RSPO Tidak Kredibel dan Transparan dalam Mengambil Keputusan

Eksistensi RSPO Tidak Relevan: 11 Tahun Melakukan Pengaduan Ditanggapi dengan Penolakan

Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik

Siaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik

Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan. 

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST). 

Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.

“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.

Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu. 

Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi. 

Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap  I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.

Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.

Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.

 

 

Baca Juga :
LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA

Siaran Pers – Koalisi ResponsiBank Indonesia

Koalisi ResponsiBank Indonesia

Menilai Komitmen Penerapan Keuangan Berkelanjutan

pada Perbankan di Indonesia Masih Rendah

Koalisi ResponsiBank Indonesia

Jakarta, Jumat, 28 Juli 2023 – Koalisi ResponsiBank Indonesia sebagai koalisi masayrakat sipil yang bekerja untuk mendorong kebijakan dan praktik pembiayaan yang bertanggungjawab kembali merilis laporan terkait kinerja perbankan dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.

Laporan  ke lima kali ini dilakukan  untuk menilai kinerja perbankan dari berbagai aspek sesuai panduan/metodologi keuangan internasional yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International (FFGI). Penilaian ini dilakukan pada 11 bank di Indonesia, yang mewakili kelompok bank umum/komersial terbesar di Indonesia baik dalam hal besaran total aset maupun modal inti. Ke-11 bank tersebut adalah Bank BNI, BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, BJB, Permata Bank, DBS, dan HSB.

Terdapat empat bank yang mengalami penurunan peringkat yakni Maybank, BNI, Bank Permata dan BJB dibandingkan penilaian di tahun 2020. Dari keempat bank tersebut BNI mengalami penurunan paling signifikan, yakni dari peringkat lima, menjadi peringkat sembilan di tahun 2022. BNI tidak mendapatkan skor pada 9 tema yang dinilai karena dalam dokumen yang dipublikasikan oleh BNI tidak ditemukan pengungkapan atas informasi ataupun kebijakan terkait.

Meskipun terjadi peningkatan komitmen maupun kebijakan dari aspek lingkungan, sosial dan tata kelola, namun tidak cukup memuaskan karena masih berada dalam kategori “sangat kurang” dan “kurang”.  “Memang sudah terdapat kemajuan dalam kebijakan keberlanjutan perbankan di Indonesia, namun skornya masih sangat rendah dan belum bergerak signifikan. Bank-bank di Indonesia belum berani untuk menetapkan target-target yang tinggi,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dan Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia.

Contohnya pada tema perubahan iklim, poin tertinggi masih pada rentang nilai cukup (4,0). Beberapa bank bahkan mendapatkan skor 0,0 pada tema ini seperti BNI, BCA, dan BJB. Ketiga bank ini masih belum memiliki target terukur untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), baik untuk kegiatan operasional maupun pembiayaannya. Meskipun beberapa bank sudah mulai bergerak untuk mendukung target Net Zero Emisison, namun sayangnya belum ada komitmen untuk menghentikan portofolio ke sektor batu bara. Sebagai contoh BRI meskipun telah memiliki daftar pengecualian pada aset pembiayaan yang terkait dengan bahan bakar fosil, namun tidak ditemukan komitmen/kebijakan tertulis terkait hal tersebut.

“Sektor keuangan berperan penting dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, untuk itu sudah saatnya lembaga keuangan memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang dilakukan. Lebih lanjut peran OJK disini sangat penting, sehingga OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan menerapkan taksonomi hijau” pungkas Maftuchan.

Dwi Sawung,  Pengkampanye infrastruktur dan tata ruang WALHI menambahkan, “Laporan keberlanjutan bank baru menampilkan pengurangan emisi dari kegiatan operasionalnya, belum menunjukkan lebih nyata berapa pembiayaan bank terhadap sektor yang memiliki emisi yang tinggi seperti batubara, pembangkit fosil dan perkebunan yang membuka hutan. Rencana pengurangan ataupun kapan menghentikan pembiayaan terhadap energi kotor yang menyebabkan perubahan iklim juga belum terlihat jelas. Dari situ terlihat komitmen perbankan terhadap perubahan iklim masih lemah”.

Lebih lanjut, Maftuchan menjelaskan tema inklusi keuangan dan perlindungan konsumen kembali mendapatkan rata-rata nilai paling tinggi dalam penilaian. Bank-bank di Indonesia masih cenderung fokus pada meningkatkan inklusi keuangan melalui digitalisasi dan penyediaan layanan keuangan tanpa bank. Di sisi lain, pada tema HAM dan kesetaraan gender, banyak bank masih masuk dalam kategori nilai paling rendah.

Komitmen perbankan terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan anti diskriminasi masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam kaitannya dengan kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hanya HSBC, CIMB Niaga dan BCA yang menunjukkan komitmen untuk mematuhi HAM melalui kebijakannya. Namun pada pemeringkatan tahun 2022 ini Bank BNI, Mandiri, Danamon, BJB dan Permata Bank belum memiliki kebijakan terkait kepatuhan terhadap prinsip HAM.

Harapannya, bank perlu memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang lebih bertanggungjawab dengan menetapkan kriteria, safeguarding, hingga uji tuntas untuk pinjaman pada sektor perekonomian yang berisiko tinggi. Bank juga perlu mengakselerasi pembiayaan ke sektor hijau untuk mendukung implementasi taksonomi hijau dan berkontribusi pada perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

TuK Indonesia menyampaikan bahwa praktik perbankan di Indonesia ini masih jauh dari aspek kehati-hatian. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya 213 unit usaha perkebunan sawit yang menanam di dalam kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasar SK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahap XI Nomor 196/2023 tentang kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di Bidang kehutanan. Perusahaan-perusahaan tersebut berafiliasi dengan berbagai grup perusahaan perkebunan skala besar yang banyak diberikan fasilitas pembiayaan oleh bank. Lebih jauh, berdasar data pemerintah Kalimantan Tengah, dari 213 hanya 71 perusahaan yang memiliki izin di bidang perkebunan, sisanya 142 perusahaan tidak berizin. Temuan ini memunculkan fakta bahwa perbankan masih abai dalam melakukan penilaian yang lebih komprehensif terkait pembiayaan kepada industri perkebunan sawit yang merisikokan hutan di Indonesia.

Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengatur perbankan dapat mengakselerasi implementasi keuangan berkelanjutan dan pembiayaan hijau dengan menerapkan taksonomi hijau secara mandatory. OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan. Lebih lanjut, untuk memastikan implementasi taksonomi hijau perlu adanya gugus tugas yang terdiri atas seluruh stakeholder termasuk CSO dan pihak swasta.

OJK harus memperkuat pengawasan utamanya berani menyemprit bank-bank yang masih membiayai perusahaan-perusahaan yang telah melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan. Tentu saja jika pengawasan ini tidak dilakukan akan memunculkan dampak risiko reputasi kepada bank itu sendiri. Kedua, OJK segera membentuk task force keuangan berkelanjutan yang multipihak dengan mengutamakan partisipasi dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya alam. Ketiga, Pemerintah khususnya KLHK dapat melakukan upaya hukum atas temuan tanaman sawit di dalam kawasan hutan tersebut”, kata Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.

 

Laporan lengkap terkait Pemeringkatan Bank dapat diunduh di sini:

bit.ly/PemeringkatanBank2022

Narahubung:

Dwi  Rahayu Ningrum ([email protected]; 085212696987)

#TuKIndonesia #WALHI
#HSBC #CIMB #BCA
#BNI #Mandiri #Danamon #BJB #PermataBank

Baca Juga : MUFG – KOALISI MASYARAKAT SIPIL MENUNTUT BANK MUFG DAN DANAMON

Ratusan Warga Demo Tuntut Plasma Sawit PT Bangun Jaya Alam Permai

Jakarta, 10 Juli 2023. Terjadinya demo di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah antara warga dengan aparat kepolisan pada 7 Juli 2023 mengakibatkan sejumlah warga luka-luka. Bentrok antara warga dan aparat karena janji PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP) yang tidak ditepati. Perusahaan sawit yang berafiliasi dengan Best Agro International ini tidak kunjung melakukan realisasi pembangunan kebun plasma untuk warga.

Diolah dari laporan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2022, PT BJAP baru membangun kebun plasma seluas 79,59 Ha dengan status tanaman belum menghasilkan. Angka ini jauh dari target pembangunan plasma yang wajib bagi perusahaan.

Perusahaan ini sebelumnya merupakan eks PT Mitra Unggul Tama Perkasa yang berlokasi di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Mendapatkan izin lokasi pada 2006 seluas 10.000 Ha dan 2007 seluas 13.500 Ha. Selang beberapa bulan kemudian, pada 2007 perusahaan ini mendapatkan Izin Usaha Perkebunan seluas 14.750 Ha dari dua Izin Usaha Perkebunan (IUP) yakni IUP Nomor 525/319/EK/2007 dengan luas 13.500 ribu Ha dan IUP Nomor 525/320/EK/2007 dengan luas 1.250 Ha.

Sejak tahun 2008, PT BJAP baru mengantongi HGU seluas 1.240,41 Ha diatas lahan dengan IUP Nomor 525/319/EK/2007. Artinya, PT BJAP beroperasi secara legal hanya pada lahan seluas 1.240,41 Ha, dan PT BJAP beroperasi secara illegal diatas lahan seluas 13.509,59 Ha, ungkap Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

Berdasarkan penelusuran izin yang dilakukan TuK INDONESIA, penguasaan IUP dengan total luas 14.750 Ha, maka PT BJAP wajib membangun kebun masyarakat paling kurang 20% yaitu 2.950 Ha. Hal ini sesuai dengan kebijakan berikut: pertama, Permentan 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, pasal 11 ayat (1) yang berbunyi Perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budi daya (IUP-B), wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Kedua, Permentan 98/2013 perubahan dari Permentan 26/2007, pasal 15 ayat (1) berbunyi Perusahaan Perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 hektare atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20% dari luas areal IUP-B atau IUP. Ketiga, revisi UU 39/2014 tentang Perkebunan, pasal 58 yaitu Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

Hal lain, Linda juga menekankan kepada pemerintah untuk secara serius menelisik kepatuhan PT BJAP dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk objek seluas 14.750 Ha di Kabupaten Seruyan sebagaimana diatur dalam PMK 186/2019. “Bila Pemerintah hendak menargetkan optimalisasi penerimaan negara dari sektor perkebunan sawit, maka pastikan obyek dan subyek pajak dengan jelas. Oleh karena itu, selayaknya Pemerintah membuka diri dan memberikan akses yang cukup bagi masyarakat dalam memberikan informasi”, lanjut Linda.

Di Kabupaten Kotawaringin Barat, PT BJAP juga memiliki konsesi yang luas. Berdasarkan izin lokasi yang dimiliki, perusahan ini mendapatkan lahan seluas 25.500 Ha. Kemudian mendapatkan IUP pada 2005 seluas 9.500 Ha dan pada 2016 seluas 14.068,50 Ha. Perusahaan ini mendapatkan HGU sejak 1999 hingga 2008 dengan total luas 23.846,70 Ha. Dari total perizinan tersebut, tidak ada juga lahan untuk pembangunan plasma yang dialokasikan dan direalisasikan oleh PT BJAP.

Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng menyatakan bahwa PT BJAP secara terang benderang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di sektor perkebunan sawit. “Kami mengusulkan agar perusahaan ini dapat dilakukan pemberian sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan, perusahaan ini juga dapat dilakukan pencabutan izin oleh pemerintah daerah karena telah melakukan pelanggaran,” ungkap Bayu.

***

Kontak media:

  1. Kepala Dept Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, Abdul Haris (082191952025/[email protected])
  2. Manager Advokasi WALHI Kalimantan Tengah, Janang Firman Palanungkai (081351259183/[email protected])

Catatan:

  • Bila merujuk pada data tutupan sawit Disbun Kalteng (2020, 2022), realisasi plasma di Kalteng mencapai 14% yakni sekitar 200 ribu Ha. Setidaknya, terdapat 300 ribu Ha kebun masyarakat atau 20% dari total tutupan sawit Perusahaan Besar. Dengan demikian, masih terdapat Perkebunan Besar sawit di Kalteng belum memenuhi kewajibannya dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Tutupan Sawit di Kalimantan Tengah Tahun 2020 dan 2022. Sumber: Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022)

  • WALHI Kalteng melakukan pemantauan lapangan dan menemukan bahwa PT BJAP melakukan kegiatan usaha perkebunan di atas kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan juga tumpang tindih dengan areal izin Kehutanan IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini termuat dalam surat keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) SK.531/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2021 tentang penetapan data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan dibidang Kehutanan. Selain itu PT BJAP juga berkonflik dengan masyarakat di sekitar izinnya. Berdasarkan hal tersebut WALHI Kalteng “mendesak para pihak khusus nya Pemerintah daerah untuk serius dalam melakukan tindakan hukum sanksi administrasi dan pidana kepada perusahaan dan Pemerintah pusat dalam hal ini KLHK untuk tidak memberikan “pemutihan” pelepasan kawasan hutan kepada perusahaan dan yang paling penting adalah mengembalikan dan memberikan pengelolaan kawasan hutan yang ada kepada masyarakat sekitar dalam hal resolusi konflik yang terjadi.”

Lampiran Peta: Tumpang susun PT BJAP dengan “Kawasan Hutan”

Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023

Jakarta, Sabtu, 24 Juni 2023. TuK INDONESIA menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa Tahun 2023 sebagai forum pertemuan untuk merespon dan memutuskan situasi khusus yang dihadapi oraganisasi.

Dalam upaya menjawab dinamika organisasi dan meneruskan perjuangan transformasi berkeadilan, peran pemimpin dalam organisasi menjadi penting dalam menjalankan fungsi koordinasi dan manajerial, serta fungsi penting lainnya. Forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023 memutuskan dan menetapkan beberapa hal yang menjadi concern organisasi dan salah satunya adalah menetapkan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA Periode 2023-2026. Linda Rosalina, S.E.,M.Si, dipilih dan ditetapkan dalam forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023.

Pernyataan Visi:

Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan sosial oleh negara dan aktor non- negara dalam bidang kebijakan, program dan kegiatan agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam.

“Terima kasih atas kesepakatannya untuk memilih saya bersama TuK INDONESIA sampai tahun 2026 nanti. Saya harap kita bisa bersama-sama memajukan TuK INDONESIA. Kedepan saya membayangkan TuK INDONESIA lebih membumi sebagai pionir isu keuangan berkelanjutan di Indonesia mengingat isu keuangan itu sangat kritis. Mari sama-sama kita membangun TuK INDONESIA”, Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.

Kepatuhan Bank dalam Pengungkapan Aspek Lingkungan Masih Rendah

Jakarta, 8 Februari 2023. Evaluasi keuangan berkelanjutan 37 Bank oleh TuK INDONESIA menemukan bahwa lingkungan merupakan aspek yang paling rendah diungkapkan berdasarkan pedoman POJK 51/2017. Rendahnya pengungkapan ini menunjukkan dua hal. Pertama, ketidaktahuan Bank karena pengetahuan dan wawasan terhadap lingkungan rendah. Kedua, Bank memang tidak menjalankan aspek lingkungan.

Evaluasi keuangan berkelanjutan yang dilakukan TuK INDONESIA bersama Trisakti Sustainability Center  terhadap 37 Bank KBMI III, KBMI IV, dan asing tahun BUKU 2019-2021 bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bank menerapkan kepatuhan terhadap peraturan POJK 51/2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek sosial dan ekonomi merupakan aspek yang mendominasi pada setiap periode analisis. Pada Bank KBMI III dan IV pengungkapan paling tinggi yaitu aspek sosial dimana setiap tahunnya meningkat. Sementara pengungkapan Bank asing paling tinggi di aspek ekonomi. Dan, dari setiap kategori Bank pengungkapan aspek lingkungan menjadi yang terendah, meskipun setiap tahunnya telah menunjukkan adanya kenaikan.

Temuan lainnya terkait pengungkapan nilai 12 Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) dari 37 Bank tahun 2019-2021 dengan total sebesar Rp 62.054 miliar. Total KKUB ini mengalami kenaikan sejak 2019 hingga 2021 dan pengungkapannya didominasi oleh Bank KBMI III. Hal tersebut diduga karena terjadi merger (penggabungan) 3 Bank syariah, yaitu Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Peningkatan nilai KKUB tersebut juga menunjukkan awareness Bank akan roadmap keuangan berkelanjutan OJK semakin bertumbuh. Meskipun demikian, temuan kontrasnya adalah 4 Bank teratas di Indonesia yaitu BNI, BRI, Mandiri, dan BCA masih banyak menyalurkan pembiayaan pada sektor yang merisikokan hutan seperti sektor perkebunan sawit dan pulp and paper. BRI misalnya, pada 2021 portofolio pembiayaan UMKM sebesar Rp 543 juta, dan di tahun yang sama utang dan penjaminan diberikan kepada pulp and paper jauh lebih besar yaitu 1.401 juta dolar AS atau Rp 19,6 triliun.

Ahli Sustainable Finance, Rahmawati Retno Winarni, mengungkapkan bahwa dalam Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan, memang pembiayaan UMKM masuk ke dalam bagian keuangan berkelanjutan. Padahal, pembiayaan UMKM masih belum melihat dampak lingkungan, sehingga tidak bisa otomatis memasukannya sebagai pembiayaan berkelanjutan. Secara normatif, pembiayaan atas UMKM memang bisa mengurangi kesenjangan, namun sangat perlu dibandingkan dengan proporsi pembiayaan terhadap usaha berskala besar. Pembiayaan aspek lingkungan, ternyata sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan yang di klaim Bank, padahal masalah lingkungan dan sosial di Indonesia sangatlah besar dan beragam. “Temuan TuK INDONESIA ini menunjukkan hanya 0,8-0,9% dari pembiayaan yang diklaim berkelanjutan, maka di atas 99% pembiayaan di Indonesia bisa dikatakan tidak berkelanjutan, atau setidaknya agnostic terhadap keberlanjutan”, lanjut Rahmawati.

Linda Rosalina, Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, menyampaikan bahwa secara prosedural perbankan telah memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam POJK 51/2017 seperti disusunnya laporan keberlanjutan. Namun secara kualitas pengungkapannya masih buruk, sebab bank gagal mengungkapkan fakta-fakta materialitas ke dalam laporan keberlanjutannya.

“Selama ini, kelemahan praktik keuangan berkelanjutan salah satunya terletak pada kesadaran dan ketidakpahaman proses bisnis sektoral oleh Perbankan. Peningkatan kapasitas dalam membangun kesadaran dan pemahaman bahwa keberlanjutan bukanlah sebuah biaya menjadi hal yang dibutuhkan. Sebab kepedulian terhadap isu keberlanjutan justru akan menjadi daya saing tersendiri bagi perusahaan dan berpotensi untuk perusahaan tumbuh lebih besar di tengah tuntutan pasar akan keberlanjutan semakin tinggi”, ungkap Linda.

Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001, menjelaskan bahwa belum efektifnya implementasi keuangan berkelanjutan dikarenakan tiga hal. Pertama, orientasi Negara masih pada ekonomi pertumbuhan yang tercermin di dalam keputusan pembiayaan Bank yang mengutamakan keuntungan dibandingkan kinerja Environmental, Social, and Governance (ESG). Kedua, tidak ada kekuatan yang memaksa soal perhatian perbankan dan Lembaga Jasa Keuangan terhadap ESG. Ketiga, penegakan hukum lingkungan yang tidak efektif. Atas situasi tersebut, Keraf menawarkan kedepan adalah seluruh komponen masyarakat mengambil langkah untuk memperkuat peran OJK dalam mengawal seluruh implementasi kebijakan keuangan berkelanjutan. Dengan catatan, OJK juga harus membuka diri untuk memperkuat perannya dengan melibatkan masyarakat sipil seperti terlibat di dalam Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan dalam memastikan konsistensi implementasi keuangan berkelanjutan.

Dari hasil evaluasi keuangan berkelanjutan, TuK INDONESIA merekomendasikan beberapa hal. Pertama, OJK perlu melakukan revisi Pedoman Teknis bagi Bank atas implementasinya untuk memperjelas bahwa pengungkapan oleh bank harus fokus pada seluruh dampak ESG dari pembiayaan yang diberikan untuk membiayai kegiatan operasional nasabah di tingkat grup perusahaan. Kedua, melakukan revisi POJK No. 18/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan memasukkan pasal tentang pengelolaan risiko ESG. Ketiga, perlu juga dibentuk multi-stakeholder forum yang mengutamakan partisipasi pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif eksploitasi sumber daya alam.

***

Narahubung:

  1. Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, Linda Rosalina ([email protected], 081219427257)
  2. Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001, Dr. A. Sonny Keraf ([email protected])
  3. Ahli Sustainable Finance, Rahmawati Retno Winarni ([email protected])

Materi narasumber terdapat pada tautan berikut: Evaluasi_Keuangan_Berkelanjutan_LR_rev_compressed

TuK INDONESIA Temukan 72% Pencabutan Izin Konsesi Layak dari Aspek Lingkungan

Jakarta, 5 Januari 2023. Pencabutan izin konsesi kawasan hutan telah berjalan satu tahun. Dalam rentang waktu tersebut, Pemerintah Indonesia belum juga menunjukkan tanda-tanda keseriusan dalam melakukan penataan ulang lahan kawasan hutan.

Pada saat mengumumkan pencabutan izin, Presiden didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan lahan-lahan yang telah dicabut izinnya akan dialihkan kepada warga, komunitas, organisasi lainnya untuk digunakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Tidak hanya itu, pencabutan izin tersebut ditujukan untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang terus mengalami degradasi dan deforestasi yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, mengatakan bahwa pencabutan izin ini harusnya menjadi langkah awal dalam melakukan penataan terhadap industri kehutanan di Indonesia. Namun, tidak dalam perencanaan dan pelaksanaan yang baik sehingga berdampak pada tidak dapat dieksekusinya lahan kawasan hutan yang telah dilakukan pencabutan. Bahkan perusahaan berpeluang besar untuk melakukan gugatan hukum terhadap Negara.

Penelitian TuK INDONESIA menemukan kebijakan pencabutan izin konsesi kehutanan ini harusnya bisa menjadi langkah besar dalam perbaikan penataan lingkungan hidup. Dalam hasil skoring fungsi kawasan hutan menunjukkan bahwa pencabutan izin layak dari aspek lingkungan. Sebab, sebesar 72% areal konsesi yang dicabut 2022 dan dievaluasi merupakan areal dengan fungsi hutan lindung (HL) dan fungsi hutan produksi terbatas (HPT) yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit. Areal tersebut juga dominan pada kelas tanah dengan tingkat kepekaan sangat tinggi dan dalam kelas kelerengan sangat curam. Hal ini mengindikasikan kerentanan bencana ekologis pada kawasan–kawasan konsesi tersebut.

Faktualnya, izin konsesi kawasan hutan yang telah dicabut telah beralih menjadi perkebunan sawit dan masih beroperasi hingga kini. Sebagai contoh PT Agriprima Cipta Persada Grup Gama/Ganda, PT Agrinusa Persada Mulia Grup KPN Corp Plantation Division/Gama, PT Papua Agro Lestari Grup Korindo, PT Berkat Cipta Abadi (II) Grup TSE yang berada di Merauke, Papua. Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan bahwa didalam keputusan yang berangkai, ketika induknya sudah dicabut namun masih beroperasi, itu termasuk aktivitas illegal.

Fakta lain, 24 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat telah dilakukan evaluasi perizinan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2021, namun hanya 12 perusahaan yang dilakukan pencabutan izin konsesi kehutanan. Padahal hasil evaluasi, perusahaan tersebut terbukti telah melakukan pelanggaran.

Atas dasar tersebut TuK INDONESIA menyampaikan usulan kepada pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan perencanaan yang lebih sistematis terhadap pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Sehingga dapat diakses oleh masyarakat disekitar kawasan hutan dan mengembalikan fungsi lindung terhadap kawasan hutan yang telah dilepasakan sebelumnya. “Sebagai tindak lanjut perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai redistribusi memberikan tanah miskin kepada warga miskin”, ungkap Edi. Hal ini senada yang disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian, bahwa upaya yang harus dilakukan setelah pencabutan izin ini yaitu pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan.

Pencabutan izin konsesi dinilai belum menuju kepada terciptanya keadilan. “Keadilan tidak dapat tercipta dalam ruang tertutup. Persoalan ini menjadi rumit sebab publik dalam republik ini tidak diberikan akses untuk tahu sejauh mana perjalanan negara ini sudah ditempuh”, lanjut Bayu.

Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan, menambahkan bahwa pencabutan izin ini harusnya juga direspon oleh Lembaga jasa keuangan, khususnya terkait dengan kebijakan keuangan berkelanjutan yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini layak dikorelasikan dengan kebijakan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Sehingga investasi yang berkelanjutan memiliki jaminan pada masa depan, memiliki jaminan hukum, serta secara berimbang memiliki apresiasi dan penalti (carrot and stick).

Dalam konteks regulasi yang lebih detail, Riawan menekankan bahwa Instrumen Hukum Administrasi Negara diperlukan dalam mengembangkan green investment policy yang meliputi: instrumen peraturan perundang-undangan (termasuk amandemen produk-produk hukum yang belum mencerminkan konsep green investment), instrumen rencana (het plan) untuk mempersiapkan kebijakan, instrumen keuangan negara melalui green budget policy, instrument peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) dan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst) dan instrumen benda-benda publik (publiek domein) yang berkaitan dengan kebijakan investasi hijau.

Sosilog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, mengajak publik intelektual agar merepolitisasi demokrasi dan merepresentasi rakyat. Sebab, demokrasi tidak bias hanya mengandalkan hukum. Keruhnya demokrasi ditandai ruang publik yang di dalamnya tidak terdapat pertarungan ide. Maka dalam rangka mendorong pencabutan izin konsesi perlu kontrol publik untuk mendorong kualitas kebijakan yang baik. “Kita perlu menciptakan ruang publik yang di dalamnya ramai pertarungan ide khususnya mengenai isu substantif yaitu penguasaan sumber daya alam yang tidak berbatas pada wacana-wacana prosedural”, pungkas Arie.

***

Narahubung:

  1. Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected])
  2. Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian ([email protected] )
  3. Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan ([email protected])
  4. Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jogyakarta, Riawan Tjandra ([email protected])
  5. Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito ([email protected])

Materi narasumber dapat diunduh pada link berikut:Pencabutan Izin Konsesi dan Investasi Hijau, Analisis_Pencabutan_Izin,

Atasi Krisis Iklim, TuK INDONESIA Bersama Warga Banggai Tanam Mangrove dan Deklarasikan Peduli Iklim

Banggai, 18 Desember 2022. TuK INDONESIA dan warga Banggai bersama 500 orang muda  yang terdiri dari siswa, mahasiswa, serta kelompok pecinta alam se-Kabupaten Banggai mendeklarasikan peduli iklim. Lewat deklarasi peduli iklim ini, diharapkan adanya sinergitas multipihak dalam upaya menangani krisis iklim melalui pengelolaan dan pemanfaatan mangrove yang kolaboratif.

Kegiatan deklarasi ini dilakukan di Desa Pandan Wangi, Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai. Dalam deklarasi ini, turut ditanam sebanyak 2.500 bibit mangrove yang telah dibudidayakan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Srikandi Hijau Lestari, kelompok perempuan yang berfokus pada pembibitan mangrove di Kecamatan Toili.

Acara penanaman bibit mangrove ini dihadiri oleh DPRD Banggai, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai, Camat Toili Barat, Kapolsek Toili, Kepala Desa Pandan Wangi, serta unsur pemerintahan setempat lainnya. Disamping itu berbagai kelompok mahasiswa dan kelompok peduli lingkungan hidup dari berbagai komunitas dan masyarakat sipil juga turut hadir dalam acara ini, diantaranya KTH Pesona Mangrove, KTH Srikandi Hijau Lestari, KTH Alam Lestari, Kelompok Muda Karya Alas, Pramuka SMA N 1 Tolisu, Osis SMA N 1 Tolisu, PMR SMA N 1 Tolisu, SMK Pertambangan Toili Barat, SMA 1 Moilong, SMA 1 Toili Barat, SMA 1 Toili, Universitas Muhammadiah Luwuk, Universitas Tompotika Luwuk, KPA Maleo, KPA Boloi, Sispala, Kelompok Pemuda Sari Buana, serta NGO di tingkat provinsi Sulawesi Tengah dan Nasional. Kegiatan ini juga turut dihadiri oleh sektor swasta seperti Pertamina EP Donggi Matindok Field, JOB Tomori, dan PT Donggi Senoro LNG.

Provinsi Sulawesi Tengah menetapkan cadangan kawasan konservasi kepulauan Banggai yang dinamakan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Banggai Dalaka (Darat, Laut dan Kepulauan) melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 523/635A/ DIS.KANLUT-GST/2017 dengan luas 869.059,94 ha. Perairan Kabupaten Banggai memiliki tiga komponen ekosistem pesisir tropis penting yaitu terumbu karang, padang lamun, dan mangrove, dimana sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut memiliki nilai penting dari aspek ekologis, ekonomis, budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Selain memiliki komponen ekosistem pesisir utama yang mendukung sumber daya perikanan, kawasan Banggai merupakan habitat bagi spesies endemik yakni Banggai Cardinal Fish (BCF) yang dikenal memiliki nilai ekonomi akan tetapi terancam keberadaannya dihabitat alaminya.

Lia Listiana, Ketua KTH Srikandi Hijau Lestari sampaikan bahwa terdapat empat jenis mangrove yang ditanam hari ini. Empat jenis mangrove tersebut yaitu Rhizopora sp, Rhizopora mucronata, Bruguiera, Ceriops. “Bibit-bibit mangrove ini kami dapatkan dari bantaran sungai Tohitisari. Saat ini, bibit yang kami budidayakan telah menjadi pendapatan tambahan untuk warga Desa Tohitisari,” ungkap Lia.

Kadek Suardika, Kepala Desa Pandan Wangi menyampaikan “saat ini, TuK INDONESIA bersama dengan KPH Toili Baturube bersinergi dalam penguatan Kelompok Tani Hutan (KTH) Pesona Mangrove Pandan Wangi yang sedang melakukan pengajuan hak kelola masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove di Desa Pandan Wangi dengan skema Perhutanan Sosial (PS), upaya ini bukan hanya akan melindungi lingkungan, tetapi juga memberi kesempatan peningkatan ekonomi bagi masyarakat desa Pandan Wangi.”

Rifat Hakim, Ketua GMNI Banggai menambahkan, “Bagi kami keterlibatan pemuda dan mahasiswa dalam gerakan lingkungan yang berkelanjutan menjadi penting untuk membangun kesadaran generasi muda. Pemerintah harus mendukung inisiasi rakyat dalam melindungi lingkungan dan meningkatkan perekonomian rakyat“.

Edi Sutrisno, Direktur TuK INDONESIA memberikan penjelasan lebih mendetail latar belakang kegiatan ini, setidaknya ada dua hal mendasar yang menjadi urgensi acara ini :

Pertama, TuK INDONESIA menginisiasi penanaman mangrove ini bersama komunitas, sebagai bagian dari kritik solutif terhadap target pengendalian iklim yang selama ini menjadi target pemerintah. Presiden Joko Widodo telah memberikan mandat untuk merehabilitasi mangrove seluas 600 ribu ha dalam kurun waktu 2021–2024. Mewujudkan mandat tersebut, pemerintah memfokuskan rehabilitasi mangrove di 9 Provinsi prioritas. Upaya pemerintah ini dibaca sebagai kejar target atas komitmen Pemerintah Indonesia terkait penurunan emisi karbon. “Langkah ini justru akan menempatkan kerusakan mangrove di wilayah non prioritas seperti Sulawesi Tengah dalam ancaman serius. Garis pesisir yang panjang dengan ancaman pertambangan di wilayah pesisir akan mempercepat terjadinya kerusakan hutan mangrove di Sulawesi Tengah,” ungkap Edi.

Kedua, Inisiasi penanaman mangrove bersama komunitas akan menjadi ruang silaturahim antar komunitas. Hal ini tidak hanya berdampak pada perlindungan lingkungan hidup, tetapi juga berkorelasi positif pada kesejahteraan warga. Seperti temuan studi yang dilakukan TuK INDONESIA 2022 di 17 Desa Kabupaten Banggai dalam memetakan beberapa ruang lingkup. “Diharapkan dengan pemahaman holistik atas potensi dan manfaat dari kawasan hutan mangrove baik dalam hal ekonomi, sosial, dan lingkungan, maka selanjutnya dapat disusun peta jalan kebijakan dan peran kolaborasi multipihak yang efektif dalam mewujudkan tata kelola pemanfaatan yang adil dan berkelanjutan,” tutup Edi.

***

Narahubung: Edi Sutrisno (081315849153)