 bank di Indonesia, yang mewakili kelompok bank umum/komersial terbesar di Indonesia baik dalam hal besaran total aset maupun modal inti. Ke-11 bank tersebut adalah Bank BNI, BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, BJB, Permata Bank, DBS, dan HSB.
Terdapat empat bank yang mengalami penurunan peringkat yakni Maybank, BNI, Bank Permata dan BJB dibandingkan penilaian di tahun 2020. Dari keempat bank tersebut BNI mengalami penurunan paling signifikan, yakni dari peringkat lima, menjadi peringkat sembilan di tahun 2022. BNI tidak mendapatkan skor pada 9 tema yang dinilai karena dalam dokumen yang dipublikasikan oleh BNI tidak ditemukan pengungkapan atas informasi ataupun kebijakan terkait.
Meskipun terjadi peningkatan komitmen maupun kebijakan dari aspek lingkungan, sosial dan tata kelola, namun tidak cukup memuaskan karena masih berada dalam kategori “sangat kurang” dan “kurang”. “Memang sudah terdapat kemajuan dalam kebijakan keberlanjutan perbankan di Indonesia, namun skornya masih sangat rendah dan belum bergerak signifikan. Bank-bank di Indonesia belum berani untuk menetapkan target-target yang tinggi,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dan Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia.
Contohnya pada tema perubahan iklim, poin tertinggi masih pada rentang nilai cukup (4,0). Beberapa bank bahkan mendapatkan skor 0,0 pada tema ini seperti BNI, BCA, dan BJB. Ketiga bank ini masih belum memiliki target terukur untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), baik untuk kegiatan operasional maupun pembiayaannya. Meskipun beberapa bank sudah mulai bergerak untuk mendukung target Net Zero Emisison, namun sayangnya belum ada komitmen untuk menghentikan portofolio ke sektor batu bara. Sebagai contoh BRI meskipun telah memiliki daftar pengecualian pada aset pembiayaan yang terkait dengan bahan bakar fosil, namun tidak ditemukan komitmen/kebijakan tertulis terkait hal tersebut.
“Sektor keuangan berperan penting dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, untuk itu sudah saatnya lembaga keuangan memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang dilakukan. Lebih lanjut peran OJK disini sangat penting, sehingga OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan menerapkan taksonomi hijau” pungkas Maftuchan.
Dwi Sawung, Pengkampanye infrastruktur dan tata ruang WALHI menambahkan, “Laporan keberlanjutan bank baru menampilkan pengurangan emisi dari kegiatan operasionalnya, belum menunjukkan lebih nyata berapa pembiayaan bank terhadap sektor yang memiliki emisi yang tinggi seperti batubara, pembangkit fosil dan perkebunan yang membuka hutan. Rencana pengurangan ataupun kapan menghentikan pembiayaan terhadap energi kotor yang menyebabkan perubahan iklim juga belum terlihat jelas. Dari situ terlihat komitmen perbankan terhadap perubahan iklim masih lemah”.
Lebih lanjut, Maftuchan menjelaskan tema inklusi keuangan dan perlindungan konsumen kembali mendapatkan rata-rata nilai paling tinggi dalam penilaian. Bank-bank di Indonesia masih cenderung fokus pada meningkatkan inklusi keuangan melalui digitalisasi dan penyediaan layanan keuangan tanpa bank. Di sisi lain, pada tema HAM dan kesetaraan gender, banyak bank masih masuk dalam kategori nilai paling rendah.
Komitmen perbankan terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan anti diskriminasi masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam kaitannya dengan kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hanya HSBC, CIMB Niaga dan BCA yang menunjukkan komitmen untuk mematuhi HAM melalui kebijakannya. Namun pada pemeringkatan tahun 2022 ini Bank BNI, Mandiri, Danamon, BJB dan Permata Bank belum memiliki kebijakan terkait kepatuhan terhadap prinsip HAM.
Harapannya, bank perlu memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang lebih bertanggungjawab dengan menetapkan kriteria, safeguarding, hingga uji tuntas untuk pinjaman pada sektor perekonomian yang berisiko tinggi. Bank juga perlu mengakselerasi pembiayaan ke sektor hijau untuk mendukung implementasi taksonomi hijau dan berkontribusi pada perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
TuK Indonesia menyampaikan bahwa praktik perbankan di Indonesia ini masih jauh dari aspek kehati-hatian. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya 213 unit usaha perkebunan sawit yang menanam di dalam kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasar SK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahap XI Nomor 196/2023 tentang kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di Bidang kehutanan. Perusahaan-perusahaan tersebut berafiliasi dengan berbagai grup perusahaan perkebunan skala besar yang banyak diberikan fasilitas pembiayaan oleh bank. Lebih jauh, berdasar data pemerintah Kalimantan Tengah, dari 213 hanya 71 perusahaan yang memiliki izin di bidang perkebunan, sisanya 142 perusahaan tidak berizin. Temuan ini memunculkan fakta bahwa perbankan masih abai dalam melakukan penilaian yang lebih komprehensif terkait pembiayaan kepada industri perkebunan sawit yang merisikokan hutan di Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengatur perbankan dapat mengakselerasi implementasi keuangan berkelanjutan dan pembiayaan hijau dengan menerapkan taksonomi hijau secara mandatory. OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan. Lebih lanjut, untuk memastikan implementasi taksonomi hijau perlu adanya gugus tugas yang terdiri atas seluruh stakeholder termasuk CSO dan pihak swasta.
“OJK harus memperkuat pengawasan utamanya berani menyemprit bank-bank yang masih membiayai perusahaan-perusahaan yang telah melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan. Tentu saja jika pengawasan ini tidak dilakukan akan memunculkan dampak risiko reputasi kepada bank itu sendiri. Kedua, OJK segera membentuk task force keuangan berkelanjutan yang multipihak dengan mengutamakan partisipasi dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya alam. Ketiga, Pemerintah khususnya KLHK dapat melakukan upaya hukum atas temuan tanaman sawit di dalam kawasan hutan tersebut”, kata Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.
Laporan lengkap terkait Pemeringkatan Bank dapat diunduh di sini:
Narahubung:
Dwi Rahayu Ningrum ([email protected]; 085212696987)
#TuKIndonesia #WALHI
#HSBC #CIMB #BCA
#BNI #Mandiri #Danamon #BJB #PermataBank
Baca Juga : MUFG – KOALISI MASYARAKAT SIPIL MENUNTUT BANK MUFG DAN DANAMON
Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung
/0 Comments/in Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK IndonesiaUnjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung.
Pasca Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung pada Rabu 05 Juli 2023, Kepala Desa Tiberias, Abner Patras berdiskusi dengan TuK INDONESIA mengenai Kasus sengketa Petani Desa Tiberias Kec. Poigar Kab. Bolmong Sulawesi Utara dengan PT Malisya Sejahtera.
PT Malisya Sejahtera merupakan perusahaan milik Indofood dari Grup Salim. PT Malisya Sejahtera beroperasi di atas tanah garapan Petani Desa Tiberias sejak tahun 2001. Pada tahun tersebut PT Malisya Sejahtera mendapatkan Hak Guna Usaha padahal belum berbadan hukum.
Pada tahun 2017, Petani Tiberias yang dieksklusi dari lahan garapannya melakukan aksi protes yang kemudian diintimidasi dan dibungkam polisi dari dua Polres dan Brimob yang didukung Kodim Bolmong. Pada tahun itu juga, Petani Tiberias ditangkap dan dipenjara, yang secara bersamaan dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran 70 rumah oleh karyawan-karyawan PT Malisya Sejahtera serta tanaman musiman milik petani dirusak. Petani diproses hukum dengan tuduhan mencuri hasil tanaman yang adalah tanaman yang ditanam oleh Petani Tiberias sendiri. Pada kasus tersebut, putusan pidana menyatakan bahwa dakwaan melakukan pencurian dan memasuki HGU secara tidak sah tidak terbukti.
Secara paralel kemudian Petani Tiberias mengajukan gugatan perdata di tingkat Pengadilan Negeri Kotamobagu. Gugatan tersebut dikabulkan yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Manado, meski kemudian di tingkat kasasi gugatan ditolak dengan alasan tidak memiliki alas hak.
Tahun 2022 menjadi babak baru di mana Petani Tiberias kembali dilaporkan PT Malisya Sejahtera dengan dakwaan yang sama sebagaimana pada tahun 2017.
Kasus yang berkepanjangan dan berulang tersebut menggerakkan Abner Patras yang juga diproses pidana untuk melakukan aksi tunggal.
“Saya sebagai Kepala Desa Tiberias yang juga diproses pidana dengan hukum yang tidak memenuhi akal sehat, datang sendirian ke Jakarta mewakili Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, melakukan aksi unjuk rasa damai tunggal. Hendak mengetuk hati nurani peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kami menyerukan Ketua MA dan Para Hakim Agung yang dimuliakan agar perkara-perkara tersebut diadili sesuai hukum,” teriak Abner Patras.
Pada kesempatan tersebut, praktik Mafia Tanah dan Mafia Peradilan menjadi sorotan mengingat akar masalah kasus sengketa dan proses peradilan yang dihadapi para Petani Tiberias.
Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Buku, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Kebijakan, Kegiatan, laporan, Liputan Kegiatan, Makalah, Media, Panduan, Pernyataan, Publikasi, Siaran Pers /by TuK IndonesiaJakarta, Sabtu, 24 Juni 2023. TuK INDONESIA menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa Tahun 2023 sebagai forum pertemuan untuk merespon dan memutuskan situasi khusus yang dihadapi oraganisasi.
Dalam upaya menjawab dinamika organisasi dan meneruskan perjuangan transformasi berkeadilan, peran pemimpin dalam organisasi menjadi penting dalam menjalankan fungsi koordinasi dan manajerial, serta fungsi penting lainnya. Forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023 memutuskan dan menetapkan beberapa hal yang menjadi concern organisasi dan salah satunya adalah menetapkan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA Periode 2023-2026. Linda Rosalina, S.E.,M.Si, dipilih dan ditetapkan dalam forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023.
Pernyataan Visi:
Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan sosial oleh negara dan aktor non- negara dalam bidang kebijakan, program dan kegiatan agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam.
“Terima kasih atas kesepakatannya untuk memilih saya bersama TuK INDONESIA sampai tahun 2026 nanti. Saya harap kita bisa bersama-sama memajukan TuK INDONESIA. Kedepan saya membayangkan TuK INDONESIA lebih membumi sebagai pionir isu keuangan berkelanjutan di Indonesia mengingat isu keuangan itu sangat kritis. Mari sama-sama kita membangun TuK INDONESIA”, Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Isu, Keadilan Sosial, Kebijakan, laporan, Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaPencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan

Laporan Evaluasi dan Pencabutan Izin – Mei
Laporan Kegagalan Inisiatif Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan Hak Rakyat dan Pemulihan Lingkungan
Di awal pemerintahan Jokowi pada priode pertama, alokasi 12,7 juta hektar lahan lewat program Perhutanan Sosial dan TORA adalah salah satu target Nawacita. Bahkan program ini terus berjalan hingga periode kedua. Namun, hingga saat ini capaian PS dan TORA baru sekitar 40%. Padahal banyak inisiatif yang coba dilakukan, misalnya saja Evaluasi dan Pencabutan izin yang dilakukan oleh pemerintah pada januari 2022 lalu. Hingga saat ini, tidak ada tindakan lanjutan untuk mengalokasikan eks-eks izin yang dicabut kepada rakyat sebagai upaya pencapaian target Nawacita tersebut. Walhi dan Koalisi menyatakan bahwa Inisiatif Evaluasi dan Pencabutan Izin yang dilakukan Rezim Jokowi telah gagal bagi pemulihan hak rakyat dan pemulihan lingkungan.
Pada 6 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengadakan Konferensi Pers terkait dengan pencabutan izin dan hak atas tanah. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menjelaskan alasan pencabutan ketiga jenis izin. Pertama, 2078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut karena tidak pernah mengirimkan rencana kerja. Kedua, 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 ha dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan. Ketiga, HGU Perkebunan seluas 34.448 Ha dicabut karena ditelantarkan.1 Inisiatif ini dinilai banyak pihak sebagai inisiatif yang cukup baik sebagai bentuk langkah korektif, walaupun minim informasi dapat diakses oleh publik. Salah satu SK pencabutan izin yang dapat diakses oleh publik adalah SK Menteri LHK No. 01 Tahun 2022 yang terbit pada tanggal 5 Januari 2022. SK tersebut menerangkan jenis izin konsesi Kawasan Hutan yang menjadi objek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan izin, diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Jenis Perizinan yang Dicabut :
- Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami;
- PBPH atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu tanaman budi daya;
- Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (antara lain pertambangan, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, kelistrikan);
- Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, merupakan perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi menjadi bukan kawasan hutan serta tukar menukar kawasan hutan; dan
- Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak/ Izin Pengusahaan Pariwisata Alam merupakan pemanfaatan berupa izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam pada Kawasan Konservasi
Selengkapnya dapat dibaca pada laporan berikut:
Link terkait : Walhi
#TuKIndonesia
#walhi
#TORA
#nawacita
#AliansiMasyarakatAdatNusantara
#SawitWatch
Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong
/0 Comments/in Buku, Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial, Kebijakan, Lingkungan Hidup, Pernyataan, Publikasi /by TuK INDONESIAKonflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan emas PT. Trio Kencana di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah mencapai puncaknya pada 12 Februari 2022. Masyarakat yang menolak hadirnya aktivitas pertambangan, karena khawatir akan mempengaruhi lingkungan dan ekosistem pertanian. Saat itu masyarakat melakukan protes yang berujung pada pembubaran massa oleh aparat kepolisian gabungan dari Polres Parimo dan Polda Sulawesi Tengah. Akibat kejadian tersebut menyebabkan tewasnya seorang warga ER (21 tahun) akibat tembakan aparat. Selain itu, terdapat 59 orang ditangkap oleh pihak kepolisian, hanya saja satu orang dibebaskan di tingkat Polsek Kasimbar, sehingga yang dibawa ke tingkat Polda Sulawesi Tengah sebanyak 58 orang.
Konflik tersebut merupakan latar belakang yang mendorong diinisiasinya Penelitian “Keberterimaan Sosial dan Persepsi Masyarakat terhadap Usaha Pertambangan serta Dampaknya” (Studi Kasus Pertambangan Emas di Parigi Moutong), Studi ini kemudian dikembangankan menjadi rekomendasi kebijakan dalam bentuk “Policy Brief Perlindungan Lingkungan & Pangan di Kab. Parigi Moutong”.
secara lengkap, policy brief tersebut dapat diunggah pada tautan berikut : Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong
Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
/0 Comments/in Artikel, Berita, Buku, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, Lingkungan Hidup, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK INDONESIAPendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.
Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.
Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.
Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.
Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.
Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.
Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Isu, Keadilan Sosial, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAKontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.
Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.
“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”
“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi.
Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.
Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah.
***
Narahubung:
Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257
Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458
Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091
Follow us on Facebook
Newsletter
TuK INDONESIA
Jl Tebet Utara IIC No.22 A RT 004 RW 001
Kelurahan Tebet Timur
Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan 12820
Telepon : 021-22909920
Email: [email protected]