Siaran Pers Bersama: Bank Harus Tanggung Jawab atas Ratusan Konflik Tanah dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang Terjadi

Jakarta-Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan telah menciptakan berbagai masalah lingkungan hidup dan sosial yang serius. Hutan yang bernilai tinggi dikonversi menjadi perkebunan, emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan gambut, bencana ekologis dan banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka dan yang telah mereka miliki secara turun-temurun.

Perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin masif ini tentu tak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan “economic booming” di sektor industri perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya dipicu oleh tingginya permintaan minyak nabati dunia untuk memenuhi konsumsi aneka makanan, kosmetik dan agrofuel. Indonesia merespon situasi ini dengan peningkatan perluasan perkebunan kelapa sawit, tujuannya secara normatif tentu untuk mendongkrak pendapatan ekonomi Negara, mengurangi angka pengangguran serta beberapa tujuan normatif lainnnya.

Trend perluasan perkebunan sawit ini semakin menemukan momentumnya ketika institusi-institusi perbankan ikut menyediakan kredit investasi bagi korporasi perkebunan kelapa sawit. Fatalnya, seringkali lembaga-lembaga Perbankan baik nasional maupun internasional tidak mempunyai filter untuk memastikan bahwa pinjaman-pinjaman yang mereka berikan kepada korporasi digunakan dengan mempertimbangkan masalah sosial dan lingkungan seperti keberlangsungan hidup para petani sawit skala kecil atau masyarakat di sekitar perkebunan serta isu-isu yang berhubungan dengan pencegahan deforestasi. Biasanya dalam prakteknya skema pemberian dana oleh Perbankan, terjadi pada tahap sebelum mendapatkan sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah dan juga setelah terbitnya sertifikat tersebut, tegas Fatilda Hasibuan, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Eksekutif Nasional WALHI.

Absennya filter tersebut dan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat menyebabkan terjadinya ratusan konflik tanah antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat lokal yang masih belum bisa terlesaikan dan menyisakan krisis lingkungan hidup, misalnya konflik antara warga dengan perusahaan yang terjadi di Jambi, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tenggara.

Dwi Nanto, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi mengatakan, “sejak PT. Krena Duta Agro di Desa Lindung, Sarolangun-Jambi, melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit tahun 2002 seluas 1800 ha, perusahaan tidak pernah menepati kewajibannya : 1) membersihkan danau Biaro, 2) Memberikan kejelasan letak lokasi areal tanah kas Desa (TKD) yang dibangun dari total luasnya 800 hektar, 3) Menerima tenaga kerja Desa Lidung, 4) Membangun kebun kelapa sawit untuk Tanah Kas Desa, 5) Pembukaan lahan”.

“Sedangkan di Maluku Utara, konflik terjadi dengan PT. Korindo yang beroperasi di Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Goronga dan PT. Manggala Rimba Sejahtera yang beroperasi di Kec. Patani Utara, Patani Barat, dan Halmahera Tengah”, ungkap Kuswandi Buamona, Manager Advokasi, Walhi Maluku Utara.

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Kisran Makati mengatakan “di Sulawesi Tenggara, terdapat konflik agraria antara warga Mowila dan PT. Merbau Indah Raya Group. Menurut Walhi Sulawesi Tenggara, diduga manajemen perusahaan PT. Merbau bekerjasama dengan oknum pejabat, kecamatan, oknum desa, oknum warga, oknum pejabat pembebasan lahan melakukan aksi penipuan secara terstruktur dengan cara mengajak warga desa untuk mengikuti program perkebunan dalam bentuk plasma, dengan system bagi hasil (20% untuk warga dan 80% perusahaan). Dalam proses pembayaran kompensasi perkebunan bentuk plasma, pihak perusahaan meminta fotocopy surat kepemilikan tanah, surat keterangan tanah dan belakangan PT. Merbau mengklaim secara sepihak bahwa telah melakukan pembelian tanah secara beli putus, bukan pola kerja sama plasma seperti yang dijanjikan saat penandatanganan dengan warga”.

PJs. Direktur Walhi Papua, Maurits Rumbekwan menambahkan “di Papua, konflik antara warga dengan PTPN II terjadi sejak tahun 1985. Pemerintah dan perusahaan berusaha menguasai area konsensi dengan meminta masyarakat menandatangani surat yang isinya tidak diketahui karena redaksi surat tersebut ditutup dan hanya menyodorkan lampiran tanda tangan. Masyarakat harus segera tanda tangan karena alat berat akan diturunkan ke lokasi tersebut. Saat alat berat diturunkan, bukan pada lokasi yang disepakati sejak awal tetapi pada area hutan sagu. Beitu juga luasan yang disepakati mengalami perubahan, namun perubahan tersebut terjadi tanpa melibatkan warga”.

Selain perusahaan dan pemerintah, kekuatan pendorong di balik pertumbuhan yang kuat dari sektor minyak kelapa sawit, yaitu pemilik dan penyandang dana – juga harus memikul tanggung jawab atas dampak-dampak tersebut. Industri keuangan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanggungjawab social dan lingkungan hidup melalui kebijakan kredit dan investasi. Bank dan investor dapat terlibat dan membuat perusahaan bisa berinvestasi lebih besar untuk modal, yang kemudian mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat yang kemudian kembali bisa digunakan oleh perusahaan ini untuk berinvestasi dan mengembakan perusahaan mereka. Saat perusahaan mengendalikan proses ekspansi sector kelapa sawit, dana bank dan investor  eksternal yang digelontokan kepada mereka memungkinkan mereka untuk makin mempercepat laju ekspansinya, Edi Sutrisno, Direktur Advokasi dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menutup siaran pers ini.

This post is also available in: English

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *