Ternyata Ada 2 Taipan Rokok yang Memiliki Bisnis Sawit, Pulp & Kertas Terkaya di Indonesia ini loh!
/0 Comments/in Pernyataan /by TuK IndonesiaPelatihan Monitoring Industri Berisiko Tinggi
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kebijakan, Kegiatan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Publikasi, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaPernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaSiaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.
“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.
Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu.
Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi.
Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.
Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.
Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.
Baca Juga :
– LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
–KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Siaran Pers – Koalisi ResponsiBank Indonesia
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Kebijakan, Kegiatan, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaKoalisi ResponsiBank Indonesia
Menilai Komitmen Penerapan Keuangan Berkelanjutan
pada Perbankan di Indonesia Masih Rendah
Jakarta, Jumat, 28 Juli 2023 – Koalisi ResponsiBank Indonesia sebagai koalisi masayrakat sipil yang bekerja untuk mendorong kebijakan dan praktik pembiayaan yang bertanggungjawab kembali merilis laporan terkait kinerja perbankan dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Laporan ke lima kali ini dilakukan untuk menilai kinerja perbankan dari berbagai aspek sesuai panduan/metodologi keuangan internasional yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International (FFGI). Penilaian ini dilakukan pada 11 bank di Indonesia, yang mewakili kelompok bank umum/komersial terbesar di Indonesia baik dalam hal besaran total aset maupun modal inti. Ke-11 bank tersebut adalah Bank BNI, BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, BJB, Permata Bank, DBS, dan HSB.
Terdapat empat bank yang mengalami penurunan peringkat yakni Maybank, BNI, Bank Permata dan BJB dibandingkan penilaian di tahun 2020. Dari keempat bank tersebut BNI mengalami penurunan paling signifikan, yakni dari peringkat lima, menjadi peringkat sembilan di tahun 2022. BNI tidak mendapatkan skor pada 9 tema yang dinilai karena dalam dokumen yang dipublikasikan oleh BNI tidak ditemukan pengungkapan atas informasi ataupun kebijakan terkait.
Meskipun terjadi peningkatan komitmen maupun kebijakan dari aspek lingkungan, sosial dan tata kelola, namun tidak cukup memuaskan karena masih berada dalam kategori “sangat kurang” dan “kurang”. “Memang sudah terdapat kemajuan dalam kebijakan keberlanjutan perbankan di Indonesia, namun skornya masih sangat rendah dan belum bergerak signifikan. Bank-bank di Indonesia belum berani untuk menetapkan target-target yang tinggi,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dan Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia.
Contohnya pada tema perubahan iklim, poin tertinggi masih pada rentang nilai cukup (4,0). Beberapa bank bahkan mendapatkan skor 0,0 pada tema ini seperti BNI, BCA, dan BJB. Ketiga bank ini masih belum memiliki target terukur untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), baik untuk kegiatan operasional maupun pembiayaannya. Meskipun beberapa bank sudah mulai bergerak untuk mendukung target Net Zero Emisison, namun sayangnya belum ada komitmen untuk menghentikan portofolio ke sektor batu bara. Sebagai contoh BRI meskipun telah memiliki daftar pengecualian pada aset pembiayaan yang terkait dengan bahan bakar fosil, namun tidak ditemukan komitmen/kebijakan tertulis terkait hal tersebut.
“Sektor keuangan berperan penting dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, untuk itu sudah saatnya lembaga keuangan memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang dilakukan. Lebih lanjut peran OJK disini sangat penting, sehingga OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan menerapkan taksonomi hijau” pungkas Maftuchan.
Dwi Sawung, Pengkampanye infrastruktur dan tata ruang WALHI menambahkan, “Laporan keberlanjutan bank baru menampilkan pengurangan emisi dari kegiatan operasionalnya, belum menunjukkan lebih nyata berapa pembiayaan bank terhadap sektor yang memiliki emisi yang tinggi seperti batubara, pembangkit fosil dan perkebunan yang membuka hutan. Rencana pengurangan ataupun kapan menghentikan pembiayaan terhadap energi kotor yang menyebabkan perubahan iklim juga belum terlihat jelas. Dari situ terlihat komitmen perbankan terhadap perubahan iklim masih lemah”.
Lebih lanjut, Maftuchan menjelaskan tema inklusi keuangan dan perlindungan konsumen kembali mendapatkan rata-rata nilai paling tinggi dalam penilaian. Bank-bank di Indonesia masih cenderung fokus pada meningkatkan inklusi keuangan melalui digitalisasi dan penyediaan layanan keuangan tanpa bank. Di sisi lain, pada tema HAM dan kesetaraan gender, banyak bank masih masuk dalam kategori nilai paling rendah.
Komitmen perbankan terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan anti diskriminasi masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam kaitannya dengan kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hanya HSBC, CIMB Niaga dan BCA yang menunjukkan komitmen untuk mematuhi HAM melalui kebijakannya. Namun pada pemeringkatan tahun 2022 ini Bank BNI, Mandiri, Danamon, BJB dan Permata Bank belum memiliki kebijakan terkait kepatuhan terhadap prinsip HAM.
Harapannya, bank perlu memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang lebih bertanggungjawab dengan menetapkan kriteria, safeguarding, hingga uji tuntas untuk pinjaman pada sektor perekonomian yang berisiko tinggi. Bank juga perlu mengakselerasi pembiayaan ke sektor hijau untuk mendukung implementasi taksonomi hijau dan berkontribusi pada perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
TuK Indonesia menyampaikan bahwa praktik perbankan di Indonesia ini masih jauh dari aspek kehati-hatian. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya 213 unit usaha perkebunan sawit yang menanam di dalam kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasar SK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahap XI Nomor 196/2023 tentang kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di Bidang kehutanan. Perusahaan-perusahaan tersebut berafiliasi dengan berbagai grup perusahaan perkebunan skala besar yang banyak diberikan fasilitas pembiayaan oleh bank. Lebih jauh, berdasar data pemerintah Kalimantan Tengah, dari 213 hanya 71 perusahaan yang memiliki izin di bidang perkebunan, sisanya 142 perusahaan tidak berizin. Temuan ini memunculkan fakta bahwa perbankan masih abai dalam melakukan penilaian yang lebih komprehensif terkait pembiayaan kepada industri perkebunan sawit yang merisikokan hutan di Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengatur perbankan dapat mengakselerasi implementasi keuangan berkelanjutan dan pembiayaan hijau dengan menerapkan taksonomi hijau secara mandatory. OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan. Lebih lanjut, untuk memastikan implementasi taksonomi hijau perlu adanya gugus tugas yang terdiri atas seluruh stakeholder termasuk CSO dan pihak swasta.
“OJK harus memperkuat pengawasan utamanya berani menyemprit bank-bank yang masih membiayai perusahaan-perusahaan yang telah melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan. Tentu saja jika pengawasan ini tidak dilakukan akan memunculkan dampak risiko reputasi kepada bank itu sendiri. Kedua, OJK segera membentuk task force keuangan berkelanjutan yang multipihak dengan mengutamakan partisipasi dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya alam. Ketiga, Pemerintah khususnya KLHK dapat melakukan upaya hukum atas temuan tanaman sawit di dalam kawasan hutan tersebut”, kata Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.
Laporan lengkap terkait Pemeringkatan Bank dapat diunduh di sini:
Narahubung:
Dwi Rahayu Ningrum ([email protected]; 085212696987)
#TuKIndonesia #WALHI
#HSBC #CIMB #BCA
#BNI #Mandiri #Danamon #BJB #PermataBank
Baca Juga : MUFG – KOALISI MASYARAKAT SIPIL MENUNTUT BANK MUFG DAN DANAMON
Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung
/0 Comments/in Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK IndonesiaUnjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung.
Pasca Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung pada Rabu 05 Juli 2023, Kepala Desa Tiberias, Abner Patras berdiskusi dengan TuK INDONESIA mengenai Kasus sengketa Petani Desa Tiberias Kec. Poigar Kab. Bolmong Sulawesi Utara dengan PT Malisya Sejahtera.
PT Malisya Sejahtera merupakan perusahaan milik Indofood dari Grup Salim. PT Malisya Sejahtera beroperasi di atas tanah garapan Petani Desa Tiberias sejak tahun 2001. Pada tahun tersebut PT Malisya Sejahtera mendapatkan Hak Guna Usaha padahal belum berbadan hukum.
Pada tahun 2017, Petani Tiberias yang dieksklusi dari lahan garapannya melakukan aksi protes yang kemudian diintimidasi dan dibungkam polisi dari dua Polres dan Brimob yang didukung Kodim Bolmong. Pada tahun itu juga, Petani Tiberias ditangkap dan dipenjara, yang secara bersamaan dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran 70 rumah oleh karyawan-karyawan PT Malisya Sejahtera serta tanaman musiman milik petani dirusak. Petani diproses hukum dengan tuduhan mencuri hasil tanaman yang adalah tanaman yang ditanam oleh Petani Tiberias sendiri. Pada kasus tersebut, putusan pidana menyatakan bahwa dakwaan melakukan pencurian dan memasuki HGU secara tidak sah tidak terbukti.
Secara paralel kemudian Petani Tiberias mengajukan gugatan perdata di tingkat Pengadilan Negeri Kotamobagu. Gugatan tersebut dikabulkan yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Manado, meski kemudian di tingkat kasasi gugatan ditolak dengan alasan tidak memiliki alas hak.
Tahun 2022 menjadi babak baru di mana Petani Tiberias kembali dilaporkan PT Malisya Sejahtera dengan dakwaan yang sama sebagaimana pada tahun 2017.
Kasus yang berkepanjangan dan berulang tersebut menggerakkan Abner Patras yang juga diproses pidana untuk melakukan aksi tunggal.
“Saya sebagai Kepala Desa Tiberias yang juga diproses pidana dengan hukum yang tidak memenuhi akal sehat, datang sendirian ke Jakarta mewakili Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, melakukan aksi unjuk rasa damai tunggal. Hendak mengetuk hati nurani peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kami menyerukan Ketua MA dan Para Hakim Agung yang dimuliakan agar perkara-perkara tersebut diadili sesuai hukum,” teriak Abner Patras.
Pada kesempatan tersebut, praktik Mafia Tanah dan Mafia Peradilan menjadi sorotan mengingat akar masalah kasus sengketa dan proses peradilan yang dihadapi para Petani Tiberias.
Serah Terima Jabatan dan Pisah Sambut Badan Pengurus TuK INDONESIA
/0 Comments/in Artikel, Berita, Buku, Database, laporan, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK IndonesiaSerah Terima Jabatan dan Pisah Sambut Badan Pengurus TuK INDONESIA
Jakarta. Selasa, 4 Juli 2023, dilaksanakan agenda serah terima jabatan sekaligus pisah sambut Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif dan personel TuK INDONESIA. Edi Sutrisno, Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2022-2023, telah menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan jabatan, tugas dan tanggungjawab jabatan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif TuK INDONESIA kepada Linda Rosalina, Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
“Ke depan, tantangan bagi TuK INDONESIA pasti tidak lebih mudah. Jadi, jangan merasa terbebani juga dan jangan fanatik dengan strategi pergerakan, melainkan fokuslah pada tujuan. Jangan ragu-ragu untuk mengambil langkah atau sikap politik, sebab arena ini seperti eksperimen, hanya ada terbukti dan tidak, bukan benar atau salah,” Edi Sutrisno berpesan kepada kepengurusan baru TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
Agenda tersebut turut dihadiri oleh Badan Pengawas dan Anggota TuK INDONESIA serta menjadi momentum silaturahmi dan pelepasan personel TuK INDONESIA yang melanjutkan pengabdian pada arena lain. Badan Pengawas TuK INDONESIA, Norman Jiwan menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas dedikasi Edi Sutrisno, Achmad Mubarok, dan Dewi K Setiawati dalam kerja-kerjanya bersama TuK INDONESIA. Pada kesempatan tersebut, Jiwan pun memberikan apresiasi kepada seluruh Badan Pengurus TuK INDONESIA Periode 2022-2023 atas capaian-capaian yang berkontribusi positif kepada gerakan sosial di Indonesia secara umum.
Abetnego Tarigan, Anggota TuK INDONESIA, menyampaikan, “Ke depan, TuK INDONESIA perlu mencapai hal-hal yang lebih baik dengan cara yang lebih agile agar tidak terjadi stagnasi organisasi.”
Agenda tersebut ditutup dengan penyerahan dokumen-dokumen berkenaan kepengurusan periode 2022-2023 serta pemberian kenang-kenangan. Serah terima jabatan tersebut tentu menjadi penanda babak baru TuK INDONESIA.
Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Buku, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Kebijakan, Kegiatan, laporan, Liputan Kegiatan, Makalah, Media, Panduan, Pernyataan, Publikasi, Siaran Pers /by TuK IndonesiaJakarta, Sabtu, 24 Juni 2023. TuK INDONESIA menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa Tahun 2023 sebagai forum pertemuan untuk merespon dan memutuskan situasi khusus yang dihadapi oraganisasi.
Dalam upaya menjawab dinamika organisasi dan meneruskan perjuangan transformasi berkeadilan, peran pemimpin dalam organisasi menjadi penting dalam menjalankan fungsi koordinasi dan manajerial, serta fungsi penting lainnya. Forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023 memutuskan dan menetapkan beberapa hal yang menjadi concern organisasi dan salah satunya adalah menetapkan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA Periode 2023-2026. Linda Rosalina, S.E.,M.Si, dipilih dan ditetapkan dalam forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023.
Pernyataan Visi:
Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan sosial oleh negara dan aktor non- negara dalam bidang kebijakan, program dan kegiatan agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam.
“Terima kasih atas kesepakatannya untuk memilih saya bersama TuK INDONESIA sampai tahun 2026 nanti. Saya harap kita bisa bersama-sama memajukan TuK INDONESIA. Kedepan saya membayangkan TuK INDONESIA lebih membumi sebagai pionir isu keuangan berkelanjutan di Indonesia mengingat isu keuangan itu sangat kritis. Mari sama-sama kita membangun TuK INDONESIA”, Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
The TNFD shows that global corporations will not solve the biodiversity crisis
/0 Comments/in Pernyataan /by TuK IndonesiaToday 62 civil society organizations and networks – whose members include over 370 groups across 85+ countries on six continents – have sent an open letter to the Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD) highlighting that its final draft fails to address some of its worst flaws that will facilitate greenwashing. The letter was also signed by three winners of the Goldman Environmental prize. The letter is timed to align with the closing of the TNFD’s feedback process on tomorrow, 1 June, before it releases its final framework in September 2023. This is the latest in a series of CSO and rights holder open letters, press releases and statements raising concerns about the TNFD since May 2022.
The TNFD is a taskforce solely made up of 40 global corporations, including several that have come under fire for their environmental and human rights practices. The TNFD is developing a framework on how companies should report on their biodiversity risks and impacts. While it is a voluntary initiative, many in its inner circle have advocated for the TNFD framework to be made mandatory and adopted into national law and even international frameworks. It is also backed by two UN agencies and receives government funding. The taskforce includes some of the world’s largest fossil fuel financiers and businesses persistently linked to deforestation or human rights harms.
The open letter discusses a range of issues with the TNFD’s proposed framework and broader processes. It highlights that TNFD reports will not have to include information on where companies are facing allegations of harming biodiversity or environmental defenders. The data in reports will also be unverifiable and companies will not need to report their lobbying against new laws that help protect nature. The framework will not allow communities affected by biodiversity harms to even know the name of companies who are buying from, or financing, activities in their area. Finally, the letter highlights that the TNFD has failed to respond to academic research that re-pricing biodiversity risks is more likely to impact lower and middle-income countries, not richer countries.
The open letter also reiterates concerns raised in October 2022 on “the role of UN agencies that have co-founded, backed or funded TNFD, as their involvement would seem to violate their duties and obligations to respect human rights and fair decision-making.”
The open letter is available in English, Spanish, Portuguese, Bahasa Indonesia, French and Chinese.
For further questions please contact Shona Hawkes adviser at Rainforest Action Network on +61 413 100 864 or at [email protected]
Quotes:
“The TNFD doesn’t require financial institutions to say who or what they are financing or provide any detail about how their financed activities impact on biodiversity and the people who protect it – instead it lets them hide behind empty reports and masks their complicity in nature destruction.” – Hannah Greep, Banks and Nature Campaign Lead, BankTrack
“Who is the TNFD for? Certainly not the environmental defenders and everyday people who are standing up against abusive corporate practices. Many global corporations – including many who sit on the TNFD – have persistently ignored the actual change that the real leaders on biodiversity are calling for.” – Tarcísio Feitosa, Goldman Environmental Prize winner, Brazil
“Scientific research has made clear that the biodiversity crisis will only be stemmed if we stop all new fossil fuels, reduce industrial livestock, and respect and center the leadership of Indigenous peoples, women’s organizations, peasants, and environmental defenders. And yet the TNFD – a purported solution to the crisis – doesn’t even recommend that a company disclose when it is facing complaints about its risks and impacts on biodiversity and the people who protect it. This is greenwashing par excellence.” – Moira Birss, Climate Finance Director, Amazon Watch
“Months ago NGOs described TNFD as the ‘next frontier in greenwashing’. Very little has changed.” – Cassie Dummett, Head of Forests Campaign, Global Witness
“Nature has an intrinsic right to exist, to thrive. We need to celebrate, learn from and revere the natural world. The trees that give us the air we breath, the waters that sustain life, the insects that make the soil we rely on for food. The TNFD is a distraction. It speaks of disclosure rather than the actual changes we need. It says nothing about corporations needing to stop financing fossil fuels, to stop deforestation, to stop dangerous experiments like deep seabed mining. It does not include the knowledge and rights of Indigenous Peoples, women and communities at the forefront of biodiversity protection.” – Osprey Orielle Lake, Executive Director, Women’s Earth and Climate Action Network (WECAN)
“We are facing a major biodiversity crisis, where the very survival of much of life on earth stands at an urgent crossroads. What we need are transformative solutions, not corporate greenwashing.” – Merel van der Mark, coordinator of the Forests & Finance Coalition
“Under the TNFD’s proposed framework corporate ‘disclosures’ on biodiversity won’t cover if a company is facing allegations of environmental destruction, if it’s lobbying against new laws to protect nature or if it is dramatically scaling up how much land it’s using. Already we can see the TNFD’s work being championed in ways that distract from, and undermine, the real solutions to the biodiversity crisis. This includes calls that key to solving the crisis is ensuring that corporations face meaningful consequences under the law for harming lands, waters, forests and wildlife, and the people who protect them. We remain shocked that UN agencies have backed and funded a process that appears to so clearly contravene their own guidance and advice.” – Shona Hawkes, advisor, Rainforest Action Network.
Link reference :
#tukindonesia
#forestsandfinance
#tnfd
#biodiversitycrisis
Kawal Komitmen Pemerintah Kabupaten Banggai dalam Penyelesaian Kasus Petani Batui dengan PT Sawindo Cemerlang
/0 Comments/in Pernyataan /by TuK INDONESIAKawal Komitmen Pemerintah Kabupaten Banggai dalam Penyelesaian Kasus Petani Batui dengan PT Sawindo Cemerlang
Perjuangan Petani Lingkar Sawit Batui setelah melakukan aksi blokade jalan selama dua hari, 9-10 Maret 2023 mendapat tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Banggai. Melalui Kepala Bagian Sumber Daya Alam, Sunarto Lasitata, Pemerintah Kabupaten Banggai mendatangi dan melakukan mediasi dengan petani yang melakukan aksi dalam rangka mengekspresikan kekecewaannya kepada PT Sawindo Cemerlang. Pada mediasi tersebut, Jumat 10 Maret 2023, Pemerintah Kabupaten Banggai berkomitmen akan memfasilitasi pertemuan antara Petani Sawit Batui dengan Direksi PT Sawindo Cemerlang pada Rabu, 15 Maret 2023 mendatang.
Sumber foto: SA
Mengingat abainya PT Sawindo Cemerlang dalam kesepakatan rapat sebelumnya. Maka, mediasi pada Rabu nanti perlu turut kita kawal bersama-sama. Tidak hanya sebagai wujud solidaritas dan dukungan, melainkan juga untuk mengawal komitmen PT Sawindo Cemerlang dan memastikan diperolehnya hak-hak petani sawit di Batui.
Follow us on Facebook
Newsletter
TuK INDONESIA
Jl Tebet Utara IIC No.22 A RT 004 RW 001
Kelurahan Tebet Timur
Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan 12820
Telepon : 021-22909920
Email: [email protected]