Rilis Media Bersama

RSPO Membiarkan Anggotanya Beroperasi di Kawasan Hutan

Rilis Media Bersama

RSPO Membiarkan Anggotanya Beroperasi di Kawasan Hutan

Jakarta 21 November 2023. Konferensi meja bundar Roundtable Sustainable on Palm Oil (RT RSPO) tahun 2023 diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 20-22 November. Pertemuan ini menjadi momen untuk merefleksikan kembali eksistensi RSPO menjelang 20 tahun organisasi multipihak ini bekerja. Sertifikasi berkelanjutan gagal memastikan perusahaan-perusahaan patuh pada komitmen tingkat tinggi pengurangan dan pengendalian kejahatan lingkungan.

Perjalanan RSPO telah menentukan keberpihakannya dalam menjamin keberlangsungan produksi kelapa sawit di Indonesia. Fakta menunjukan bahwa produksi kelapa sawit penuh dengan konflik berdarah-darah yang melibatkan komunitas lokal. Tidak hanya itu, jaminan atas perkebunan sawit berkelanjutan terbukti telah gagal diwujudkan. Kegagalan ini dapat dibuktikan dengan sejumlah kasus yang terjadi dan berlangsung hampir di sepanjang tahun 2023 dimana penanaman kelapa sawit di kawasan hutan dan kebakaran hutan masih terus berlangsung.

TuK INDONESIA menemukan bahwa dari total pengampunan seluas 836 hektar sawit ilegal dalam kawasan hutan, grup-grup besar anggota RSPO memohon pengampunan dengan masing-masing persentase: Musim Mas Holdings Pte. Ltd. (33.1%), PT. Sawit Sumbermas Sarana (23.2%), Goodhope Asia Holdings Ltd. (14.9%), Golden Agri-Resources Ltd (12.4%), dan Kuala Lumpur Kepong Berhad (5%). TuK INDONESIA juga mencatat bahwa bank dan investor anggota RSPO juga terlibat dalam pembiayaan perusahaan yang sawitnya dalam kawasan hutan, diantaranya ada BNP Paribas dan HSBC Holdings Plc.

Pantau Gambut mengidentifikasi bahwa RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) membiarkan anggotanya beroperasi di kawasan ilegal. Klaim ini didasarkan pada temuan Pantau Gambut yang menyebutkan adanya 47 perusahaan anggota RSPO dari total 278 perusahaan aktif beroperasi di atas Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) seluas 407.264 hektare. Yang menjadi polemik adalah 84% luasan tersebut merupakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang jelas dilarang pada PP No. 57 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Melihat kondisi tersebut, Pantau Gambut mendorong seluruh pihak yang memiliki keterkaitan dengan RSPO untuk memberikan sikapnya bahwa RSPO tidak relevan. Temuan kami menunjukkan bahwa keanggotaan RSPO tidak berkorelasi lurus dengan penyelamatan hutan.

Greenpeace menyebutkan bahwa RSPO memiliki total gabungan seluas 283.686 hektar kelapa sawit yang terletak secara ilegal di kawasan hutan, kendati Prinsip dan Kriteria RSPO menuntut kepatuhan kepada hukum dan peraturan nasional yang berlaku. Diantara perusahaan-perusahaan tersebut, Greenpeace Indonesia juga mengidentifikasi hampir 100 perusahaan anggota RSPO dengan masing-masing memiliki lebih dari 100 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan, sementara terdapat delapan perusahaan dengan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 ha.

Keberadaan signifikan dari perkebunan-perkebunan bersertifikasi RSPO di dalam kawasan hutan membahayakan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2021, “code red for humanity,” menyatakan bahwa setelah penggunaan energi fosil, perubahan fungsi lahan, termasuk kegiatan seperti konversi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh manusia.

“Perusahaan kelapa sawit yang secara ilegal beroperasi di dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi yang tegas, tidak hanya administratif tetapi juga sanksi pidana, alih-alih menikmati pemutihan. Seharusnya RSPO bisa mencabut seluruh sertifikasi perusahaan anggotanya yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Hal ini membuktikan bahwa mekanisme-mekanisme seperti RSPO tidak lagi relevan menyelesaikan permasalahan rantai pasok kelapa sawit dari hulu hingga hilir.” tegas Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Indonesia.

Direktur TuK INDONESIA Linda Rosalina menjelaskan bahwa RSPO tidak relevan lagi saat ini dan gagal dalam menjamin keberlanjutan kelapa sawit. Lembaga ini justru jadi alat berlindung korporasi-korporasi perusak lingkungan. Mereka adalah yang terdepan dalam menyebabkan perubahan iklim, RSPO menjadi alat untuk menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berkelanjutan “Greenwashing”. Publik kemudian tertipu untuk menggunakan produk yang bersertifikat RSPO dari hasil rantai pasok merek-merek internasional ternama.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah penolakan kasus yang dilakukan oleh RSPO terhadap aduan warga Kerunang-Entapang Kabupaten Seruyan Provinsi Kalimantan Barat atas beroperasinya PT Mitra Austral Sejahtera anak perusahaan Sime Darby pada tahun 2012. Proses komplain yang panjang dan memakan korban tidak menghasilkan apapun. Pada tanggal 10 Agustus 2023 RSPO menyatakan bahwa pengaduan ini tidak cukup bukti dan mengabaikan bukti yang diajukan oleh masyarakat berupa hukum adat Derasah sebagai bukti bahwa tanah warga tidak dijual kepada pihak perusahaan. RSPO juga menyatakan bahwa tidak dapat memutuskan kasus tersebut karena PT Mitra Austral Sejahtera bukan anggota RSPO karena bukan lagi anak perusahaan Sime Darby (2023)

TuK INDONESIA sendiri mengidentifikasi bahwa sepanjang satu dekade—setengah—perjalanan RSPO, statistik menunjukkan sebanyak 74 pengaduan terhadap Anggota RSPO diajukan dalam Sistem Pengaduan RSPO. Jika dilihat di laman web portal pengaduan RSPO, total sejak mekanisme tersebut dijalankan, terdapat 160 jumlah aduan. Meski belum termasuk melihat aduan-aduan yang berhasil RSPO tutup tanpa keputusan dismissed, diidentifikasi bahwa sepanjang 2018 hingga 2023, Indonesia menjadi negara dengan perkebunan sawit ter-capture paling bermasalah—setidaknya dari banyaknya jumlah aduan.

Isu tenaga kerja menjadi isu paling banyak dilaporkan (38,5%), diikuti isu deforestasi (12,8%), Free, Prior and Informed Consent/FPIC (9,4), intimidasi masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat (9,4%), kemudian sengketa lahan (8,5%), yang mana bertolak dari observasi lapang dan kerja-kerja advokasi yang selama ini dilakukan, isu-isu tersebut merupakan isu yang saling berhubungan erat dan berkelindan satu sama lain.

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana menjelaskan, “Klaim ketidakrelevanan RSPO berdasarkan penilaian kami pada proses Prinsip dan Kriteria RSPO yang tidak benar-benar dilakukan kepada anggotanya yang terbukti bersalah.” Hal ini dibuktikan oleh banyaknya perusahaan anggota RSPO yang beroperasi di atas KHG yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) periode 2015 hingga 2019.

Di samping itu, Pantau Gambut mencatat setidaknya ada 2 anggota RSPO yang masuk ke dalam daftar 32 perusahaan yang disegel oleh KLHK terkait karhutla tahun 2023, yaitu PT Sampoerna Agro dan PT Perkebunan Nusantara VII. Sepanjang 2015-2020, Pantau Gambut mencatat sebanyak 16.193,6 hektar konsesi sawit dalam kawasan hutan di area KHG telah terbakar.

Kondisi di atas bertentangan dengan Criteria 7.7 dalam Principles & Criteria (P&C) 2018 yang mengatur perihal larangan dilakukannya penanaman sawit baru di lahan gambut, berapapun

kedalamannya. Ironisnya, kebijakan pemutihan sawit ilegal di Indonesia kembali dimasukkan ke dalam UU Cipta Kerja Tahun 2023 melalui pasal 110A dan 110B. Wahyu menambahkan, “Kebijakan pasal 110A dan 110B ini akan membuka keran baru pengampunan kegiatan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, termasuk di dalamnya ekosistem gambut.”

Kontak Media

Jika Anda membutuhkan panduan maupun konsultasi terkait dengan publikasi ini, Anda dapat menghubungi:

Juru Kampanye Pantau Gambut; Abil Salsabila – [email protected]
Peneliti TuK INDONESIA; Mufida – [email protected]
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia; Syahrul Fitra – [email protected]

This post is also available in: English