Eksistensi RSPO Tidak Relevan: 11 Tahun Melakukan Pengaduan Ditanggapi dengan Penolakan
/0 Comments/in Kegiatan, laporan, Liputan Kegiatan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaPernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaSiaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.
“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.
Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu.
Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi.
Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.
Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.
Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.
Baca Juga :
– LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
–KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung
/0 Comments/in Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK IndonesiaUnjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung.
Pasca Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung pada Rabu 05 Juli 2023, Kepala Desa Tiberias, Abner Patras berdiskusi dengan TuK INDONESIA mengenai Kasus sengketa Petani Desa Tiberias Kec. Poigar Kab. Bolmong Sulawesi Utara dengan PT Malisya Sejahtera.
PT Malisya Sejahtera merupakan perusahaan milik Indofood dari Grup Salim. PT Malisya Sejahtera beroperasi di atas tanah garapan Petani Desa Tiberias sejak tahun 2001. Pada tahun tersebut PT Malisya Sejahtera mendapatkan Hak Guna Usaha padahal belum berbadan hukum.
Pada tahun 2017, Petani Tiberias yang dieksklusi dari lahan garapannya melakukan aksi protes yang kemudian diintimidasi dan dibungkam polisi dari dua Polres dan Brimob yang didukung Kodim Bolmong. Pada tahun itu juga, Petani Tiberias ditangkap dan dipenjara, yang secara bersamaan dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran 70 rumah oleh karyawan-karyawan PT Malisya Sejahtera serta tanaman musiman milik petani dirusak. Petani diproses hukum dengan tuduhan mencuri hasil tanaman yang adalah tanaman yang ditanam oleh Petani Tiberias sendiri. Pada kasus tersebut, putusan pidana menyatakan bahwa dakwaan melakukan pencurian dan memasuki HGU secara tidak sah tidak terbukti.
Secara paralel kemudian Petani Tiberias mengajukan gugatan perdata di tingkat Pengadilan Negeri Kotamobagu. Gugatan tersebut dikabulkan yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Manado, meski kemudian di tingkat kasasi gugatan ditolak dengan alasan tidak memiliki alas hak.
Tahun 2022 menjadi babak baru di mana Petani Tiberias kembali dilaporkan PT Malisya Sejahtera dengan dakwaan yang sama sebagaimana pada tahun 2017.
Kasus yang berkepanjangan dan berulang tersebut menggerakkan Abner Patras yang juga diproses pidana untuk melakukan aksi tunggal.
“Saya sebagai Kepala Desa Tiberias yang juga diproses pidana dengan hukum yang tidak memenuhi akal sehat, datang sendirian ke Jakarta mewakili Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, melakukan aksi unjuk rasa damai tunggal. Hendak mengetuk hati nurani peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kami menyerukan Ketua MA dan Para Hakim Agung yang dimuliakan agar perkara-perkara tersebut diadili sesuai hukum,” teriak Abner Patras.
Pada kesempatan tersebut, praktik Mafia Tanah dan Mafia Peradilan menjadi sorotan mengingat akar masalah kasus sengketa dan proses peradilan yang dihadapi para Petani Tiberias.
Serah Terima Jabatan dan Pisah Sambut Badan Pengurus TuK INDONESIA
/0 Comments/in Artikel, Berita, Buku, Database, laporan, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK IndonesiaSerah Terima Jabatan dan Pisah Sambut Badan Pengurus TuK INDONESIA
Jakarta. Selasa, 4 Juli 2023, dilaksanakan agenda serah terima jabatan sekaligus pisah sambut Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif dan personel TuK INDONESIA. Edi Sutrisno, Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2022-2023, telah menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan jabatan, tugas dan tanggungjawab jabatan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif TuK INDONESIA kepada Linda Rosalina, Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
“Ke depan, tantangan bagi TuK INDONESIA pasti tidak lebih mudah. Jadi, jangan merasa terbebani juga dan jangan fanatik dengan strategi pergerakan, melainkan fokuslah pada tujuan. Jangan ragu-ragu untuk mengambil langkah atau sikap politik, sebab arena ini seperti eksperimen, hanya ada terbukti dan tidak, bukan benar atau salah,” Edi Sutrisno berpesan kepada kepengurusan baru TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
Agenda tersebut turut dihadiri oleh Badan Pengawas dan Anggota TuK INDONESIA serta menjadi momentum silaturahmi dan pelepasan personel TuK INDONESIA yang melanjutkan pengabdian pada arena lain. Badan Pengawas TuK INDONESIA, Norman Jiwan menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas dedikasi Edi Sutrisno, Achmad Mubarok, dan Dewi K Setiawati dalam kerja-kerjanya bersama TuK INDONESIA. Pada kesempatan tersebut, Jiwan pun memberikan apresiasi kepada seluruh Badan Pengurus TuK INDONESIA Periode 2022-2023 atas capaian-capaian yang berkontribusi positif kepada gerakan sosial di Indonesia secara umum.
Abetnego Tarigan, Anggota TuK INDONESIA, menyampaikan, “Ke depan, TuK INDONESIA perlu mencapai hal-hal yang lebih baik dengan cara yang lebih agile agar tidak terjadi stagnasi organisasi.”
Agenda tersebut ditutup dengan penyerahan dokumen-dokumen berkenaan kepengurusan periode 2022-2023 serta pemberian kenang-kenangan. Serah terima jabatan tersebut tentu menjadi penanda babak baru TuK INDONESIA.
Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Buku, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Kebijakan, Kegiatan, laporan, Liputan Kegiatan, Makalah, Media, Panduan, Pernyataan, Publikasi, Siaran Pers /by TuK IndonesiaJakarta, Sabtu, 24 Juni 2023. TuK INDONESIA menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa Tahun 2023 sebagai forum pertemuan untuk merespon dan memutuskan situasi khusus yang dihadapi oraganisasi.
Dalam upaya menjawab dinamika organisasi dan meneruskan perjuangan transformasi berkeadilan, peran pemimpin dalam organisasi menjadi penting dalam menjalankan fungsi koordinasi dan manajerial, serta fungsi penting lainnya. Forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023 memutuskan dan menetapkan beberapa hal yang menjadi concern organisasi dan salah satunya adalah menetapkan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA Periode 2023-2026. Linda Rosalina, S.E.,M.Si, dipilih dan ditetapkan dalam forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023.
Pernyataan Visi:
Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan sosial oleh negara dan aktor non- negara dalam bidang kebijakan, program dan kegiatan agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam.
“Terima kasih atas kesepakatannya untuk memilih saya bersama TuK INDONESIA sampai tahun 2026 nanti. Saya harap kita bisa bersama-sama memajukan TuK INDONESIA. Kedepan saya membayangkan TuK INDONESIA lebih membumi sebagai pionir isu keuangan berkelanjutan di Indonesia mengingat isu keuangan itu sangat kritis. Mari sama-sama kita membangun TuK INDONESIA”, Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.
Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Isu, Keadilan Sosial, Kebijakan, laporan, Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaPencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan

Laporan Evaluasi dan Pencabutan Izin – Mei
Laporan Kegagalan Inisiatif Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan Hak Rakyat dan Pemulihan Lingkungan
Di awal pemerintahan Jokowi pada priode pertama, alokasi 12,7 juta hektar lahan lewat program Perhutanan Sosial dan TORA adalah salah satu target Nawacita. Bahkan program ini terus berjalan hingga periode kedua. Namun, hingga saat ini capaian PS dan TORA baru sekitar 40%. Padahal banyak inisiatif yang coba dilakukan, misalnya saja Evaluasi dan Pencabutan izin yang dilakukan oleh pemerintah pada januari 2022 lalu. Hingga saat ini, tidak ada tindakan lanjutan untuk mengalokasikan eks-eks izin yang dicabut kepada rakyat sebagai upaya pencapaian target Nawacita tersebut. Walhi dan Koalisi menyatakan bahwa Inisiatif Evaluasi dan Pencabutan Izin yang dilakukan Rezim Jokowi telah gagal bagi pemulihan hak rakyat dan pemulihan lingkungan.
Pada 6 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengadakan Konferensi Pers terkait dengan pencabutan izin dan hak atas tanah. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menjelaskan alasan pencabutan ketiga jenis izin. Pertama, 2078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut karena tidak pernah mengirimkan rencana kerja. Kedua, 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 ha dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan. Ketiga, HGU Perkebunan seluas 34.448 Ha dicabut karena ditelantarkan.1 Inisiatif ini dinilai banyak pihak sebagai inisiatif yang cukup baik sebagai bentuk langkah korektif, walaupun minim informasi dapat diakses oleh publik. Salah satu SK pencabutan izin yang dapat diakses oleh publik adalah SK Menteri LHK No. 01 Tahun 2022 yang terbit pada tanggal 5 Januari 2022. SK tersebut menerangkan jenis izin konsesi Kawasan Hutan yang menjadi objek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan izin, diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Jenis Perizinan yang Dicabut :
- Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami;
- PBPH atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu tanaman budi daya;
- Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (antara lain pertambangan, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, kelistrikan);
- Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, merupakan perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi menjadi bukan kawasan hutan serta tukar menukar kawasan hutan; dan
- Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak/ Izin Pengusahaan Pariwisata Alam merupakan pemanfaatan berupa izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam pada Kawasan Konservasi
Selengkapnya dapat dibaca pada laporan berikut:
Link terkait : Walhi
#TuKIndonesia
#walhi
#TORA
#nawacita
#AliansiMasyarakatAdatNusantara
#SawitWatch
Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Isu, Keadilan Sosial, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAKontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.
Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.
“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”
“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi.
Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.
Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah.
***
Narahubung:
Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257
Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458
Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091
SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Isu, Kegiatan, laporan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAMasyarakat Sipil Menuntut Bank Danamon Ikut Bertanggung Jawab terhadap Krisis Iklim
Aksi mengirimkan kado dan karangan bunga menuntut Bank Danamon untuk berhenti mendanai perusahaan yang merusak hutan, menyebabkan krisis iklim dan melanggar HAM
Jakarta, 25 Agustus 2021. Masyarakat sipil menuntut peran progresif perbankan agar lebih bertanggung jawab dan berperan aktif dalam menghentikan krisis iklim. Aksi ini menindaklanjuti laporan terbaru Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang memberikan “peringatan untuk kemanusiaan” (code red for humanity). Laporan tersebut memprediksi bahwa bumi akan mengalami kenaikan suhu rata-rata yang melampaui batas aman lebih cepat dari yang diperkirakan. Ironisnya dalam lima tahun sejak Perjanjian Paris, 60 bank terbesar di dunia telah mendanai bahan bakar fosil hingga $3,8 triliun. Pendanaan yang tidak terkendali untuk ekstraksi bahan bakar fosil dan infrastruktur ini telah memicu krisis iklim dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang.
“Krisis iklim sudah kita alami, kerugian akibat bencana tidak terhindari, kita perlu peran progresif dunia perbankan sebagai pemberi dana perusahaan ekstraktif dan perusahaan agribisnis yang berisiko terhadap hutan agar segera menyelaraskan kebijakan pendanaannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dan Perjanjian Iklim Paris,” ungkap Linda Rosalina, Juru Kampanye Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA yang menjadi pencetus petisi #StopDanaMonster di situs petisi daring change.org.
Lebih lanjut Linda mengusulkan, “Sudah seharusnya bank-bank besar bertransformasi dari pembiayaan konvensional ke pembiayaan berkelanjutan. Sebab saat ini, bank-bank sudah tidak bisa lagi menghindari tanggung jawab atas ketidak hati-hatian pembiayaan mereka. Bank Danamon sebagai anak perusahaan dari bank terbesar di Jepang MUFG, memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menjadi bank yang lebih bertanggung jawab dan memainkan peran integral dengan berkomitmen untuk menjaga tegakan hutan, menghormati HAM, dan segera mewajibkan seluruh perusahaan yang dibiayainya untuk menjunjung tinggi dan menegakkan standar lingkungan dan sosial melalui perjanjian kontrak, serta menghentikan hubungan dengan pihak-pihak yang merusak masa depan kita.”
Dalam kebijakan pengamanan perbankan terkait Lingkungan, Sosial, Tata Kelola (LST) harus mensyaratkan kepatuhan terhadap standar ‘Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut dan Nol Eksploitasi’ (NDPE), serta menetapkan penghormatan terhadap hak tenurial masyarakat lokal dan Masyarakat Adat, hak ketenagakerjaan ILO, namun selama ini, Bank Danamon tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap praktik terbaik NDPE. Bank Danamon sampai saat ini juga tidak mengungkapkan risiko LST dan rencana mitigasinya dan bahkan tercatat memberikan Pinjaman Korporasi dan Fasilitas Kredit Bergulir kepada Sinar Mas Grup (SMG), grup korporasi dengan berbagai catatan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, yang melibatkan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan.
Komitmen lembaga jasa keuangan, dalam hal ini lembaga perbankan, terhadap pembiayaan berkelanjutan akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakat sudah mulai sadar dan mengalami dampak krisis iklim, mereka juga mulai menyadari adanya risiko investasi dalam mempertimbangkan dan memilih produk jasa keuangan mana yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan keberlanjutan. “Lewat platform petisi change.org, hampir seribu orang telah meminta Bank Danamon untuk menghentikan pendanaan bagi perusahaan perusak lingkungan. Ini artinya banyak masyarakat yang peduli hutan Indonesia. Seharusnya upaya ini di apresiasi dan didengarkan oleh Bank Danamon”, ungkap Elok Faiqotul Mutia, Associate Campaign Manager Change.org
Melalui aksi pemberian kado dan karangan bunga perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, masyarakat sipil berharap Bank Danamon bisa memperkuat slogannya untuk menumbuhkan prinsip kehati-hatian, terutama dalam hal memilih mitra bisnis dan grup usaha yang didanai untuk berkolaborasi. Karena sesuai dengan slogan perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, yakni “Tumbuh melalui Kolaborasi”, sudah selayaknya Bank Danamon juga memiliki pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan berkelanjutan, yakni dengan cara menghentikan pendanaan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar HAM.
###
Narahubung:
Pengkampanye TuK Indonesia: Linda Rosalina ([email protected] / 081219427257)
Associate Campaign Manager Change.org: Elok Faiqotul Mutia (085211042626)
Untuk mengetahui jumlah tanda tangan petisi #StopDanaMonster bisa klik di sini (https://www.change.org/p/bank-danamon-stop-kasih-pendanaan-yang-merusak-lingkungan)
Menuntut akuntabilitas
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Pernyataan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaMenuntut akuntabilitas
Memperkuat akuntabilitas korporasi dan uji tuntas rantai pasok untuk melindungi hak asasi manusia dan menjaga lingkungan
Laporan ini didasarkan pada tinjauan cermat terhadap hubungan antara sepuluh perkebunan kelapa sawit kontroversial di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di dalamnya atau yang memperdagangkan, mengolah, atau membuat barang konsumsi dari produk mereka (lihat Gambar 1). Perkebunan-perkebunan yang diselidiki ini dinyatakan sebagai milik kelompok usaha Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood). Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditemukan meliputi penolakan/penyangkalan hakhak masyarakat adat, perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak lingkungan, penindasan, penganiayaan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa para pembela HAM. Terlepas dari pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang sangat serius, berjangka panjang dan terdokumentasi dengan baik ini, di lapangan, perusahaan-perusahaan hilir besar terus berinvestasi di, atau mengambil produk dari perkebunan-perkebunan ini, seringkali tanpa mencatat kerugian/kerusakan sosial yang perkebunan-perkebunan ini timbulkan atau tanpa menuntut tindakan perbaikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki meliputi Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK. Pemodal dan investor terkemuka meliputi, Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan grup perbankan Asia. Sebagian besar perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil dan inisiatif-inisiatif keberlanjutan lainnya. Namun, terlepas dari fakta bahwa pelanggaran yang terungkap jelas-jelas bertentangan dengan standar RSPO, serta kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi’ yang dimiliki perusahaan, perdagangan dan investasi terus berlanjut tidak terkendali.
Laporan ini menyoroti berbagai tuntutan terhadap para pelaku rantai pasok dari masyarakat terdampak, termasuk seruan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan hilir untuk menyelidiki kasus-kasus bersangkutan dan menyelesaikan dampak HAM dan pengaduan-pengaduan yang belum terselesaikan. Tuntutan khusus masyarakat akan rencana aksi terikat waktu untuk memfasilitasi pengembalian lahan dan ganti rugi juga dibuat terhadap Sime Darby, Cargill Inc, Astra International Group/Jardine Matheson, AAK, Nestlé, PepsiCo; Wilmar dan Unilever. Masyarakat terdampak menekankan perlunya tindak lanjut khusus dan transparan serta pemantauan langkah-langkah perbaikan dan berbagai kesepakatan. Dalam beberapa kasus, perusahaan hilir diminta menangguhkan pembelian minyak sawit dari para pemasok merugikan, seperti PT Kurnia Luwuk Sejati.
Laporan ini juga menyajikan rekomendasi-rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi badan pembuat undang-undang pemerintah yang menyusun regulasi tata kelola korporat dan regulasi keberlanjutan untuk rantai pasok ‘yang berisiko terhadap hutan’. Ditekankan bahwa agar efektif, regulasi bisnis dan rantai pasok haruslah memastikan, antara lain:
- Persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi, menangani, dan memperbaiki dampakdampak dalam rantai pasok dan portofolionya
- Pembentukan mekanisme pemantauan, verifikasi dan penegakan yang kuat untuk mendukung kepatuhan
- Sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar undang-undang uji tuntas dan regulasi rantai pasok yang berlaku
- Akses penyelesaian hukum lewat pengadilan di negara tempat perusahaan berdomisili bagi para pemegang hak dan masyarakat yang terkena dampak negatif dari kegiatan, hubungan bisnis, dan investasi mereka.
Laporan selengkapnya DISINI
MacInnes, A (2021) First Resources: Hiding in the Shadows FPP, Moreton in Marsh https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20-%20Hiding%20in%20the%20Shadows%20report_1.pdf ;
TuK INDONESIA (2021) “Civil Society Coalition Demands That MUFG and Bank Danamon Be Held Accountable for Forest Destruction, Climate Crisis and Human Rights Violation in Indonesia” https://www.tuk.or.id/2021/04/civil-society-coalition-demands-that-mufg-and-bank-danamon-be-held-accountable-for-forest-destruction-climate-crisis-and-human-rights-violation-in-indonesia/?lang=en
Jong H N (2021) “Palm oil conflicts persist amid lack of resolution in Indonesian Borneo” Mongabay Series: Indonesian Palm Oil, 15 march, 2021 https://news.mongabay.com/2021/03/palm-oil-conflicts-lack-of-resolution-in-indonesian-borneo-west-kalimantan/
Mei, L et al (2021) Stepping Up: Protecting collective land rights through corporate due diligence: A guide for global businesses, investors and policy makers FPP, Moreton in Marsh: https://www.forestpeoples.org/en/en/stepping-up-demanding-accountability
RAN (2020) The need for Free, Prior and Informed Consent: an evaluation of the policies and standard operating procedures of 10 major corporate groups involved in forest risk supply chains in SE Asia https://www.ran.org/wp-content/uploads/2020/12/RAN_FPIC_2020_vF-2.pdf
Follow us on Facebook
Newsletter
TuK INDONESIA
Jl Tebet Utara IIC No.22 A RT 004 RW 001
Kelurahan Tebet Timur
Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan 12820
Telepon : 021-22909920
Email: [email protected]