Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019

“Merawat masa depan industri sawit dengan menyejahterakan buruh sawit: Catatan-catatan penting untuk perlindungan buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia.”

Setelah sebuah dokumentasi video yang berudul Sexy Killers merajai wacana internet di Indonesia pada pertengahan April 2019, masyarakat dicerahkan oleh fakta-fakta yang mencengangkan tentang industri Batubara yang sarat dengan pelbagai masalah. Mulai dari AMDAL yang dipalsukan, tata kelola limbah yang amburadul, distribusi yang sarat jejak karbon dan masalah lingkungan, sampai konflik tak berkesudahan antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Secara keseluruhan, film dokumentasi tersebut menunjukkan bahwa industri pertambangan Indonesia mengalami salah tata kelola yang menyebabkan korban jiwa, kerugian materiil maupun kerugian-kerugian immateriil, yang sebagian besar ditanggung oleh masyarakat. Dalam konteks yang sama, Koalisi Buruh Sawit Indonesia mencatat dengan baik bahwa perkebunan sawit juga hidup di atas tata kelola yang merugikan banyak pihak. Sejak lama dunia internasional mempermasalahkan urusan tata kelola lingkungan hidup, dan deforestasi akibat ekspansi industri sawit sebagai ancaman global. Industri sawit lebih tragis karena wacana ini selalu absen dari segala perdebatan tentang kondisi  manusia yang hidup dari industri ini, mereka adalah pekerja/buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, yang bergantung pada perkebunan sawit sekaligus yang dikorbankan.

Dalam catatan Transformasi Untuk Keadilan (TUK Indonesia) yang merupakan anggota dari Koalisi Buruh Sawit (KBS), pemerintah Indonesia sebagai administrator tata kelola negara tidak memiliki data yang pasti dan akurat tentang luas dari perkebunan sawit di Indonesia. Ada enam lembaga negara yang memiliki data yang berbeda, namun tidak satupun yang bisa dijadikan acuan. Konon lagi data jumlah buruh perkebunan sawit. Asumsi yang digunakan oleh lembaga negara adalah jumlah luas perkebunan dibagi dengan target kerja individu buruh sawit. Menurut presiden Jokowi, luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 13 juta hektar [1], bila dibagi dengan seorang buruh yang mampu mengerjakan 2 hektar (asumsi rata-rata), maka jumlah buruh sawit berdasarkan rasio beban kerja dengan total luas lahan adalah  7 juta buruh, ini belum termasuk keluarga mereka, dan belum termasuk buruh-buruh di pabrik kelapa sawit (PKS). Jumlah ini merupakan jumlah yang signifikan dalam konstalasi ketenagakerjaan Indonesia. Buruh sawit adalah kelompok buruh perkebunan terbesar dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Namun, dalam lembar fakta[2] yang dituang dari Focus Group Discussion, Koalisi Buruh sawit menemukan catatan-catatan pilu tentang kondisi pekerja perkebunan sawit, hal ini berbanding terbalik dengan prestasi industri sawit Indonesia yang berkontribusi sebesar 429 Triliun terhadap PDB Indonesia[3] pada tahun 2016 saja. Pada tahun 2017, Indutri sawit menjadi penyumbang PDB terbesar bagi Indonesia dengan rasio 11% dari total PDB.

Catatan-catatan buruh perkebunan sawit di Indonesia

Lembar Fakta Buruh Sawit 2018 yang dirilis oleh Koalisi Buruh Sawit* pada maret 2018, menyoroti dua masalah utama yang dialami oleh buruh sawit[4]: Pertama, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada buruh. Hal ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi terhadap buruh seperti: pemberian target kerja yang tidak manusiawi, diskriminasi terhadap buruh perempuan, adanya pekerja anak -dampak dari target yang tidak manusiawi- , penyelewengan status kerja dan praktek upah di bawah aturan yang melanggar UU Ketenagakerjaan No 13  tahun 2003, serta pemberangusan serikat pekerja dengan berbagai modus operandi (yang melanggar UU Kebebasan Berserikat No.21 tahun 2000). Koalisi Buruh Sawit mencatat, setidaknya lebih dari 10 kasus pemberangusan serikat pekerja dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan pada tahun 2018 saja. Perkara terbaru adalah pemecatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sawit di Sumatera Selatan kepada anggota serikat pekerja GSBI (Gabungan Buruh Serikat Indonesia), karena dianggap turut memprovokasi dengan mengirimkan surat kepada Presiden pada November lalu.[5] Lemahnya pengawasan dan penindakan hukum juga dapat dilihat dari kasus yang dialami oleh buruh-buruh pekerja perkebunan kelapa sawit di perkebunan Rajawali Corpora, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Ratusan buruh sawit dari Federasi Serikat Pekerja BUN Sawit Rajawali menggelar aksi demonstrasi di kota Kabupaten menuntut upah mereka yang belum dibayar oleh perusahaan, dan pembayaran atas penunggakan biaya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan [6]. Setelahnya, ada kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja, namun perusahaan tidak memenuhi kesepakatan, dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah.

Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Perkebunan Kelapa Sawit dapat dijejaki dari studi kebijakan yang dilakukan oleh tim riset internal TURC (UU No.7 tahun  1981, UU No.21 Tahun 2003, Permen No.9 Tahun 2005, UU No.23 Tahun 2014). TURC menemukan skema pengawasan dari kementrian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan yang cukup esensial. Pertama pengawas ketenagakerjaan yang ada di provinsi tidak punya pengetahuan teknis yang memadai tentang industri sawit, hal ini mempersulit pengawas untuk memahami konteks perkebunan sawit sehingga sulit menemukan pelanggaran di dalam perkebunan. Kedua, jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan dan luas wilayah pengawasan. Ketiga, mekanisme pengawasan (tempat dan perusahaan yang dituju) sudah ditentukan dalam program kerja tahunan, oleh sebab itu bila ada pengaduan dari buruh yang bersifat insidentil, harus melalui persetujuan birokrasi, dan disetujui oleh pihak yang berwenang untuk dilakukan monitoring. Hal ini membuat penindakan kasus seringkali terlambat bahkan sering terlupakan.

Masalah kedua lebih pelik, yaitu tidak ada aturan yang spesifik mengatur hak-hak buruh sawit secara adil. Indonesia hanya memiliki satu acuan umum dalam mengatur perlindungan  hak-hak pekerja, yaitu undang-undang ketenagakerjaan yaitu UU No. 13/2003 -dengan PP 78 sebagai aturan tambahan untuk skema pengupahan-. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, undang-undang ini gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena UU Ketenagakerjaan dibuat berdasarkan pada kondisi pekerja  sektor manufaktur. Sifat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit berbeda jauh dari pekerjaan di sektor manufaktur, hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Secara gamblang, pekerja di sektor perkebunan memiliki beban kerja yang jauh lebih berat daripada pekerja manufaktur. Selain itu, pekerja perkebunan secara sosiologis terisolasi dari dunia luar. Mereka hidup dalam pemukiman berbentuk kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan, dimana dalam riset yang dilakukan oleh TURC di tiga perkebunan besar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, perumahan yang disediakan tidak layak. Masalah-masalah dasar seperti sanitasi, air bersih yang cukup, saluran air, ruang-ruang bermain yang aman, sampai fasilitas kesehatan, tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan. Buruh kebun kelapa sawit juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengakses pendidikan, akses ke fasilitas kesehatan untuk penyakit berat, dan akses hiburan, karena lokasi mereka yang jauh di dalam perkebunan, diperparah dengan infrastruktur jalan yang sulit untuk ditembus.[7]

Dalam konteks ini, Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia, dianggap tidak mampu membaca kebutuhan buruh perkebunan kelapa sawit, bahkan cenderung mendiskriminasi buruh perkebunan sawit.

Kerja Prekariat yang Mendiskriminasi Perempuan

Hasil temuan Koalisi Buruh Sawit yang dituang dalam lembar fakta, sebagian besar dari jutaan pekerja sawit merupakan pekerja prekariat, atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL), dan sebagian besar BHL adalah perempuan[8]. Hal ini dikarenakan perempuan mendapat porsi pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan musiman seperti perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Perempuan juga dengan sistematis dibatasi hari kerjanya menjadi 20 hari dalam sebulan, hal ini untuk menyiasati aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan membayar pekerja yang bekerja 21 hari berturut-turut dengan upah minimum daerah, dan mengangkat mereka menjadi pekerja tetap. KBS menemukan hampir di semua perkebunan sawit di Indonesia para perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun, seperti temuan Sawit Watch di PT. Agro Kati Lama (anak perusahaan Sipef), yang menemukan ada 1200 pekerja perempuan yang berstatus Buruh Harian lepas.

Buruh sawit perempuan (yang memiliki peran ganda)adalah pekerja yang paling rentan terkena dampak buruk kesehatan, akibat perlengkapan K3 yang diperlukan sebagian besar tidak layak, bahkan di beberapa perkebunan, buruh perempuan harus membayar untuk mendapatkan perlengkapan K3 yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan. Celakanya, Pekerja BHL biasanya tidak mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga saat mereka sakit, mereka harus menggunakan dana sendiri atau utang, hal ini membuat pekerja perempuan rentan jatuh ke dalam kubangan utang yang membuat mereka tidak bisa lepas dari perkebunan. Ini merupakan modus perbudakan baru di perkebunan sawit.

Diplomasi Sawit, Diplomasi Buruh

Indonesia dan beberapa negara produsen sawit besar kini sedang meradang karena Uni-Eropa pada tahun 2018 mengeluarkan aturan yang melarang produk-produk minyak nabati yang berkontribusi pada deforestasi, memasuki Eropa dimulai dari tahun 2021. Keputusan ini diambil oleh parlemen Uni-Eropa untuk mencapai tujuan mereka dalam pengurangan gas rumah kaca dan menghentikan pemanasan global. Perkebunan Kelapa Sawit ditenggarai menjadi salah satu penyumbang utama deforestasi di negara-negara tropis sehingga dianggap berkontribusi besar pada pemanasan global. Aturan Renewable Energy Directive (RED II) ini [9] dianggap sebagai aturan diskriminatif yang menyudutkan industri sawit Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2018 secara agresif melakuan diplomasi ke berbagai pihak yang berpengaruh. Bahkan pada awal 2019, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Perdagangan, berencana menggugat Uni-Eropa ke WTO.[10]  Sayangnya, dalam dokumen RED II, maupun dalam dokumen-dokumen diplomasi pemerintah Indonesia, tidak ada satu poin-pun yang menyinggung tentang tata kelola buruh kelapa sawit. Dalam perspektif yang lebih luas, keenganan pemerintah memperbaiki kondisi buruh sawit Indonesia dapat dilihat dari belum diratifikasinya Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan, dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja di Perkebunan.  Strategi diplomasi Indonesia selalu menggunakan narasi Smallholders yang menurut utusan pemerintah Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan berhasil mengurangi kemiskinan secara signifikan di Indonesia.[11] Namun Pemerintah Indonesia menutup mata atas masalah-masalah perburuhan di perkebunan sawit. Buruh sawit tidak dianggap menjadi bagian strategis dari strategi diplomasi Indonesia. Koalisi Buruh Sawit menilai pemerintah Indonesia meremehkan peran jutaan buruh sawit dalam rantai industri sawit. Padahal dalam simulasi studi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor [12], peningkatan pada kesejahteraan Buruh Sawit berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan secara multiplier berpengaruh pada perbaikan kualitas hidup manusia Indonesia.

Peran Institusi Finansial

Salah satu entitas yang secara langsung berhubungan dengan industri sawit adalah entitas finansial. Entitas perbankan menjadi tumpuan dalam industri sawit sebab melalui skema pinjaman modal, perusahaan sawit bisa menjalankan aktivitas operasional  mereka. Dalam catatan Koalisi Buruh Sawit, melalui riset yang dilakukan oleh TUK Indonesia[13], Koalisi Buruh Sawit menemukan lembaga-lembaga finansial memainkan peran penting dalam tata kelola industri sawit. Namun dalam temuan TUK Indonesia, peran lembaga finansial saat ini justru tidak sejalan dengan kebijakan good governance and social responsibility dimana lembaga finansial memberikan kemudahan pinjaman modal kepada perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak buruhnya dengan pantas. Koalisi Buruh Sawit melihat lembaga keuangan sebagai investor dapat mengintervensi kebijakan perkebunan sawit melalui skema-skema peminjaman modal dan pembagian hasil, yang secara tidak langsung mampu mepengaruhi perbaikan buruh di level perusahaan.  KBS mendorong lembaga finansial untuk patuh kepada prinsip-prinsip Good governance and Social Responsibility dengan cara memberikan pinjaman hanya kepada perusahaan yang memenuhi hak-hak pekerjanya, dan lebih jauh lagi, mendorong perusahaan perkebunan sawit untuk mengadopsi skema-skema pengupahan yang berpihak pada buruh sawit.

Seruan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit pada Mayday 2019

Jutaan buruh perkebunan kelapa sawit hari-hari ini berjibaku dengan target-target harian, menerjang hawa terik dan badai hujan, oleh pekerjaan dari tangan-tangan mereka, kita dapat menikmati produk-produk turunan kelapa sawit. Hampir semua produk makanan dan kosmetik yang kita gunakan sehari-hari, memiliki produk dari sawit. Melalui hari buruh internasional 2019, Koalisi Buruh Sawit menuntut perbaikan tata kelola ketenagakerjaan di perkebunan sawit, dengan prinsip-prinsip kesejahteraan dan keadilan.

Tuntutan Koalisi Buruh Sawit:

  1. Menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi buruh sawit dengan membuat sebuah aturan khusus yang mengatur hak-hak pekerja sawit secara adil dan berorientasi pada kesejahteraan, bukan pada upah minimum semata.
  2. Menyerukan agar pemerintah mengawasi regulasi perburuhan di perkebunan sawit, dan secara tegas menindak perusahaan sawit yang terbukti merampas hak-hak buruh sawit, dan terbukti tidak menaati kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati antara serikat pekerja dan perusahaan.
  3. Mendesak pemerintah merevisi mekanisme pengawasan ketenagakerjaan khususnya pengawasan pada perkebunan sawit yang memiliki kriteria unik, dan jangkauan yang luas.
  4. Mendorong pemerintah Pemerintah Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja (K3) di Perkebunan.
  5. Menyerukan kepada institusi finansial agar mengadopsi dan mengimplementasi prinsip-prinsip Good Governance & social responsibility dengan tidak memberikan pinjaman kepada perusahaan sawit yang terbukti tidak memenuhi hak-hak buruhnya, dan lebih jauh lagi, menyerukan institusi finansial agar mendorong debitur sawit untuk mengadopsi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut sebagai syarat untuk bermitra.
  6. Mendesak perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia untuk mematuhi peraturan ketenagakerjaan RI, maupun aturan-aturan dari otoritas eksternal seperti RSPO, ISPO, FPIC, dll
  7. Mendesak Perusahaan untuk selalu mengikutsertakan serikat pekerja dalam perundingan pembuatan aturan-aturan ketenagakerjaan perusahaan melalui forum-forum resmi seperti bipartit atau tripartit. Mengecam semua tindakan ‘pemberangusan serikat’ dengan segala modus operandinya.

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019.

Minggu, 28 April 2019

 

Koalisi Buruh Sawit

 

 

[1]https://www.mongabay.co.id/2019/01/04/ketika-jokowi-minta-lahan-perhutanan-sosial-jangan-tanami-sawit/. Diakses pada 23 April 2019

[2] http://www.turc.or.id/lembar-fakta-perlindungan-buruh-sawit-indonesia-2018/. Diakses pada 22 April 2019

[3] https://www.aktual.com/dirjen-perkebunan-sawit-beri-sumbangan-terbesar-pdb/. Diakses pada 23 April 2019

[4] http://elsam.or.id/2018/04/lembar-fakta-perlindungan-buruh-sawit-indonesia-2018/ Diakses pada diakses pada 23 April 2019

[5] https://www.konfrontasi.com/content/ragam/protes-keras-pemecatan-buruh-sawit-pt-sms. Diakses pada 23 April 2019

[6] http://www.jurnalisia.net/2019/02/buruh-sawit-unjukrasa-ke-dprd-kotabaru.html?m=1. Diakses pada 23 April 2019

[7] https://nusantara.news/nasib-mengenaskan-buruh-sawit-sudah-bergaji-rendah-diancam-ular-kobra-pula/ . Diakses pada 23 April 2019

[8] http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/ Diakses 24 April 2019

[9] https://ec.europa.eu/jrc/en/jec/renewable-energy-recast-2030-red-ii . Diakses pada 23 April 2019

[10] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190418170923-4-67628/aturan-sawit-eropa-diskriminatif-ri-bersiap-gugat-ue-ke-wto . Diakses pada 23 April 2019

[11] https://www.sawitindonesia.com/di-vatikan-terungkap-fakta-sawit-entaskan-kemiskinan/ . Diakses pada 23 April 2019

[12] https://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55146/2012rjo.pdf;sequence=1 . Diakses pada 23 April 2019

[13] https://www.tuk.or.id/2018/11/12/malapetaka-korindo-perampasan-tanah-bank/ . Diakses pada 23 April 2019

Press Release: Sime Darby Unsustainable, Buyers dan Financiers Harus Menghentikan Hubungan Bisnisnya.

Jakarta, 21 Maret 2019 – Masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat menyampaikan keberatan atas dijualnya PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) oleh Sime Darby Plantation, perusahaan asal Malaysia.

PT MAS, anak perusahaan milik Sime Darby plantation telah ingkar janji dan melanggar Undang-Undang serta Peraturan Indonesia, hukum internasional, standar tata kelola terbaik sukarela internasional RSPO, dan Panduan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sime Darby Plantation merampas tanah masyarakat adat Dayak Hibun di dusun Kerunang dan Entapang dengan menjadikan tanah masyarakat adat sebagai wilayah hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT MAS. PT MAS melanggar janji awal penyuluhan tahun 1995 bahwa perusahaan hanya meminjam tanah masyarakat untuk membangun perkebunan kelapa sawit selama 25 tahun. Namun tanpa pengetahuan dan persetujuan masyarakat PT MAS menjadikan tanah masyarakat sebagai hak guna usaha (HGU).

“Sime Darby dan manajemen PT MAS jangan lari dari tanggung jawab menyelesaikan konflik tanah yang telah berlarut-larut sejak tahun 1999. Pemerintah Indonesia tidak boleh mengizinkan dan mengesahkan penjualan PT MAS, sampai konflik tanah dengan masyarakat diselesaikan sepenuhnya. Tanah hak adat yang dirampas PT MAS seluas 1.462 hektar harus dikembalikan kepada masyarakat Kerunang dan Entapang,” kata Redatus Musa, perwakilan masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang – Entapang.

Sime Darby Plantations, perusahaan sawit Malaysia terbesar di dunia adalah pendiri dan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Penjualan PT MAS merupakan tindakan arogan, ilegal dan sewenang-wenang sebab Sime Darby tanpa niat baik mengabaikan musyawarah serta menafikan mufakat dengan masyarakat adat Dayak Hibun sebelum menjual PT MAS.

Bahkan dalam norma produksi dan tata kelola industri minyak sawit global, tindakan penjualan PT MAS oleh Sime Darby Group tidak sesuai dengan semangat dan komitmen Kode Etik keanggotaan RSPO. Tindakan penjualan PT MAS tidak transparan, melanggar asas kepatutan dan kepatuhan norma-norma hukum internasional dan hak asasi manusia.

“Tindakan Sime Darby menjual PT MAS menunjukan ada yang salah dengan sertifikasi RSPO karna gagal memberikan penghormatan, perlindungan dan pemulihan hak asasi manusia sebagaimana disyaratkan RSPO. Sejak 2012 RSPO telah memberikan sertifikat minyak sawit berkelanjutan kepada 10 pabrik dan perkebunan kelapa sawitt anak perusahaan Sime Darby meskipun konflik akibat perampasan hak tanah akibat HGU di PT MAS tidak pernah diselesaikan. Ini jelas melanggar RSPO etika kepatutan dan kepantasan, kepatuhan hukum, HAM dan FPIC serta kewajiban pemulihan dampak HAM oleh perusahaan multi-nasional negara-negara anggota OECD. Resolusi Majelis Umum RSPO November 2018 melarang Anggotanya menjual anak perusahaan, pabrik dan perkebunan yang sedang berkonflik,” kata Norman Jiwan mantan Executive Board RSPO.

Pihak penyandang dana serta pembeli minyak sawit Sime Darby juga perlu mengambil sikap dalam menyikapi konflik ini. Sejak 2012-2018, Sime Darby mendapatkan dukungan pendanaan dari lembaga keuangan antara lain Maybank, HSBC, Standard Chartered, Deutsche Bank, Credit Suisse dan Lembaga Dana Pensiun Norwegia. Beberapa pembeli minyak sawit seperti Cargill, Musim Mas, Unilever, dan Wilmar International yang menerapkan komitmen RSPO dan kebijakan No Deforestation, No Peat dan No Exploitation (NDPE) juga memasok minyak sawit dari Sime Darby.

“Kepada para penyandang dana, bank, investor dan pemegang saham serta pembeli minyak sawit Sime Darby Group segera menghentikan hubungan bisnis dengan Sime Darby Group. Sudah sepantasnya hubungan bisnis dihentikan sebab sejak 2012 Sime Darby gagal menyelesaikan konflik tanah dengan masyarakat Kerunang dan Entapang sesuai Prinsip dan Kriteria RSPO. Bahkan RSPO terbukti gagal mendorong Sime Darby memulihkan hak tanah adat masyarakat,” kata Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

Marcus Colchester dari Forest Peoples Program memengatakan sebagai sebuah organisasi hak asasi manusia internasional dan anggota RSPO, FPP sangat kecewa bahwa Sime Darby telah mengabaikan Resolusi yang dikeluarkan RSPO pada bulan November 2018 yang meminta para anggota tidak menjual anak perusahaan yang sedang menjadi subjek pengaduan RSPO. Tindakan Sime Darby akan dilihat oleh anggota RSPO lainnya sebagai sebuah ungkapan niat tidak baik. Masyarakat Dayak Hibun telah dirampas hak adat atas tanah-tanah mereka oleh PT MAS tanpa keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan mereka. Tindakan penjualan PT MAS ini merupakan sebuah pelanggaran salah satu dari ketentuan standar RSPO yang dirancang untuk menghindari perampasan lahan dan konflik tanah. Masyarakat Dayak Hibun meminta dikembalikannya tanah mereka sesuai dengan hak mereka didalam hukum internasional dan perjanjian hak asasi manusia yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Sayangnya Panel Pengaduan RSPO sangat lamban selama beberapa tahun tetakhir menindaklanjuti pengaduan ini sampai akibatnya kasus ini dilaporkan ke OECD. Saat ini ketika OECD mulai menggagas beberapa pertemuan untuk memulai proses resolusi konflik, Sime Darby malah memutuskan menjual PT MAS.

Dengan adanya konflik lahan atas perampasan hak tanah adat akibat izin HGU di PT MAS, masyarakat adat Dayak Hibun dari Kerunang dan Entapang pemilik dan ahli waris mendesak Pemerintah, OECD-National Contact Point Swiss (Swiss NCP), RSPO, bank, investor, pemegang saham, dan pembeli minyak sawit agar Sime Darby segera mengembalikan tanah adat masyarakat.

“Kami juga mengingatkan kepada perusahaan yang mengakuisisi PT Mitra Austral Sejahtera bahwa sampai saat ini tanah HGU PT MAS masih bersengketa dan masih menyisakan banyak permasalahan,” tutup Redatus Musa.

Contact Person:

Mubarok – TuK INDONESIA (0813-1109-8787)

 

 

Sertifikasi RSPO diberikan kepada Sime Darby antara 2012-2018

No. Pabrik dan Perkebunan Tahun
Inti Plasma
1 PT. Bina Sains Cemerlang 2012  
2 PT Sajang Heulang 2013
3 PT Paripurna Swakarsa 2012
4 PT Swadaya Andhika 2012
5 PT Laguna Mandiri 2012
6 PT Tamaco Graha Krida 2012 2015
7 PT Bahari Gembira Ria 2012
8 PT Perkasa Subur Sakti 2013
9 PT Sandika Nata Palma 2014
10 PT Guthrie Pecconina Indonesia 2012 2016

 

Siaran Pers: Membongkar Pembalakan Liar dan Pelanggaran HAM oleh Raksasa Bisnis Kehutanan Grup Korindo: Olimpiade 2020 Tokyo Tersangkut Pengadaan Kayu Gelap

Laporan Hangat: Membongkar Pembalakan Liar dan Pelanggaran HAM oleh Raksasa Bisnis Kehutanan Grup Korindo: Olimpiade 2020 Tokyo Tersangkut Pengadaan Kayu Gelap
Pengunjuk rasa berkumpul di Kantor Pusat Korindo Jakarta setelah penyelidikan menunjukkan adanya perampasan lahan dan pelanggaran serius atas peraturan perundangan tentang kayu; bank-bank Jepang dan Indonesia terbukti menyediakan pembiayaan bagi perusakan hutan hujan di Indonesia
Jakarta, 12 November 2018 – Penyelidikan mendalam terhadap konglomerat Korea-Indonesia Grup Korindo telah menghasilkan dua laporan yang mencatat bukti menyeluruh mengenai tindakan ilegal, perusakan lingkungan, dan pelanggaran hak-hak masyarakat di seluruh operasi perusahaan. Ekspansi Korindo ke dalam hutan-hutan pedalaman Indonesia melibatkan pembukaan hutan primer, pembakaran, perampasan lahan, dan tindakan kekerasan dan penangkapan masyarakat setempat secara sewenang-wenang, tulis laporan berjudul Perilous : Korindo, Land Grabbing and Banks, yang hari ini diterbitkan oleh Rainforest Action Network (RAN), Walhi, TuK-Indonesia, dan Profundo. Pelanggaran-pelanggaran ini menyebabkan Korindo memasok kayu yang tidak berkelanjutan dan kemungkinan besar ilegal untuk konstruksi beberapa lokasi penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020, sebagaimana telah diuraikan secara singkat dalam laporan kedua yang terkait yang juga dirilis hari ini, berjudul Broken Promises.
Sekelompok pengunjuk rasa, hari ini berkumpul di kantor pusat Korindo di Jakarta dan di kantor pusat bank pendana utama Korindo yaitu Bank Negara Indonesia (BNI). Mereka menuntut agar Korindo berhenti merusak hutan mereka, keluar dari wilayah masyarakat, dan meminta agar BNI berhenti membiayai perusahaan.
Di Maluku Utara, masyarakat pemilik lahan berjuang melawan Korindo demi menjaga tanah dan hutan tradisionalnya. Bukti dan kesaksian yang diutarakan dalam laporan hari ini menunjukkan bahwa Korindo secara paksa merampas lahan masyarakat tanpa persetujuan warga, menggunakan api untuk secara ilegal membuka lahan, menanam kelapa sawit tanpa kelengkapan izin, dan mengkriminalisasi masyarakat yang menentang operasi perusahaan, termasuk penahanan sewenang-wenang dan kekerasan.
“Korindo melakukan kekerasan dan mengeksploitasi masyarakat Maluku Utara dan warga Indonesia,” kata Ismet, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara. “Mulai dari merampas lahan masyarakat hingga melecehkan petani dan masyarakat kecil yang harus merasakan dampak negatif ini semua. Saat ini Korindo sedang berusaha merampas lebih banyak lagi hutan masyarakat  di  Maluku  Utara  untuk  dijual  kayunya  dan  kemudian  ditanami  kelapa  sawit.
Masyarakat terus melawan tetapi mereka meminta agar Pemerintah dan Polisi berhenti membantu memuluskan kegiatan ilegal, dan sebaliknya membantu melindungi masyarakat, kebun dan hutannya.”
“Luas daratan Maluku Utara itu hanya 23% sisanya adalah laut. Kehadiran Korindo selama 11 tahun dengan sistem perkebunan monokultur telah menghancurkan tata sistem keragaman hayati, dimana cengkeh, pala dan kelapa telah menjadi sumber produktivitas primer warga. Harga sawit dibandingkan pala dan cengkeh terlampau jauh, cengkeh rata-rata 80.000 /kg dan bunga pala 180.000 /kg. Pemerintah mestinya menghentikan proses perampasan ruang hidup Masyarakat Gane yang dilakukan oleh PT. Korindo, karena kami makan sagu, bukan sawit,” Ismet menjelaskan.
Penelitian yang dilakukan atas kondisi keuangan, struktur korporasi dan perusahaan cangkang luar negeri milik Korindo mengungkapkan adanya praktik tidak etis dan ilegal, termasuk diantaranya memberikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan mengenai pengaturan pinjaman dan laporan keuangan melalui perusahaan cangkang mereka di Singapura. Laporan ini juga mengungkap kesalahan bank dan investor yang mendanai dan memperoleh keuntungan dari operasi ilegal Korindo dan keterlibatannya dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua pemodal dan mitra usaha Korindo, terutama Bank Negara Indonesia (BNI), Grup SMBC, Hyosung Corporation, Sumitomo Forestry dan Oji Holdings, berperan besar dalam mendukung ekspansi usaha Korindo.
“BNI telah berkomitmen menjadi pelopor dalam pembiayaan berkelanjutan,” ungkap Edi Sutrisno selaku Wakil Direktur TuK Indonesia. Untuk benar-benar melaksanakan komitmen ini, langkah pertamanya, mereka harus berhenti membiayai perusahaan seperti Korindo yang beroperasi tanpa izin yang cukup serta yang merampas lahan dan hutan masyarakat. Membiayai Korindo jelas bertentangan dengan standar bank BNI sendiri, dan bertentangan dengan regulasi dalam sektor keuangan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BNI harus memperketat kebijakannya, memutuskan hubungan dengan perusahaan seperti Korindo, dan menjadi bank yang berkelanjutan bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia; bukannya para taipan,” .
Bukti yang disampaikan dalam laporan ini juga menegaskan bahwa Korindo memasok kayu ilegal secara tidak berkelanjutan untuk pabriknya, dan kemudian memasok kayu lapis dari pabrik tersebut untuk pembangunan fasilitas penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Bukti foto, data rantai pasok perusahaan dan catatan perdagangan ekspor menunjukkan bahwa kayu lapis Korindo yang digunakan untuk membangun fasilitas penyelenggaraan Olimpiade diduga kuat terdiri dari kayu ilegal dari Maluku Utara, serta kayu yang ditebang dari habitat orang utan di Kalimantan Timur yang dipasok melalui perusahaan perdagangan milik Jepang yaitu Sumitomo Forestry.
“Panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 berjanji menyelenggarakan Olimpiade yang berkelanjutan,” kata Hana Heineken dari RAN. “Akan tetapi, mereka menggunakan lebih dari 110.000 lembar kayu lapis Indonesia yang tersangkut perusakan hutan hujan, perampasan lahan dan penggundulan habitat orangutan yang terancam punah, di mana sebagian besar dilakukan dengan membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Olimpiade seharusnya merayakan prestasi umat manusia dan solidaritas global, bukannya dibangun di atas pelanggaran HAM dan kerusakan alam di penjuru terpencil dunia.”
Temuan yang disampaikan dalam laporan ini mendesak agar tindakan tegas segera diambil, termasuk di antaranya penyelidikan oleh seluruh otoritas terkait termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia dan Jepang. Olimpiade Tokyo 2020 serta bank dan nasabah Indonesia dan Jepang yang tersangkut skandal ini harus segera memutuskan hubungannya dengan Korindo. Ini bukan pertama kalinya Korindo terlibat dalam penghancuran hutan hujan dan pembakaran yang melanggar hukum.
Temuan dan dugaan utama dalam laporan ini telah disampaikan kepada Korindo secara tertulis pada empat kesempatan yang berbeda, yaitu pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan Oktober 2018 lalu. Korindo bersikeras bahwa operasi yang dilakukannya telah mematuhi semua peraturan perundangan yang berlaku sepenuhnya, serta menyatakan bahwa Korindo merupakan perusahaan yang terdepan dalam keberlanjutan.

**Foto resolusi tinggi, video testimoni dan rekaman wawancara telepon tersedia berdasarkan permintaan
Kontak untuk wawancara:
Edi Sutrisno (TuK), [email protected], 0813 15849153 / 0877 11246094
Ismet (Walhi Maluku Utara), [email protected], 0852 4032 9345
Kontak media:
Malik Diazin (Walhi), [email protected], 0818 0813 1090

Inpres Moratorium Sawit, Apa yang Dimoratorium ? – Press Release

Inpres Moratorium Sawit, Apa yang Dimoratorium ?

Inpres Moratorium Sawit 01

Inpres Moratorium Sawit 01

Inpres Moratorium Sawit 02

Inpres Moratorium Sawit 02

Jakarta, 9 Oktober 2018—Jikalahari dan TuK INDONESIA menilai Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang terbit pada 19 September 2018, tidak tegas mengatur soal penegakan hukum, evaluasi berlaku surut dan jangkauan pihak perlu diperluas.

Penegakan Hukum Dimoratorium?

Presiden Jokowi khusus memberi instruksi pada Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal “Langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data dan evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit”.
“Sampai kapan ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai? Dalam Inpres tidak disebutkan berapa hari, bulan atau tahun ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai dilakukan. Menko ditugaskan membentuk tim kerja dan melaporkan kepada Presiden enam bulan sekali. Lalu, kapan Menko akan membentuk tim?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“Bila ‘verifikasi data dan evaluasi sedang berjalan’ atau Tim Kerja sedang melakukan ‘verifikasi data dan evaluasi’, padahal terbukti sawit korporasi dan Cukong berada dalam Kawasan Hutan tanpa izin dari Menteri, penegakan hukum dapat dilakukan? Atau penegakan hukum dimoratorium sampai ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai?” kata Made Ali.
Fakta di Riau, DPRD Riau[1]  pada 2015 menemukan lebih dari 2 juta ha perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin (khususnya tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan). Dari total 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang memiliki izin pelepasan kawasan berjumlah 132 perusahaan atau 25,89%. Sisanya yaitu 378 perusahaan atau 74,12% tidak memiliki izin pelepasan kawasan. Jika ditinjau dari pernyataan mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, maka ada 2.494.484 hektar perkebunan sawit yang illegal atau mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Dari 513 korporasi menjual TBS kepada grup Wilmar, Surya Dumai (First Resources), Salim, Darmex Agro, Gandaerah, Sinarmas, Golden Asian Agri, Panca Eka, Musim Mas, Jardine Matheson, Astra, juga perusahaan asal Malaysia yaitu KLK dan Batu Kawan, Sime Darby (Malaysia). Di Riau, perusahaan asal Malaysia menguasai sekitar 136.535 ha lahan yang terafiliasi dengan grup Sime Darby-Minamas, Kuala Lumpur Kepong dan Batu Kawan, Anglo Eastern dan Wilmar (Robert Kuok asal Malaysia join bersama Martua Sitorus asal Indonesia, Wilmar punya 180 pemasok di Riau).
Pansus DPRD Riau menemukan dari 1,8 juta ha kawasan hutan tak berizin yang telah ditanami kelapa sawit oleh korporasi telah merugikan keuangan negara karena tak bayar pajak senilai Rp 34 Triliun pertahun. “Korporasi ini jelas-jelas melakukan tindak pidana kehutanan, perkebunan dan perpajakan, apalagi yang mau verifikasi dan evaluasi?” kata Made Ali.

Evaluasi Berlaku Surut?

Di Riau, Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan 2009-2014 menerbitkan SK Nomor 673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1.638.249 ha di Riau, dua bulan jelang masa jabatannya berakhir sebagai Menteri Kehutanan.
Temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau, SK 673 melepaskan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan untuk 104 korporasi sawit seluas 77 ribu ha yang dulunya beroperasi secara ilegal dalam kawasan hutan. Paska terbitnya SK ini, korporasi-korporasi tersebut menjadi legal karena fungsinya sudah berubah menjadi APL.
Temuan EoF[2] 55 dari 104 perusahaan tersebut terafiliasi dengan grup Wilmar, Panca Eka, Sarimas, Peputra Masterindo, First Resources, Panca Eka, Indofood, Bumitama Gunajaya Agro, Aek Natio, Adi Mulya, Provident Agro, Darmex, Borneo Pasific hingga PTPN. Areal 55 korporasi ini berada dalam kawasan hutan dengan fungsi HP, HPT dan HL seluas 19.308 ha dan sebagian besar sudah ditanami sawit berumur lebih dari 10 tahun.
SK 673 yang diterbitkan sebagai hadiah ulangtahun bagi Provinsi Riau pada 9 Agustus 2016 diserahkan langsung oleh Zulkifli kepada Annas Maamun, Gubernur Riau kala itu. Saat berpidato sempena  hari jadi Provinsi Riau, Zulkifli Hasan mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau.  Lalu, pernyataan tersebut dimanfaatkan oleh oknum Darmex Agro, Gulat Manurung dan Edison Marudut sawit dengan cara “menyuap” Annas Maamun agar “memutihkan” sawit mereka yang selama ini berada dalam kawasan hutan.
Pada 25 September 2014 Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap sebesar Rp 500 juta dan US$ 156.000 terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan terkait RTRWP Riau. Suap ini berasal dari Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau yang juga akademisi di Universitas Riau dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat. Annas juga menerima uang suap sebesar Rp 3 Milyar dari Surya Darmadi (pemilik grup Darmex/Duta Palma Grup).
Data KLHK, Zulkifli Hasan menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit total 2,2 juta.
“Beranikah KLHK mengembalikan izin tersebut menjadi kawasan hutan? Dalam Inpres ini dapat dimaknai evaluasi termasuk pelepasan kawasan hutan hingga periode rezim sebelumnya. Tinggal, beranikah Presiden Jokowi melawan Zulkifli Hasan dan Susilo Bambang Yudhoyono dan Korporasi sawit?” kata Made Ali.

Moratorium Kredit Korporasi Sawit

Inpres belum menyasar lembaga jasa keuangan yaitu perbankan berupa moratorium fasilitas pembiayaan dalam bentuk utang, penjaminan saham dan obligasi bagi korporasi yang hendak melakukan ekspansi kebun sawit. “Moratorium pemberian kredit ini juga berlaku pada lembaga pembiayaan nasional maupun internasional,” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA.
Temuan TuK Indonesia 25 dari 29 grup perusahaan sawit (4 diantaranya BUMN) dikendalikan oleh 29 taipan, yang setidaknya mengantongi 5,1 juta hektar lahan sawit.
Taipan-taipan itu: Bakrie Grup (Abu Rizal Bakri), Darmex Agro Grup (Surya Darmadi), Harita Grup (Lim Haryanyo Wijaya Sarwono), Jardine Mathheson (Henry Keswick, skotlandia), Musim Mas (Bachtiar Karim), Provident Agro (Edwin Soeryajaya dan Sandiaga Uno), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto).
Selain itu juga grup Sinarmas (Eka Tjipta Widjaya), Surya Dumai Grup/First Resources (Martias dan Ciliandra Fangiano), Wilmar Grup (Rebert Kuok, Khoon Hong Kuok dan Martua Sitorus), Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo Grup (George Santosa Tahija), Batu Kawan (Lee Oi Hian dan Lee Hau Hian, Malaysia), BW Plantation (Budiono Widodo), DSN Grup (Theodore Rachmat, Benny Subianto), Gozko Grup (Tjandra Mindharta Gozali), IOI grup (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana grup (Henry Maknawi), Sampoerna (Putera Sampoerna), Tanjung Lingga Grup (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi Sutanto, Stefanus Joko Mogoginta dan Budhi Istanto), Triputra Grup (Thedore Rachmat dan Benny Subianto).
Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada para taipan: HSBC, OCBC, CIMB, Mitsubishi UFJ Financial Grup, DBS, Sumitomo Grup, Bank Mandiri, United Overseas Bank, Mizuho Financial Grup, Commonwealth Bank Of Australia, Rabobank, BNI, BRI dan Citi Bank. Bank-bank itu berasal dari Indonesia, Amerika, Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, Belanda dan Perancis.
Laporan TuK dan Profundo pada November 2017 berjudul Maybank Penyandang Dana Sawit Terbesar menyebut pada periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3.9 miliar dalam bentuk pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit. Setara dengan sekitar 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Faktanya, pada tahun 2016 saja, Maybank menyediakan 60% dari semua pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih.
Pada 2016, jumlah total aset Maybank US$ 164 miliar dan menghasilkan laba sebesar US$ 1.6 miliar. 69% dari pendapatan Maybank pada tahun 2016 dihasilkan di Malaysia, 12% di Singapura, dan 11% di Indonesia. Operasi Maybank di Indonesia mendapatkan laba bersih terbesar pada tahun 2016, dengan peningkatan tahun-per-tahun sebesar 71%.
Melalui pemberian pinjaman, obligasi dan pelayanan Penjaminan Emisi Efek penerbitan saham, dan juga penanaman modal dalam bentuk obligasi dan saham, dari 20 perbankan yang berasal dari Amerika, Singapura, Inggris, Tiongkok, Norwegia dan Jepang memungkinkan Maybank menyediakan kredit ke dalam sektor minyak kelapa sawit. Selain mendanai lima perusahaan di atas, Maybank juga mendanai grup Wilmar, Harita, Salim, Sinarmas, Sime Darby, KLK, Batu Kawa, Jadine Mattheson yang punya anak-anak perusahaan di Riau.
TuK mencatat, investasi tak berkelanjutan negara-negara lain membahayakan keberlanjutan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kondisi keuangan dunia masih terus mendukung situasi ketidakberlanjutan, melalui pembiayaan sektor-sektor yang membahayakan dan merisikokan hutan, lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini perlu dan harus segera diubah. Uang bisa diibaratkan seperti peluru, dia punya daya rusak, daya bunuh, bila disalurkan membiayai kegiatan yang tidak berpihak pada keadilan.
Sinergi dengan KPK dan Otoritas Lembaga Jasa Keuangan
Dalam rangka evaluasi perizinan, dinilai penting Pemerintah untuk bersinergi dengan KPK yang sejauh ini telah sangat gencar melakukan upaya pencegahan korupsi di sektor sumberdaya alam melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.
Di Riau, KPK bersama Gubernur Riau pada Februari 2015 telah menyusun 19 Renaksi Pemda Riau (Gubernur dan Bupati/Walikota), salah satunya Penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan. KPK juga telah memverifikasi hasil temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau. Tiga tahun kemudian, KPK bersama Pemprov Riau menyusun Rencana Aksi Pencegahan Korupsi di Sektor Perkebunan.
“Empat hal tersebut: jangan ada moratorium penegakan hukum, perluas hingga moratorium kredit perbankan, perluas hingga evaluasi perizinan di era Zulkifli Hasan dan bekerjasama dengan KPK dan OJK, bila dilaksanakan tata kelola sawit dapat dibenahi dan pendapatan negara dari sektor sawit meningkat hingga sawit Indonesia yang bebas dari NDPE dapat diterima pasar internasional,” kata Rahmawati dari TuK Indonesia.
Jikalahari dan TuK INDONESIA merekomendasikan kepada:
Menko Perekonomian:

  1. Membentuk Tim Kerja sebelum Oktober berakhir dan memastikan tidak melakukan moratorium penegakan hukum atas tindak pidana kehutanan dan perkebunan
  2. Menetapkan waktu enam bulan “verifikasi data dan evaluasi” selesai dilakukan
  3. Dalam Tim Kerja melibatkan OJK dan Perbankan agar dapat menyasar moratorium kredit perbankan pada korporasi sawit yang berada dalam kawasan hutan dan membeli tandan buah segar atau sawit dari kawasan hutan atau melakukan NDPE.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:

  1. Segera menetapkan tersangka korporasi atau cukong yang berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri LHK sebagai wujud penegakan hukum tidak dimoratorium
  2. Mengevaluasi perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan oleh Menteri Zulkilfi Hasan.

Lembaga Keuangan:

  1. Khususnya perbankan – baik nasional maupun internasional, untuk dapat proaktif berhubungan dengan Menko Perekonomian dan seluruh kementerian terkait atas korporasi yang didanainya atau yang akan didanainya atau yang memiliki relasi perbankan dengannya guna mendapat data yang mutakhir atas kepatuhan terhadap hukum dan regulasi, khususnya yang terkait dengan Inpres Moratorium Sawit
  2. Melakukan moratorium pemberian fasilitas pembiayaan dalam bentuk utang, penjaminan saham dan obligasi bagi korporasi yang hendak melakukan ekspansi kebun sawit.
  3. Melakukan review atas atas fasilitas pembiayaan pada korporasi yang ditengarai memiliki masalah kepatuhan hukum terkait moratorium ini, agar terhindar dari paparan risiko finansial sebagai akibat ketidakpatuhan korporasi yang didanainya
  4. Mempertimbangkan pemberian insentif bagi korporasi yang patuh atas regulasi terkait moratorium dalam bentuk penilaian credit rating yang baik

KPK

  1. Melaporkan hasil evaluasi GNPSDA sektor Perkebunan kepada publik dan merekomendasikan hasilnya kepada Presiden Joko Widodo untuk disinergikan dengan Inpres 8 Tahun 2018.
  2. KPK segera memeriksa pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Provinsi Riau yang melibatkan terpidana Annas Maamun.

Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari, 0812-7531-1009
Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, 0813-1060-7266
Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari, 0812-6111-6340
[1] Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, IUPHHBK, dan HTR melakukan monev terhadap izin perusahaan yang ada di Riau pada 2014.
[2] Laporan hasil temuan Eyes on the Forest (EoF) https://www.eyesontheforest.or.id/reports/perusahaan-hti-beroperasi-dalam-kawasan-hutan-melalui-legalisasi-perubahan-fungsi-kawasan-hutan-april-2018 dan https://www.eyesontheforest.or.id/reports/legalisasi-perusahaan-sawit-melalui-perubahan-peruntukan-kawasan-hutan-menjadi-bukan-kawasan-hutan-di-provinsi-riau-2-maret-2018
3. Rilis 20181009- Inpres Moratorium Sawit, Apa yang di Moratorium

Press Release: "Ada Uang di Balik Api". Platform Baru Pemantau Karhutla dan Penyandang Dana di Belakangnya

TuK INDONESIA  meluncurkan microsite www.firesandfinance.org sebagai salah satu cara agar LJK berkontribusi menghentikan karhutla di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera yang telah kembali terjadi sepanjang Januari-Agustus 2018, saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-18. Website ini dibangun berdasarkan data yang dimiliki oleh TuK INDONESIA sebelumnya pada platform www.forestsandfinance.org, data Greenpeace dan data Global Forest Watch.
Data BMKG tanggal 29 Agustus 2018 menunjukkan jumlah hotspot terbanyak per propinsi dalam 10 hari terakhir terjadi di Kalimantan Barat dengan 1760 titik,  diikuti Kalimantan Tengah 447 titik, dan Kalimantan Timur 202 titik[1]. Di Sumatera, Riau memiliki sebaran hotspot sebanyak 192 titik dan ini adalah sebaran teringgi dari seluruh propinsi di Sumatra. Untuk wilayah Kalimantan Tengah, Raffles B. Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan  KLHK bahkan mengungkapkan status siaga darurat yang berakhir pada pertengahan Agustus  telah diperpanjang oleh Pemda Kalimantan Tengah hingga bulan November 2018 mendatang.[2]
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penanggulangan karhutla, baik melalui pemadaman darat maupun pemadaman udara. Untuk mendukung penegakan hukum dengan efek jera kepada para pelaku, KLHK juga telah mengambil tindakan menyegel area yang terbakar di konsesi lima perusahaan perkebunan di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Tim KLHK yang dipimpin langsung Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyegel area terbakar di konsesi lima perusahaan perkebunan di Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar). Lima perusahaan itu adalah PT SUM, PT PLD, PT AAN, PT APL, dan PT RJP.[3]
Pasca kebakaran hutan dan gambut hebat pada tahun 2015 sampai dengan saat ini, korporasi tampaknya belum jera untuk tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar dan belum melakukan tanggungjawab untuk mengantisipasi kebakaran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya korporasi yang terlibat pembakaran hutan dan lahan, dan jumlah titik hotspot di area konsesinya. Publik mengamati, penegakan hukum yang dilakukan Pemerintah tidak juga memberi efek jera pada korporasi, oleh karenanya perlu ada terobosan agar LJK bisa melakukan evalusi atas penyediaan dana jumbo pada korporasi yang konsesinya kembali terbakar.
TuK INDONESIA melalui microsite www.forestsandfinance.org telah menunjukkan siapa saja Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan jumlah pembiayaan yang mereka salurkan bagi korporasi/grup perusahaan yang merisikokan hutan (kelapa sawit, kertas dan bubur kertas, karet dan kayu). Microsite menunjukkan bahwa antara tahun 2010-2015, LJK telah menyediakan dana sebesar USD 38 miliar dalam bentuk utang dan penjaminan bagi beroperasinya 50 pemain terbesar bisnis kehutanan. Bank asal Malaysia, China, Jepang, Singapura dan Eropa adalah penyandang dana terbesar sektor ini.
Data tanggal 30 Agustus 2018 www.firesandfinance.org menunjukkan adanya titik api di konsesi milik Sungai Budi Group di Kalimantan Barat, salah satu pembiaya Sungai Budi Group adalah Maybank.


Dalam laporan ‘Maybank: The Single Largest Palm Oil Financier’ yang dirilis oleh TuK INDONESIA dan Profundo, Maybank menyalurkan sedikitnya Rp34 triliun kepada 85 perusahaan kelapa sawit pada periode 2010-2016. Namun, Maybank tidak memiliki kebijakan pengelolaan risiko  bagi pembiayaan sektor kelapa sawit. Laporan ini menyebutkan Maybank memiliki hubungan keuangan dengan sejumlah besar perusahaan minyak sawit kontroversial yang terlibat dalam isu-isu lingkungan, sosial dan tata kelola. Lima klien kelapa sawit Maybank yang aktif di Indonesia terlibat dalam konflik terkait deforestasi, Nilai Konservasi Tinggi dan kawasan Stok Karbon Tinggi, ekspansi gambut, kebakaran lahan, konflik dengan masyarakat setempat karena FPIC yang buruk, dan juga buruh anak.
Platform www.firesandfinance.org diharapkan membantu publik untuk mengetahui adanya peran LJK sebagai penyandang dana korporasi/group yang menyebabkan kasus-kasus pelanggaran lingkungan dan HAM. Pemerintah Indonesia dengan berbagai regulasi telah menegaskan bahwa LJK memiliki tanggungjawab dalam menjaga kelestarian lingkungan, salah satunya melalui POJK No.51 Tahun 2017 tentang Keuangan Berkelanjutan, yang mendorong LJK untuk memperbaiki kualitas pembiayaan pada sektor usaha yang memiliki risiko lingkungan tinggi.
Microsite ini layak digunakan oleh LJK agar ekstra hati-hati dalam menyediakan pembiayaan di sektor kehutanan. Jika terbukti ada kebakaran dan titik api di konsesi milik klien mereka,  sudah sepatutnya LJK mengambil langkah tegas. Di sisi lain, OJK perlu melakukan pengawasan yang lebih baik terhadap LJK dan menegaskan mekanisme kepatuhan untuk mendukung kebijakan publik terkait tujuan-tujuan lingkungan dan sosial.
Bagi bisnis, microsite ini diharapkan membantu perusahaan-perusahaan induk untuk memantau kinerja keberlanjutan dari anak-anak perusahaan mereka maupun rantai pasoknya.
Masyarakat yang terdampak oleh bencana ekologis akibat kebakaran dapat mengetahui siapa korporasi/grup perusahaan pemilik konsesi dan penyandang dana di belakangnya sehingga dapat melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan haknya dengan tepat sasaran. Microsite ini juga diharapkan dapat memberi refleksi sehingga Pemerintah dapat melakukan perbaikan-perbaikan dalam tata kelola industri perkebunan dan kehutanan di Indonesia.
[1] http://satelit.bmkg.go.id/BMKG/index.php?pilih=31
[2] http://www.menlhk.go.id/berita-11198-siaga-antisipasi-karhutla-kalteng-perpanjang-status-siaga-darurat.html
[3] http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/1459

Pernyataan Pers: Perusahaan Kelapa Sawit Terbesar Indonesia, Golden Agri Resources (GAR) di Ujung Tanduk

Organisasi masyarakat sipil di Indonesia, Liberia, dan Internasional baru saja mengajukan lima pengaduan baru (terlampir di bawah) terhadap perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, Golden Agri Resources (GAR). GAR yang merupakan bagian dari konglomerasi Sinar Mas (Golden Rays) yang dijalankan oleh keluarga Widjaya dengan kepentingan mulai dari kelapa sawit, kayu, bubur kertas dan kertas hingga real estate dan perbankan, telah gagal memenuhi standar RSPO, klaim organisasi-organisasi ini.
Baik GAR dan anak perusahaannya di Liberia – Golden Veroleum Limited – telah menimbulkan kekecewaan besar di kalangan masyarakat sipil saat mereka menarik keanggotaan GVL dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), untuk menghindari permintaan RSPO agar mereka menghentikan pengembangan pabrik kelapa sawitnya di lahan yang sedang disengketakan.
Mina Beyan dari LSM Liberia Social Entrepreneurs for Sustainable Development (SESDev) mengatakan:
Kami telah membantu masyarakat lokal yang terkena dampak operasi GVL untuk mengajukan pengaduan atas cara-cara tidak adil yang GVL lakukan untuk mengambil alih tanah mereka, sejak tahun 2012. Akhirnya, di awal tahun ini Panel Pengaduan RSPO setuju – setelah melalui penyelidikan independen intensif – bahwa keluhan itu sah. GVL diminta untuk menghentikan perampasan lahan, namun mereka menolak. Dan sekarang mereka sudah keluar dari RSPO. Perilaku ini menentang aturan main RSPO. Apakah standar RSPO hanya untuk diamati saja pelanggarannya?
 Menurut organisasi masyarakat sipil di Liberia, GVL terus melakukan ekspansi meskipun komunitas Blogbo menolak menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan, dan bahkan setelah keluhan masyarakat kepada RSPO telah diterima dan Panel Pengaduan RSPO telah memutuskan agar GVL menghentikan proses tersebut – setelah sebelumnya GVL berusaha mengajukan banding kepada Panel Pengaduan RSPO.
Ini adalah upaya terang-terangan oleh GVL dan GAR untuk menghindari kewajiban mereka terhadap RSPO. Mereka menggunakan keanggotaan RSPO mereka untuk menarik investasi dan memasarkan minyak sawit mereka tetapi ketika kelakuan mereka diungkap mereka terus menjauh dari tanggung jawab mereka, kata James Otto, Sustainable Development Institute (SDI) – Monrovia.
 Keluhan lain menyatakan bahwa GAR telah melanggar hukum di Indonesia yang melarang perusahaan dan kelompok perusahaan menguasai lebih dari 100,000 hektar lahan.GAR secara terbuka mengaku menguasai lebih dari empat kali jumlah tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah prinsip inti dari standar RSPO, tetapi Panel Pengaduan RSPO telah menghindari membuat keputusan mengenai masalah ini selama lebih dari tiga tahun.
GAR juga telah menunda-nunda pemenuhan kebun plasma yang dijanjikan kepada masyarakat Dayak dan Melayu lokal yang mereka akuisisi lahannya pada 2007-2009 di Kalimantan, meskipun telah diminta untuk memenuhinya oleh Panel Pengaduan RSPO sejak lebih dari tiga tahun yang lalu, melalui pengaduan yang diajukan oleh Forest Peoples Programme (FPP).
Indonesia menyambut investasi di perkebunan kelapa sawit untuk membantu mengurangi kemiskinan dan menggiatkan pembangunan, kata Rahmawati Winarni, Direktur Eksekutif Transformasi Keadilan Indonesia (TUK), tetapi GAR hanya mengambil alih tanah masyarakat dan kemudian dengan sengaja menunda pemberian ganti ruginya. Mengapa pemilik tanah yang miskin dipaksa menyerahkan tanah mereka dan kemudian menunggu puluhan tahun untuk perkebunan kecil yang dijanjikan, sementara perusahaan besar ini terus-menerus meraup keuntungan? Sesungguhnya, ini adalah ranah pemerintah Indonesiauntuk menghentikan penyalahgunaan semacam ini –  bukan hanya RSPO, tambahnya
 Pada tahun 2013, investigasi oleh TuK INDONESIA dan Forest Peoples Programme mengungkap bahwa GAR telah memperdaya masyarakat dari dari tanah mereka dengan melanggar standar RSPO – yang mengharuskan anggotanya untuk menghormati hak adat dan hanya boleh mengakuisisi lahan setelah mendapat persetujuan masyarakat dengan proses yang bebas dan terbuka serta adanya informasi yang berimbang bagi masyarakat sebelum keputusan disepakati. Hal ini mendorong disampaikannya pengaduan kepada RSPO, dimana Panel Pengaduan mengabulkan pengaduan tersebut dan pada tahun 2015 mengharuskan GAR untuk memulihkan lahan yang telah diambil paksa. Panel Pengaduan RSPO membekukan semua ekspansi dan pembebasan lahan oleh GAR di semua (18) operasi GAR yang menjadi pokok pengaduan.
Sejak saat itu, GAR menolak bernegosiasi ulang atas kesepakatan lahan yang tidak adil ini, meskipun ada keputusan RSPO bahwa GAR harus menyediakan pemulihan karena telah mengambil tanah tanpa persetujuan bebas yang didahulukan dan diinformasikan oleh masyarakat, kata Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior untuk Forest Peoples Programme. “Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tiada”.
 Penundaan tersebut menyebabkan organisasi masyarakat sipil mengajukan keluhannya yang keempat.
Sebagai anggota RSPO, kami aktif terlibat di komite standar yang mencoba membuat sistem di dalam RSPO kredibel dan sejalan dengan hukum hak asasi manusia, Marcus menambahkan, tetapi jika anggota RSPO diizinkan untuk melarikan diri dengan pelanggaran yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun, maka upaya kami tampaknya sia-sia. Panel Pengaduan harus menegakkan keputusannya sendiri.
 Dalam keluhan kelima, organiasai masyarakat sipil yang sama juga menyerukan kepada Panel Keluhan RSPO untuk menyelidiki apa yang mereka tuduhkan sebagai ‘perusahaan bayangan’ milik Sinar Mas tetapi tidak GAR nyatakan berada di bawah kendalinya. Awal tahun ini, anak perusahaan GAR, raksasa bubur kayu Asian Pulp and Paper (APP) menyembunyikan kepemilikan Grup Sinar Mas atas beberapa perkebunan kayu yang tertangkap melakukan deforestasi dan bertentangan dengan janji APP untuk menghentikannya. Paparan tersebut menyebabkan penangguhan upaya APP untuk kembali berhubungan dengan Forest Stewardship Council dengan tujuan untuk mensertifikasi perkebunan kayu pulpnya yang sangat besar.
Kredibilitas sistem sertifikasi bergantung pada transparansi dan verifikasi. Jika anggota RSPO menyembunyikan kepemilikan mereka dari anak perusahaan yang tidak patuh atau secara sengaja mengeluarkan mereka dari RSPO ketika mereka terpergok melakukan pelanggaran, RSPO harus menyelidiki dengan cepat dan menjunjung tinggi standarnya, kata Norman Jiwan, seorang aktivis hak asasi manusia Dayak yang bekerja dengan FPP. 
Organisasi-organisasi masyarakat sipil menyerukan agar sertifikat GAR ditangguhkan, agar GAR ditangguhkan keanggotaannya dalam Dewan Gubernur RSPO, agar dikenakan sanksi karena ketidakpatuhannya yang berulang, dan agar Panel Pengaduan bisa menyelidiki GAR yang telah melebihi batas penguasaan lahan dan menyembunyikan kepemilikan mayoritasnya atas anak-anak perusahaan mereka.
Selesai.
Sumber: https://www.forestpeoples.org/en/node/50274

Press Release: Masyarakat Dayak Hibun Melaporkan RSPO ke OECD di Swiss

Jakarta, 23 Januari 2018 – Masyarakat Adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat melaporkan RSPO dibawah mekanisme pengaduan perkara khusus OECD di Swiss. Pengaduan masyarakat disampaikan melalui mekanisme pengaduan perkara khusus (specific instance) National Contact Point di Swiss, negara anggota OECD dimana RSPO terdaftar secara hukum.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. Untuk mencapai tujuan kerjasama tersebut, OECD merumuskan dan memberlakukan Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional dengan tujuan termasuk melindungi dan memajukan pernghormatan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara-negara anggota OECD.
Masyarakat berpendapat bahwa RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedur RSPO sendiri, dan bahwa sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan tersebut, juga RSPO telah gagal memenuhi apa yang diharapkan Masyarakat terhadap RSPO berdasarkan kewajiban dalam Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional (OECD Guidelines on Multinational Enterprises).
Masyarakat menyatakan bahwa RSPO telah gagal (1) melanggar Bab IV (3) untuk “berusaha untuk mencegah atau mengurangi dampak hak asasi manusia (HAM) yang merugikan yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis, produk atau layanan mereka melalui suatu hubungan bisnis, walaupun tidak berkontribusi terhadap dampak tersebut”; dan/atau (2) melanggar Bab IV (5) untuk “melakukan uji tuntas HAM yang sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks kegiatan serta tingkat keparahan risiko dampak buruk terhadap HAM”.
Pengaduan perkara khusus disebabkan oleh tindakan PT Mitra Austral Sejahtera (“PT MAS”), anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Perusahaan Multinasional Malaysia bernama Sime Darby Berhad (“Sime Darby”), yang merupakan anggota dan pendiri RSPO. Masyarakat menduga bahwa PT MAS dan Sime Darby secara melanggar hukum telah menyingkirkan masyarakat dan mengancam untuk terus secara tidak sah menyingkirkan mereka dari lahan tradisional mereka sehingga tanah seluas 1.462 hektar dapat terus digunakan untuk kebun sawit perusahaan. Sebagai akibatnya masyarakat telah mengalami dan/atau HAM fundamental masyarakat dinegasikan dan diabaikan.
RSPO adalah forum multipihak untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, terdaftar dan badan hukum Swiss, wajib dan secara hukum terikat Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Menurut standar RSPO, produksi minyak sawit berkelanjutan tidak menghilangkan hak hukum, hak adat dan hak lainnya; mematuhi FPIC dan menghormati hak asasi manusia. Standar RSPO khususnya Kriteria 6.13 penghormatan hak asasi manusia mengadopsi Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2007, Sime Darby dan PT MAS tidak berusaha menyelesaikan dan melakukan perbaikan atas pelanggaran hukum dan peraturan nasional (Kriteria 2.1); gagal membuktikan bahwa “hak untuk menggunakan” Tanah Sengketa yang tidak dapat diperkarakan oleh Masyarakat Kerunang dan Entapang (Kriteria 2.2); belum memberlakukan dan menerapkan suatu proses penyelesaian konflik yang dapat diterima dan disetujui oleh Masyarakat untuk menyelesaikan “konflik tanah” (Kriteria 2.2.4); gagal memperoleh FPIC Masyarakat (Kriteria 2.3); dan (5) gagal membuktikan bahwa Masyarakat telah memahami dampak hukum dan implikasi lainnya akibat dari kegiatan perusahaan di wilayah tanah masyarakat, dan khususnya “implikasi status hukum tanah masyarakat pada saat berakhirnya konsesi atau HGU perusahaan, ketika PT MAS secara nyata tidak melakukannya (Kriteria 2.3.2 (c)).
Oktober 2012, masyarakat menyampaikan pengaduan kepada RSPO perkara kasus konflik tanah PT Mitra Austral Sejahtera anak perusahaan Sime Darby Plantation. Pengaduan berisi 14 tuntutan terkait dengan hak tanah, masalah kemitraan dan janji-janji perusahaan. Dalam pengaduan tersebut, masyarakat mengajukan pilihan solusi penyelesaian tuntutan masyarakat. Pertama, Complaints Panel RSPO memutuskan agar Sime Darby Plantation mengembalikan tanah masyarakat. Kedua, Dispute Settlement Facility (DSF) memfasilitasi dialog penyelesaian masalah kemitraan, janji-janji perusahaan dan penataan ulang kebun plasma.
Sayangnuya, hingga tahun 2017 Complaints Panel RSPO tidak memberikan tanggapan dan belum berhasil mengambil keputusan tertulis mengenai tuntutan masyarakat. Dispute Settlement Facility tidak berhasil mewujudkan penyelesaian masalah masyarakat. Masyarakat kecewa dan frustasi kegagalan proses penanganan pengaduan RSPO menyelesaikan konflik tanah PT MAS, anak perusahaan Sime Darby Plantation, anggota RSPO.
Masyarakat dan TuK INDONESIA melihat bahwa Bab IV (3) Panduan OECD jelas berlaku untuk RSPO dengan pertimbangan:
Pertama, penerbitan atau penolakan sertifikat adalah suatu “kegiatan bisnis”. Begitu juga dengan kegiatan mekanisme pengaduan;
Kedua, penerbitan sertifikat kepada anggota meskipun gagal menghormati HAM dari suatu Masyarakat yang terkena dampak proyeknya akan “terkait langsung” dengan dampak HAM yang merugikan masyarakat, karena jika dibiarkan akan mendorong anggotanya untuk berpikir bahwa perusahaan dapat mengabaikan hak-hak tersebut tanpa risiko sanksi; Jika perusahaan masih bisa menjual produk bersertifikat, imbalannya mencegah atau mengurangi dampak buruk akan hilang. Kegagalan menjalankan mekanisme pengaduan dengan baik akan memiliki dampak yang sangat mirip selama kegagalan terus berlanjut;
Ketiga, dengan cara yang sama jika RSPO gagal menangguhkan atau mencabut sertifikat Sime Darby akibat konflik PT MAS yang tidak patuh sampai memperbaiki cara-cara kegiatannya, atau menyelidiki suatu pengaduan masyarakat secara layak dan tepat waktu, RSPO gagal “mencari jalan untuk mengurangi” dampak buruk dari perilaku anggota; dan
Keempat, organisasi RSPO jelas-jelas dalam “hubungan bisnis” dengan Sime Darbvy dan PT MAS anggotanya, yang bersedia membayar iuran biaya keanggotaan dan mematuhi peraturan RSPO dengan imbalan keuntungan keanggotaan.
Masyarakat telah merumuskan Proposal untuk Solusi (Proposal for Solution) kepada Sime Darby Plantation. Proposal berisi tahapan dan kegiatan pengembalian tanah adat masyarakat Kerunang dan Entapang. Sayangnya RSPO gagal membantu dan menyakinkan Sime Darby Plantation agar menerima tawaran solusi masyarakat. Masyarakat siap menyampaikan solusi bagaimana NCP Swiss seharusnya menerapkan mekanisme dan upaya pemulihan HAM yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat RSPO dan anggotanya.
Sebagai anggota OECD, National Contact Point (NCP) Swiss dapat memfasilitasi, membantu masyarakat dan RSPO memulihkan hak masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang yang sesuai dengan semangat Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia serta Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional.
Masyarakat percaya NCP Swiss memiliki komitmen, profesional dan akuntabel dalam merumuskan praktek terbaik pemulihan HAM dalam penerapan dan pemajuan kebijakan Panduan OECD dan selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan dan Hak Asasi Manusia.
Media Contact:
Redatus Musa 081380663822, Kepala Dusun Entapang
Edisutrisno 081315849153, TuK INDONESIA
Rini Kusnadi 082260152595, TuK INDONESIA

Siaran Pers: Demi Meningkatkan Profit Bisnis, Astra Agro Lestari/Astra Internasional Tbk Penjarakan Petani

Jakarta-Diusianya yang ke 60, Astra Internasional Tbk menjadi perusahaan yang menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia dengan berbagai bidang usaha yang dimiliki. Mulai dari bisnis otomotif hingga perkebunan kelapa sawit yang dikelola di bawah Astra Agro Lestari ( AAL) yang sebagian besar kebunnya ada di Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Beberapa anak perusahaan di bawah Astra Agro Lestari telah mengantongi sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), konon sebagai sebuah komitmen dan menunjukkan perusahaan dengan predikat berkelanjutan.
Ironiya, Astra Agro Lestari yang berada di bawah payung Astra Internasional Tbk mempekuat jejaring bisnisnya dan memperbesar asset dan keuntungannya di perkebunan sawit melalui praktek buruk yang melanggar hak asasi manusia seperti yang dilakukan oleh PT. Mamuang yang saat memenjarakan 4 orang petani Desa Polanto Jaya Donggala Sulawesi Tengah di Pengadilan Negeri Mamuju Utara dengan tuduhan pencurian buah sawit di tanah milik petani yang diklaim oleh PT. Mamuang masuk dalam area konsesinya. Bukan hanya satu kasus itu, anak perusahaan Astra Agro Lestari lainnya, PT. Agro Nusa Abadi (ANA) dan PT. Lestari Tani Teladan (LTT). “Prestasi” AAL dalam perkebunan sawit dan menjadi pemain terbesar di Sulteng dengan luas konsesi mencapai 111.304 hektar, dilandasi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, konflik agraria, mengkriminalisasi rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya, dan juga pencemaran dan penghancuran lingkungan hidup.
Kesemua praktek buruk Astra Agro Lestari/Astra Internasional Tbk untuk mengakumulasi keuntungan harus dihentikan. Astra Internasional Tbk harus bertanggungjawab terhadap anak-anak perusahaannya di lapangan.
Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah menyatakan “kami mendesak agar Astra Internasional Tbk menghentikan seluruh praktek buruk yang dijalankan oleh anak-anak bisnisnya, diantaranya menghentikan kriminalisasi terhadap petani, khususnya 4 orang petani yang dipenjarakan oleh PT. Mamuang, serta berhenti menjalankan bisnisnya yang melanggar HAM dalam seluruh rantai pasoknya, tetapi juga melanggar aturan untuk regulasi”. Dan kesemuanya semata-mata untuk meningkatkan profit perusahaan, Abdul Haris menegaskan”.
Terlebih kita tahu, bahwa bisnis yang dijalankan oleh Astra Agro Lestari didukung oleh pendanaan yang begitu besar baik Bank Internasional antara lain OCBC, Mizuho Financial Group, Sumitomo Group, Mitsubishi UFJ- Financial Group, Bank Pan Indonesia, DBS, Standard Chartered, HSBC, CommonWealth Bank of Australia, dan Bank Mandiri”, karenanya sektor pendanaan ini juga harus bertanggungjawab terhadap praktek buruk yang dijalankan oleh Astra Agro Lestari, ujar Vera Falinda dari TuK Indonesia.
WALHI, TuK Indonesia dan Sawit Watch menilai bahwa semua praktek buruk perusahaan ini tidak lepas dan dilegitimasi oleh kebijakan dan berbagai fasilitas kemewahan dari negara lainnya, antara lain terkait dengan pengamanan perusahaan oleh aparat keamanan. Karenanya, kami juga mendesak kepada negara untuk menjalankan fungsi dan perannya untuk menjalankan aturan terhadap perusahaan-perusahaan termasuk group besar seperti Astra Agro Lestari yang diduga melanggar aturan dan regulasi, melanggar hak asasi manusia dengan penegakan hukum yang tegas, termasuk mereview perizinan yang dimiliki oleh perusahaan.

Siaran Pers Bersama: Terus Menuai Konflik Agraria dan Lingkungan Hidup, Komitmen Astra Agro Lestari Dipertanyakan

Jakarta-Hingga saat ini, empat orang petani desa Polanto Jaya Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah masih harus menjalani proses persidangan di PN Mamuju Utara Sulawesi Barat, atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL). Konflik dengan masyarakat yang melibatkan keterlibatan group besar perusahaan perkebunan sawit ini bukanlah baru kali ini. Belum lama ini, salah satu anak perusahaan PT. Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, diduga kuat menggunakan militer untuk melaukan pembungkaman terhadap petani sawit di wilayah perusahaan, dengan pos-pos pengamanan militer yang berada di wilayah perusahaan.
Direktur WALHI Sulawesi Tengah, Abdul Haris menyatakan, “Astra Agro Lestari merupakan salah satu pelaku bisnis yang menguasai sumber-sumber agraria begitu besar di bumi Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dengan luasan HGU dan IUP mencapai 111.304 hektar dari total luas perkebunan sawit mencapai 713.217 hektar, Astra Agro Lestari menduduki posisi teratas yang menguasai industri perkebunan sawit di Sulawesi Tengah, disusul Smart dan Kencana Agri. Situasi inilah yang berkontribusi pada semakin krisisnya bumi Celebes. Semakin kuatnya kuku bisnis yang ditancapkan oleh AAL di sektor perkebunan sawit, berjalan beriringan dengan berbagai kasus dan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah”. “Ironinya, seluruh potret buruk pengelolaan Industri perkebunan sawit mendapat lagitimasi dari Negara, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah Daerah. Tidak mengherankan jika penguasan atas ruang di wilayah Sulawesi Tengah, hampir 30 persen dikuasai oleh Korporasi, sementara di sisi yang lain, ruang hidup dan wilayah kelola rakyat terus terancam dan semakin mengecil”, tambah Haris.
Kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. Mamuang terhadap petani Desa Polanto Jaya dan konflik agraria lainnya patut dipertanyakan, mengingat PT. Mamuang dan anak perusahaan AAL lainnya telah mengantongi sertifikat ISPO, yang konon memiliki ikatan yang bersifat legally binding, pada faktanya di lapangan, berbagai konflik dan kasus lingkungan hidup. ISPO tidak mampu menjawab konflik struktural agraria,  maka sudah sepatutnya ISPO harus turut bertanggungjawab atas kasus kriminalisasi dan berbagai konflik agraria yang terjadi di konsesi Astra Agro Lestari.
Astra Agro Lestari sedikitnya memiliki 413.138 hektar kebun sawit di Indonesia. Pada tahun 2013, AAL memiliki aset lebih kurang 15 triliun ini mendapatkan sebagian dananya dari beberapa Bank antara lain OCBC, Mizuho Financial Group, Sumitomo Group, Mitsubishi UFJ-Financial Group, Bank Pan Indonesia, DBS, Standard Chartered, HSBC, Commonwealth Bank of Australia dan Bank Mandiri. Karenanya, lembaga pendanaan ini juga perlu bertanggungjawab atas tindakan dan praktek AAL di lapangan yang diduga banyak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tegas Edi Sutrisno, Deputi Direktur Transformasi untuk Keadilan Indonesia.
Pemerintah terus menutup mata atas berbagai fakta pelanggaran HAM dan penghancuran lingkungan hidup yang terjadi di perkebunan sawit dalam seluruh cerita rantai pasoknya, termasuk yang berada di konsesi group-group besar perusahaan yang konon memiliki komitmen “sawit berkelanjutan”. “dari pada terus mengelak dari fakta-fakta ini dan membenarkan praktek buruk perusahaan, ketimbang berupaya membenahi tata kelola sumber daya alam di dalam negeri dan melindungi hak-hak petani, masyarakat adat/masyarakat lokal yang terus terancam oleh perkebunan kelapa sawit. Terlebih berupaya menegosiasikan persoalan HAM melalui perundingan perdagangan seperti Indonesia-EU CEPA. HAM tidak untuk dinegosiasikan, melainkan dipenuhi dan dilindungi oleh negara dari ancaman serangan pihak ketiga, dalam hal ini korporasi perkebunan besar kelapa sawit.
Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch menegaskan bahwa “konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat yang melibatkan group besar Astra Agro Lestari dan pendekatan keamanan yang digunakan, bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menjalankan agenda reforma agraria”. Karenanya, kami mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mereview HGU perusahaan yang terlantar, HGU yang didapatkan dengan cara melanggar hukum dan aturan dan atau HGU yang berkonflik dengan masyarakat, ujar Inda dalam penutup siaran pers ini.
 
Jakarta, 16 Januari 2018.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi
1.     Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah di 082191952025
2.     Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
3.     Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch di 0811448677
4.     Edi Sutrisno, Deputi Direktur TuK Indonesia di 087711246094
5.     Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi Publik WALHI di 081808131090