RSPO Tidak Kredibel dan Transparan dalam Mengambil Keputusan

Pelatihan Monitoring Industri Berisiko Tinggi

Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik

Siaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik

Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan. 

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST). 

Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.

“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.

Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu. 

Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi. 

Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap  I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.

Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.

Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.

 

 

Baca Juga :
LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA

Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung

Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung.

Pasca Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung pada Rabu 05 Juli 2023, Kepala Desa Tiberias, Abner Patras berdiskusi dengan TuK INDONESIA mengenai Kasus sengketa Petani Desa Tiberias Kec. Poigar Kab. Bolmong Sulawesi Utara dengan PT Malisya Sejahtera.

PT Malisya Sejahtera merupakan perusahaan milik Indofood dari Grup Salim. PT Malisya Sejahtera beroperasi di atas tanah garapan Petani Desa Tiberias sejak tahun 2001. Pada tahun tersebut PT Malisya Sejahtera mendapatkan Hak Guna Usaha padahal belum berbadan hukum.

Pada tahun 2017, Petani Tiberias yang dieksklusi dari lahan garapannya melakukan aksi protes yang kemudian diintimidasi dan dibungkam polisi dari dua Polres dan Brimob yang didukung Kodim Bolmong. Pada tahun itu juga, Petani Tiberias ditangkap dan dipenjara, yang secara bersamaan dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran 70 rumah oleh karyawan-karyawan PT Malisya Sejahtera serta tanaman musiman milik petani dirusak. Petani diproses hukum dengan tuduhan mencuri hasil tanaman yang adalah tanaman yang ditanam oleh Petani Tiberias sendiri. Pada kasus tersebut, putusan pidana menyatakan bahwa dakwaan melakukan pencurian dan memasuki HGU secara tidak sah tidak terbukti.

Secara paralel kemudian Petani Tiberias mengajukan gugatan perdata di tingkat Pengadilan Negeri Kotamobagu. Gugatan tersebut dikabulkan yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Manado, meski kemudian di tingkat kasasi gugatan ditolak dengan alasan tidak memiliki alas hak.

Tahun 2022 menjadi babak baru di mana Petani Tiberias kembali dilaporkan PT Malisya Sejahtera dengan dakwaan yang sama sebagaimana pada tahun 2017.

Kasus yang berkepanjangan dan berulang tersebut menggerakkan Abner Patras yang juga diproses pidana untuk melakukan aksi tunggal.

“Saya sebagai Kepala Desa Tiberias yang juga diproses pidana dengan hukum yang tidak memenuhi akal sehat, datang sendirian ke Jakarta mewakili Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, melakukan aksi unjuk rasa damai tunggal. Hendak mengetuk hati nurani peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kami menyerukan Ketua MA dan Para Hakim Agung yang dimuliakan agar perkara-perkara tersebut diadili sesuai hukum,” teriak Abner Patras.

Pada kesempatan tersebut, praktik Mafia Tanah dan Mafia Peradilan menjadi sorotan mengingat akar masalah kasus sengketa dan proses peradilan yang dihadapi para Petani Tiberias.

 

#UnjukRasaTunggalKepalaDesaTiberiasDiMahkamahAgung

Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023

Jakarta, Sabtu, 24 Juni 2023. TuK INDONESIA menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa Tahun 2023 sebagai forum pertemuan untuk merespon dan memutuskan situasi khusus yang dihadapi oraganisasi.

Dalam upaya menjawab dinamika organisasi dan meneruskan perjuangan transformasi berkeadilan, peran pemimpin dalam organisasi menjadi penting dalam menjalankan fungsi koordinasi dan manajerial, serta fungsi penting lainnya. Forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023 memutuskan dan menetapkan beberapa hal yang menjadi concern organisasi dan salah satunya adalah menetapkan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA Periode 2023-2026. Linda Rosalina, S.E.,M.Si, dipilih dan ditetapkan dalam forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023.

Pernyataan Visi:

Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan sosial oleh negara dan aktor non- negara dalam bidang kebijakan, program dan kegiatan agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam.

“Terima kasih atas kesepakatannya untuk memilih saya bersama TuK INDONESIA sampai tahun 2026 nanti. Saya harap kita bisa bersama-sama memajukan TuK INDONESIA. Kedepan saya membayangkan TuK INDONESIA lebih membumi sebagai pionir isu keuangan berkelanjutan di Indonesia mengingat isu keuangan itu sangat kritis. Mari sama-sama kita membangun TuK INDONESIA”, Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.

Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong

Konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan emas PT. Trio Kencana di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah mencapai puncaknya pada 12 Februari 2022. Masyarakat yang menolak hadirnya aktivitas pertambangan, karena khawatir akan mempengaruhi lingkungan dan ekosistem pertanian. Saat itu masyarakat melakukan protes yang berujung pada pembubaran massa oleh aparat kepolisian gabungan dari Polres Parimo dan Polda Sulawesi Tengah. Akibat kejadian tersebut menyebabkan tewasnya seorang warga ER (21 tahun) akibat tembakan aparat. Selain itu, terdapat 59 orang ditangkap oleh pihak kepolisian, hanya saja satu orang dibebaskan di tingkat Polsek Kasimbar, sehingga yang dibawa ke tingkat Polda Sulawesi Tengah sebanyak 58 orang.

Konflik tersebut merupakan latar belakang yang mendorong diinisiasinya Penelitian “Keberterimaan Sosial dan Persepsi Masyarakat terhadap Usaha Pertambangan serta Dampaknya” (Studi Kasus Pertambangan Emas di Parigi Moutong), Studi ini kemudian dikembangankan menjadi rekomendasi kebijakan dalam bentuk “Policy Brief Perlindungan Lingkungan & Pangan di Kab. Parigi Moutong”.

secara lengkap, policy brief tersebut dapat diunggah pada tautan berikut : Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.

Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.

Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.

Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.

Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.

Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.

 

Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Menuntut akuntabilitas

Menuntut akuntabilitas

Memperkuat akuntabilitas korporasi dan uji tuntas rantai pasok untuk melindungi hak asasi manusia dan menjaga lingkungan

Laporan ini didasarkan pada tinjauan cermat terhadap hubungan antara sepuluh perkebunan kelapa sawit kontroversial di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di dalamnya atau yang memperdagangkan, mengolah, atau membuat barang konsumsi dari produk mereka (lihat Gambar 1). Perkebunan-perkebunan yang diselidiki ini dinyatakan sebagai milik kelompok usaha Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood). Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditemukan meliputi penolakan/penyangkalan hakhak masyarakat adat, perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak lingkungan, penindasan, penganiayaan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa para pembela HAM. Terlepas dari pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang sangat serius, berjangka panjang dan terdokumentasi dengan baik ini, di lapangan, perusahaan-perusahaan hilir besar terus berinvestasi di, atau mengambil produk dari perkebunan-perkebunan ini, seringkali tanpa mencatat kerugian/kerusakan sosial yang perkebunan-perkebunan ini timbulkan atau tanpa menuntut tindakan perbaikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Menuntut-akuntabilitas-gambar-01

Perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki meliputi Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK. Pemodal dan investor terkemuka meliputi, Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan grup perbankan Asia. Sebagian besar perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil dan inisiatif-inisiatif keberlanjutan lainnya. Namun, terlepas dari fakta bahwa pelanggaran yang terungkap jelas-jelas bertentangan dengan standar RSPO, serta kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi’ yang dimiliki perusahaan, perdagangan dan investasi terus berlanjut tidak terkendali.

Laporan ini menyoroti berbagai tuntutan terhadap para pelaku rantai pasok dari masyarakat terdampak, termasuk seruan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan hilir untuk menyelidiki kasus-kasus bersangkutan dan menyelesaikan dampak HAM dan pengaduan-pengaduan yang belum terselesaikan. Tuntutan khusus masyarakat akan rencana aksi terikat waktu untuk memfasilitasi pengembalian lahan dan ganti rugi juga dibuat terhadap Sime Darby, Cargill Inc, Astra International Group/Jardine Matheson, AAK, Nestlé, PepsiCo; Wilmar dan Unilever. Masyarakat terdampak menekankan perlunya tindak lanjut khusus dan transparan serta pemantauan langkah-langkah perbaikan dan berbagai kesepakatan. Dalam beberapa kasus, perusahaan hilir diminta menangguhkan pembelian minyak sawit dari para pemasok merugikan, seperti PT Kurnia Luwuk Sejati.

Laporan ini juga menyajikan rekomendasi-rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi badan pembuat undang-undang pemerintah yang menyusun regulasi tata kelola korporat dan regulasi keberlanjutan untuk rantai pasok ‘yang berisiko terhadap hutan’. Ditekankan bahwa agar efektif, regulasi bisnis dan rantai pasok haruslah memastikan, antara lain:

  1. Persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi, menangani, dan memperbaiki dampakdampak dalam rantai pasok dan portofolionya
  2. Pembentukan mekanisme pemantauan, verifikasi dan penegakan yang kuat untuk mendukung kepatuhan
  3. Sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar undang-undang uji tuntas dan regulasi rantai pasok yang berlaku
  4. Akses penyelesaian hukum lewat pengadilan di negara tempat perusahaan berdomisili bagi para pemegang hak dan masyarakat yang terkena dampak negatif dari kegiatan, hubungan bisnis, dan investasi mereka.

 

Laporan selengkapnya DISINI

 

MacInnes, A (2021) First Resources: Hiding in the Shadows FPP, Moreton in Marsh https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20-%20Hiding%20in%20the%20Shadows%20report_1.pdf ;

 

TuK INDONESIA (2021) “Civil Society Coalition Demands That MUFG and Bank Danamon Be Held Accountable for Forest Destruction, Climate Crisis and Human Rights Violation in Indonesia” https://www.tuk.or.id/2021/04/civil-society-coalition-demands-that-mufg-and-bank-danamon-be-held-accountable-for-forest-destruction-climate-crisis-and-human-rights-violation-in-indonesia/?lang=en

 

Jong H N (2021) “Palm oil conflicts persist amid lack of resolution in Indonesian Borneo” Mongabay Series: Indonesian Palm Oil, 15 march, 2021 https://news.mongabay.com/2021/03/palm-oil-conflicts-lack-of-resolution-in-indonesian-borneo-west-kalimantan/

Mei, L et al (2021) Stepping Up: Protecting collective land rights through corporate due diligence: A guide for global businesses, investors and policy makers FPP, Moreton in Marsh: https://www.forestpeoples.org/en/en/stepping-up-demanding-accountability

 

RAN (2020) The need for Free, Prior and Informed Consent:  an evaluation of the policies and standard operating procedures of 10 major corporate groups involved in forest risk supply chains in SE Asia  https://www.ran.org/wp-content/uploads/2020/12/RAN_FPIC_2020_vF-2.pdf

Mengapa RUU Omnibus Law Harus Dibatalkan

Coba cek ada berapa frasa demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dalam 1981 halaman naskah akademik dan 1028 halaman RUU Cipta Kerja? Hasilnya sungguh fantastis, nihil! Sejak awal dengan begitu saya katakan Omnibus Law ini cacat ideologis. RUU ini dibuat tidak untuk menjalankan amanat konstitusi, demokrasi ekonomi[1]. Jadi, Omnibus Law membunuh ekonomi kerakyatan sejak dalam pikiran!

Olah karenanya sia-sia membahas pasal per pasal. Isinya sudah pasti bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Alih-alih mendorong demokratisasi ekonomi, Omnibus Law pasti akan mendorong korporatokrasi. Dan benar saja, isi Omnibus Law memberi solusi dominan bagi penciptaan lapangan kerja, investasi.

Lewat pintu manalagi investor menguasai SDA, buruh murah, pasar, dan infrastrutur selain investasi?[2] Sedangkan jebakan utang (debt-trap) sudah aman sejak jauh-jauh hari. Maka 1028 halaman Omnibus Law dipenuhi upaya bagaimana penyediaan lahan, peluang bisnis, serta pasar tenaga kerja yang fleksibel bagi kepentingan investor. Dan 7 juta pengangguran pun dijadikan alasan pembenar.

Maka kita pun perlu bertanya, investor yang mana? Sedangkan 97% lapangan kerja disediakan oleh ekonomi rakyat, yang sering disebut UMKM[3]. 87% lapangan kerja disediakan oleh Usaha Mikro, yang merupakan 98% dari pelaku usaha di Indonesia. Konsep UMKM lebih disukai untuk menjauhkan ekonomi dari kata rakyat. Mungkin dianggap berbahaya?[4].

Ekonomi rakyat menyumbang 60% produksi nasional (8200 trilyun), sekaligus 50% investasi nasional (400 trilyun). Meskipun yang tidak tercatat tentu jauh lebih besar. Maka kekuatannya untuk menciptakan lapangan kerja sudah barang tentu jauh lebih besar daripada investasi skala besar. Lalu mengapa Omnibus Law hanya menyediakan 24 pasal dalam 7 halaman dari total 1028 halaman keseluruhan?

Bahkan dalam masa krisis moneter 1997/1998 di saat segelintir oligarki usaha besar merampok APBN melalui BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan[5], ekonomi rakyat terbukti berdaya tahan tinggi dan berjasa besar. Tetap menjadi solusi lapangan kerja di saat banyak perusahaan besar kolaps dan para pekerjanya terkena PHK dan dirumahkan.

Dan kini pandemi Covid-19 diperkirakan menambah jumlah pengangguran antara 2,9 juta-10 juta orang. Mengharap investasi besar tentu saja tidak masuk akal. Di saat normal saja 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 270.000 tenaga kerja baru, apalagi disaat pandemi sekarang[6]. Terbukti lagi di kala krisis perspektif Omnibus Law berbahaya dan tidak dapat diandalkan.

Pandemi membuat ekonomi Indonesia di persimpangan jalan. Tetap melanggengkan korporatokrasi yang memusatkan penguasaan 68% tanah dan 50% kekayaan hanya pada 1% elit oligarki ataukah berputar haluan, kembali ke jalan ekonomi kerakyatan? Pengalaman krisis moneter dimana ekonomi rakyat menjadi penyelamat ekonomi nasional kiranya akan berulang.

Bukan saja itu. Pandemi menjadi momentum untuk menjalankan amanat konstitusi, meningkatan kontroll dan daulat rakyat atas perekonomian. Sepertihalnya konfederasi koperasi tani di Jepang yang menguasai hulu sampai hilir pertanian di Jepang. Begitupula 500.000 pekerja Singapura yang di Fairprice cooperative menguasai 58% pangsa ritel negaranya.

Demikian halnya koperasi petani di negara-negara Skandinavia yang memaksa konglomerat bertuekuk lutut dihadapan mereka. Pun serikat-serikat rakyat yang menguasai 80% keuangan dan perbankan di Jerman, serta para pelaku ekonomi rakyat Prancis yang memiliki bank terbesar kedua di negaranya.

Seperti pula 13 juta pekerja di Amerika yang sudah memiliki saham di tempat bekerjanya. Sama halnya dengan 80.000 pekerja di Mondragon, Spanyol yang mengendalikan koperasi produksi, bank, asuransi, ritel, bahkan memiliki Universitas sendiri di kota tersebut. Dan masih banyak praktek nyata ekonomi kerakyatan berskala nasional.

Apa yang terjadi di negara-negara tersebut dan bagaimana mencapainya sudah diletakkan dasar-dasarnya sejak 75 tahun lalu oleh para pendiri bangsa kita di dalam UUD 1945[7]. Pandemi ini mestinya menjadi momentum untuk melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan. Melalui penguatan ekonomi rakyat[8] niscaya di balik musibah pandemi ini ada berkah bagi bangsa Indonesia ke depan.

Dan kita bisa mulai dari batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sekarang!

 

Yogyakarta, 4 Mei 202

Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Keterangan:

[1] Cek Pasal 33 UUD 1945 masih utuh persis sama isinya sejak 1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ekkeluargaan”. Selama isinya masih utuh maka tafsirnya dapat merujuk pada bagian Penjelasan (meskipun sudah dihapus) yang berbunyi: “dalam pasal ini tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.

[2] Sejak era kolonial, orde baru, dan pasca reformasi skema ini terus saja dilanjutkan, yang oleh Sukarno duseh disebut sebagai ciri-ciri ekonomi yang berwatak kolonial

[3] Di Barat disebut Small Medium Enterprises (SME’s), karena tidak mewakili kondisi struktur pelaku ekonomi Indonesia maka ditambah istilah baru Usaha Mikro.

[4] UMKM lebih atomis parsial, sedangkan ekonomi rakyat cenderung kolektif dan memiliki potensi pengorganisasian. Jika ada ekonomi rakyat, maka ada pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, industri rakyat, yang biasanya beroposisi dengan oligarki perekonomian. Maka harus dipastikan ekonomi rakyat, sebagai tenaga penggerak ekonomi kerakyatan juga tetap terbunuh sejak dalam pikiran.

 

[5] Mode ini selalu berulang disaat krisis, banyak usaha besar yang memanfaatkan kesempatan, berakibat Indonesia berada dalam jebakan utang (debt-trap) yang semakin berkepanjangan.

[6] Jumlah investasi sebesar 800 trilyun baru mampu menyerap 1, 034 juta tenaga kerja baru, dan kemampuan penyerapannya cenderung menurun setiap tahun pasca revolusi industri 4.0

[7] Pasal 31 menjadi dasar bagi pembangunan manusia sebagai modalitas pertumbuhan berkualitas yang selain menciptakan lapangan kerja juga melestarikan lingkungan dan memeratakan perekonomian. Pasal 33 ayat (1) menjadi dasar bagi penguatan organisasi ekonomi rakyat dan koperasi. Pasal 33 ayat (2) dan (3) menjadi dasar bagi penguasaan negara atas kekayaan alam dan cabang produksi strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, serta peran negara dalam perekonomian, baik melalui kebijakan maupun kelembagaan BUMN, BUMD, dan BUMDes

[8] Pada masa pandemic konomi rakyat dan koperasi  tidak saja perlu bantuan/insentif, melainkan perlu dukungan pengembangan SDM, organisasi, teknologi, TI, jaringan, infrastruktur, dan koneksitas dengan perguruan tinggi. Baca tulisan saya “Pancasila di Tengah Corona”

SOLIDARITAS ORGANISASI SIPIL (SOS) di TANAH PAPUA

Kami yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua (SOS TANAH PAPUA) , Jayapura, Papua. Secara bersama melakukan aksi solidaritas untuk mengingatkan kepada kita semua dan juga kepada negara. Bahwa sejarah telah tertulis sejak adanya UU No 1 /1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) telah menyebabkan terjadinya konflik agraria, perampasan lahan , kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM, karena inilah awal mulanya masuk investor asing ke Indonesia. Dua tahun kemudian yakni tahun 1969 Tanah Papua baru masuk menjadi bagian dari Indonesia.
Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudia pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia meratifikasi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights –  ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No.11 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pada tataran Papua dan Papua Barat telah mempunyai UU Otonomi Khusus yakni dengan adanya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan perubahan UU Otsus melalui UU Nomor 35 Tahun 2008 yang didalamnya tersirat Perlindungan (Protection), Pemberdayaan (empowerment) dan keberpihakan (alfirmasi action) yang merupakan roh dari Undang-undang Otonomi khusus Papua kepada masyarakat adat Papua.
Selengkapnya PERNYATAAN SIKAP SOS di TANAH PAPUA