Pelatihan Monitoring Industri Berisiko Tinggi terhadap Pelanggaran HAM dan Deforestasi di Delapan Propinsi IndonesiaHello

Delapan propinsi bersiap mengadvokasi lebih lanjut kasus-kasus yang melibatkan industri yang berisiko tinggi terhadap pelanggaran HAM dan deforestasi. Merespon kebutuhan untuk agenda tersebut, TuK INDONESIA melaksanakan pelatihan monitoring terhadap industri-industri tersebut beserta pembiayaannya.

Pada Rabu hingga Kamis, 9–10 Agustus 2023 lalu di Jakarta, TuK INDONESIA melaksanakan Pelatihan Monitoring Pembiayaan pada Usaha-usaha yang Berisiko Tinggi terhadap Pelanggaran HAM dan Deforestasi. Pada agenda tersebut, hadir sepuluh (10) lembaga dari delapan (8) propinsi di Indonesia.

Pelatihan diselenggarakan dengan turut menghadirkan Wakil Ketua Bidang Eksternal KomnasHAM, Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M. Pada kesempatan tersebut, Dr. Abdul Haris Semendawai menyampaikan paparan mengenai industri ekstraksi sumber daya alam dalam perspektif HAM. Disampaikan bahwa praktik industri ekstraktif berimplikasi serius terhadap HAM masyarakat lokal dan lingkungan, diantaranya: (1) hak atas tanah dan tempat tinggal seperti yang terjadi pada proses penggusuran paksa dan kompensasi yang tidak adil; (2) hak atas lingkungan yang sehat sebagai dampak kerusakan lingkungan dan pencemaran yang masif; (3) hak partisipasi dan informasi, dalam hal ini adalah ketidak partisan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan kurangnya informasi mengenai dampak ekstraksi dapat melanggar hak partisipasi dan hak atas informasi yang benar; dan hak atas kesejahteraan ekonomi dan sosial.

Sebelumnya, para peserta terlebih dahulu mendengarkan paparan dan berdiskusi bersama Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. terkait business process industri ekstraksi sumber daya alam dan celah-celah penyimpangannya. Diidentifikasi setidaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi berada pada proses perizinan, dokumen penunjang seperti izin lingkungan, analisis dampak lingkungan, RKL, dan RPL, serta penyimpangan berkaitan dengan kewajiban yang harus dipenuhi seperti kewajiban 20% untuk masyarakat di perkebunan kelapa sawit dan persyaratan khusus sebagaimana dalam konteks lahan gambut.

Beberapa paparan lainnya yang menjadi bahan pengetahuan dan diskusi bersama para peserta pelatihan adalah akuntansi forensik, metode monitoring pembiayaan pada sektor sawit dan hutan tanaman industri, serta  langkah dan strategi advokasi berbasis pemetaan aktor.

Berbagai kasus menjadi sorotan dan kekhawatiran bersama turut didiskusikan dalam agenda pelatihan tersebut. Industri di sektor perkebunan sawit, pulp & paper, dan tambang nikel menjadi tiga sektor teratas yang disorot dan diidentifikasi sebagai isu prioritas. Pelatihan tersebut penting untuk menjadi medium bersama dalam memahami celah praktik bisnis ekstraktif sumber daya alam untuk dapat dimonitoring, serta sebagai medium untuk mengkonsolidasikan kekhawatiran-kekhawatiran terhadap eksistensi industri ekstraktif di masing-masing propinsi.

This post is also available in: English