Pos

SIARAN PERS: BANK JUGA HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN KONFLIK LAHAN YANG TERJADI

 
Jakarta, 12 November 2017-Pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria dan konflik sosial, dan pelanggaran HAM menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak terkecuali Lembaga Jasa Keuangan (LJK) seperti bank. Bank turut bertanggungjawab atas pembiayaan terhadap bisnis yang menimbulkan penghancuran lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat/masyarakat lokal.
Keharusan perbankan dalam upaya perlindungan terhadap lingkungan dinyatakan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam penjelasan umumnya terdapat kalimat sebagai berikut: “Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana termasuk di dalamnya peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar atau beresiko tinggi.” Selanjutnya dalam penjelasan umum angka 5 pada Pasal 8 Ayat (1) dikatakan: Di samping itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Sebagai salah satu pemilik modal, lembaga perbankan memiliki peran yang vital dalam mencegah laju kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Pencegahan bisa dilakukan oleh perbankan dengan melakukan due diligent atau uji tuntas terlebih dulu sebelum memberikan kredit atau modalnya kepada perusahaan.
Menurut Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI; “Perbankan harus menerapkan prinsip “know your costumer” sebelum mendaratkan investasinya. Dan yang pasti bank juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dini supaya investasi yang diberikan kepada perusahaan tidak menimbulkan ketidakberlangsungan lingkungan dan risiko gagal bayar. Jika bank tidak melakukan hal itu semua, maka bank harus turut bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan yang dibiayainya”. Yang patut diingat, bahwa sektor Perbank-an merupakan instutusi yang terhubung dengan rantai pasok bisnis industri ekstraktive, seperti perkebunan kelapa sawit yang harus hormat pada prinsip hak asasi manusia, tegas Khalisah.
Sejalan dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Desember 2014 mengeluarkan kebijakan Keuangan Berkelanjutan. Keuangan Berkelanjutan merupakan dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Menurut Abdul Wahid, dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia, “Prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan mengaharuskan lembaga jasa keuangan untuk melakukan investasi yang bertanggung jawab, strategi dan praktik bisnis berkelanjutan, serta pengelolaan risiko sosial dan lingkungan. Hal itu sebagaimana tercantum dalam Peraturan OJK No. 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan”.
Berbagai konflik sosial (lahan) dan kerusakan lingkungan banyak terjadi dengan investasi perkebunan besar kelapa sawit di berbagai daerah . Diantaranya konflik yang terjadi antara masyarakat di Jambi, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Papua. Di Jambi, Konflik terjadi antara masyarakat di Desa Seponjen, Dusun Pulau Tigo, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung dengan PT Bukit Bintang Sawit (BBS) perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian di Maluku Utara, antara Masyrakat di Teluk Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, dengan PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM) anak perusahaan dari Korindo. Di Sultra, antara perusahaan perkebunan sawit PT. Merbau Indah Raya Group dengan masyarakat di Konawe Selatan. Di Papua, tepatnya di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom dengan PT Tandan Sawita Papua (Rajawali Group). Dan di Sulawesi Utara, antara masyarakat di Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow dengan perusahaan sawit, PT. Malisya Sejahtera. Fakta-fakta kasus ini disampaikan oleh WALHI Jambi, WALHI Malut, WALHI Sultra, WALHI Sulut dan WALHI Papua.
Berdasarkan uraian fakta kasus-kasus di atas, terlihat bahwa bank juga mempunyai peran dan tanggung jawab, bank perlu melakukan antisipasi terhadap potensi kerusakan lingkungan dan dalam kegiatan usaha calon nasabah debitur. Jadi bank sebelum memberikan kredit pembiayaan harus melakukan screening atau due diligent terhadap calon nasabahnya terutama untuk skala industri besar. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah perusahaan calon nasabah sudah memenuhi syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam operasinya menurut undang-undang seperti sudah memiliki AMDAL, Kajian KLHS, sudah Memliki Sertifikat HGU, dan lainnya.
Risiko atas terjadinya pengerusakan lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal yang dilakukan oleh korporasi yang dibiayainya. Bank harusnya menyadari bahwa mereka akan terpapa risiko akibat praktek bisnis yang tidak menghormati hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Kontak:
Abdul Wahid (TuK INDONESIA) : 0813-8146-4445
Khalisah Khalid (Walhi Eksekutif Nasional) : 0812-90400147
 

Siaran Pers Bersama: Bank Harus Tanggung Jawab atas Ratusan Konflik Tanah dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang Terjadi

Jakarta-Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan telah menciptakan berbagai masalah lingkungan hidup dan sosial yang serius. Hutan yang bernilai tinggi dikonversi menjadi perkebunan, emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan gambut, bencana ekologis dan banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka dan yang telah mereka miliki secara turun-temurun.

Perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin masif ini tentu tak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan “economic booming” di sektor industri perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya dipicu oleh tingginya permintaan minyak nabati dunia untuk memenuhi konsumsi aneka makanan, kosmetik dan agrofuel. Indonesia merespon situasi ini dengan peningkatan perluasan perkebunan kelapa sawit, tujuannya secara normatif tentu untuk mendongkrak pendapatan ekonomi Negara, mengurangi angka pengangguran serta beberapa tujuan normatif lainnnya.

Trend perluasan perkebunan sawit ini semakin menemukan momentumnya ketika institusi-institusi perbankan ikut menyediakan kredit investasi bagi korporasi perkebunan kelapa sawit. Fatalnya, seringkali lembaga-lembaga Perbankan baik nasional maupun internasional tidak mempunyai filter untuk memastikan bahwa pinjaman-pinjaman yang mereka berikan kepada korporasi digunakan dengan mempertimbangkan masalah sosial dan lingkungan seperti keberlangsungan hidup para petani sawit skala kecil atau masyarakat di sekitar perkebunan serta isu-isu yang berhubungan dengan pencegahan deforestasi. Biasanya dalam prakteknya skema pemberian dana oleh Perbankan, terjadi pada tahap sebelum mendapatkan sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah dan juga setelah terbitnya sertifikat tersebut, tegas Fatilda Hasibuan, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Eksekutif Nasional WALHI.

Absennya filter tersebut dan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat menyebabkan terjadinya ratusan konflik tanah antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat lokal yang masih belum bisa terlesaikan dan menyisakan krisis lingkungan hidup, misalnya konflik antara warga dengan perusahaan yang terjadi di Jambi, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tenggara.

Dwi Nanto, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi mengatakan, “sejak PT. Krena Duta Agro di Desa Lindung, Sarolangun-Jambi, melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit tahun 2002 seluas 1800 ha, perusahaan tidak pernah menepati kewajibannya : 1) membersihkan danau Biaro, 2) Memberikan kejelasan letak lokasi areal tanah kas Desa (TKD) yang dibangun dari total luasnya 800 hektar, 3) Menerima tenaga kerja Desa Lidung, 4) Membangun kebun kelapa sawit untuk Tanah Kas Desa, 5) Pembukaan lahan”.

“Sedangkan di Maluku Utara, konflik terjadi dengan PT. Korindo yang beroperasi di Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Goronga dan PT. Manggala Rimba Sejahtera yang beroperasi di Kec. Patani Utara, Patani Barat, dan Halmahera Tengah”, ungkap Kuswandi Buamona, Manager Advokasi, Walhi Maluku Utara.

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Kisran Makati mengatakan “di Sulawesi Tenggara, terdapat konflik agraria antara warga Mowila dan PT. Merbau Indah Raya Group. Menurut Walhi Sulawesi Tenggara, diduga manajemen perusahaan PT. Merbau bekerjasama dengan oknum pejabat, kecamatan, oknum desa, oknum warga, oknum pejabat pembebasan lahan melakukan aksi penipuan secara terstruktur dengan cara mengajak warga desa untuk mengikuti program perkebunan dalam bentuk plasma, dengan system bagi hasil (20% untuk warga dan 80% perusahaan). Dalam proses pembayaran kompensasi perkebunan bentuk plasma, pihak perusahaan meminta fotocopy surat kepemilikan tanah, surat keterangan tanah dan belakangan PT. Merbau mengklaim secara sepihak bahwa telah melakukan pembelian tanah secara beli putus, bukan pola kerja sama plasma seperti yang dijanjikan saat penandatanganan dengan warga”.

PJs. Direktur Walhi Papua, Maurits Rumbekwan menambahkan “di Papua, konflik antara warga dengan PTPN II terjadi sejak tahun 1985. Pemerintah dan perusahaan berusaha menguasai area konsensi dengan meminta masyarakat menandatangani surat yang isinya tidak diketahui karena redaksi surat tersebut ditutup dan hanya menyodorkan lampiran tanda tangan. Masyarakat harus segera tanda tangan karena alat berat akan diturunkan ke lokasi tersebut. Saat alat berat diturunkan, bukan pada lokasi yang disepakati sejak awal tetapi pada area hutan sagu. Beitu juga luasan yang disepakati mengalami perubahan, namun perubahan tersebut terjadi tanpa melibatkan warga”.

Selain perusahaan dan pemerintah, kekuatan pendorong di balik pertumbuhan yang kuat dari sektor minyak kelapa sawit, yaitu pemilik dan penyandang dana – juga harus memikul tanggung jawab atas dampak-dampak tersebut. Industri keuangan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanggungjawab social dan lingkungan hidup melalui kebijakan kredit dan investasi. Bank dan investor dapat terlibat dan membuat perusahaan bisa berinvestasi lebih besar untuk modal, yang kemudian mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat yang kemudian kembali bisa digunakan oleh perusahaan ini untuk berinvestasi dan mengembakan perusahaan mereka. Saat perusahaan mengendalikan proses ekspansi sector kelapa sawit, dana bank dan investor  eksternal yang digelontokan kepada mereka memungkinkan mereka untuk makin mempercepat laju ekspansinya, Edi Sutrisno, Direktur Advokasi dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menutup siaran pers ini.

Mendesak Sime Darby untuk menyelesaikan konflik perampasan tanah yang berkepanjangan sebelum pendaftaran divisi perkebunannya di bursa saham.

Jakarta, 20 Januari 2017

Mendesak Sime Darby untuk menyelesaikan konflik perampasan tanah yang berkepanjangan sebelum pendaftaran divisi perkebunannya di bursa saham.

 Sime Darby dilaporkan sedang mempersiapkan pendaftaran sejumlah anak perusahaan di bursa saham Asia pada awal tahun 2017. Diperkirakan divisi perkebunan Sime Darby adalah salah satu divisi yang akan didaftarkan – divisi perkebunan Sime Darby menghasilkan lebih dari seperempat pendapatannya dan sepertiga dari keuntungan yang perusahaan hasillkan.1  Salah satu anak perusahaan perkebunan sawit Sime Darby di Indonesia sedang berkonflik dengan beberapa komunitas masyarakat adat, masyarakat memiliki beberapa tuntutan terhadap perusahaan, termasuk perampasan tanah adat dan oleh Sime darby dimasukkan kedalam wilayah perkebunannya tanpa Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Sebelum pendaftaran apapun dilakukan, masyarakat yang terkena dampak atas kasus ini dan juga organisasi masyarakat sipil mendesak bank-bank dan investor penyandang dana Sime Darby untuk menyelesaikan semua konflik dengan masyarakat dan memastikan hak-hak masyarakat dilindungi dan dihormati.

Sime Darby adalah salah satu perusahaan sawit terbesar di dunia dan memproduksi sekitar 16% dari seluruh sawit yang tersertifikasi di RSPO.2 Perusahaan Sime Darby sendiri selalu bangga dengan praktik tanggung jawab sosialnya dan telah menjadi anggota RSPO sejak tahun 2004; juga sebagai salah satu penandatangan United Nations Global Compact and the New York Declaration on Forests.Pada bulan September 2016 Sime Darby mengeluarkan Responsible Agriculture Charterdan mengumumkan tujuannya untuk bergabung dengan the Palm Oil Innovation Group (POIG).5 Pada bulan Desember 2016, Sime Darby menandatangani the High Carbon Stock Convergence Agreement, yang menggaris bawahi elemen mendasar dari satu aturan untuk mengimplementasikan komitmennya untuk “tidak melakukan pengrusakan hutan” dan melakukan proses Free, Prior and Informed Consent (FPIC) secara serius untuk pengakuan hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal.6

 Terlepas dari komitmen untuk melakukan praktek bisnis yang bertanggungjawab, Sime Darby belum secara serius melakukan upaya penyelesaian atas berbagai pelanggaran terhadap hak atas tanah masyarakat adat yang melibatkan anak perusahaannya PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS), Provinsi Kalimantan Barat – Indonesia. PT MAS telah beroperasi di atas tanah masyarakat adat seluas 1,462 ha sejak tahun 1995 tanpa memperoleh persetujuan dari masyarakat sesuai dengan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Pada tahun 2012, masyarakat mengajukan tuntutan ke RSPO, yang sampai lima tahun kemudian tetap tidak terselesaikan. Beberapa upaya terkini yang dilakukan oleh masyarakat dan organisasi masyarakat sipil tahun 2015 dan 2016 untuk pemetaan partisipatoris dan pengembalian tanah adat belum mendapatkan respon yang memadai.7

Berikut ialah aduan masyarakat untuk PT MAS, anak perusahaan Sime Darby:

  • Menggarap tanah masyarakat adat di Kalimantan Barat sejak 1995, tanpa memperoleh persetujuan dari masyarakat sesuai dengan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)
  • Kurangnya transparansi tentang status tanah dan perjanjian kerjasama.
  • Gagal menindaklanjuti janji terkait pembangungan infrastruktur.
  • Tidak mematuhi peraturan daerah tentang kebun plasma.
  • Melanggar Prinsip dan Kriteria RSPO 2.2, yg mewajibkan perusahaan bahwa “hak menggunakan tanah dibuktikan, dan tidak dituntut secara sah oleh masyarakat lokal yg dapat menunjukan bahwa mereka memiliki hak hukum, hak adat atau hak pakai.”

Lembar fakta terkait kasus konflik yang dipublikasikan oleh TuK INDONESIA dapat ditemukan disini[1]. Pernyataan dari Sime Darby yang merespon lembar fakta TuK Indonesia dapat ditemukan disini. Ringkasan informasi pengaduan ke RSPO dapat ditemukan disini dan status negosiasi penyelesaian sengketa dapat ditemukan disini.

Penyandang dana utama Sime Darby8  dan para investor,9 sebagaimana tercantum dibawah ini, kemungkinan akan didekati untuk menjadi penjamin emisi dan/atau pemegang saham pada perusahaan perkebunan mereka. Beberapa institusi ini (termasuk HSBC, Standard Chartered, Citigroup, Dana Pensiun Pemerintah Norwegia dan Pensioenfonds Zorg & Welzijn) memilki berbagai kebijakan untuk mencegah mereka memberikan layanan pendanaan untuk perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan dan sosial, seperti pelanggaran hak atas tanah.

Rekomendasi

 

Sime Darby dengan segera harus menyelesaikan permasalahan antara PT MAS dengan masyarakat sesuai dengan harapan masyarakat.

Bank dan investor harus mewajibkan Sime Darby untuk terlebih dahulu menyelesaikan tuntutan masyarakat korban dari PT MAS, sebagai prasyarat keterlibatan mereka dalam daftar manapun atau perjanjian pendanaan dimasa depan dengan perusahaan.

Tabel 1: Hutang dan Penjamin Emisi berdasarkan tipe pendanaan (Juta US$, 2009-2016 September)

Penyadang Dana Negara Penerbitan Obligasi Hutang Perusahaan Fasilitas Kredit Bergulir Penerbitan Saham Total
(juta US$)
Malayan Banking Malaysia  1,491  100  590 2,181
CIMB Group Malaysia  376  376
Public Bank Malaysia  326  326
OCBC Singapore  220  80  300
Mizuho Financial Japan  170  110  280
HSBC United Kingdom  75  90  60  225
Mitsubishi UFJ Financial Japan  120  80  200
Standard Chartered United Kingdom  75  90  10  175
ANZ Australia  130  10  140
Citigroup United States  75  75
Hong Leong Company Malaysia  50  50
Total  2,469  920  350  590 4,329

 

Tabel 2: Obligasi dan Pemegang Saham (juta US$, laporan terkini September 2016)

 

Investor Negara Nilai (dalam juta US$)
Employees Provident Fund Malaysia  1,305
KWAP Retirement Fund Malaysia  366
Malaysian Hajj Pilgrims Fund Malaysia  285
Public Mutual Malaysia  242
Vanguard United States  98
BlackRock United States  95
GIC Singapore  92
Prudential (UK) United Kingdom  77
Oversea-Chinese Banking Corporation Singapore  73
Norwegian Government Pension Fund – Global Norway  48
Dimensional Fund Advisors United States  26
Pensioenfonds Zorg & Welzijn Netherlands  21
CIMB Group Malaysia  20
JPMorgan Chase United States  20
Deutsche Bank Germany  15
Total 2,784

(Endnotes)

  1. Sime Darby (2016, October), Innovating the Future: Annual Report 2016, p. 7; Lee, L. (2016, November 25), “Malaysia’s Sime Darby could list its plantations division”, online: http://www.reuters.com/article/sime-drby-results-idUSL4N1DQ2SB, viewed in November 2016. Some analysts have also indicated that a demerger of its plantation division is a likely scenario.
  2. RSPO, 30 September 2016. “Certified Growers”. Online: http://www.rspo.org/certification/certified-growers
  3. Sime Darby website, (n.d), “Performance Highlights”, online: www.simedarby.com/sustainability/performance-highlights/performance-highlights
  4. Sime Darby, (21/09/2016), Press Release: “Sime Darby Plantation launches responsible agriculture charter”, online: http://www.simedarby.com/media/press-release/sime-darby-plantation-launches-responsible-agriculture-charter
  5. Sime Darby, (21/09/2016), Press Release: “Sime Darby Plantation launches responsible agriculture charter”, online: http://www.simedarby.com/media/press-release/sime-darby-plantation-launches-responsible-agriculture-charter
  6. http://highcarbonstock.org/wp-content/uploads/2016/11/Final-HCS-Convergence-Agreement-.pdf
  7. http://www.rspo.org/acop/2015/sime-darby-plantation-sdn-bhd/progress-report_pt-mas.pdf
  8. To explore the data, see: http://forestsandfinance.org/?explore=AC0.YYYYKKB.KB.KKKKB.kkk1ke.E.KF.F.G#sthash.2QAjLEYI
  9. To explore the data, see: http://forestsandfinance.org/?explore=ac1.YYYYYYYYYYYKK1.KB.KKKKB.kkk1ke.E.KF.F.G

[1]    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi: Rahmawati Retno Winarni, TuK Indonesia Executive Director, [email protected],

telp: + 62 21 835 2955

Forests and Finance News_Sime Darby – Bahasa

[Tempo.co] Peraturan Izin Perkebunan Digugat di MA

JUM’AT, 27 JUNI 2014 | 20:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Gabungan lembaga swadaya masyarakat yang menamakan diri Tim Advokasi Keadilan Berkebun berencana mengajukan gugatan pembatalan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan ke Mahkamah Agung, hari ini, Jumat, 27 Juni 2014. Menurut Tim, peraturan tersebut mengakibatkan masyarakat di 13 provinsi terlibat sengketa lahan dengan perusahaan pemegang Izin Usaha Perkebunan. Ini yang terjadi dengan warga dari Sanggau, Kalimantan Barat; Seluma Barat, Bengkulu; Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan; Merauke, Papua; dan Lamandau, Kalimantan Tengah. (Baca: Menteri Pertanian Bisa Cabut Izin Perkebunan)

“Atas persetujuan masyarakat (di daerah-daerah tersebut), kami menjadi tim advokasi untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung,” kata staf program Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqien, yang bergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Berkebun, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 26 Juni 2014.

Menurut Andi, Peraturan Mentan Nomor 98 tahun 2013 secara substansi memudahkan dan menguntungkan investor menanamkan modal di sektor perkebunan. Sebagai contoh, terdapat pada pasal 15 yang menyebutkan perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP dengan luas 250 hektar atau lebih wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luas paling kurang 20 persen dari total lahan yang dikelola perusahaan tersebut. (Baca: Gubernur Aceh Cabut Izin Perusahaan Sawit)
Namun pembangunan kebun masyarakat tersebut harus berada di luar lahan yang digarap perusahaan perkebunan. Walhasil, pembukaan lahan kebun masyarakat malah membebani masyarakat sekitar perusahaan dan pemerintah daerah. “Hal ini malah membuat masalah konflik lahan baru, tanah milik masyarakat terancam diserobot oleh perusahaan,” kata Andi.
Masalah lain, dalam Pasal 18 menyebutkan perusahaan perkebunan pemegang IUP di provinsi Papua dan Papua Barat diberikan izin untuk membuka lahan perkebunan didua kali lebih luas dibanding provinsi lain. Menurut Andi, sudah ada lima warga adat di Merauke, Papua yang didampingi Tim Advokasi Keadilan Berkebun. Kelima warga adat tersebut khawatir rencana perusahaan perkebunan memanfaatkan pasal 18 Permentan 98 tahun 2013 berpotensi menimbulkan konflik. “Bukan hanya konflik antara warga dengan perusahaan tapi antar warga sendiri,” kata Andi.
Edi Sutrisno dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menambahkan, perusahaan swasta, BUMN, atau pun koperasi diberikan keistimewaan yakni tak ada pembatasan areal izin perkebunan. Edi menganggap keputusan tersebut mampu menimbulkan masalah, sebab pemerintah seakan membebaskan perusahaan asing melakukan ekspansi lahan perkebunan di Indonesia.

Masalah lain, kebebasan terhadap perusahaan swasta berdampak pada koperasi masyarakat. Alasannya, dengan hak yang sama, koperasi diharuskan bersaing langsung dengan perusahaan swasta tanpa diberikan keiistimewaan oleh pemerintah. “Jadi memungkinkan monopoli dan konglomerasi korporasi,” kata dia.
Menteri Pertanian Suswono belum bisa menanggapi rencana gugatan tersebut. Panggilan telepon dan pesan singkat Tempo belum mendapatkan respons dari Suswono.
INDRA WIJAYA

Link:

http://www.tempo.co/read/news/2014/06/27/078588600/Peraturan-Izin-Perkebunan-Digugat-di-MA