Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaSiaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.
“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.
Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu.
Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi.
Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.
Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.
Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.
Baca Juga :
– LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
–KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung
/0 Comments/in Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK IndonesiaUnjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung.
Pasca Unjuk Rasa Tunggal Kepala Desa Tiberias di Mahkamah Agung pada Rabu 05 Juli 2023, Kepala Desa Tiberias, Abner Patras berdiskusi dengan TuK INDONESIA mengenai Kasus sengketa Petani Desa Tiberias Kec. Poigar Kab. Bolmong Sulawesi Utara dengan PT Malisya Sejahtera.
PT Malisya Sejahtera merupakan perusahaan milik Indofood dari Grup Salim. PT Malisya Sejahtera beroperasi di atas tanah garapan Petani Desa Tiberias sejak tahun 2001. Pada tahun tersebut PT Malisya Sejahtera mendapatkan Hak Guna Usaha padahal belum berbadan hukum.
Pada tahun 2017, Petani Tiberias yang dieksklusi dari lahan garapannya melakukan aksi protes yang kemudian diintimidasi dan dibungkam polisi dari dua Polres dan Brimob yang didukung Kodim Bolmong. Pada tahun itu juga, Petani Tiberias ditangkap dan dipenjara, yang secara bersamaan dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran 70 rumah oleh karyawan-karyawan PT Malisya Sejahtera serta tanaman musiman milik petani dirusak. Petani diproses hukum dengan tuduhan mencuri hasil tanaman yang adalah tanaman yang ditanam oleh Petani Tiberias sendiri. Pada kasus tersebut, putusan pidana menyatakan bahwa dakwaan melakukan pencurian dan memasuki HGU secara tidak sah tidak terbukti.
Secara paralel kemudian Petani Tiberias mengajukan gugatan perdata di tingkat Pengadilan Negeri Kotamobagu. Gugatan tersebut dikabulkan yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Manado, meski kemudian di tingkat kasasi gugatan ditolak dengan alasan tidak memiliki alas hak.
Tahun 2022 menjadi babak baru di mana Petani Tiberias kembali dilaporkan PT Malisya Sejahtera dengan dakwaan yang sama sebagaimana pada tahun 2017.
Kasus yang berkepanjangan dan berulang tersebut menggerakkan Abner Patras yang juga diproses pidana untuk melakukan aksi tunggal.
“Saya sebagai Kepala Desa Tiberias yang juga diproses pidana dengan hukum yang tidak memenuhi akal sehat, datang sendirian ke Jakarta mewakili Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, melakukan aksi unjuk rasa damai tunggal. Hendak mengetuk hati nurani peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kami menyerukan Ketua MA dan Para Hakim Agung yang dimuliakan agar perkara-perkara tersebut diadili sesuai hukum,” teriak Abner Patras.
Pada kesempatan tersebut, praktik Mafia Tanah dan Mafia Peradilan menjadi sorotan mengingat akar masalah kasus sengketa dan proses peradilan yang dihadapi para Petani Tiberias.
Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Isu, Keadilan Sosial, Kebijakan, laporan, Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaPencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan

Laporan Evaluasi dan Pencabutan Izin – Mei
Laporan Kegagalan Inisiatif Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan Hak Rakyat dan Pemulihan Lingkungan
Di awal pemerintahan Jokowi pada priode pertama, alokasi 12,7 juta hektar lahan lewat program Perhutanan Sosial dan TORA adalah salah satu target Nawacita. Bahkan program ini terus berjalan hingga periode kedua. Namun, hingga saat ini capaian PS dan TORA baru sekitar 40%. Padahal banyak inisiatif yang coba dilakukan, misalnya saja Evaluasi dan Pencabutan izin yang dilakukan oleh pemerintah pada januari 2022 lalu. Hingga saat ini, tidak ada tindakan lanjutan untuk mengalokasikan eks-eks izin yang dicabut kepada rakyat sebagai upaya pencapaian target Nawacita tersebut. Walhi dan Koalisi menyatakan bahwa Inisiatif Evaluasi dan Pencabutan Izin yang dilakukan Rezim Jokowi telah gagal bagi pemulihan hak rakyat dan pemulihan lingkungan.
Pada 6 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengadakan Konferensi Pers terkait dengan pencabutan izin dan hak atas tanah. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menjelaskan alasan pencabutan ketiga jenis izin. Pertama, 2078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut karena tidak pernah mengirimkan rencana kerja. Kedua, 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 ha dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan. Ketiga, HGU Perkebunan seluas 34.448 Ha dicabut karena ditelantarkan.1 Inisiatif ini dinilai banyak pihak sebagai inisiatif yang cukup baik sebagai bentuk langkah korektif, walaupun minim informasi dapat diakses oleh publik. Salah satu SK pencabutan izin yang dapat diakses oleh publik adalah SK Menteri LHK No. 01 Tahun 2022 yang terbit pada tanggal 5 Januari 2022. SK tersebut menerangkan jenis izin konsesi Kawasan Hutan yang menjadi objek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan izin, diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Jenis Perizinan yang Dicabut :
- Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami;
- PBPH atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu tanaman budi daya;
- Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (antara lain pertambangan, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, kelistrikan);
- Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, merupakan perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi menjadi bukan kawasan hutan serta tukar menukar kawasan hutan; dan
- Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak/ Izin Pengusahaan Pariwisata Alam merupakan pemanfaatan berupa izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam pada Kawasan Konservasi
Selengkapnya dapat dibaca pada laporan berikut:
Link terkait : Walhi
#TuKIndonesia
#walhi
#TORA
#nawacita
#AliansiMasyarakatAdatNusantara
#SawitWatch
Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong
/0 Comments/in Buku, Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial, Kebijakan, Lingkungan Hidup, Pernyataan, Publikasi /by TuK INDONESIAKonflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan emas PT. Trio Kencana di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah mencapai puncaknya pada 12 Februari 2022. Masyarakat yang menolak hadirnya aktivitas pertambangan, karena khawatir akan mempengaruhi lingkungan dan ekosistem pertanian. Saat itu masyarakat melakukan protes yang berujung pada pembubaran massa oleh aparat kepolisian gabungan dari Polres Parimo dan Polda Sulawesi Tengah. Akibat kejadian tersebut menyebabkan tewasnya seorang warga ER (21 tahun) akibat tembakan aparat. Selain itu, terdapat 59 orang ditangkap oleh pihak kepolisian, hanya saja satu orang dibebaskan di tingkat Polsek Kasimbar, sehingga yang dibawa ke tingkat Polda Sulawesi Tengah sebanyak 58 orang.
Konflik tersebut merupakan latar belakang yang mendorong diinisiasinya Penelitian “Keberterimaan Sosial dan Persepsi Masyarakat terhadap Usaha Pertambangan serta Dampaknya” (Studi Kasus Pertambangan Emas di Parigi Moutong), Studi ini kemudian dikembangankan menjadi rekomendasi kebijakan dalam bentuk “Policy Brief Perlindungan Lingkungan & Pangan di Kab. Parigi Moutong”.
secara lengkap, policy brief tersebut dapat diunggah pada tautan berikut : Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong
Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
/0 Comments/in Artikel, Berita, Buku, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, Lingkungan Hidup, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK INDONESIAPendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.
Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.
Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.
Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.
Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.
Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.
Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Isu, Keadilan Sosial, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAKontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.
Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.
“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”
“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi.
Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.
Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah.
***
Narahubung:
Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257
Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458
Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091
Menuntut akuntabilitas
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Berita, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Pernyataan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaMenuntut akuntabilitas
Memperkuat akuntabilitas korporasi dan uji tuntas rantai pasok untuk melindungi hak asasi manusia dan menjaga lingkungan
Laporan ini didasarkan pada tinjauan cermat terhadap hubungan antara sepuluh perkebunan kelapa sawit kontroversial di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di dalamnya atau yang memperdagangkan, mengolah, atau membuat barang konsumsi dari produk mereka (lihat Gambar 1). Perkebunan-perkebunan yang diselidiki ini dinyatakan sebagai milik kelompok usaha Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood). Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditemukan meliputi penolakan/penyangkalan hakhak masyarakat adat, perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak lingkungan, penindasan, penganiayaan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa para pembela HAM. Terlepas dari pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang sangat serius, berjangka panjang dan terdokumentasi dengan baik ini, di lapangan, perusahaan-perusahaan hilir besar terus berinvestasi di, atau mengambil produk dari perkebunan-perkebunan ini, seringkali tanpa mencatat kerugian/kerusakan sosial yang perkebunan-perkebunan ini timbulkan atau tanpa menuntut tindakan perbaikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki meliputi Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK. Pemodal dan investor terkemuka meliputi, Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan grup perbankan Asia. Sebagian besar perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil dan inisiatif-inisiatif keberlanjutan lainnya. Namun, terlepas dari fakta bahwa pelanggaran yang terungkap jelas-jelas bertentangan dengan standar RSPO, serta kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi’ yang dimiliki perusahaan, perdagangan dan investasi terus berlanjut tidak terkendali.
Laporan ini menyoroti berbagai tuntutan terhadap para pelaku rantai pasok dari masyarakat terdampak, termasuk seruan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan hilir untuk menyelidiki kasus-kasus bersangkutan dan menyelesaikan dampak HAM dan pengaduan-pengaduan yang belum terselesaikan. Tuntutan khusus masyarakat akan rencana aksi terikat waktu untuk memfasilitasi pengembalian lahan dan ganti rugi juga dibuat terhadap Sime Darby, Cargill Inc, Astra International Group/Jardine Matheson, AAK, Nestlé, PepsiCo; Wilmar dan Unilever. Masyarakat terdampak menekankan perlunya tindak lanjut khusus dan transparan serta pemantauan langkah-langkah perbaikan dan berbagai kesepakatan. Dalam beberapa kasus, perusahaan hilir diminta menangguhkan pembelian minyak sawit dari para pemasok merugikan, seperti PT Kurnia Luwuk Sejati.
Laporan ini juga menyajikan rekomendasi-rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi badan pembuat undang-undang pemerintah yang menyusun regulasi tata kelola korporat dan regulasi keberlanjutan untuk rantai pasok ‘yang berisiko terhadap hutan’. Ditekankan bahwa agar efektif, regulasi bisnis dan rantai pasok haruslah memastikan, antara lain:
- Persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi, menangani, dan memperbaiki dampakdampak dalam rantai pasok dan portofolionya
- Pembentukan mekanisme pemantauan, verifikasi dan penegakan yang kuat untuk mendukung kepatuhan
- Sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar undang-undang uji tuntas dan regulasi rantai pasok yang berlaku
- Akses penyelesaian hukum lewat pengadilan di negara tempat perusahaan berdomisili bagi para pemegang hak dan masyarakat yang terkena dampak negatif dari kegiatan, hubungan bisnis, dan investasi mereka.
Laporan selengkapnya DISINI
MacInnes, A (2021) First Resources: Hiding in the Shadows FPP, Moreton in Marsh https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20-%20Hiding%20in%20the%20Shadows%20report_1.pdf ;
TuK INDONESIA (2021) “Civil Society Coalition Demands That MUFG and Bank Danamon Be Held Accountable for Forest Destruction, Climate Crisis and Human Rights Violation in Indonesia” https://www.tuk.or.id/2021/04/civil-society-coalition-demands-that-mufg-and-bank-danamon-be-held-accountable-for-forest-destruction-climate-crisis-and-human-rights-violation-in-indonesia/?lang=en
Jong H N (2021) “Palm oil conflicts persist amid lack of resolution in Indonesian Borneo” Mongabay Series: Indonesian Palm Oil, 15 march, 2021 https://news.mongabay.com/2021/03/palm-oil-conflicts-lack-of-resolution-in-indonesian-borneo-west-kalimantan/
Mei, L et al (2021) Stepping Up: Protecting collective land rights through corporate due diligence: A guide for global businesses, investors and policy makers FPP, Moreton in Marsh: https://www.forestpeoples.org/en/en/stepping-up-demanding-accountability
RAN (2020) The need for Free, Prior and Informed Consent: an evaluation of the policies and standard operating procedures of 10 major corporate groups involved in forest risk supply chains in SE Asia https://www.ran.org/wp-content/uploads/2020/12/RAN_FPIC_2020_vF-2.pdf
Mengapa RUU Omnibus Law Harus Dibatalkan
/0 Comments/in Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaCoba cek ada berapa frasa demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dalam 1981 halaman naskah akademik dan 1028 halaman RUU Cipta Kerja? Hasilnya sungguh fantastis, nihil! Sejak awal dengan begitu saya katakan Omnibus Law ini cacat ideologis. RUU ini dibuat tidak untuk menjalankan amanat konstitusi, demokrasi ekonomi[1]. Jadi, Omnibus Law membunuh ekonomi kerakyatan sejak dalam pikiran!
Olah karenanya sia-sia membahas pasal per pasal. Isinya sudah pasti bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Alih-alih mendorong demokratisasi ekonomi, Omnibus Law pasti akan mendorong korporatokrasi. Dan benar saja, isi Omnibus Law memberi solusi dominan bagi penciptaan lapangan kerja, investasi.
Lewat pintu manalagi investor menguasai SDA, buruh murah, pasar, dan infrastrutur selain investasi?[2] Sedangkan jebakan utang (debt-trap) sudah aman sejak jauh-jauh hari. Maka 1028 halaman Omnibus Law dipenuhi upaya bagaimana penyediaan lahan, peluang bisnis, serta pasar tenaga kerja yang fleksibel bagi kepentingan investor. Dan 7 juta pengangguran pun dijadikan alasan pembenar.
Maka kita pun perlu bertanya, investor yang mana? Sedangkan 97% lapangan kerja disediakan oleh ekonomi rakyat, yang sering disebut UMKM[3]. 87% lapangan kerja disediakan oleh Usaha Mikro, yang merupakan 98% dari pelaku usaha di Indonesia. Konsep UMKM lebih disukai untuk menjauhkan ekonomi dari kata rakyat. Mungkin dianggap berbahaya?[4].
Ekonomi rakyat menyumbang 60% produksi nasional (8200 trilyun), sekaligus 50% investasi nasional (400 trilyun). Meskipun yang tidak tercatat tentu jauh lebih besar. Maka kekuatannya untuk menciptakan lapangan kerja sudah barang tentu jauh lebih besar daripada investasi skala besar. Lalu mengapa Omnibus Law hanya menyediakan 24 pasal dalam 7 halaman dari total 1028 halaman keseluruhan?
Bahkan dalam masa krisis moneter 1997/1998 di saat segelintir oligarki usaha besar merampok APBN melalui BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan[5], ekonomi rakyat terbukti berdaya tahan tinggi dan berjasa besar. Tetap menjadi solusi lapangan kerja di saat banyak perusahaan besar kolaps dan para pekerjanya terkena PHK dan dirumahkan.
Dan kini pandemi Covid-19 diperkirakan menambah jumlah pengangguran antara 2,9 juta-10 juta orang. Mengharap investasi besar tentu saja tidak masuk akal. Di saat normal saja 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 270.000 tenaga kerja baru, apalagi disaat pandemi sekarang[6]. Terbukti lagi di kala krisis perspektif Omnibus Law berbahaya dan tidak dapat diandalkan.
Pandemi membuat ekonomi Indonesia di persimpangan jalan. Tetap melanggengkan korporatokrasi yang memusatkan penguasaan 68% tanah dan 50% kekayaan hanya pada 1% elit oligarki ataukah berputar haluan, kembali ke jalan ekonomi kerakyatan? Pengalaman krisis moneter dimana ekonomi rakyat menjadi penyelamat ekonomi nasional kiranya akan berulang.
Bukan saja itu. Pandemi menjadi momentum untuk menjalankan amanat konstitusi, meningkatan kontroll dan daulat rakyat atas perekonomian. Sepertihalnya konfederasi koperasi tani di Jepang yang menguasai hulu sampai hilir pertanian di Jepang. Begitupula 500.000 pekerja Singapura yang di Fairprice cooperative menguasai 58% pangsa ritel negaranya.
Demikian halnya koperasi petani di negara-negara Skandinavia yang memaksa konglomerat bertuekuk lutut dihadapan mereka. Pun serikat-serikat rakyat yang menguasai 80% keuangan dan perbankan di Jerman, serta para pelaku ekonomi rakyat Prancis yang memiliki bank terbesar kedua di negaranya.
Seperti pula 13 juta pekerja di Amerika yang sudah memiliki saham di tempat bekerjanya. Sama halnya dengan 80.000 pekerja di Mondragon, Spanyol yang mengendalikan koperasi produksi, bank, asuransi, ritel, bahkan memiliki Universitas sendiri di kota tersebut. Dan masih banyak praktek nyata ekonomi kerakyatan berskala nasional.
Apa yang terjadi di negara-negara tersebut dan bagaimana mencapainya sudah diletakkan dasar-dasarnya sejak 75 tahun lalu oleh para pendiri bangsa kita di dalam UUD 1945[7]. Pandemi ini mestinya menjadi momentum untuk melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan. Melalui penguatan ekonomi rakyat[8] niscaya di balik musibah pandemi ini ada berkah bagi bangsa Indonesia ke depan.
Dan kita bisa mulai dari batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sekarang!
Yogyakarta, 4 Mei 202
Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Keterangan:
[1] Cek Pasal 33 UUD 1945 masih utuh persis sama isinya sejak 1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ekkeluargaan”. Selama isinya masih utuh maka tafsirnya dapat merujuk pada bagian Penjelasan (meskipun sudah dihapus) yang berbunyi: “dalam pasal ini tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.
[2] Sejak era kolonial, orde baru, dan pasca reformasi skema ini terus saja dilanjutkan, yang oleh Sukarno duseh disebut sebagai ciri-ciri ekonomi yang berwatak kolonial
[3] Di Barat disebut Small Medium Enterprises (SME’s), karena tidak mewakili kondisi struktur pelaku ekonomi Indonesia maka ditambah istilah baru Usaha Mikro.
[4] UMKM lebih atomis parsial, sedangkan ekonomi rakyat cenderung kolektif dan memiliki potensi pengorganisasian. Jika ada ekonomi rakyat, maka ada pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, industri rakyat, yang biasanya beroposisi dengan oligarki perekonomian. Maka harus dipastikan ekonomi rakyat, sebagai tenaga penggerak ekonomi kerakyatan juga tetap terbunuh sejak dalam pikiran.
[5] Mode ini selalu berulang disaat krisis, banyak usaha besar yang memanfaatkan kesempatan, berakibat Indonesia berada dalam jebakan utang (debt-trap) yang semakin berkepanjangan.
[6] Jumlah investasi sebesar 800 trilyun baru mampu menyerap 1, 034 juta tenaga kerja baru, dan kemampuan penyerapannya cenderung menurun setiap tahun pasca revolusi industri 4.0
[7] Pasal 31 menjadi dasar bagi pembangunan manusia sebagai modalitas pertumbuhan berkualitas yang selain menciptakan lapangan kerja juga melestarikan lingkungan dan memeratakan perekonomian. Pasal 33 ayat (1) menjadi dasar bagi penguatan organisasi ekonomi rakyat dan koperasi. Pasal 33 ayat (2) dan (3) menjadi dasar bagi penguasaan negara atas kekayaan alam dan cabang produksi strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, serta peran negara dalam perekonomian, baik melalui kebijakan maupun kelembagaan BUMN, BUMD, dan BUMDes
[8] Pada masa pandemic konomi rakyat dan koperasi tidak saja perlu bantuan/insentif, melainkan perlu dukungan pengembangan SDM, organisasi, teknologi, TI, jaringan, infrastruktur, dan koneksitas dengan perguruan tinggi. Baca tulisan saya “Pancasila di Tengah Corona”
Kampanye Hitam atau Kampanye Hijau? Melihat Sawit Indonesia dan Resolusi Uni Eropa dengan Positif
/0 Comments/in Artikel, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, Lingkungan Hidup, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaRahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Dua bulan yang lampau, tepatnya tanggal 17 Maret 2017 Kateřina Konečná dari Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, Parlemen Uni Eropa, menerbitkan sebuah laporan setebal 39 halaman. Laporan itu, Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan tersebut sebetulnya hanya bersifat rekomendatif, namun kemudian menjadi kuat ketika didukung oleh majoritas anggota Parlemen. Pemungutan suara melalui voting yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017, menghasilkan 640 anggota menyatakan persetujuan, 18 menolak, dan 28 menyatakan abstain. Hal itu berarti persetujuan lebih dari 39% anggota Parlemen.
Laporan itu, dan terutama resolusinya, kemudian menghasilkan serangkaian ekspresi kekecewaan dan kemarahan di Indonesia. Sejumlah kementerian dan perwakilan industri menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat diskriminatif dan sesungguhnya hanya wujud dari proteksionisme dalam perang dagang yang dibungkus dalam jargon-jargon keberlanjutan. Kementerian Luar Negeri menyatakan: “[The resolution] only validates our suspicion that the seemingly endless attacks on palm oil by green NGOs and consumer organisations since the late 1990s have partly been prompted by strong lobbying by the EU vegetable oil industry to weaken the competitiveness of Indonesian palm oil.”
Tuduhan bahwa LSM lingkungan—dan secara lebih terbatas LSM konsumen—melakukan kampanye hitam untuk merugikan kepentingan ekonomi Indonesia memang sudah lama digembar-gemborkan. Namun apa yang dinyatakan oleh LSM-LSM terkait dengan dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit itu sesungguhnya selalu didukung oleh ilmu pengetahuan. Sebaliknya, tuduhan terhadap LSM kerap hanya bersifat fitnah belaka.
Ambil contoh soal hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi. Para peneliti yang menggunakan hutan dalam pengertian ekologis memang menemukan bahwa perkebunan sawit di seluruh dunia—bukan hanya di Indonesia—sebagiannya memang berasal dari hutan yang dikonversi. Hal ini sejalan dengan metaanalisis yang dilakukan oleh Busch dan Ferretti-Gallon (2017) yang menemukan bahwa deforestasi di seluruh dunia memang paling kuat terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit. Khusus di Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 54% deforestasi di Indonesia antara 1989-2013 (Vijay, et al., 2016), sementara penelitian sebelumnya menyatakan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu setidaknya 56% (Koh dan Wilcove, 2008).
Memang ada upaya untuk membantahnya. Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017). Mereka berupaya untuk ‘membuktikan’ bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah penyebab deforestasi, melainkan penyelamat Indonesia dari deforestasi. Namun, secara sepintas dapat dikatakan metodologi yang dipergunakan tidak akan bisa mendukung kesimpulan itu. Ada tiga hal dalam metodologinya yang bisa dinyatakan sebagai kelemahan. Pertama, definisi deforestasi yang bersifat administratif belaka, tidak sesuai dengan pengertian ekologis; kedua, menggunakan data yang berasal dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau saja, dan bukan di seluruh wilayah Indonesia; dan, ketiga, melihat hanya perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha saja, dan bukan kondisi aktual perkebunan kelapa sawit baik yang legal maupun ilegal. Apa yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017) sesungguhnya bisa dinyatakan hanya bersifat apologetik, kalau bukan malahan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran.
Padahal, daripada melakukan tindakan apologetik maupun sekadar mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan, ada cukup banyak perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bisa ditunjukkan kepada dunia, sebagai bukti bahwa Indonesia memang memerhatikan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, termasuk dalam perkebunan kelapa sawit. Memfasilitasi tindakan perbaikan menuju keberlanjutan serta komunikasinya yang tepat adalah hal yang sudah lama menjadi sikap sejumlah besar LSM lingkungan yang bekerja di Indonesia. Alih-alih melakukan kampanye hitam sebagaimana yang dituduhkan, LSM lingkungan sesungguhnya telah, sedang, dan akan terus melakukan kampanye hijau untuk mendukung Indonesia yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam menyikapi resolusi yang dibuat oleh Uni Eropa tersebut, LSM lingkungan lebih melihatnya sebagai peluang dan ajakan kerjasama dari Uni Eropa untuk memerbaiki kondisi perkelapasawitan di Indonesia—yang oleh banyak peneliti dalam negeri sendiri dinyatakan perlu banyak tindakan korektif. Dari mood yang ditunjukkan oleh dokumen Uni Eropa itu di awalnya, jelas yang disampaikan adalah otokritik bahwa negara-negara Uni Eropa, sebagai konsumen, sesungguhnya turut berkontribusi pada berbagai dampak negatif yang masih ada di industri kelapa sawit, khususnya di perkebunannya. Dari otokritik itu kemudian diajukanlah serangkaian rekomendasi tindakan.
Namun, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa dokumen tersebut juga bukanlah dokumen yang sempurna, melainkan memang masih mengandung sejumlah hal yang perlu diperbaiki. Uni Eropa jelas memiliki kepentingan untuk membuat dokumen yang lebih ringkas lagi, sebaiknya maksimal 5 halaman, dan sedapat mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih banyak pemangku kepentingan yang bisa mengakses isinya secara langsung, bukan sekadar membaca secara sepotong-potong dan/atau mendengar dari pihak lain. Sebagaimana yang ditengarai oleh beberapa peneliti, kemungkinan kekecewaan dan kemarahan sebagian pihak di Indonesia itu disebabkan oleh karena belum membacanya secara lengkap. Namun, membaca 39 halaman dalam bahasa asing adalah tugas yang masih terlampau berat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari prasangka buruk, tentu saja Uni Eropa perlu juga untuk menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan memang ditunjukkan untuk seluruh produk yang mereka produksi dan konsumsi. Itu juga berarti termasuk seluruh miyak nabati, bukan cuma minyak sawit. Di Indonesia, berkembang pemikiran bahwa minyak nabati lainnya sama sekali tidak diproduksi dengan memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan. Apalagi, kebutuhan lahan untuk memroduksi minyak nabati lain dalam volume yang sama sangatlah besar, berkali lipat dibandingkan minyak sawit. Jadi, minyak nabati lainnya dipandang sebagai produk kompetitor yang lebih inferior.
Di dalam dokumen yang kemudian menjadi dasar resolusi, hal tersebut sedikit disinggung. Namun kemudian, yang mengherankan untuk kebanyakan orang di Indonesia adalah bahwa salah satu rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Uni Eropa sendiri, terutama untuk biodiesel. Dalam hal ini, Uni Eropa penting untuk menjelaskan alasannya dengan membuktikan bahwa memang pertimbangan keberlanjutanlah yang dipergunakan dalam mengambil rekomendasi itu. Lantaran tak mungkin minyak nabati lain lebih tinggi produktivitasnya per satuan luas lahan dibandingkan sawit, maka satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah karena kedekatannya, sehingga mungkin menjadi lebih kecil jejak karbonnya. Namun, sekali lagi, hal itu perlu dibuktikan secara ilmiah.
Uni Eropa, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam dokumen tersebut, bersedia untuk membantu negara-negara penghasil sawit, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keberlanjutan pada industri sawit. Ini sangat penting untuk benar-benar diwujudkan, lewat beragam cara yang mungkin, termasuk dengan memberikan bantuan teknis kepada petani kelapa sawit skala kecil—yang lebih rentan dibandingkan dengan perkebunan besar—dan kesediaan membayar harga yang lebih baik untuk sawit yang dikelola secara lestari. Melihat berbagai peluang perbaikan sepanjang value chain sangat perlu dilakukan, lalu mengeksekusi tindakan-tindakan perbaikan yang mungkin.
Di Indonesia juga ada berbagai pernyataan bahwa data yang dicantukan di dalam dokumen tersebut tidak seluruhnya mutakhir. Ada baiknya, segera dilakukan dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia untuk mengetahui perkembangan-perkembangan terbaru di lapangan. Hal ini sangat penting dilakukan sehingga Uni Eropa bisa mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Indonesia. Kalau dalam dokumen itu Uni Eropa mengapresiasi Badan Restorasi Gambut, maka pencapaian lain yang belakangan muncul, termasuk beragam inisiatif yang masih dalam pipeline seperti Satu Peta dan regulasi tentang Ekonomi Lingkungan juga sangat perlu diapresiasi sebagai kemajuan menuju keberlanjutan. Lebih jauh, Uni Eropa mungkin dapat memertimbangkan kerjasama dalam inisiatif-inisiatif baru tersebut.
Tentu, yang lebih baik lagi adalah apabila dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia bisa menghasilkan pengetahuan terbaru mengenai kinerja keberlanjutan, bukan sekadar proses mencapainya. Lalu, keduanya bisa mencapai kesepakatan tentang apa saja kesenjangan yang masih ada dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menutup kesenjangan itu. Dengan demikian, maka kerjasama menuju keberlanjutan—sebagaimana yang misalnya dinyatakan oleh SDGs dalam Tujuan ketujuhbelasnya—bisa benar-benar diwujudkan. Kerjasama ini, dan bukannya saling melempar tuduhan dan kecaman, adalah jalan menuju keberlanjutan yang hakiki. Kalau disepakati, Uni Eropa juga semestinya menjadi bagian dari kampanye hijau untuk perbaikan Indonesia.
Namun pekerjaan rumah Indonesia sendiri perlu untuk disadari. Koordinasi antar-kementerian dan lembaga sendiri bukan hal yang sudah rampung. Sebagaimana yang kita saksikan beberapa hari belakangan, regulasi tentang pengelolaan ekosistem gambut malah ditentang oleh Kementerian Perindustrian. Ini menunjukkan perlawanan terhadap kepentingan konservasi dan rehabilitasi gambut yang sudah diamanatkan Presiden RI dan merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk mengupayakan turunnya peluang dan dampak kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Kalau dipikirkan lebih dalam, sesungguhnya tindakan Kementerian Perindustrian itulah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam terhadap negeri sendiri di mata internasional. Arah yang benar dalam pengelolaan gambut malah hendak digagalkan. Upaya menyabotase Indonesia dari tujuan keberlanjutan ini haruslah dihentikan. Sementara upaya untuk membangun keberlanjutan Indonesia—oleh pemangku kepentingan internal maupun bersama-sama dengan pemangku kepentingan eksternal seperti Uni Eropa—perlu dilakukan dengan serius.
Follow us on Facebook
Newsletter
TuK INDONESIA
Jl Tebet Utara IIC No.22 A RT 004 RW 001
Kelurahan Tebet Timur
Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan 12820
Telepon : 021-22909920
Email: [email protected]