Menyambut Gembira POJK Keuangan Berkelanjutan

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Setelah menunggu dengan harap-harap cemas sejak awal 2015, akhirnya kita semua bisa melihat munculnya regulasi keuangan berkelanjutan di negeri ini.  Pada tanggal 20 Juli 2017, yaitu hari terakhir komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masa tugas 2012-2017, Indonesia mendapatkan kado yang menggembirakan berupa Peraturan OJK (POJK) 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Memang, setelah ditandatangani kita belum bisa melihat regulasi tersebut, lantaran masih harus dicatatkan dahulu di Kementerian Hukum dan HAM, untuk mendapatkan nomor dan menjadi sah diundangkan.  Jadi, bagi yang ingin mengetahui detail isinya, masa penantiannya bertambah lagi.  Tetapi, pada awal minggu ini, tepatnya Selasa 8 Agustus 2017, akhirnya regulasi ini benar-benar bisa ditilik isinya.
Empat Pertimbangan
Apa pertimbangan OJK mengeluarkan regulasi ini?  Ada empat.  Pertama adalah “bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif diperlukan sistem perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.” Jadi, terdapat kesadaran dari OJK bahwa untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, stabil dan inklusif tak ada cara lain di luar menyelaraskan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.  Sebaliknya, ketimpangan di antara ketiga aspek itu berakibat ketidakberlanjutan, instabilitas dan eksklusi.
Kedua, “bahwa untuk menggerakkan perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif dibutuhkan sumber pendanaan dalam jumlah yang memadai.” Butir ini sangat penting, mengingat bahwa sumberdaya finansial adalah hal yang mendasar untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif itu.  Dan, sumberdaya tersebut harus tersedia dalam jumlah yang memadai.  Bila tidak, maka tujuan untuk mencapai ekonomi yang demikian tidaklah akan tercapai, atau mungkin dicapai dalam waktu yang lebih lama dari yang diinginkan atau direncanakan.
Pertimbangan ketiga adalah “bahwa pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”  Di sini, OJK menyatakan bahwa mandat dari keuangan berkelanjutan sesungguhnya bukan hanya berasal dari kebutuhan penciptaan ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, melainkan juga dari kebutuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 32/2009.  Oleh karenanya, dapat diartikan bahwa keuangan berkelanjutan juga adalah keuangan yang kompatibel dengan seluruh tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang termaktub dalam UU tersebut.
Terakhir, “bahwa Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan perlu ditindaklanjuti dengan peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.”  Jadi, POJK ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari substansi Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang terbit pada penghujung 2014 lalu.  Artinya juga, target-target yang dinyatakan di  Roadmap itu—beserta kerangka waktunya—juga menjadi rujukan dalam membaca POJK ini.
Empat Belas Pasal
Setelah memaparkan pertimbangan dan regulasi-regulasi yang menjadi rujukan, dan memutuskan pemberlakuan POJK ini, Pasal 1-nya memuat berbagai definisi.  Yang terpenting, tentu saja, adalah definisi keuangan berkelanjutan itu sendiri, yang dinyatakan sebagai “…dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.”
Pengertian dari menyeluruh tentu saja bukan parsial.  Ini berarti sektor jasa keuangan tidak bersikap setengah-setengah—apalagi lebih rendah lagi, seperti hanya melakukan greenwashing—dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.  Ini juga berarti bahwa seluruh lembaga jasa keuangan melakukannya, bukan hanya sebagian bank atau asuransi.  Selain definisi keuangan berkelanjutan, ada 12 definisi lainnya yang bisa disimak di pasal tersebut.
Pada Pasal 2 diterakan kewajiban menerapkan keuangan berkelanjutan kepada seluruh pihak yang disebutkan dalam peraturan ini, yaitu lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, dan perusahaan publik.  Definisi masing-masing pihak tersebut dinyatakan dalam pasal sebelumnya.  Dari sini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya POJK ini bukan sekadar berlaku untuk LJK, sebagaimana yang kerap dipersepsi orang.
Di pasal itu pula terdapat prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, yang disebutkan ada delapan, yaitu:  prinsip investasi bertanggung jawab; prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan; prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup; prinsip tata kelola; prinsip komunikasi yang informatif; prinsip inklusif; prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas; dan prinsip koordinasi dan kolaborasi.  Apa yang dimaksudkan pada prinsip-prinsip itu bisa dibaca pada bagian Penjelasan.  Namun, sebagaimana yang lazim, maka seluruh prinsip tersebut haruslah ditegakkan.  Pelanggaran atas salah satu saja prinsip akan membuat keuangan berkelanjutan tidak tegak.
Pasal 3 menjelaskan bahwa pemberlakuan POJK ini adalah secara bertahap.  Bank umum yang masuk kategori BUKU 3 dan 4 serta bank asing adalah yang mendapatkan mandat paling cepat untuk menegakkannya, yaitu mulai 1 Januari 2019.  Sementara, dana pensiun yang total asetnya minimal Rp1 triliun adalah yang paling lambat, yaitu pada 1 Januari 2025.
Kewajiban untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dinyatakan pada Pasal 4. Sementara isi dari RAKB sendiri dapat dipelajari pada Lampiran 1 POJK.  Pasal 5 menyatakan bahwa RAKB itu wajib dilaksanakan; dan Pasal 6 menyatakan kewajiban untuk mengkomunikasikannya kepada pemegang saham dan seluruh jenjang organisasi LJK.
Pasal 7 masih tentang RAKB, yaitu wajib disusun berdasarkan prioritas LJK yang sedikitnya terdiri dari pengembangan produk produk/jasa keuangan berkelanjutan; pengembangan kapasitas internal; serta penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan prosedur operasional standar yang sesuai dengan prinsip keuangan berkelanjutan.  Apa yang dinyatakan di dalam RAKB itu juga wajib menyertakan target waktu penerapannya.
Kaitan antara keuangan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) disebutkan dalam Pasal 8. Bagi LJK yang diwajibkan melaksanakan TJSL—yaitu LJK yang berbadan hukum perusahan terbatas—maka sumberdaya finansial TJSL-nya wajib dialokasikan sebagian untuk dukungan penerapan keuangan berkelanjutan.  Sementara, emiten dan perusahaan publik yang bukan merupakan LJK namun diwajibkan melaksanakan TJSL dapat (tidak diwajibkan) mengalokasikannya.  Alokasinya sendiri wajib diterakan pada RAKB yang dibuat, dan pelaksanaanya wajib dilaporkan di dalam laporan keberlanjutan.
Pasal 9 mengatur tentang insentif dari OJK untuk mereka yang menerapkan keuangan berkelanjutan secara efektif.  Bentuknya adalah pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, dan insentif lainnya yang belum didefinisikan.
Kalau di Pasal 8 sudah dinyatakan adanya kewajiban untuk melaporkan kaitan TJSL dengan keuangan berkelanjutan dalam bentuk laporan keberlanjutan, Pasal 10 menegaskan tentang pelaporan keberlanjutan yang dimaksud.  Pembuatannya bersifat wajib, bisa dibuat terpisah dari atau sebagai bagian dari laporan tahunan, wajib diserahkan kepada OJK, dengan tenggat waktu penyerahan dan periode pelaporan sesuai yang ditentukan.  Format laporan keberlanjutan yang diwajibkan adalah sebagaimana yang dijelaskan pada Lampiran 2 POJK.
Pasal 11 mengatur tentang penyerahan RAKB kepada OJK, sementara Pasal 12 menjelaskan mengenai kewajiban publikasi laporan keberlanjutan.  Pasal 13 mengatur mengenai sanksi, yang seluruhnya bersifat administratif dalam bentuk teguran atau peringatan tertulis.  Pasal 14 menyatakan bahwa keberlakuan POJK ini adalah mulai tanggal diundangkan, yaitu 27 Juli 2017.
Bersyukur, Bergembira, Bangga
Secara umum, belum banyak negara di dunia ini yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan.  Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu yang paling maju di antara bangsa-bangsa lain.  Hal ini perlu disambut dengan gembira.  Kesadaran bahwa ekonomi Indonesia perlu dibuat berkelanjutan, stabil dan inklusif adalah alasan kegembiraan yang lainnya.
Namun, tentu saja, regulasi ini masih mengandung ruang perbaikan yang besar.  Yang mana bisa dipahami lantaran regulasi ini merupakan salah satu yang paling awal dibuat.  Kita tak punya rujukan yang cukup komprehensif.  Dan ini merupakan peluang untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.
Salah satu ruang yang paling jelas adalah tentang berbagai kebijakan yang seharusnya dibuat oleh LJK, emiten, dan perusahaan publik untuk menegakkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan itu.  Dengan belum dicantumkannya secara eksplisit, maka diperlukan pihak-pihak yang mumpuni untuk membantu mereka semua menginterpretasikannya.  Mengingat kondisi bahwa keuangan berkelanjutan belum lagi menjadi pengetahuan banyak pihak, apalagi menjadi arus utama, maka bangsa ini perlu segera belajar bersama soal keuangan berkelanjutan, sambil menjalankannya.
Ruang perbaikan berikutnya yang sangat penting adalah soal sanksi.  Kalau kita memiliki kesadaran untuk membuat ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, sementara itu hanya bisa dicapai dengan keuangan berkelanjutan, maka pelanggaran terhadap prinsip-prinsipnya perlu mendapatkan sanksi yang tegas.  Mengapa?  Karena pelanggaran itu membahayakan pembangunan Indonesia.
Bagaimanapun, kita perlu mensyukuri terlebih dahulu munculnya regulasi ini lantaran ini menandai Indonesia telah berpikir dalam arah yang benar soal keuangan dan ekonominya.  Kita perlu bergembira juga bangga atasnya.  Membantu menginterpretasikan, mendukung penegakkannya, dan mencari serta mengisi ruang perbaikan atasnya adalah tugas berikutnya.
 
 
 
 
 
 

Kelompok Tenaga Ahli Eropa untuk Keuangan Berkelanjutan Meminta Masukan

Myriam Vander Stichele
Peneliti Senior
SOMO

 
Sejak Januari 2017, Kelompok Tenaga Ahli Tingkat Tinggi untuk Keuangan Berkelanjutan (High-Level Expert Group on Sustainable Finance/HLEG) telah bekerja untuk menyediakan rekomendasi yang sesuai dan konkret kepada Komisi Eropa untuk strategi Uni Eropa yang komprehensif, untuk memastikan agar sektor keuangan memberikan kontribusi kepada keberlanjutan sosial, lingkungan dan ekonomi jangka panjang. HLEG mempublikasikan sebuah laporan interim pada pertengahan Juli 2017, yang telah dipresentasikan pada sebuah acara dengar pendapat umum (public hearing) di Brussels pada tanggal 18 Juli 2017. Komentar terhadap laporan interim tersebut akan tersedia dengan mengisi sebuah kuesioner konsultasi pada tanggal 20 September 2017. Laporan HLEG akhir diharapkan selesai pada akhir Desember 2017. Komisi Eropa telah menyatakan bahwa akan mengkaji rekomendasi akhir pada kuartal pertama 2018.
Kelompok HLEG dibentuk sebagai bagian dari kebijakan Capital Markets Union (CMU) Uni Eropa, dan merupakan hasil dari sebuah kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dengan berinvestasi di dalam energi bersih (setidaknya dibutuhkan €180 miliar per tahun untuk Uni Eropa) dan infrastruktur. Para Anggota datang dari berbagai sektor investasi, begitu juga dengan satu perwakilan perbankan, seorang akademisi, dan beberapa perwakilan LSM, termasuk SOMO.
Fokus utama rekomendasi interim laporan adalah mengenai investasi “hijau” atau iklim yang dilakukan oleh manajer aset dan manajer investasi, perusahaan asuransi dan dana pensiun, melalui lebih banyak kewajiban untuk investasi yang bertanggung jawab (“fiduciary duty”), melalui produk-produk keuangan seperti obligasi hijau (“green bond”) telah didefinisikan dengan lebih baik dibandingkan dengan yang ada saat ini, atau melalui labelled funds yang juga tersedia bagi perorangan.
Namun demikian, bank diakui untuk memiliki kolam aset terbesar, yang mana dapat memainkan peran yang penting di dalam transisi menuju sistem keuangan berkelanjutan. Sayangnya, hingga saat ini belum didefinisikan apakah ini dilakukan dengan melonggarkan persyaratan modal untuk bank-bank yang menyediakan pinjaman hijau atau dengan menghukum pinjaman yang diberikan kepada projek-projek yang tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan (“brown activities”) dengan mengenakan persyaratan modal yang lebih ketat.
Sebuah isu penting bagi HLEG adalah untuk menggeser keputusan finansial menjauh dari pendekatan dampak jangka pendek ke pendekatan dampak jangka panjang, yang mana seringkali tidak terlihat di dalam rentang waktu investasi. HLEG mengenali kenyataan bahwa dampak-dampak jangka panjang seperti perubahan iklim dapat menyebabkan ketidakstabilan finansial, misalkan ketika perubahan iklim menyebabkan devaluasi layanan keuangan atau aset (mis. badai yang lebih sering terjadi dan lebih parah akan mempengaruhi perumahan, operasi pertanian dan bisnis-bisnis yang mana sudah menerima pinjaman dari bank atau yang mana sudah menerima investasi).
HLEG sering mengacu kepada aspek sosial, lingkungan dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG), namun tidak memberikan sebuah definisi. HLEG membedakan antara keuangan untuk iklim, lingkungan (bersama-sama dengan iklim, didefinisikan sebagai “hijau”) dan keuangan “berkelanjutan”, di mana aspek sosial dan tata kelola digabungkan dengan aspek “hijau”. Laporan interim tidak memasukan komitmen Uni Eropa terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), juga tidak memberikan rekomendasi yang konkret mengenai bagaimana mempromosikan kebutuhan sosial masyarakat Eropa, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi ketimpangan dan pendidikan berkualitas bagi semua.
Di dalam laporan interim mereka, rekomendasi tahap pertama HLEG kepada Komisi Eropa adalah:

  • Mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk aset-aset berkelanjutan.
  • Menetapkan standar dan label Eropa untuk obligasi hijau dan produk-produk keuangan berkelanjutan lainnya.
  • Mengklarifikasi bahwa keberlanjutan merupakan bagian dari “fiduciary duty” dan perwujudan Prinsip Kehati-hatian dan yang terkait, oleh manajer investasi dan investor.
  • Memperkuat persyaratan bagi semua perusahaan untuk mengungkap dampak ESG, strategi, dan manajemen risiko.
  • Memastikan bahwa seluruh legislasi keuangan Uni Eropa dilakukan “uji (dampak) keberlanjutan”.
  • Membentuk fasilitas Uni Eropa untuk menyalurkan pembiayaan kepada projek-projek infrastruktur berkelanjutan.
  • Memperkuat peran Otoritas Pengawas Eropa (European Supervisory Authorities/ESA) terhadap bank, pasar keuangan dan dana pensiun untuk menilai risiko-risiko terkait ESG yang mempengaruhi stabilitas keuangan.
  • Mengubah aturan-aturan akuntansi relevan untuk membuka investasi di bidang efisiensi energi.

Selain daripada itu, HLEG mengidentifikasi 12 area kebijakan untuk didiskusikan lebih lanjut, seperti:

  • Memberikan sinyal-sinyal politik mengenai kebutuhan finansial jangka panjang.
  • Mengkaji regulasi untuk membantu pengambilan keputusan yang berbasis jangka panjang.
  • Mengintegrasikan keberlanjutan dan risiko-risiko ESG ke dalam peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkatan kredit.
  • Menyelaraskan indeks-indeks dan benchmark, yang saat ini cenderung pada investasi pasif dan tidak berkelanjutan, menjadi semakin dekat dengan keberlanjutan.
  • Melonggarkan regulasi untuk pembiayaan jangka panjang yang dilakukan oleh bank dan perusahaan asuransi.
  • Secara resmi mendukung pengembangan projek-projek berkelanjutan dan pembiayaannya.
  • Meningkatkan keterlibatan lembaga-lembaga penelitian dan masyarakat di dalam keuangan berkelanjutan.
  • Memobilisasi modal swasta bagi pengelolaan dimensi sosial, khususnya melalui bisnis sosial.

Walaupun HLEG memiliki mandat untuk mengusulkan langkah-langkah regulasi, namun HLEG masih belum memberikan rekomendasi regulasi konkret untuk mendorong modal kepada kegiatan-kegiatan yang terfokus untuk membalik perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, mendorong pembangunan yang berkelanjutan secara sosial, dll. Ketika inisiatif, usaha dan kegiatan berkelanjutan mungkin hanya membutuhkan investasi atau pinjaman dalam jumlah kecil, laporan interim berasumsi bahwa investor kelembagaan (“institutional investors”) ingin melakukan investasi dengan jumlah besar dalam bentuk insentif, pelonggaran regulasi dan metode terstandardisasi, atau melalui dukungan resmi untuk mengelompokkan projek-projek kecil di dalam kolam aset yang besar.
Sekelompok LSM Eropa telah mengeluarkan sebuah pernyataan penting terhadap laporan interim HLEG. Antara lain, LSM-LSM tersebut menyesalkan bahwa ESG belum didefinisikan dengan jelas, dan juga belum dijelaskan bagaimana proses Uni Eropa untuk mendefinisikan ESG tersebut, hak asasi manusia, dan isu-isu lingkungan yang lebih luas belum dimasukkan. Mereka meminta langkah-langkah regulasi yang lebih ketat.
Terlepas dari HLEG dan Unit EC (DG FISMA) yang meluncurkan HLEG, Unit Penelitian Kebijakan Strategis Komisi Eropa juga telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Membiayai Keberlanjutan – Memicu Investasi untuk Ekonomi Bersih” pada tanggal 8 Juni 2017. Laporan ini menekankan kebutuhan akan perubahan di dalam sektor keuangan, begitu juga di dalam kebijakan dan regulasi Uni Eropa. Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup dari Komisi Eropa juga baru-baru ini memulai sebuah studi mengenai “Keuangan Hijau: Definisi dan Implikasinya bagi Investasi”.
Sumber: SOMO
 
 

In the Red

An assessment of bank policies for financing pulp and paper
Download

SOLIDARITAS ORGANISASI SIPIL (SOS) di TANAH PAPUA

Kami yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua (SOS TANAH PAPUA) , Jayapura, Papua. Secara bersama melakukan aksi solidaritas untuk mengingatkan kepada kita semua dan juga kepada negara. Bahwa sejarah telah tertulis sejak adanya UU No 1 /1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) telah menyebabkan terjadinya konflik agraria, perampasan lahan , kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM, karena inilah awal mulanya masuk investor asing ke Indonesia. Dua tahun kemudian yakni tahun 1969 Tanah Papua baru masuk menjadi bagian dari Indonesia.
Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudia pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia meratifikasi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights –  ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No.11 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pada tataran Papua dan Papua Barat telah mempunyai UU Otonomi Khusus yakni dengan adanya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan perubahan UU Otsus melalui UU Nomor 35 Tahun 2008 yang didalamnya tersirat Perlindungan (Protection), Pemberdayaan (empowerment) dan keberpihakan (alfirmasi action) yang merupakan roh dari Undang-undang Otonomi khusus Papua kepada masyarakat adat Papua.
Selengkapnya PERNYATAAN SIKAP SOS di TANAH PAPUA

Kampanye Hitam atau Kampanye Hijau? Melihat Sawit Indonesia dan Resolusi Uni Eropa dengan Positif

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
 
Dua bulan yang lampau, tepatnya tanggal 17 Maret 2017 Kateřina Konečná dari Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, Parlemen Uni Eropa, menerbitkan sebuah laporan setebal 39 halaman.  Laporan itu, Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan tersebut sebetulnya hanya bersifat rekomendatif, namun kemudian menjadi kuat ketika didukung oleh majoritas anggota Parlemen. Pemungutan suara melalui voting yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017, menghasilkan 640 anggota menyatakan persetujuan, 18 menolak, dan 28 menyatakan abstain.  Hal itu berarti persetujuan lebih dari 39% anggota Parlemen.
Laporan itu, dan terutama resolusinya, kemudian menghasilkan serangkaian ekspresi kekecewaan dan kemarahan di Indonesia.  Sejumlah kementerian dan perwakilan industri menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat diskriminatif dan sesungguhnya hanya wujud dari proteksionisme dalam perang dagang yang dibungkus dalam jargon-jargon keberlanjutan.  Kementerian Luar Negeri menyatakan: “[The resolution] only validates our suspicion that the seemingly endless attacks on palm oil by green NGOs and consumer organisations since the late 1990s have partly been prompted by strong lobbying by the EU vegetable oil industry to weaken the competitiveness of Indonesian palm oil.”
Tuduhan bahwa LSM lingkungan—dan secara lebih terbatas LSM konsumen—melakukan kampanye hitam untuk merugikan kepentingan ekonomi Indonesia memang sudah lama digembar-gemborkan.  Namun apa yang dinyatakan oleh LSM-LSM terkait dengan dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit itu sesungguhnya selalu didukung oleh ilmu pengetahuan.  Sebaliknya, tuduhan terhadap LSM kerap hanya bersifat fitnah belaka.
Ambil contoh soal hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi.  Para peneliti yang menggunakan hutan dalam pengertian ekologis memang menemukan bahwa perkebunan sawit di seluruh dunia—bukan hanya di Indonesia—sebagiannya memang berasal dari hutan yang dikonversi.  Hal ini sejalan dengan metaanalisis yang dilakukan oleh  Busch dan Ferretti-Gallon (2017) yang menemukan bahwa deforestasi di seluruh dunia memang paling kuat terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit.  Khusus di Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 54% deforestasi di Indonesia antara 1989-2013 (Vijay, et al., 2016), sementara penelitian sebelumnya menyatakan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu setidaknya 56% (Koh dan Wilcove, 2008).
Memang ada upaya untuk membantahnya.  Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017).  Mereka berupaya untuk ‘membuktikan’ bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah penyebab deforestasi, melainkan penyelamat Indonesia dari deforestasi.  Namun, secara sepintas dapat dikatakan metodologi yang dipergunakan tidak akan bisa mendukung kesimpulan itu.  Ada tiga hal dalam metodologinya yang bisa dinyatakan sebagai kelemahan. Pertama, definisi deforestasi yang bersifat administratif belaka, tidak sesuai dengan pengertian ekologis; kedua, menggunakan data yang berasal dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau saja, dan bukan di seluruh wilayah Indonesia; dan, ketiga, melihat hanya perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha saja, dan bukan kondisi aktual perkebunan kelapa sawit baik yang legal maupun ilegal.  Apa yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017) sesungguhnya bisa dinyatakan hanya bersifat apologetik, kalau bukan malahan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran.
Padahal, daripada melakukan tindakan apologetik maupun sekadar mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan, ada cukup banyak perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bisa ditunjukkan kepada dunia, sebagai bukti bahwa Indonesia memang memerhatikan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, termasuk dalam perkebunan kelapa sawit.  Memfasilitasi tindakan perbaikan menuju keberlanjutan serta komunikasinya yang tepat adalah hal yang sudah lama menjadi sikap sejumlah besar LSM lingkungan yang bekerja di Indonesia.  Alih-alih melakukan kampanye hitam sebagaimana yang dituduhkan, LSM lingkungan sesungguhnya telah, sedang, dan akan terus melakukan kampanye hijau untuk mendukung Indonesia yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam menyikapi resolusi yang dibuat oleh Uni Eropa tersebut, LSM lingkungan lebih melihatnya sebagai peluang dan ajakan kerjasama dari Uni Eropa untuk memerbaiki kondisi perkelapasawitan di Indonesia—yang oleh banyak peneliti dalam negeri sendiri dinyatakan perlu banyak tindakan korektif.  Dari mood yang ditunjukkan oleh dokumen Uni Eropa itu di awalnya, jelas yang disampaikan adalah otokritik bahwa negara-negara Uni Eropa, sebagai konsumen, sesungguhnya turut berkontribusi pada berbagai dampak negatif yang masih ada di industri kelapa sawit, khususnya di perkebunannya.  Dari otokritik itu kemudian diajukanlah serangkaian rekomendasi tindakan.
Namun, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa dokumen tersebut juga bukanlah dokumen yang sempurna, melainkan memang masih mengandung sejumlah hal yang perlu diperbaiki.  Uni Eropa jelas memiliki kepentingan untuk membuat dokumen yang lebih ringkas lagi, sebaiknya maksimal 5 halaman, dan sedapat mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih banyak pemangku kepentingan yang bisa mengakses isinya secara langsung, bukan sekadar membaca secara sepotong-potong dan/atau mendengar dari pihak lain.  Sebagaimana yang ditengarai oleh beberapa peneliti, kemungkinan kekecewaan dan kemarahan sebagian pihak di Indonesia itu disebabkan oleh karena belum membacanya secara lengkap.  Namun, membaca 39 halaman dalam bahasa asing adalah tugas yang masih terlampau berat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari prasangka buruk, tentu saja Uni Eropa perlu juga untuk menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan memang ditunjukkan untuk seluruh produk yang mereka produksi dan konsumsi.  Itu juga berarti termasuk seluruh miyak nabati, bukan cuma minyak sawit.  Di Indonesia, berkembang pemikiran bahwa minyak nabati lainnya sama sekali tidak diproduksi dengan memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan.  Apalagi, kebutuhan lahan untuk memroduksi minyak nabati lain dalam volume yang sama sangatlah besar, berkali lipat dibandingkan minyak sawit.  Jadi, minyak nabati lainnya dipandang sebagai produk kompetitor yang lebih inferior.
Di dalam dokumen yang kemudian menjadi dasar resolusi, hal tersebut sedikit disinggung.  Namun kemudian, yang mengherankan untuk kebanyakan orang di Indonesia adalah bahwa salah satu rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Uni Eropa sendiri, terutama untuk biodiesel.  Dalam hal ini, Uni Eropa penting untuk menjelaskan alasannya dengan membuktikan bahwa memang pertimbangan keberlanjutanlah yang dipergunakan dalam mengambil rekomendasi itu.  Lantaran tak mungkin minyak nabati lain lebih tinggi produktivitasnya per satuan luas lahan dibandingkan sawit, maka satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah karena kedekatannya, sehingga mungkin menjadi lebih kecil jejak karbonnya.  Namun, sekali lagi, hal itu perlu dibuktikan secara ilmiah.
Uni Eropa, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam dokumen tersebut, bersedia untuk membantu negara-negara penghasil sawit, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keberlanjutan pada industri sawit.  Ini sangat penting untuk benar-benar diwujudkan, lewat beragam cara yang mungkin, termasuk dengan memberikan bantuan teknis kepada petani kelapa sawit skala kecil—yang lebih rentan dibandingkan dengan perkebunan besar—dan kesediaan membayar harga yang lebih baik untuk sawit yang dikelola secara lestari.  Melihat berbagai peluang perbaikan sepanjang value chain sangat perlu dilakukan, lalu mengeksekusi tindakan-tindakan perbaikan yang mungkin.
Di Indonesia juga ada berbagai pernyataan bahwa data yang dicantukan di dalam dokumen tersebut tidak seluruhnya mutakhir.  Ada baiknya, segera dilakukan dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia untuk mengetahui perkembangan-perkembangan terbaru di lapangan.  Hal ini sangat penting dilakukan sehingga Uni Eropa bisa mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Indonesia.  Kalau dalam dokumen itu Uni Eropa mengapresiasi Badan Restorasi Gambut, maka pencapaian lain yang belakangan muncul, termasuk beragam inisiatif yang masih dalam pipeline seperti Satu Peta dan regulasi tentang Ekonomi Lingkungan juga sangat perlu diapresiasi sebagai kemajuan menuju keberlanjutan.  Lebih jauh, Uni Eropa mungkin dapat memertimbangkan kerjasama dalam inisiatif-inisiatif baru tersebut.
Tentu, yang lebih baik lagi adalah apabila dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia bisa menghasilkan pengetahuan terbaru mengenai kinerja keberlanjutan, bukan sekadar proses mencapainya.  Lalu, keduanya bisa mencapai kesepakatan tentang apa saja kesenjangan yang masih ada dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menutup kesenjangan itu.  Dengan demikian, maka kerjasama menuju keberlanjutan—sebagaimana yang misalnya dinyatakan oleh SDGs dalam Tujuan ketujuhbelasnya—bisa benar-benar diwujudkan.  Kerjasama ini, dan bukannya saling melempar tuduhan dan kecaman, adalah jalan menuju keberlanjutan yang hakiki.  Kalau disepakati, Uni Eropa juga semestinya menjadi bagian dari kampanye hijau untuk perbaikan Indonesia.
Namun pekerjaan rumah Indonesia sendiri perlu untuk disadari.  Koordinasi antar-kementerian dan lembaga sendiri bukan hal yang sudah rampung.  Sebagaimana yang kita saksikan beberapa hari belakangan, regulasi tentang pengelolaan ekosistem gambut malah ditentang oleh Kementerian Perindustrian.  Ini menunjukkan perlawanan terhadap kepentingan konservasi dan rehabilitasi gambut yang sudah diamanatkan Presiden RI dan merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk mengupayakan turunnya peluang dan dampak kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Kalau dipikirkan lebih dalam, sesungguhnya tindakan Kementerian Perindustrian itulah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam terhadap negeri sendiri di mata internasional.  Arah yang benar dalam pengelolaan gambut malah hendak digagalkan.  Upaya menyabotase Indonesia dari tujuan keberlanjutan ini haruslah dihentikan.  Sementara upaya untuk membangun keberlanjutan Indonesia—oleh pemangku kepentingan internal maupun bersama-sama dengan pemangku kepentingan eksternal seperti Uni Eropa—perlu dilakukan dengan serius.
 

Kampanye Hitam atau Kampanye Hijau? Melihat Sawit Indonesia dan Resolusi Uni Eropa dengan Positif

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Dua bulan yang lampau, tepatnya tanggal 17 Maret 2017 Kateřina Konečná dari Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, Parlemen Uni Eropa, menerbitkan sebuah laporan setebal 39 halaman.  Laporan itu, Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan tersebut sebetulnya hanya bersifat rekomendatif, namun kemudian menjadi kuat ketika didukung oleh majoritas anggota Parlemen. Pemungutan suara melalui voting yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017, menghasilkan 640 anggota menyatakan persetujuan, 18 menolak, dan 28 menyatakan abstain.  Hal itu berarti persetujuan lebih dari 39% anggota Parlemen.
Laporan itu, dan terutama resolusinya, kemudian menghasilkan serangkaian ekspresi kekecewaan dan kemarahan di Indonesia.  Sejumlah kementerian dan perwakilan industri menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat diskriminatif dan sesungguhnya hanya wujud dari proteksionisme dalam perang dagang yang dibungkus dalam jargon-jargon keberlanjutan.  Kementerian Luar Negeri menyatakan: “[The resolution] only validates our suspicion that the seemingly endless attacks on palm oil by green NGOs and consumer organisations since the late 1990s have partly been prompted by strong lobbying by the EU vegetable oil industry to weaken the competitiveness of Indonesian palm oil.”
Tuduhan bahwa LSM lingkungan—dan secara lebih terbatas LSM konsumen—melakukan kampanye hitam untuk merugikan kepentingan ekonomi Indonesia memang sudah lama digembar-gemborkan.  Namun apa yang dinyatakan oleh LSM-LSM terkait dengan dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit itu sesungguhnya selalu didukung oleh ilmu pengetahuan.  Sebaliknya, tuduhan terhadap LSM kerap hanya bersifat fitnah belaka.
Ambil contoh soal hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi.  Para peneliti yang menggunakan hutan dalam pengertian ekologis memang menemukan bahwa perkebunan sawit di seluruh dunia—bukan hanya di Indonesia—sebagiannya memang berasal dari hutan yang dikonversi.  Hal ini sejalan dengan metaanalisis yang dilakukan oleh  Busch dan Ferretti-Gallon (2017) yang menemukan bahwa deforestasi di seluruh dunia memang paling kuat terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit.  Khusus di Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 54% deforestasi di Indonesia antara 1989-2013 (Vijay, et al., 2016), sementara penelitian sebelumnya menyatakan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu setidaknya 56% (Koh dan Wilcove, 2008).
Memang ada upaya untuk membantahnya.  Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017).  Mereka berupaya untuk ‘membuktikan’ bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah penyebab deforestasi, melainkan penyelamat Indonesia dari deforestasi.  Namun, secara sepintas dapat dikatakan metodologi yang dipergunakan tidak akan bisa mendukung kesimpulan itu.  Ada tiga hal dalam metodologinya yang bisa dinyatakan sebagai kelemahan. Pertama, definisi deforestasi yang bersifat administratif belaka, tidak sesuai dengan pengertian ekologis; kedua, menggunakan data yang berasal dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau saja, dan bukan di seluruh wilayah Indonesia; dan, ketiga, melihat hanya perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha saja, dan bukan kondisi aktual perkebunan kelapa sawit baik yang legal maupun ilegal.  Apa yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017) sesungguhnya bisa dinyatakan hanya bersifat apologetik, kalau bukan malahan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran.
Padahal, daripada melakukan tindakan apologetik maupun sekadar mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan, ada cukup banyak perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bisa ditunjukkan kepada dunia, sebagai bukti bahwa Indonesia memang memerhatikan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, termasuk dalam perkebunan kelapa sawit.  Memfasilitasi tindakan perbaikan menuju keberlanjutan serta komunikasinya yang tepat adalah hal yang sudah lama menjadi sikap sejumlah besar LSM lingkungan yang bekerja di Indonesia.  Alih-alih melakukan kampanye hitam sebagaimana yang dituduhkan, LSM lingkungan sesungguhnya telah, sedang, dan akan terus melakukan kampanye hijau untuk mendukung Indonesia yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam menyikapi resolusi yang dibuat oleh Uni Eropa tersebut, LSM lingkungan lebih melihatnya sebagai peluang dan ajakan kerjasama dari Uni Eropa untuk memerbaiki kondisi perkelapasawitan di Indonesia—yang oleh banyak peneliti dalam negeri sendiri dinyatakan perlu banyak tindakan korektif.  Dari mood yang ditunjukkan oleh dokumen Uni Eropa itu di awalnya, jelas yang disampaikan adalah otokritik bahwa negara-negara Uni Eropa, sebagai konsumen, sesungguhnya turut berkontribusi pada berbagai dampak negatif yang masih ada di industri kelapa sawit, khususnya di perkebunannya.  Dari otokritik itu kemudian diajukanlah serangkaian rekomendasi tindakan.
Namun, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa dokumen tersebut juga bukanlah dokumen yang sempurna, melainkan memang masih mengandung sejumlah hal yang perlu diperbaiki.  Uni Eropa jelas memiliki kepentingan untuk membuat dokumen yang lebih ringkas lagi, sebaiknya maksimal 5 halaman, dan sedapat mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih banyak pemangku kepentingan yang bisa mengakses isinya secara langsung, bukan sekadar membaca secara sepotong-potong dan/atau mendengar dari pihak lain.  Sebagaimana yang ditengarai oleh beberapa peneliti, kemungkinan kekecewaan dan kemarahan sebagian pihak di Indonesia itu disebabkan oleh karena belum membacanya secara lengkap.  Namun, membaca 39 halaman dalam bahasa asing adalah tugas yang masih terlampau berat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari prasangka buruk, tentu saja Uni Eropa perlu juga untuk menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan memang ditunjukkan untuk seluruh produk yang mereka produksi dan konsumsi.  Itu juga berarti termasuk seluruh miyak nabati, bukan cuma minyak sawit.  Di Indonesia, berkembang pemikiran bahwa minyak nabati lainnya sama sekali tidak diproduksi dengan memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan.  Apalagi, kebutuhan lahan untuk memroduksi minyak nabati lain dalam volume yang sama sangatlah besar, berkali lipat dibandingkan minyak sawit.  Jadi, minyak nabati lainnya dipandang sebagai produk kompetitor yang lebih inferior.
Di dalam dokumen yang kemudian menjadi dasar resolusi, hal tersebut sedikit disinggung.  Namun kemudian, yang mengherankan untuk kebanyakan orang di Indonesia adalah bahwa salah satu rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Uni Eropa sendiri, terutama untuk biodiesel.  Dalam hal ini, Uni Eropa penting untuk menjelaskan alasannya dengan membuktikan bahwa memang pertimbangan keberlanjutanlah yang dipergunakan dalam mengambil rekomendasi itu.  Lantaran tak mungkin minyak nabati lain lebih tinggi produktivitasnya per satuan luas lahan dibandingkan sawit, maka satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah karena kedekatannya, sehingga mungkin menjadi lebih kecil jejak karbonnya.  Namun, sekali lagi, hal itu perlu dibuktikan secara ilmiah.
Uni Eropa, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam dokumen tersebut, bersedia untuk membantu negara-negara penghasil sawit, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keberlanjutan pada industri sawit.  Ini sangat penting untuk benar-benar diwujudkan, lewat beragam cara yang mungkin, termasuk dengan memberikan bantuan teknis kepada petani kelapa sawit skala kecil—yang lebih rentan dibandingkan dengan perkebunan besar—dan kesediaan membayar harga yang lebih baik untuk sawit yang dikelola secara lestari.  Melihat berbagai peluang perbaikan sepanjang value chain sangat perlu dilakukan, lalu mengeksekusi tindakan-tindakan perbaikan yang mungkin.
Di Indonesia juga ada berbagai pernyataan bahwa data yang dicantukan di dalam dokumen tersebut tidak seluruhnya mutakhir.  Ada baiknya, segera dilakukan dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia untuk mengetahui perkembangan-perkembangan terbaru di lapangan.  Hal ini sangat penting dilakukan sehingga Uni Eropa bisa mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Indonesia.  Kalau dalam dokumen itu Uni Eropa mengapresiasi Badan Restorasi Gambut, maka pencapaian lain yang belakangan muncul, termasuk beragam inisiatif yang masih dalam pipeline seperti Satu Peta dan regulasi tentang Ekonomi Lingkungan juga sangat perlu diapresiasi sebagai kemajuan menuju keberlanjutan.  Lebih jauh, Uni Eropa mungkin dapat memertimbangkan kerjasama dalam inisiatif-inisiatif baru tersebut.
Tentu, yang lebih baik lagi adalah apabila dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia bisa menghasilkan pengetahuan terbaru mengenai kinerja keberlanjutan, bukan sekadar proses mencapainya.  Lalu, keduanya bisa mencapai kesepakatan tentang apa saja kesenjangan yang masih ada dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menutup kesenjangan itu.  Dengan demikian, maka kerjasama menuju keberlanjutan—sebagaimana yang misalnya dinyatakan oleh SDGs dalam Tujuan ketujuhbelasnya—bisa benar-benar diwujudkan.  Kerjasama ini, dan bukannya saling melempar tuduhan dan kecaman, adalah jalan menuju keberlanjutan yang hakiki.  Kalau disepakati, Uni Eropa juga semestinya menjadi bagian dari kampanye hijau untuk perbaikan Indonesia.
Namun pekerjaan rumah Indonesia sendiri perlu untuk disadari.  Koordinasi antar-kementerian dan lembaga sendiri bukan hal yang sudah rampung.  Sebagaimana yang kita saksikan beberapa hari belakangan, regulasi tentang pengelolaan ekosistem gambut malah ditentang oleh Kementerian Perindustrian.  Ini menunjukkan perlawanan terhadap kepentingan konservasi dan rehabilitasi gambut yang sudah diamanatkan Presiden RI dan merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk mengupayakan turunnya peluang dan dampak kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Kalau dipikirkan lebih dalam, sesungguhnya tindakan Kementerian Perindustrian itulah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam terhadap negeri sendiri di mata internasional.  Arah yang benar dalam pengelolaan gambut malah hendak digagalkan.  Upaya menyabotase Indonesia dari tujuan keberlanjutan ini haruslah dihentikan.  Sementara upaya untuk membangun keberlanjutan Indonesia—oleh pemangku kepentingan internal maupun bersama-sama dengan pemangku kepentingan eksternal seperti Uni Eropa—perlu dilakukan dengan serius.
 

Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20

Keuangan Berkelanjutan untuk Kemaslahatan Masyarakat dan Lingkungan

Jalal

Transformasi untuk Keadilan Indonesia

Salah satu pelesetan yang paling saya sukai adalah nama C20, yang bisa membuat orang yang biasa membaca tentang G20 kecele.  Ia merupakan kependekan Civil-20, yang maksudnya adalah kumpulan organisasi masyarakat sipil yang berasal dari negara-negara G20.  Jadi, ini jelas pelesetan yang ekstra-cerdas.  Namun, kecerdasannya bukan cuma di soal nama.  Saya melihat organisasi ini memiliki pemikiran mendalam dalam mengawal agenda-agenda G20, tentu dari sudut pandang kemaslahatan masyarakat dan lingkungan.

Tanggal 15 Maret 2017 lalu mereka mengeluarkan tujuh rekomendasi kebijakan untuk G20.  Yang langsung membetot perhatian saya adalah yang mereka beri judul Reform the International Financial System.  Mengapa?  Karena rekomendasi kebijakan ini benar-benar menjawab kekhawatiran banyak pihak setelah pertemuan menteri-menteri keuangan G20 yang lalu dipandang gagal.  Tentu, kita masih ingat bahwa Amerika Serikat dan sekutunya Arab Saudi adalah biang kerok dari kegagalan itu.  Tapi, apa yang terjadi itu langung dibalas dengan saran-saran yang kuat.

Paragraf pembuka rekomendasi kebijakan itu sungguh menohok.  “The global financial system is neither resilient nor sustainable. Significant risks and regulatory gaps remain so that citizens are vulnerable to new financial crises, abusive practices such as tax dodging, and new technological challenges. The financial sector must serve the needs of the people and the planet but the G20 still promotes a financial system and monetary policies that create financial instability, social and environmental havoc, inequality, excessive debt and climate change.”  Saya sudah lama tidak membaca gugatan sekuat itu.

Sangatlah benar bahwa walaupun banyak pemerintah telah mengupayakan perubahan dalam sistem keuangan, namun hasilnya belumlah memuaskan.  Kerentananan dan ketidakberlanjutan masih menjadi ciri-ciri dari sistem keuangan di dunia ini.  Ambil contoh Amerika Serikat sendiri, yang merupakan negara asal berbagai krisis keuangan global.  Alih-alih sistem keuangannya membaik dengan melindungi seluruh masyarakat (Main Street), setelah krisis pemerintahnya malahan lebih membuat para elit keuangan (Wall Street) menjadi lebih perkasa.

Sektor keuangan seharusnya menopang hidup masyarakat dan Bumi, agar keberlanjutan bisa dipastikan.  Namun yang terjadi adalah pemerintahan negara-negara G20 memromosikan sistem dan kebijakan yang membuat kondisi keuangan semakin tidak stabil, kerusakan sosial dan lingkungan, ketimpangan dan hutang yang terus memburuk, juga iklim yang terus berubah.  Kalau mengambil Amerika Serikat sebagai contoh lagi, jelas sekali pemerintahnya juga sedang membuat tindakan-tindakan yang merugikan pengendalian perubahan iklim, termasuk dengan mengabaikan perlunya pengarahan sektor keuangan untuk keperluan tersebut.  Jadi, peringatan C20 sangatlah tepat.

Rekomendasi kebijakan keuangan yang dikeluarkan C20 sendiri terdiri dari empat bagian, yaitu regulasi dan arkitektur keuangan; hutang; keuangan yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan; serta pajak, anti-pencucian uang, dan korupsi.  Yang saya ingin bahas lebih lanjut adalah rekomendasi ketiga, yaitu keuangan berkelanjutan.

Bagian awal rekomendasi tentang keuangan berkelanjutan menyatakan bahwa “The health and productive capacity of people and planet are essential for a sustainable economy. Action and regulations must align financial systems with the 2030 Agenda in order to strengthen these, deliver the SDGs and the climate commitments, and add at least US$12trn a year to global GDP.”

Pemahaman yang jelas hendak disampaikan di situ adalah bahwa masyarakat dan lingkungan yang sehat dan memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi produktif tidaklah bisa ditawar-tawar lagi.  Bagaimana nasib umat manusia serta Bumi—apakah akan bisa berkelanjutan atau mengalami kehancuran—memang digantungkan pada dua kondisi itu.  Karena masyarakat global telah menyepakati bahwa agenda keberlanjutan adalah sebagaimana yang telah diformulasikan ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs), maka sistem keuangan memang harus diarahkan ke sana.  Sistem keuangan yang benar adalah yang membuat tercapainya SDGs dan komitmen pengelolaan perubahan iklim, sebagaimana yang sudah disepakati dalam Kesepakatan Paris.

Sampai di sini saya hendak menyampaikan hasil pengamatan soal apa yang saya saksikan mulai 2015 hingga sekarang dalam dunia keuangan berkelanjutan.  Kalau pada periode sebelumnya tidaklah terlampau tegas apa yang dimaksudkan dengan berkelanjutan pada frasa tersebut, kini tampaknya seluruh pemangku kepentingan telah menyepakati bahwa keuangan berkelanjutan memang berarti dukungan sepenuhnya sektor finansial untuk pencapaian SDGs serta Kesepakatan Paris.  Hal ini menjadikan keuangan berkelanjutan jauh lebih operasional.  Di satu sisi, sektor finansial perlu mengarahkan pembiayaan yang mengarahkan pencapaiannya, di sisi yang lain sektor finansial perlu menghindari pembiayaan yang melawan kepentingan tersebut.  Sekali lagi, jauh lebih tegas!

Terdapat empat rekomendasi yang diberikan oleh C20.  Yang pertama, “Make sustainable finance a core focus of the G20 finance track, including by upgrading the study group on green finance (GFSG) to a permanent working group, and drawing on the full range of experience by civil society worldwide.”  Tentu saja, lantaran keuangan berkelanjutan masih jauh dari kebijakan dan praktik keuangan di negara-negara G20, maka tuntutan untuk menjadikannya fokus adalah yang terpenting.  Oleh karenanya juga, status study group untuk keuangan hijau (sinonim untuk keuangan berkelanjutan) harus dinaikkan menjadi permanent working group.  Yang juga sangat menarik adalah pernyataan di ujung rekomendasi untuk memastikan bahwa kelompok kerja tersebut perlu untuk belajar dari pengalaman masyarakat sipil di seluruh dunia.  Masyarakat sipil memang adalah pendorong utama keuangan berkelanjutan.

Rekomendasi kedua, “Require mandatory disclosure on sustainability risks and opportunities for both private and public actors.” Jelas hal ini disandarkan pada praktik terbaik yang sudah dikenal. Ada banyak bukti bahwa laporan keberlanjutan—yang memuat risiko dan peluang yang timbul dari inisiatif-inisiatif keberlanjutan—bukan sekadar meningkatkan transparensi dan akuntabilitas, melainkan juga meningkatkan kinerja keberlanjutan sendiri.  Mengapa? Karena organisasi-organisasi yang melaporkan kinerjanya kemudian bisa membandingkan dan diperbandingkan satu sama lain.  Hal tersebut berlaku untuk pengungkapan yang sukarela maupun wajib.  Namun, dengan kondisi keuangan global seperti sekarang, banyak pakar yang mendorong hal ini menjadi kewajiban.  Berdasarkan pengalaman berbagai negara, pewajiban pengungkapan memang terbukti menjadi cara yang baik, kalau bukan malah yang terbaik, untuk mendorong, memfasilitasi, dan memaksa perusahaan dan pemerintah untuk menaikkan kinerja keberlanjutannya.

“Ensure compatibility with the 2030 Agenda and the Paris Agreement by developing regulation and accountability measures for financing and investments” merupakan rekomendasi ketiga.  Sekali lagi, hal ini sesuai dengan perkembangan sejak 2015.  Tidaklah masuk akal bagi dunia untuk memiliki agenda keberlanjutan—termasuk pengelolaan perubahan iklim—yang disepakati bersama namun membiarkan sektor keuangan dan investasi untuk berjalan sendiri atau bahkan melawannya.  Penting untuk disadari bahwa ada banyak sektor ekonomi yang apabila dibiayai dengan lebih baik maka keberlanjutan bisa dicapai lebih cepat—bahkan lebih cepat daripada 2030—namun ada juga sektor-sektor yang secara diametrikal bertentangan dengan tujuan keberlanjutan.  Maka, dibutuhkan regulasi dan mekanisme akuntabilitas untuk memastikan bahwa dunia memang mengarahkan sumberdaya finansialnya untuk keberlanjutan, bukan membiayai penghancuran diri.

Yang terakhir, “Price in environmental externalities by committing, each country in its own way, to a strong effective carbon price by 2020.” Udah sejak lama diketahui bahwa apabila sistem ekonomi membiarkan berbagai eksternalitas, maka perusahaan-perusahaan akan terus melakukan tindakan yang merugikan lingkungan dan sosial.  Salah satu kegagalan pasar terbesar dalam sejarah modern adalah membiarkan emisi gas rumah kaca tidak terkontrol sehingga umat manusia kemudian berhadapan dengan bahaya terbesar yang pernah dihadapi: perubahan iklim.  Karenanya, memastikan bahwa emisi (setara) karbon harus diinternalisasikan ke dalam biaya adalah cara yang harus ditempuh.  Dan umat manusia tak punya waktu yang lama lagi.  Banyak pakar yang menyatakan—sebagaimana yang kemudian menjadi dasar rekomendasi C20—bahwa 2020 adalah waktu di mana dunia memang harus memiliki kesepakatan atas harga yang harus dibayarkan bagi setiap ton karbon yang diemisikan.  Atau, generasi mendatang umat manusia tak akan punya lagi kesempatan hidup dalam kondisi yang baik.

Demikianlah.  Empat rekomendasi yang sangat bernas dari C20: menjadikan keuangan berkelanjutan menjadi fokus G20, mewajibkan pelaporan keberlanjutan, memastikan kompatibilitas sektor keuangan dan investasi dengan SDGs dan Kesepakatan Paris, serta menerapkan pajak karbon selambatnya pada tahun 2020.  Mungkin masih ada lagi butir-butir rekomendasi lain yang perlu dibuat oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil yang memerjuangkan keuangan berkelanjutan.  Namun, empat yang diajukan C20 itu pastilah di antara yang terpenting dan memang harus diperjuangkan bersama.  Moment of truth-nya akan kita lihat di Hamburg tanggal 7-8 Juli mendatang, di mana seluruh pimpinan negara G20 akan hadir.

 

4 Ribu Perusahaan PMA Tidak Pernah Bayar Pajak

KAMIS, 15 JANUARI 2015 | 00:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Sebanyak 4 ribu perusahaan penanaman modal asing (PMA) tidak pernah membayar pajak selama berdirinya. “Ada yang tidak bayar selama 25 tahun, ada yang 10 tahun. Macam-macam, bervariasi,” kata Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro di rumah dinasnya di Widya Chandra malam ini. (Kepatuhan Wajib Pajak Indonesia Terendah di ASEAN)
Bambang menjelaskan, modus perusahaan-perusahaan itu bermacam-macam, antara lain transfer pricing (transaksi barang dan jasa antar unit di dalam kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar) dan pinjaman dari pemilik modal atau pemilik perusahaan.
Pemilik modal yang berada di luar negeri, misalnya, kata Bambang, seharusnya secara teratur menyetor modal untuk perusahaannya di Indonesia. Tapi, dalam prakteknya, mereka tidak menyuntikkan modal, tapi memberikan pinjaman yang sebetulnya adalah dividen. (Singapura-Vietnam Ungguli PajakIndonesia)
“Pinjaman inilah yang dihitung sebagai utang, ada interest(bunga), sehingga mengurangi laba. Tidak ada laba terus, lama-lama perusahaan menyatakan rugi. Padahal ya, perusahaan tidak rugi sebenarnya, tetap jalan terus.”
GRACE GANDHI
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/01/15/090634961/4-Ribu-Perusahaan-PMA-Tidak-Pernah-Bayar-Pajak?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Daftar bank di Indonesia

Informasi singkat tentang bank di Indonesia

Artikel ini dikutip dan diedit dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bank_di_Indonesia sesuai dengan kebutuhan redaksional tanpa bermaksud mengurangi substansi.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1]

Kecuali disebutkan tersendiri, seluruh bank di bawah ini memiliki kantor pusat di Jakarta.

Bank sentral

Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek makroprudensial sistem perbankan secara makro.

BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Sejak 2013, Agus Martowardojo menjabat sebagai Gubernur BI menggantikan Darmin Nasution.

Bank umum konvensional

Bank pemerintah

Bank pemerintah adalah bank yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Berikut ini adalah daftar bank pemerintah, yaitu:

  1. Bank Mandiri (sebelum 1998 adalah Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank Pembangunan Indonesia)

  2. Mutiara Bank (sebelum tanggal 16 September 2009 bernama “Bank Century“/”Bank CIC”, penyertaan saham sementara oleh Pemerintah Indonesia melalui LPS)

  3. Bank Negara Indonesia

  4. Bank Rakyat Indonesia

  5. Bank Tabungan Negara

Bank swasta

Bank swasta adalah bank dimana sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional serta akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, pembagian keuntungannya juga untuk swasta nasional. Bank swasta dibedakan menjadi 2 yaitu:

Bank swasta nasional devisa

  1. Bank BRI Agroniaga, sebelumnya dikenal sebagai “Bank Agroniaga”

  2. Bank Anda (Surabaya), sebelumnya dikenal sebagai “Bank Antar Daerah”

  3. Bank Artha Graha Internasional, sebelum bulan Mei 2005 bernama “Bank Interpacific”

  4. Bank Bukopin

  5. Bank Bumi Arta

  6. Bank Capital Indonesia

  7. Bank Central Asia

  8. Bank CIMB Niaga, sebelum tanggal 15 Oktober 2008 bernama “Bank Niaga” dan “Bank Lippo

  9. Bank Danamon Indonesia

  10. Bank Ekonomi Raharja

  11. Bank Ganesha

  12. Bank Hana, sebelum tanggal 17 Maret 2008 bernama “Bank Bintang Manunggal”

  13. Bank Himpunan Saudara 1906 (Bandung)

  14. Bank ICBC Indonesia, sebelumnya bernama “Bank Halim Indonesia”

  15. Bank Index Selindo

  16. Bank Maybank Indonesia, sebelumnya bernama “Bank Internasional Indonesia”

  17. Bank Maspion (Surabaya)

  18. Bank Mayapada

  19. Bank Mega

  20. Bank Mestika Dharma (Medan)

  21. Bank Metro Express

  22. Bank MNC Internasional, sebelum tanggal 27 Oktober 2014 bernama “Bank ICB Bumiputera”/sebelumnya bernama “Bank Bumiputera Indonesia”

  23. Bank Nusantara Parahyangan (Bandung)

  24. Bank OCBC NISP, sebelum tanggal 7 Februari 2011 bernama “Bank NISP”

  25. Bank of India Indonesia, sebelum tanggal 17 November 2011 bernama “Bank Swadesi”

  26. Panin Bank

  27. Bank Permata, sebelum tanggal 18 Oktober 2002 bernama “Bank Bali”

  28. Bank QNB Kesawan, sebelum tanggal 12 Desember 2011 bernama “Bank Kesawan”

  29. Bank SBI Indonesia, sebelum tanggal 30 April 2009 bernama “Bank Indo Monex”

  30. Bank Sinarmas, sebelumnya bernama “Bank Shinta Indonesia”

  31. Bank UOB Indonesia, sebelum tanggal 19 Mei 2011 bernama “Bank UOB Buana”/sebelumnya bernama “Bank Buana Indonesia”

Bank swasta nasional nondevisa

  1. Anglomas Internasional Bank (Surabaya)

  2. Bank Andara, sebelum tanggal 30 Januari 2009 bernama “Bank Sri Partha”

  3. Bank Artos Indonesia (Bandung)

  4. Bank Bisnis Internasional (Bandung)

  5. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Bandung)

  6. Centratama Nasional Bank (Surabaya)

  7. Bank Sahabat Sampoerna

  8. Bank Fama Internasional (Bandung)

  9. Bank Harda Internasional

  10. Bank Ina Perdana

  11. Bank Jasa Jakarta

  12. Bank Kesejahteraan Ekonomi

  13. Bank Dinar Indonesia

  14. Bank Mayora

  15. Bank Mitraniaga

  16. Bank Multi Arta Sentosa

  17. Bank Nationalnobu, sebelum tanggal 12 November 2008 bernama “Bank Alfindo Sejahtera”

  18. Prima Master Bank

  19. Bank Pundi Indonesia, sebelum tanggal 23 September 2010 bernama “Bank Eksekutif Internasional”

  20. Bank Royal Indonesia

  21. Bank Sahabat Purba Danarta (Semarang), sebelum tanggal 16 September 2009 bernama “Bank Purba Danarta”

  22. Bank Sinar Harapan Bali

  23. Bank Victoria Internasional

  24. Bank Yudha Bhakti

Bank pembangunan daerah

Bank pembangunan daerah adalah bank yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah Provinsi.

  1. Bank BPD Aceh (Banda Aceh)

  2. Bank Sumut (Medan)

  3. Bank Nagari (Padang)

  4. Bank Riau Kepri (Pekanbaru), dahulu dikenal sebagai Bank Riau

  5. Bank Jambi (Jambi)

  6. Bank Bengkulu (Kota Bengkulu)

  7. Bank Sumsel Babel (Palembang), dahulu dikenal sebagai Bank Sumsel

  8. Bank Lampung (Bandar Lampung)

  9. Bank DKI (Jakarta)

  10. Bank BJB (Bandung), dahulu dikenal sebagai Bank Jabar atau Bank Jabar Banten atau BPD Jawa Barat.

  11. Bank Jateng (Semarang)

  12. Bank BPD DIY (Yogyakarta)

  13. Bank Jatim (Surabaya)

  14. Bank Kalbar (Pontianak)

  15. Bank Kalteng (Palangka Raya)

  16. Bank Kalsel (Banjarmasin)

  17. Bank Kaltim (Samarinda)

  18. Bank Sulsel (Makassar)

  19. Bank Sultra (Kendari)

  20. Bank BPD Sulteng (Palu)

  21. Bank Sulut (Manado)

  22. Bank BPD Bali (Denpasar)

  23. Bank NTB (Mataram)

  24. Bank NTT (Kupang)

  25. Bank Maluku (Ambon)

  26. Bank Papua (Jayapura), dahulu dikenal sebagai BPD Irian Jaya

Bank campuran

Bank campuran adalah bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh WNI (dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh WNI), dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.

  1. Bank ANZ Indonesia, sebelum 12 Januari 2012 bernama “ANZ Panin Bank”

  2. Bank Commonwealth

  3. Bank Agris, sebelum 5 September 2008 bernama “Bank Finconesia”

  4. Bank BNP Paribas Indonesia

  5. Bank Capital Indonesia

  6. Bank Chinatrust Indonesia

  7. Bank DBS Indonesia

  8. Bank KEB Indonesia

  9. Bank Mizuho Indonesia

  10. Bank Rabobank International Indonesia

  11. Bank Resona Perdania

  12. Bank Sumitomo Mitsui Indonesia

  13. Bank Windu Kentjana International, sebelum tanggal 7 Februari 2008 bernama “Bank Multicor”

  14. Bank Woori Indonesia, sebelum bulan Februari 2002 bernama “Bank Hanvit Indonesia”

Bank asing

  1. Bank of America

  2. Bangkok Bank

  3. Bank of China

  4. Citibank

  5. Deutsche Bank

  6. HSBC

  7. JPMorgan Chase

  8. Standard Chartered

  9. The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ

Bank umum syariah

Bank swasta nasional devisa

  1. Bank BNI Syariah

  2. Bank Mega Syariah

  3. Bank Muamalat Indonesia

  4. Bank Syariah Mandiri

Bank swasta nasional nondevisa

  1. BCA Syariah, dahulu bernama “Bank UIB”

  2. Bank BJB Syariah

  3. Bank BRI Syariah, dahulu bernama “Bank Jasa Arta”

  4. Panin Bank Syariah, dahulu bernama “Bank Harfa”

  5. Bank Syariah Bukopin, dahulu bernama “Bank Persyarikatan Indonesia”

  6. Bank Victoria Syariah, dahulu bernama “Bank Swaguna”

Bank campuran

  1. Bank Maybank Syariah Indonesia, dahulu bernama “Bank Maybank Indocorp”

  2. Bank of Amerika (Bofa)(NYSE: BAC TYO: 8648, Bankofamerica.com kantor pusat Charlotte, Carolina Utara”

Unit usaha syariah bank umum konvensional

Bank pemerintah

Bank swasta nasional devisa

  1. Bank Danamon Syariah

  2. CIMB Niaga Syariah

  3. BII Syariah

  4. OCBC NISP Syariah

  5. Bank Permata Syariah

Bank pembangunan daerah

  1. Bank Nagari Syariah

  2. Bank BPD Aceh Syariah

  3. Bank DKI Syariah

  4. Bank Kalbar Syariah

  5. Bank Kalsel Syariah

  6. Bank NTB Syariah

  7. Bank Riau Kepri Syariah

  8. Bank Sumsel Babel Syariah

  9. Bank Sumut Syariah

  10. Bank Kaltim Syariah

Bank asing

Bank perkreditan rakyat

BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Per tanggal 18 Desember 2011, terdapat 1.683 BPR yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.[2]

Bank yang telah berhenti beroperasi

  1. American Express (dicabut izin usaha sejak tanggal 24 Februari 2009)

  2. Bank Artha Graha (merger dengan Bank Interpacific)

  3. Bank Arta Niaga Kencana (merger dengan Bank Commonwealth sejak tanggal 10 Desember 2007)

  4. Artamedia Bank (merger dengan Bank Permata)

  5. Bank Asia Pacific

  6. Bank Asiatic (ditutup sejak tanggal 8 April 2004)[3]

  7. Bank Bahari

  8. Bank Barclays Indonesia (dicabut izin usaha sejak tanggal 7 Juli 2011, dahulu bernama “Bank Akita”)

  9. Bank Dagang Bali (ditutup sejak tanggal 8 April 2004)[3]

  10. Bank Dai-Ichi Kangyo Indonesia (merger dengan Bank Mizuho Indonesia)

  11. Bank Danpac (merger dengan Bank CIC)

  12. Bank Dharmala

  13. Bank Duta (merger dengan Bank Danamon)

  14. Bank Ekspor Indonesia (dicabut izin usaha sejak tanggal 1 September 2009, menjadiLembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia)

  15. Bank Ficorinvest

  16. Bank Global International (ditutup sejak tanggal 13 Januari 2005)

  17. Bank Haga (merger dengan Bank Rabobank International Indonesia sejak tanggal 24 Juni 2008)

  18. Bank Hagakita (merger dengan Bank Rabobank International Indonesia sejak tanggal 24 Juni 2008)

  19. Bank Harapan Sentosa

  20. Bank Hastin

  21. Bank IBJ Indonesia (merger dengan Bank Mizuho Indonesia)

  22. Bank IFI (dicabut izin usaha sejak tanggal 17 April 2009)

  23. Bank Indonesia Raya

  24. ING Indonesia Bank (ditutup sejak tanggal 6 Oktober 2004)

  25. Bank Intan

  26. Jayabank International (merger dengan Bank Danamon)

  27. Keppel Tat Lee Buana Bank (merger dengan Bank OCBC NISP (lama) kemudian berubah menjadi Bank OCBC Indonesia)

  28. Lippo Bank (merger dengan Bank CIMB Niaga sejak tanggal 15 Oktober 2008)

  29. Bank Mashill

  30. Bank Merincorp (ditutup sejak tanggal 7 Agustus 2003)

  31. Bank Metropolitan

  32. Bank Modern

  33. Bank Nusa Nasional (merger dengan Bank Danamon)

  34. Bank OCBC Indonesia (merger dengan Bank OCBC NISP sejak tanggal 7 Februari 2011)

  35. Bank Papan Sejahtera

  36. Bank Paribas-BBD Indonesia (ditutup sejak tanggal 5 Februari 2011, operasional bergabung dengan Bank BNP Paribas Indonesia)

  37. Bank Patriot (merger dengan Bank Permata)

  38. Bank Pelita

  39. Bank Pikko (merger dengan Bank CIC)

  40. Bank Pos Nusantara (merger dengan Bank Danamon)

  41. Bank Prasidha Utama (ditutup sejak tanggal 20 Oktober 2000)

  42. Prima Express Bank (merger dengan Bank Permata)

  43. Bank Putera Multikarsa

  44. Bank Rama (merger dengan Bank Danamon)

  45. Bank Ratu (ditutup sejak tanggal 20 Oktober 2000)

  46. Bank Risjad Salim Internasional (merger dengan Bank Danamon)

  47. Bank Sakura Swadharma (merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia)

  48. Bank Societe Generale Indonesia (ditutup sejak tanggal 25 April 2003)

  49. Bank Summa

  50. Bank Surya

  51. Bank Tamara (merger dengan Bank Danamon)

  52. Bank Tata

  53. Bank Tiara (merger dengan Bank Danamon)

  54. Tokai Lippo Bank (merger dengan Bank UFJ Indonesia)

  55. Bank UFJ Indonesia (dicabut izin usaha sejak tanggal 5 Oktober 2006, operasional bergabung dengan The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ)

  56. Bank UOB Indonesia (merger dengan Bank UOB Buana sejak tanggal 10 Juni 2010)

  57. Bank Umum Nasional

  58. Bank Umum Servitia

  59. Bank Unibank (ditutup sejak tanggal 29 Oktober 2001)

  60. Bank Universal (merger dengan Bank Permata)

  61. Bank Windu Kentjana (merger dengan Bank Multicor sejak tanggal 18 Desember 2007)

Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

  2. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia – Bank Sentral Republik Indonesia

  3. BI Likuidasi Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali

  4. Daftar bank di situs web resmi Bank Indonesia:

  5. Daftar alamat bank di situs web resmi Bank Indonesia

  6. Direktori bank di Indonesia