Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaSiaran Pers – Pernyataan Zulhas Tolak UU Anti Deforestasi Salah Bidik
Jakarta, 3 Agustus 2023. Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa yang baru disahkan dianggap salah satu upaya baik yang dapat mendorong industri menghentikan penghancuran hutan dan mampu menekan laju emisi karbon secara global. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investor berbasis hutan dan lahan harusnya menjadikan ini sebagai momentum perbaikan tata kelola hutan dan lahan khususnya sektor perkebunan sawit yang selama ini menjadi sektor andalan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyebutkan bahwa secara ekonomi, Indonesia dapat menjadi yang terdepan sebagai negara dengan sumber-sumber produk kehutanan berkelanjutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia sebagai pemilik lahan terbesar di dunia akan menjadi faktor penentu produk CPO secara global. Namun, ini akan terwujud bila Indonesia dengan secara serius memperbaiki indeks Environmental, Social and Governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Hal ini kami sampaikan merespon pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyoalkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa akan mengganggu ekspor negara hingga Rp101,3 triliun.
“Pemerintah harusnya berfokus pada upaya bersama untuk mendorong perbaikan tata kelola industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit. Pemerintah tidak perlu menyalahkan kebijakan tersebut. Sikap yang sama harusnya dicontohkan ketika pemerintah Indonesia tidak bergeming saat Eropa menggugat Indonesia akibat larangan ekspor ore nikel keluar negeri,” lanjut Linda.
Pada faktanya tata kelola industri kehutanan dan perkebunan sawit kita memang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencabutan 193 izin kehutanan dengan luas 3,1 juta hektare oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, pada tahun 2022 lalu.
Fakta lainnya adalah dengan dipublikasikannya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan oleh KLHK seluas 3,3 juta hektare. Luasnya tanaman sawit dalam kawasan hutan ini sudah diingatkan sejak lama oleh berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil namun selalu dibantah. Kini memanfaatkan momentum Undang-Undang Cipta Kerja, tanaman sawit dalam kawasan hutan tersebut akan mendapatkan “pengampunan” dengan menerapkan sanksi administrasi.
Seperti ingin mencari pembenar atas situasi ini, 8 juta petani kecil disebut paling terdampak dari kebijakan Uni Eropa tersebut. Faktanya, berdasar analisis TuK INDONESIA terhadap Surat Keputusan Men-LHK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I hingga XI, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbanyak yang dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar yaitu sebanyak 320 unit usaha dengan total luas tanaman 559.016 hektare. Merujuk pada fakta di atas, Zulhas sebagai Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh panik dan seolah-olah menjadi korban dari Undang-Undang tersebut. Zulhas seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggungan dosa di masa lalu saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan melepaskan jutaan hektare kawasan hutan di Indonesia.
Merujuk data BPKP, sebanyak 79% plasma tidak terbangun dari 2.864 perusahaan di Indonesia yang seharusnya mengalokasikan 20% untuk pembangunan perkebunan rakyat atau plasma. Jadi, klaim rakyat yang terdampak dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa ini tidak sepenuhnya benar atau harus dibuktikan ke publik. Pada cakupan wilayah yang lebih kecil, data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022) mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat seluas 1.314.415,21 hektare kebun inti sawit dengan kebun plasma hanya seluas 206.770,65 hektare, sedangkan pada tahun 2022 kebun inti sawit adalah seluas 1.349.154,95 hektare dengan plasma seluas 214.829,41 hektare yang berarti bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah hanya sebesar 14%.
Sebagai sebuah resolusi dari kebijakan anti deforestasi Uni Eropa tersebut, pemerintah harus merespon Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa dengan bergegas mengupayakan serangkaian kebijakan yang terstruktur dan sistematis. Pertama, menghentikan penerbitan izin di kawasan hutan untuk industri yang merisikokan hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, mengevaluasi tanaman sawit yang saat ini eksisting khususnya yang telah tertanam di dalam kawasan hutan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tersebut. Selain itu, dampak sosial harus menjadi perhatian serius, khususnya upaya untuk menyelesaikan konflik struktural lahan yang terus berulang. Tidak kalah penting pemenuhan terhadap hak-hak pekerja. Terakhir, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan plasma.
Baca Juga :
– LAPORAN: KEBIJAKAN BANK GLOBAL TIDAK MEMADAI DALAM MENCEGAH PEMBIAYAAN ATAS DEFORESTASI, PERUBAHAN IKLIM, DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
–KORINDO MEMBAWA VIRUS DEFORESTASI DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan
/1 Comment/in Akuntabilitas Korporasi, Isu, Keadilan Sosial, Kebijakan, laporan, Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaPencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan

Laporan Evaluasi dan Pencabutan Izin – Mei
Laporan Kegagalan Inisiatif Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan Hak Rakyat dan Pemulihan Lingkungan
Di awal pemerintahan Jokowi pada priode pertama, alokasi 12,7 juta hektar lahan lewat program Perhutanan Sosial dan TORA adalah salah satu target Nawacita. Bahkan program ini terus berjalan hingga periode kedua. Namun, hingga saat ini capaian PS dan TORA baru sekitar 40%. Padahal banyak inisiatif yang coba dilakukan, misalnya saja Evaluasi dan Pencabutan izin yang dilakukan oleh pemerintah pada januari 2022 lalu. Hingga saat ini, tidak ada tindakan lanjutan untuk mengalokasikan eks-eks izin yang dicabut kepada rakyat sebagai upaya pencapaian target Nawacita tersebut. Walhi dan Koalisi menyatakan bahwa Inisiatif Evaluasi dan Pencabutan Izin yang dilakukan Rezim Jokowi telah gagal bagi pemulihan hak rakyat dan pemulihan lingkungan.
Pada 6 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengadakan Konferensi Pers terkait dengan pencabutan izin dan hak atas tanah. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menjelaskan alasan pencabutan ketiga jenis izin. Pertama, 2078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut karena tidak pernah mengirimkan rencana kerja. Kedua, 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 ha dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan. Ketiga, HGU Perkebunan seluas 34.448 Ha dicabut karena ditelantarkan.1 Inisiatif ini dinilai banyak pihak sebagai inisiatif yang cukup baik sebagai bentuk langkah korektif, walaupun minim informasi dapat diakses oleh publik. Salah satu SK pencabutan izin yang dapat diakses oleh publik adalah SK Menteri LHK No. 01 Tahun 2022 yang terbit pada tanggal 5 Januari 2022. SK tersebut menerangkan jenis izin konsesi Kawasan Hutan yang menjadi objek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan izin, diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Jenis Perizinan yang Dicabut :
- Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami;
- PBPH atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu tanaman budi daya;
- Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (antara lain pertambangan, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, kelistrikan);
- Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, merupakan perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi menjadi bukan kawasan hutan serta tukar menukar kawasan hutan; dan
- Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak/ Izin Pengusahaan Pariwisata Alam merupakan pemanfaatan berupa izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam pada Kawasan Konservasi
Selengkapnya dapat dibaca pada laporan berikut:
Link terkait : Walhi
#TuKIndonesia
#walhi
#TORA
#nawacita
#AliansiMasyarakatAdatNusantara
#SawitWatch
Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong
/0 Comments/in Buku, Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial, Kebijakan, Lingkungan Hidup, Pernyataan, Publikasi /by TuK INDONESIAKonflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan emas PT. Trio Kencana di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah mencapai puncaknya pada 12 Februari 2022. Masyarakat yang menolak hadirnya aktivitas pertambangan, karena khawatir akan mempengaruhi lingkungan dan ekosistem pertanian. Saat itu masyarakat melakukan protes yang berujung pada pembubaran massa oleh aparat kepolisian gabungan dari Polres Parimo dan Polda Sulawesi Tengah. Akibat kejadian tersebut menyebabkan tewasnya seorang warga ER (21 tahun) akibat tembakan aparat. Selain itu, terdapat 59 orang ditangkap oleh pihak kepolisian, hanya saja satu orang dibebaskan di tingkat Polsek Kasimbar, sehingga yang dibawa ke tingkat Polda Sulawesi Tengah sebanyak 58 orang.
Konflik tersebut merupakan latar belakang yang mendorong diinisiasinya Penelitian “Keberterimaan Sosial dan Persepsi Masyarakat terhadap Usaha Pertambangan serta Dampaknya” (Studi Kasus Pertambangan Emas di Parigi Moutong), Studi ini kemudian dikembangankan menjadi rekomendasi kebijakan dalam bentuk “Policy Brief Perlindungan Lingkungan & Pangan di Kab. Parigi Moutong”.
secara lengkap, policy brief tersebut dapat diunggah pada tautan berikut : Policy Brief Perlindungan Lingkungan dan Pangan di Kab. Parigi Moutong
Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
/0 Comments/in Artikel, Berita, Buku, Database, Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Kegiatan, Lingkungan Hidup, Media, Pernyataan, Publikasi /by TuK INDONESIAPendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.
Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.
Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.
Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.
Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.
Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.
Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021
Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
/0 Comments/in Akuntabilitas Korporasi, Artikel, Berita, Isu, Keadilan Sosial, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Media, Pernyataan, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK INDONESIAKontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal
Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.
Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.
“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA.
Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”
“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi.
Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.
Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah.
***
Narahubung:
Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257
Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458
Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091
SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA
/0 Comments/in Berita, Database, Kegiatan, laporan, Lingkungan Hidup, Liputan Kegiatan, Pernyataan, Publikasi, Sektor Keuangan, Siaran Pers /by TuK IndonesiaData Terbaru Mengungkap 50 Bank dan Investor Terbesar Dunia Mendorong Deforestasi Melalui Investasi Besar dan Kebijakan yang Lemah
Investor ternama seperti BlackRock, Vanguard, State Street, PNB, EPF, GPIF, dan KWAP semuanya mendapatkan skor terendah

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA
SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA. Jakarta, 9 Juni 2021 – 50 bank dan investor terbesar di dunia mendorong deforestasi melalui investasi besar dan kebijakan yang lemah pada komoditas terkait dengan perusakan hutan hujan tropis, menurut penelitian baru oleh Forests & Finance –– sebuah koalisi riset yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil Amerika Serikat, Indonesia, Belanda, Brazil dan Malaysia. Penelitian ini menilai lembaga keuangan atas kinerjanya, termasuk bank internasional besar seperti Bank of America, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), dan investor utama seperti BlackRock, Vanguard, dan State Street, yang berada pada skor yang sangat rendah.
Desain terbaru pusat data Forests & Finance menunjukkan bahwa kebijakan lebih dari 50 lembaga keuangan ––menyumbang 128 miliar USD dalam bentuk kredit dan penjaminan untuk komoditas terkait dengan deforestasi sejak tahun 2016 s.d. 2020 dan 28,5 miliar USD dalam bentuk investasi per April 2021. Secara kolektif sangat lemah, dengan skor rata-rata 2,4 dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan untuk berbagai komoditas yang mendorong deforestasi (daging sapi, kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, kedelai dan kayu) tidak tunduk pada kriteria dasar sosial, lingkungan atau pemeriksaan tata kelola, apalagi memenuhi verifikasi standar klien yang sebenarnya. Data terbaru juga menambahkan fitur-fitur penilaian kebijakan yang diperluas pada 6 sektor yang berisiko terhadap hutan; data obligasi dan kepemilikan saham yang diperbarui; serta studi kasus tentang dampak sosial dan lingkungan dari keuangan yang tidak bertanggung jawab.
“Melindungi hutan tropis dunia benar-benar tidak pernah sepenting ini bagi seluruh kehidupan di bumi. Akan tetapi, lembaga keuangan malah menulis cek kosong kepada perusahaan yang mendorong perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga keuangan harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko ini dalam portofolio mereka, dan bukannya malah memberikan perusahaan-perusahaan ini hak untuk menghancurkan hutan.” ujar Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests & Finance.
“Blackrock, manajer aset terbesar di dunia, memberikan sejumlah besar modal kepada perusahaan yang mendorong deforestasi dan merongrong hak-hak Masyarakat Adat, hingga mencapai 2 miliar USD. Nilai tersebut meningkat 157% dibandingkan April tahun lalu, saat kehidupan para penjaga Bumi kian terancam dan penggundulan hutan terus meroket. Blackrock perlu mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pendanaan perusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pelanggaran hak Masyarakat Adat, terutama di bioma sensitif seperti Amazon,” kata Moira Birss, Direktur Iklim dan Keuangan Amazon Watch.
“Lima investor terbesar di perusahaan terkait deforestasi di Asia Tenggara, semuanya mendapat skor sangat rendah dalam penilaian kami”. Kata Meenakshi Raman, Presiden SAM. “Kami membutuhkan investor untuk mengambil tanggung jawab atas investasi mereka. Hal ini termasuk mendanai masa depan yang berkembang untuk Asia Tenggara, alih-alih menghancurkannya.”
“Perbankan Indonesia, meski masih mendapat skor sangat rendah, menunjukkan beberapa peningkatan dalam penilaian kami sejak 2018”. Ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. “Perbaikan positif ini adalah jalan yang tepat bagi bank-bank Indonesia. Hanya saja masih perlu untuk meningkatkan kebijakannya dan serius dalam penerapannya”. Lanjut Edi.
“Meski masih mendapat skor rendah pada kebijakannya, BNDES, investor terbesar komoditas berbasis lahan di Amerika Selatan, telah menurunkan eksposurnya pada perusahaan komoditas berisiko terhadap hutan yang beroperasi di Amerika Selatan selama setahun terakhir. Di sisi lain, lima investor teratas lainnya ––BlackRock, Fidelity Investments, Vanguard dan GPIF–– malah meningkatkan eksposur mereka. Semua perusahaan ini mendapat nilai sangat rendah dan masih ada investasi signifikan yang mengalir ke penggundulan hutan Amazon, dengan sedikit upaya lembaga keuangan untuk menghentikannya”. Ungkap Marcel, Direktur Eksekutif Repórter Brasil.
Sebuah studi mengindikasikan bahwa perusakan ekosistem hutan berkorelasi dengan munculnya penyakit zoonosis baru seperti virus corona, ini berarti menghentikan deforestasi sangat penting untuk mencegah terjadinya pandemi di masa depan. Namun, pada tahun 2020 saja 12,2 juta hektar hutan tropis hilang. Dari penilaian ini ditemukan bahwa lembaga keuangan telah meningkatkan investasi mereka untuk penggundulan hutan pada periode yang sama. Dibandingkan tahun 2020. Total nilai investasi pada perusahaan komoditas berbasis hutan telah meningkat dari 37,2 miliar USD pada April 2020 menjadi 45,7 miliar USD pada April 2021.
Penilaian tersebut juga menganalisis kebijakan umum dari sekitar 50 bank dan investor terbesar di dunia berdasarkan 35 kriteria Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG), serta menggabungkannya dengan data yang dihitung dengan menggunakan informasi pembiayaan dan investasi yang tersedia di database Forest & Finance (periode Januari 2016 – April 2020 untuk data kredit, dan April 2021 untuk data investasi). Setiap bank atau investor diberi peringkat berdasarkan kebijakan mereka serta jumlah pembiayaan pembiayaan komoditas yang berisiko terhadap hutan untuk menghitung keseluruhan skor lembaga keuangan tersebut.
###
Catatan untuk redaksi:
- Forests & Finance merupakan koalisi organisasi yang terdiri dari Rainforest Action Network, TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US.
- Untuk mengetahui lebih lanjut tentang data terbaru Forest & Finance dan bagaimana menggunakan platform ini untuk mengidentifikasi tren keuangan, mengungkapkan transaksi dan membandingkan bank dan investor, silahkan bergabung dengan kami dalam Webinar Multinasional: Peluncuran Data Forests And Finance 2021. Webinar ini akan dilaksanakan pada: Rabu, 9 Juni 2021 | 15.00–16.30 WIB | via Zoom (dengan ID Webinar 942 5815 1688 atau klik ly/forestfinanceid untuk registrasi). Webinar ini rencananya akan dihadiri:
- Fiona Armintasari, Peneliti Responsi Bank
- Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests and Finance
- Ward Warmerdam, Peneliti Profundo
- Edi Sutrsino, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
- Bapak Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK*
- Ibu Tria Mutiari Meilan, BRI Sustainable Finance Team*
Kontak media:
Linda Rosalina: [email protected]/+62 812-1942-7257
Chinese Banks’ Forest-Risk Financing
/0 Comments/in Artikel, Berita, Isu, laporan, Lingkungan Hidup, Pernyataan, Publikasi, Sektor Keuangan /by TuK IndonesiaForest-Risk – Financial flows and client risks
About this report
This report has been commissioned by Rainforest Action Network. It is supported by TuK Indonesia, BankTrack, China Environmental Paper Network, and Jikalahari.
About Forests & Finance
Forests & Finance is an initiative by a coalition of campaign and research organisations including Rainforest Action Network, TuK Indonesia, Profundo, Repórter Brasil, Amazon Watch, BankTrack and Sahabat Alam Malaysia. Collectively, they seek to achieve improved financial sector transparency, policies, systems and regulations, that ultimately prevent financial institutions from supporting the kind of environmental and social abuses that are all too common in the operations of many forest-risk sector clients.
About Profundo
With profound research and advice, Profundo aims to make a practical contribution to a sustainable world and social justice. Quality comes first, aiming at the needs of our clients. Thematically we focus on commodity chains, the financial sector and corporate social responsibility. More information on Profundo can be found at www.profundo.nl.
Authorship
This report was researched and written by Ward Warmerdam with contributions from Wen Bo, Sergio Bafoni and Merel van der Mark. Correct citation of this document: Warmerdam, W. (2021, March), Chinese forest-risk financing – Financial flows and clients risks, Amsterdam, The Netherlands: Profundo. Front page cover photograph by Jan Kronies – Unsplash.
Acknowledgements
The author would like to thank Wen Bo, Sergio Baffoni, Tom Picken, Steph Dowlen, Merel van der Mark for their input and support.
Disclaimer
Profundo observes the greatest possible care in collecting information and drafting publications but cannot guarantee that this report is complete. Profundo assumes no responsibility for errors in the sources used, nor for changes after the date of publication. The report is provided for informational purposes and is not to be read as providing endorsements, representations or warranties of any kind whatsoever
Read Detail And Download Report HERE
Refers To : http://forestsandfinance.org/
Mengapa RUU Omnibus Law Harus Dibatalkan
/0 Comments/in Hak Asasi Manusia, Isu, Keadilan Sosial, Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaCoba cek ada berapa frasa demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dalam 1981 halaman naskah akademik dan 1028 halaman RUU Cipta Kerja? Hasilnya sungguh fantastis, nihil! Sejak awal dengan begitu saya katakan Omnibus Law ini cacat ideologis. RUU ini dibuat tidak untuk menjalankan amanat konstitusi, demokrasi ekonomi[1]. Jadi, Omnibus Law membunuh ekonomi kerakyatan sejak dalam pikiran!
Olah karenanya sia-sia membahas pasal per pasal. Isinya sudah pasti bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Alih-alih mendorong demokratisasi ekonomi, Omnibus Law pasti akan mendorong korporatokrasi. Dan benar saja, isi Omnibus Law memberi solusi dominan bagi penciptaan lapangan kerja, investasi.
Lewat pintu manalagi investor menguasai SDA, buruh murah, pasar, dan infrastrutur selain investasi?[2] Sedangkan jebakan utang (debt-trap) sudah aman sejak jauh-jauh hari. Maka 1028 halaman Omnibus Law dipenuhi upaya bagaimana penyediaan lahan, peluang bisnis, serta pasar tenaga kerja yang fleksibel bagi kepentingan investor. Dan 7 juta pengangguran pun dijadikan alasan pembenar.
Maka kita pun perlu bertanya, investor yang mana? Sedangkan 97% lapangan kerja disediakan oleh ekonomi rakyat, yang sering disebut UMKM[3]. 87% lapangan kerja disediakan oleh Usaha Mikro, yang merupakan 98% dari pelaku usaha di Indonesia. Konsep UMKM lebih disukai untuk menjauhkan ekonomi dari kata rakyat. Mungkin dianggap berbahaya?[4].
Ekonomi rakyat menyumbang 60% produksi nasional (8200 trilyun), sekaligus 50% investasi nasional (400 trilyun). Meskipun yang tidak tercatat tentu jauh lebih besar. Maka kekuatannya untuk menciptakan lapangan kerja sudah barang tentu jauh lebih besar daripada investasi skala besar. Lalu mengapa Omnibus Law hanya menyediakan 24 pasal dalam 7 halaman dari total 1028 halaman keseluruhan?
Bahkan dalam masa krisis moneter 1997/1998 di saat segelintir oligarki usaha besar merampok APBN melalui BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan[5], ekonomi rakyat terbukti berdaya tahan tinggi dan berjasa besar. Tetap menjadi solusi lapangan kerja di saat banyak perusahaan besar kolaps dan para pekerjanya terkena PHK dan dirumahkan.
Dan kini pandemi Covid-19 diperkirakan menambah jumlah pengangguran antara 2,9 juta-10 juta orang. Mengharap investasi besar tentu saja tidak masuk akal. Di saat normal saja 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 270.000 tenaga kerja baru, apalagi disaat pandemi sekarang[6]. Terbukti lagi di kala krisis perspektif Omnibus Law berbahaya dan tidak dapat diandalkan.
Pandemi membuat ekonomi Indonesia di persimpangan jalan. Tetap melanggengkan korporatokrasi yang memusatkan penguasaan 68% tanah dan 50% kekayaan hanya pada 1% elit oligarki ataukah berputar haluan, kembali ke jalan ekonomi kerakyatan? Pengalaman krisis moneter dimana ekonomi rakyat menjadi penyelamat ekonomi nasional kiranya akan berulang.
Bukan saja itu. Pandemi menjadi momentum untuk menjalankan amanat konstitusi, meningkatan kontroll dan daulat rakyat atas perekonomian. Sepertihalnya konfederasi koperasi tani di Jepang yang menguasai hulu sampai hilir pertanian di Jepang. Begitupula 500.000 pekerja Singapura yang di Fairprice cooperative menguasai 58% pangsa ritel negaranya.
Demikian halnya koperasi petani di negara-negara Skandinavia yang memaksa konglomerat bertuekuk lutut dihadapan mereka. Pun serikat-serikat rakyat yang menguasai 80% keuangan dan perbankan di Jerman, serta para pelaku ekonomi rakyat Prancis yang memiliki bank terbesar kedua di negaranya.
Seperti pula 13 juta pekerja di Amerika yang sudah memiliki saham di tempat bekerjanya. Sama halnya dengan 80.000 pekerja di Mondragon, Spanyol yang mengendalikan koperasi produksi, bank, asuransi, ritel, bahkan memiliki Universitas sendiri di kota tersebut. Dan masih banyak praktek nyata ekonomi kerakyatan berskala nasional.
Apa yang terjadi di negara-negara tersebut dan bagaimana mencapainya sudah diletakkan dasar-dasarnya sejak 75 tahun lalu oleh para pendiri bangsa kita di dalam UUD 1945[7]. Pandemi ini mestinya menjadi momentum untuk melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan. Melalui penguatan ekonomi rakyat[8] niscaya di balik musibah pandemi ini ada berkah bagi bangsa Indonesia ke depan.
Dan kita bisa mulai dari batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sekarang!
Yogyakarta, 4 Mei 202
Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Keterangan:
[1] Cek Pasal 33 UUD 1945 masih utuh persis sama isinya sejak 1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ekkeluargaan”. Selama isinya masih utuh maka tafsirnya dapat merujuk pada bagian Penjelasan (meskipun sudah dihapus) yang berbunyi: “dalam pasal ini tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.
[2] Sejak era kolonial, orde baru, dan pasca reformasi skema ini terus saja dilanjutkan, yang oleh Sukarno duseh disebut sebagai ciri-ciri ekonomi yang berwatak kolonial
[3] Di Barat disebut Small Medium Enterprises (SME’s), karena tidak mewakili kondisi struktur pelaku ekonomi Indonesia maka ditambah istilah baru Usaha Mikro.
[4] UMKM lebih atomis parsial, sedangkan ekonomi rakyat cenderung kolektif dan memiliki potensi pengorganisasian. Jika ada ekonomi rakyat, maka ada pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, industri rakyat, yang biasanya beroposisi dengan oligarki perekonomian. Maka harus dipastikan ekonomi rakyat, sebagai tenaga penggerak ekonomi kerakyatan juga tetap terbunuh sejak dalam pikiran.
[5] Mode ini selalu berulang disaat krisis, banyak usaha besar yang memanfaatkan kesempatan, berakibat Indonesia berada dalam jebakan utang (debt-trap) yang semakin berkepanjangan.
[6] Jumlah investasi sebesar 800 trilyun baru mampu menyerap 1, 034 juta tenaga kerja baru, dan kemampuan penyerapannya cenderung menurun setiap tahun pasca revolusi industri 4.0
[7] Pasal 31 menjadi dasar bagi pembangunan manusia sebagai modalitas pertumbuhan berkualitas yang selain menciptakan lapangan kerja juga melestarikan lingkungan dan memeratakan perekonomian. Pasal 33 ayat (1) menjadi dasar bagi penguatan organisasi ekonomi rakyat dan koperasi. Pasal 33 ayat (2) dan (3) menjadi dasar bagi penguasaan negara atas kekayaan alam dan cabang produksi strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, serta peran negara dalam perekonomian, baik melalui kebijakan maupun kelembagaan BUMN, BUMD, dan BUMDes
[8] Pada masa pandemic konomi rakyat dan koperasi tidak saja perlu bantuan/insentif, melainkan perlu dukungan pengembangan SDM, organisasi, teknologi, TI, jaringan, infrastruktur, dan koneksitas dengan perguruan tinggi. Baca tulisan saya “Pancasila di Tengah Corona”
Virus Corona dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati
/1 Comment/in Lingkungan Hidup /by TuK IndonesiaHilangnya keanekaragaman hayati tak pernah dianggap sebagai kerugian negara sehingga tak masuk dalam kebijakan politik. Virus corona mesti jadi peringatan kita membuat rumus ekonomi.
Pada akhir 1880, hampir 90 persen daratan Indonesia tertutup hutan hujan alami, ketika hutan di negara-negara Asia lainnya, seperti India dan Bangladesh, berkurang secara signifikan. Saya tahu informasi ini dari Daniel Cleary dan Lyndon Devantier (2011) dalam publikasi mereka, Indonesia: Threats to the Country’s Biodiversity. Mereka menyebut kehilangan tutupan hutan Indonesia baru terjadi pada 1880 hingga 1980, sebanyak 25 persen.
Saat ini, lebih dari 50 persen tutupan hutan masih menyelimuti Indonesia, tetapi sebagian besar dari hutan itu telah terdegradasi. Hutan, seperti di lokasi-lokasi yang sebelumnya bukan hutan, atau hutan yang sangat terdegradasi, atau terdiri dari pertumbuhan hutan tanaman, sangat berbeda dengan hutan alam baik secara ekologi, biofisik maupun ekonomi. Semua jenis hutan lainnya bukan pula merupakan substitusi yang tepat untuk hilangnya hutan alam itu.
Untuk tingkat global, dalam How biodiversity loss is hurting our ability to combat pandemics, John Scott melaporkan bahwa dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 90 persen varietas tanaman telah menghilang. Tren itu telah mengurangi keanekaragaman hayati (kehati) secara langsung yang terkait dengan berkembangnya wabah atau faktor risiko kesehatan. Antara 1980 sampai 2013 tercatat 12.012 jenis wabah dengan menelan korban 44 juta kasus individu di berbagai negara di dunia.
Sejumlah faktor berkontribusi pada kenaikan wabah itu. Semakin tingginya perjalanan global, perdagangan dan konektivitas, kehidupan dengan kepadatan tinggi. Dari semua itu, dua berkurangnya kehati dan perubahan iklim faktor paling berpengaruh.
Ironisnya, laju deforestasi menjadi penyebab dua faktor tersebut, yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, rute hilangnya hutan alam yang saling terkait adalah penebangan, kebakaran hutan, dan konversi hutan.
Walaupun bukti ilmiah menunjukkan bahwa tebang pilih tidak memiliki dampak buruk serius terhadap kerusakan keanekaragaman hayati, dari banyak studi efek sekunder dari penebangan itu sering kali berakibat lebih buruk. Yaitu terbukanya fasilitas masuknya pemburu, pertanian tebas bakar ataupun konversi besar-besaran untuk kebun dan tambang. Konflik pun tidak terhindarkan. Di situ muncul berbagai bentuk geng penebangan liar, bahkan memakai teror kepada penghuni kamp-kamp konsesi bila mengganggu kegiatan mereka (Kartodihardjo, 2015).
Dampak penebangan liar yang paling merugikan, yang biasanya tidak dipertimbangkan, adalah mengubah iklim mikro dan meningkatkan jumlah bahan yang mudah terbakar. Sehingga meningkatkan kemungkinan kebakaran di masa depan, yang jauh lebih buruk daripada kebakaran awal, baik dalam besaran, intensitas, kedalaman, waktu terbakar maupun kecepatan penyebaran api.
Hasil penelitian para ahli yang dilaporkan Cleary dan Devantier itu adalah musnahnya keanekaragaman hayati di Kalimantan akibat kebakaran sebanyak 100 spesies kupu-kupu. Kebakaran juga mengurangi genetika keanekaragaman spesies yang membuat spesies tersisa lebih rentan terhadap kepunahan, karena berkurangnya keseimbangan populasi.
Di Sumatera, penebangan hutan alam menyebabkan berkurangnya ragam spesies burung dan kelelawar, tetapi tidak memengaruhi kelimpahan atau kekayaan spesies primata, tupai, dan tikus hutan, kecuali hal itu terjadi pada konversi hutan untuk perkebunan.
Terputusnya rantai kehidupan dan rusaknya habitat satwa liar tersebut mendorong hewan liar lebih mendekati populasi manusia dan meningkatkan kemungkinan virus zoonosis, seperti Covid-19, membuat lompatan lintas spesies dan manusia menjadi inangnya. Dengan mempelajari fenomena alam seperti itu, semestinya kita perlu mengatasi krisis wabah ini bukan hanya dengan reaksi jangka pendek dengan tetap mempertahankan model politik, ekonomi dan institusional yang sama, yang akan membawa kita jatuh ke jurang lebih dalam kerusakan hayati.
Sebaliknya, kita perlu mengembangkan bentuk institusi yang memungkinkan jasa lingkungan itu berada di pusat pemikiran. Itu artinya kita perlu membenahi model sektoralisasi dan spesifikasi birokrasi yang saat ini, by design, lebih memperhatikan besaran input atau serapan anggaran sambil membatasi apa yang boleh dilihat melalui tugas pokok yang kaku. Atas dasar reduksi kerangka pikir itulah sifat-sifat keanekaragaman dari alam yang memang abstrak disederhanakan melalui narasi besar di bawah perlindungan politik negara, misalnya, berupa Rencana Jangka Menengah Pembangunan.
Mereduksi kompleksitas kehati menjadi komoditi ekonomi itu telah menghilangkan seluruh “jasa alam” dengan cara yang sah. Akibatnya, kehilangan jasa alam itu tidak pernah dianggap sebagai kerugian negara. Hal itu misalnya dapat dibaca dari definisi mengenai kerugian negara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Di sana disebutkan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya, sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 15). Dalam praktiknya, jasa alam itu tidak dianggap sebagai “nyata dan pasti jumlahnya”. Ilmu pengetahuan di Indonesia masih dianggap dongeng tanpa kenyataan.
Sementara itu, dalam Nature: International weekly journal of science, Daniel Cressey menunjukkan hasil kajian para peneliti atas nilai “jasa ekosistem alam”, seperti penyerbukan tanaman dan penyerap karbon. Nilainya diperkirakan antara US$ 2 triliun hingga US$ 6 triliun per tahun. Jumlah itu memang bukan tagihan, melainkan investasi oleh modal alam untuk kehidupan manusia yang dihapus dalam sistem ekonomi yang sedang berjalan.
Maka, apabila kita tidak melakukan perubahan bagaimana sistem ekonomi bekerja, guncangan di masa depan akibat kerusakan keanekaragaman hayati mungkin bisa melebihi kapasitas pemerintah, lembaga keuangan, ataupun pihak-pihak lain untuk mencegahnya.
Kenyataan seperti itu direspon oleh The Club of Rome (2020) dalam laporannya bertajuk A Green Reboot After the Pandemic yang menyebut bahwa pandemi virus corona harus bisa sebagai “panggilan bangun” dan peringatan, bahwa penggundulan hutan, hilangnya kehati maupun perubahan iklim perlu menjadi bagian dari pemodelan pilihan sistem ekonomi.
Klub yang terkenal dengan laporannya, The Limits to Growth pada 1972 dan Beyond the Limits pada 1992, itu telah mengingatkan pada saat itu bahwa masa depan umat manusia akan ditentukan bukan oleh suatu keadaan darurat (seperti perang), tapi oleh banyak krisis yang terpisah, namun terkait dan berasal dari kegagalan hidup secara berkelanjutan.
Cirinya pemakaian sumber daya bumi lebih cepat dari yang dapat dipulihkan, serta dengan melepaskan limbah dan polutan lebih cepat daripada yang bisa diserap bumi. Pembaruan sistem ekonomi mestinya ditujukan untuk merespons hal-hal ini.
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB
artikel ini pertama kali terbit di https://www.forestdigest.com/ dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan pengetahuan
Gambar ilustrasi orang yang memerangi virus, sumber: https://www.freepik.com/
Follow us on Facebook
Newsletter
TuK INDONESIA
Jl Tebet Utara IIC No.22 A RT 004 RW 001
Kelurahan Tebet Timur
Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan 12820
Telepon : 021-22909920
Email: [email protected]