Jejak Perjuangan Hemsi Mendapatkan Pengakuan Hak Atas Tanah Yang Diklaim Sepihak Oleh PT. Mamuang

Keberhasilan Hemsi memperoleh sertifikat dan mempertahakan tanahnya merupakan pembelajaran penting bagi gerakan petani di Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit (Dok: Walhi Sulawesi Tengah)

 

Penulis: Walhi Sulawesi Tengah

Perjuangan petani Hemsi untuk mendapatkan pengakuan hak atas kepemilikan tanah yang selama ini diklaim secara sepihak dan dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang kini telah mendapatkan titik terang. Setelah melalui perjuangan panjang selama berpuluh tahun, akhirnya Hemsi memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan tanah tersebut. Tujuh unit Sertifikat Kepemilikan Tanah (SKT) tertanggal 26 Agustus 2019 yang diterbitkan Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI Kabupaten Donggala menandai kepemilikan sah Hemsi dan istrinya Selpiana Rombe Payung dengan total luas kurang lebih 50 hektar yang terletak di Desa Bonemarawa Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala.

Tidak mudah bagi petani seperti Hemsi dan Selpiana untuk mendapatkan sertifikat sebagai bentuk pengakuan hak kepemilikan atas tanah dari negara. Mereka telah melalui perjuangan Panjang selama berpuluh tahun. Sejak tahun 2006 petani di Kecamatan Rio Pakava sudah mulai berkonflik dengan anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari (PT.AAL) tersebut. Kala itu Hemsi masih sekolah di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia menyaksikan menjadi saksi mata perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan atas lahan yang sebelumnya dikelola warga telah memicu konflik agraria antara warga dengan pihak perusahaan. Tanaman petani digusur dan dirusak secara paksa dengan menggunakan alat berat. Bilamana ada warga yang ingin mempertahankan tanahnya dan melawan perusahaan akan diperhadapkan dengan aparat kepolisian dan centeng preman sewaan dari perusahaan.

“Dengan mata kepala sendiri saya melihat secara langsung para petani orang tua kami diintimidasi, direndam kepalanya dan ada juga yang dipukul. Saat itu tanaman kakao mereka sementara produksi. Sudah sejak lama tanah ini kami olah. Sejarahnya sangat jelas, kami mendapatkan lahan ini bukan dari hasil rampasan, melainkan dari hasil pelepasan tanah adat yang sudah resmi dilepaskan oleh tetua adat masyarakat asli di desa ini” Kata Hemsi menuturkan kesaksian di masa kecilnya.

Perlawanan masyarakat terus berlanjut, akumulasi kemarahan warga terhadap perusahaan tak dapat dibendung lagi. Tahun 2007 warga mencabut dan mencincang tanaman sawit yang di tanam oleh pihak perusahaan di atas lahan milik warga. Tidak puas berulah, tahun 2008 lagi-lagi perusahaan masuk dan kembali mengklaim secara sepihak kebun kami. Namun perlawanan dari warga pun meningkat, ratusan orang petani yang tergabung dalam kelompok tani. Hingga Desember 2008 tersisa puluhan orang saja yang bertahan untuk tetap berjuang mempertahankan tanahnya.

“Ketika itu sawit yang ditanam oleh warga sudah mulai produksi dengan sangat baik, namun sawit tersebut tiba-tiba kembali diklaim oleh PT.Mamuang. Tapi petani tak gentar dan terus berjuang untuk melawan penindasan yang di lakukan oleh pihak perusahaan. Sawit yang kami beli bibitnya, kami tanam sendiri di atas tanah kami tiba-tiba ingin dipanen dan diambil secara sepihak oleh PT. Mamuang. Dengan persatuan dan solidaritas petani ketika itu perusahaan akhirnya mundur” tutur Hemsi.

Karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Barat akhirnya pada tahun 2009 Kepala Desa Lalundu bersama Kepala Desa Panca Mukti beserta aparat penegak hukum turun ke lokasi lahan Hemsi dan melakukan pengukuran sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah tahun 1999 yang membuktikan bahwa wilayah kebun tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Desa Panca Mukti Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat.

“Suatu hari di tahun 2010, saya lupa persis tanggal dan bulannya. Perusahaan kembali datang dan langsung melakukan aktifitas panen di lokasi tersebut, sedangkan pada hari itu kelompok tani sedang melakukan panen. Buah sawit yang telah di panen oleh para petani diangkat oleh pihak perusahaan. Kemudian dua orang pekerja yang membantu saya melakukan panen ditangkap oleh aparat kepolisian dan TNI tanpa adanya surat penangkapan. Berikut buah sawit dimuat tanpa ada surat penyitaan barang dengan dalih untuk dijadikan sebagai alat bukti” kata Hemsi bercerita.

Melihat perlakuan perusahaan yang didukung oleh aparat keamanan, Hemsi melakukan perlawanan dengan menarik pekerja tersebut untuk dilepaskan. Namun aparat TNI justru balik memukul Hemsi dengan menggunakan ujung senjata laras panjang. Kedua pekerja tersebut akhirnya dibawa secara paksa dan ditahan di kantor Polsek Pasang Kayu Sulawesi Barat. Dan hari itu juga Hemsi ke kantor Polsek Pasang Kayu untuk menjemput kedua pekerja yang ditahan. Namun naas ketika sampai di Polsek Pasang Kayu Hemsi malah dijebloskan ke dalam penjara tanpa adanya surat penangkapan.

Menjalani penahanan selama tiga bulan tidak membuat Hemsi patah semangat. Ketika ia lepas dari tahanan tersebut, Hemsi kembali menjalankan aktifitasnya mengolah lahan tersebut dan terus melakukan perlawanan terhadap PT. Mamuang. Berselang lima tahun, ulah perusahaan semakin memuncak, mereka mengirimkan kelompok preman bayaran dan membangun pondok di samping gubuk Hemsi yang juga merupakan lahan Hemsi yang di klaim oleh perusahaan. Kala itu Hemsi acapkali diintimidasi dan diancam akan dibunuh jika ia dan keluarganya tidak keluar dari kebun tersebut.

Dari berpuluh-puluh kali intimidasi, niat Hemsi untuk terus melawan dan berjuang mempertahankan tanahnya tak sedikit pun surut. Di bawah ancaman preman bayaran perusahaan ia tetap bekerja mengolah lahan sawitnya. Karena melihat semangat perjuangan kawan-kawannya mulai berkurang dan ancaman perusahaan yang bertubi-tubi, Hemsi kemudian keluar dari kebun untuk menggalang solidaritas di desa dan kampung terdekat. Selama delapan bulan Hemsi mengorganisir dukungan dan solidaritas di Kecamatan Rio Pakava, dari Desa Ngowi, Bonemarawa, Ambulawa, Lalundu 6 sampai ke wilayah Sulawesi Barat. Karena saat itu banyak petani yang mengalami nasib yang sama dengan Hemsi, sehingga dengan mudah ia mendapatkan dukungan dan solidaritas.

Suatu ketika sekitar 200-an massa petani dari empat desa berkumpul menyatakan solidaritas terhadap ketertindasan yang dialami oleh Hemsi. Mereka turun menduduki lahan Hemsi dan seketika itu puluhan preman bayaran perusahaan menghalangi upaya pendudukan yang dilakukan massa petani. Bentrok antara massa aksi petani dan preman bayaran perusahaan tak terhindarkan lagi.

“Terjadi saling pukul, kejar-kejaran dengan parang dengan preman bayaran perusahaan. Untung saja saat itu pihak preman perusahaan kalah dan melarikan diri. Kemudian kami membakar pondok yang di bangun oleh para preman bayaran itu.  Meskipun terus dipantau oleh pihak kepolisian, pasca kejadian itu saya tetap mengolah kebun seperti biasanya” jelas Hemsi.

Tidak hanya sampai disitu, tahun 2017 orang-orang perusahaan kembali datang dan memanen buah sawit di kebun Hemsi. Bahkan kali ini tumpukan buah sawit yang bergeletakan di tanah hasil pemanenan Hemsi dan pekerjanya langsung dimuat di atas truk oleh pihak perusahaan. Tapi kali ini Hemsi tidak tinggal diam, sekitar 100 orang berhasil menghalangi pengangkutan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Bahkan pada Juni 2017, Hemsi melaporkan tindakan pencurian dan perampasan yang dilakukan oleh PT. Mamuang ke Polsek Rio Pakava.

Pelaporan yang dilakukan oleh Hemsi berbuntut panjang, PT. Mamuang justru membalas dan melaporkan balik Hemsi ke Polres Pasangkayu atas tudukan melakukan pengancaman dan pengerusakan asset perusahaan. Hukum tebang pilih berlaku, realitas membuktikan penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Nyatanya pelaporan yang dilakukan oleh Hemsi hingga saat ini belum diproses oleh Polsek Rio Pakava. Sementara itu atas pelaporan yang dilakukan oleh pihak perusahaan diproses oleh Polres Pasangkayu. Akhirnya Agustus 2017 Hemsi kembali ditangkap dan ditahan selama lima bulan di kantor Polres Pasangkayu.

Lima bulan meringkup di tahanan, kasus tersebut diproses di Pengadilan Negeri Pasang kayu. Pada moment inilah awal mula Hemsi mengenal WALHI Sulawesi Tengah yang saat itu sedang menangani kasus yang serupa dengan kasus Hemsi, dituduh melakukan pencurian buah sawit milik PT. Mamuang.

“Dari situlah saya mengenal lembaga WALHI Sulawesi Tengah dan saat itu tertarik dengan WALHI dan ingin bergabung menjadi anggota WALHI Sulawesi Tengah dan mulai saat itu pula saya terus menjalin komunikasi dengan WALHI dan saat itu saya merasa mendapatkan dukungan moral dan energi baru” kata Hemsi.

Mei 2018 Hemsi keluar dari penjara dan kembali membersihkan dan mengolah kebunnya. Perlawanan pun tidak mundur, Hemsi mengusir karyawan PT. Mamuang yang pada saat itu berada  di wilayah kebun  Hemsi. Meskipun tidak ada insiden yang terjadi kejadian tersebut, namun Hemsi tetap meminta bantuan WALHI Sulawesi Tengah untuk membantu penanganan kasus konflik lahan antara Hemsi dengan PT. Mamuang yang sudah berlarut larut dan tak kunjung menemukan jalan keluarnya. Di tahun yang sama Hemsi atas dampingan WALHI  bertemu 13 lembaga kementerian dan lembaga negara di Jakarta.

Perjuangan Hemsi terus berlanjut dan semakin meluas. Semangat untuk terus menggalang solidaritas bersama dengan petani yang mengalami nasib yang sama. Di tengah dukungan yang semakin meluas dari seluruh penjuru nusantara, Hemsi memperoleh informasi adanya program dari pemerintah yang akan menerbitkan jutaan hektar sertifikat tanah untuk petani. Tak mau ketinggalan Hemsi melihat program pemerintah ini sebagai peluang untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanahnya.

“Saya melihat ini sebagai peluang bagi saya untuk mendapatkan alas hak untuk memperoleh pengakuan bahwa saya benar-benar berhak atas tanah ini. Sehingga waktu itu saya mencoba menghubungi pihak BPN Kabupaten Donggala untuk melakukan pengukuran di tanah saya yang bersengketa dengan PT. Mamuang. Dan tidak lama kemudian BPN melakukan pengukuran dan mengambil titik koordinat serta mengambil foto menggunakan drone di seluruh wilayah lokasi tanah saya dan ketika itu pihak BPN Kabupaten Donggala langsung memberikan  keterangan bahwa tanah saya memang benar tidak termasuk dalam areal HGU PT.Mamuang” Terangnya.

Bulan Desember 2018 merupakan masa-masa sulit bagi Hemsi. Saat ia mengantar istrinya yang sedang hamil untuk melakukan proses operasi caesar untuk melahirkan anak ketiganya, di hari jumat tanggal 14 Desember 2018, bertepatan dengan hari kelahiran anak ketiganya itu ia didatangi dan dijemput paksa oleh aparat Polres Mamuju Utara atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang. Saat itu WALHI Sulawesi Tengah Bersama penasehat hukum berhasil bernegosiasi dengan pihak kepolisian. Mereka akhirnya menunda penangkapan tersebut hingga tanggal 15 Desember pukul 08.00 pagi. Tapi selama penundaan ini Hemsi dijaga ketat oleh aparat Polres Pasangkayu. Naasnya tepat pukul 12.20 Hemsi dibawa ke Polres Pasangkayu dengan menggunakan mobil. Dan WALHI Sulawesi Tengah Bersama penasehat hukum tetap mendampingi proses hukumnya.

Setelah proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) proses hukum berlanjut di Pengadilan Negeri Pasangkayu. Tanggal 25 Maret 2019, atas putusan Pengadilan Negeri Pasangkayu Hemsi divonis hukuman lima bulan penjara. Sebelumnya tanggal 22 Maret 2019 di hadapan majelis hakim dan dukungan aksi petani di ruang persidangan Hemsi membacakan pledoi dengan ekspresi kemarahan dan menceritakan segala penindasan yang dirasakan serta membukanya dengan puisi sastrawan progresif di era orde baru Widji Thukul bertajuk “Tanah”.

Atas putusan tersebut Hemsi tidak tinggal diam, baginya upaya mendapatkan keadilan tidak bisa berhenti disini. Ia mengajukan Kasasi ke Pengadilan Tinggi Makassar dan saat ini prosesnya berlanjut hingga kepengadilan Kasasi di Mahkamah Agung untuk membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan pencurian buah sawit PT. Mamuang.

Perjuangan Hemsi tidak cukup hanya dengan upaya proses hukum, Oktober 2019 Hemsi  Bersama Direktur WALHI Sulawesi Tengah Abdul Haris dan perwakilan Eksekutif Nasional WALHI bertolak melakukan perjalanan ke negeri kincir angin Belanda dengan maksud bertemu dengan para pengusaha yang menanamkan sahamnya dan mengucurkan modal kepada pihak PT. Mamuang. Setiba di Belanda ia bertemu dengan pemilik saham Astra International, lembaga lembaga internasional perlindungan Hak Asasi Manusia dan salah satu anggota Partai Hijau Belanda serta Perdana Menteri Belanda.

Dihadapan petinggi dan pemilik saham Astra International, lembaga internasional perlindungan Hak Asasi Manusia Hemsi menceritakan kejahatan-kejahatan dan perlakuan tak manusiawi yang anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari tersebut terhadap petani dan masyarakat seperti halnya intimidasi dan kriminalisasi yang dialaminya. Tapi kabar buruk kembali datang dari tanah air, dari Belanda ia menerima kabar istri tercintanya bersama anak anaknya didatangi oleh aparat kepolisian dan meminta untuk diantar ke lokasi lahan yang berkonflik dengan perusahaan.

Sepulang dari Belanda, Hemsi bersama WALHI Sulawesi Tengah menggelar konferensi pers  dengan jurnalis di sekretariat AJI Palu. Di tengah awak media Hemsi menjelaskan maksud dan tujuan berangkat ke Belanda dan kontribusi pertemuan-pertemuan di Belanda terhadap perjuangan mempertahankan tanahnya.

“Dari hasil pertemuan tersebut  saya melihat dan merasakan efek dan perubahan yang sangat signifikan yang terjadi pada perusahaaan PT. Mamuang sejak tahun 2019 sampai 2020. Seperti contohnya saja, mutasi terhadap orang orang yang terlibat dalam konflik dengan saya. Diantaranya ada yang dari level asisten, CDO dan pemecatan kepada mandor yang terlibat. Kemudian tidak adanya proses replanting. Padahal di wilayah perusahaan PT. Mamuang sebelumnya proses tersebut terjadi secara besar besaran” Tambahnya.

Meskipun sertifikat tersebut diterbitkan setahun yang lalu, namun buah hasil perjuangannya itu baru dapat ia dengar pada bulan Juni 2020. Kini tujuh unit sertifikat tanah tersebut telah ia pegang dan menjadi spirit baru untuk terus mempertahankan haknya atas tanah. Intimidasi, ancaman, kekerasan fisik hingga jeruji penjara tak telah ia lalui dan ia telah memetik hasil dari perjuangannya. Keberhasilan Hemsi memperoleh sertifikat dan mempertahakan tanahnya merupakan pembelajaran penting bagi gerakan petani di Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Perjuangan panjang dan tak kenal lelah yang dijalani oleh Hemsi membuktikan kepada gerakan petani dan umumnya gerakan rakyat bahwa sesungguhnya tak ada perjuangan yang sia-sia. Hasil dari perjuangan mempertahankan hak dan kemenangan hanya soal waktu. Sebagaimana terpatri dan akan terus melekat dalam semangat perjuangan petani Hemsi untuk mempertahanan tanahnya. “Tak gentar aku melawan, takkan habis sampai disini perjuangan, selama saya masih hidup, maka saya akan tetap berjuang memerangi ketidakadilan” Tutup Hemsi menegaskan.

 

 

Perkuat Wacana Keuangan Berkelanjutan, TuK Indonesia Gelar Seminar Internasional

Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menggelar seminar internasional bertajuk “The Role of Sustainable Finance in Palm Oil” di Marriot Marquis Bangkok, Queen’s Park pada 4 November 2019. Seminar ini merupakan side event dari perhelatan akbar RSPO RT ke–17 yang berlangsung selama 3–6 November 2019 di Bangkok, Thailand.

Seminar dihadiri oleh pembicara dari beragam elemen, seperti organisasi internasional PBB, lembaga keuangan internasional, juga CSO indonesia dan internasional. Arah pembahasan fokus bercerita bagaimana perkebunan sawit dibiayai. Lalu seperti apa praktek perkebunan sawit yang tidak berkelanjutan yang telah merisikokan keuangan secara nyata.

Keuangan Berkelanjutan Belum Menjadi Mainstream

Ekspansi lahan yang dilakukan bisnis sawit menghadirkan ragam masalah di tingkat tapak. Mulai dari teritorialisasi ruang hidup masyarakat yang berujung konflik, sampai soal monokulturisasi yang menghilangkan keanekaragaman hayati dan berujung pada isu deforestasi dan degradasi hutan.

Masalah sosial dan lingkungan yang terjadi adalah “masalah hilir” sebagai akibat dari modal yang bekerja di hulu. The whole of problem dari bisnis tersebut perlu dipecahkan dengan mengupayakan strategis-holistik dalam memberikan penapisan, ihwal investasi modal yangmenjamin keberlanjutan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. Langkahnya denganmengarahkan aktor pendanaan untuk tidak lagi memberikan layanan keuangan bagi perusahaan yang tidak mematuhi kaidah–kaidah keberlanjutan dan berisiko tinggi, dan mendorong agar “lebih” memilih melakukan investasi pada bisnis yang berkelanjutan.

TuK Indonesia (2018) masih menemukan praktik–praktik penyimpangan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di Indonesia yang menyuntikkan aliran dana bagi perusahaan yang terbukti tidak taat peraturan dan operasi melanggar hukum dan kode etik. Sedihnya, praktik–praktik terjadi saat dimana Indonesia telah memiliki program keuangan berkelanjutan dan berkomitmen kepada Internasional untuk mengarusutamakan keberlanjutan di dalam rencana pembangunan. “Yang lebih mengkhawatirkan, hanya 11% bank di Indonesia yang memandang keuangan berkelanjutan sebagai bidang yang sangat menjanjikan. Lebih sedikit lagi, 4% bank menyatakan keuangan berkelanjutan akan menjadi prioritas mereka dalam waktu dekat”, ungkap Rahmawati Retno Winarni, anggota TuK Indonesia, salah satu pembicara dalam seminar.

Sejak 2010 hingga Juni 2018, sebanyak 55% produksi kelapa sawit di Asia Tenggara didanai oleh bank di Asia Tenggara. Malaysia adalah kreditor terbesarnya dengan nilai mencapai 15 milyar USD. Ironinya, nilai pembiayaan yang besar tersebut tidak diiringi dengan aturan ketat bank di Asia Tenggara ihwal risiko Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) (Forests and Finance, n.d.).
Situasi demikian menunjukkan bahwa keuangan berkelanjutan belum menjadi satu mainstreaming di dalam tubuh aktor pendanaan, utamanya di Indonesia. Padahal abai terhadap isu LST justru akan meningkatkan risiko keuangan, kepatuhan, dan reputasi bagi bank sendiri. Ini artinya, perlu upaya yang lebih dari biasanya dalam memainstreaming keuangan berkelanjutan, untuk Indonesia dan dunia.

Open Recuitment Pelaksana Program

Transformasi untuk Keadilan Indonesia atau yang disingkat TuK INDONESIA, adalah NGO yang berbasis di Jakarta dan bekerja pada isu lingkungan, sumber daya alam, dan pembangunan yang berkelanjutan khususnya soal keuangan berkelanjutan.

Organisasi yang berdiri pada bulan Februari 2013 telah ini terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dengan badan hukum “perkumpulan”, dan secara resmi telah tercatat pada Mei 2013.

 

Saat ini, TuK INDONESIA sedang mencari orang yang profesional, bermotivasi tinggi yang dapat bekerja secara individu dan sebagai bagian dari tim untuk bergabung dengan kami sebagai: Pelaksana Program

 

Kualifikasi untuk Pelaksana Program adalah:

 

  • Gelar sarjana dari semua disiplin ilmu, jurusan Ekonomi lebih disukai;
  • Dibutuhkan pengalaman dalam berhubungan dengan institusi, khususnya perbankan.
  • Pengalaman dalam menangani komunikasi dengan lembaga pendanaan akan menjadi keuntungan.
  • Kefasihan berbahasa Inggris baik lisan maupun tulisan adalah suatu keharusan.
  • Kemahiran dalam komputer (MS Office, Internet dan Web).
  • Terbiasa dengan laporan administrasi dan keuangan.
  • Mampu bekerja dengan pengawasan kurang, dan di bawah tekanan.
  • Memiliki keterampilan komunikasi yang baik, kepribadian yang baik dan sikap positif.

 

 

 

Untuk mendaftar:

Pelamar dengan pengalaman yang relevan dan kualifikasi yang sesuai harus mengirim surat lamaran beserta CV melalui email ke [email protected] dengan subjek email: Pelaksana Program.

Hanya kandidat terpilih yang akan dihubungi.

 

Batas waktu aplikasi adalah Rabu, 10 Juli 2019.

DOA UNTUK SULTENG

Duka mereka adalah duka kita. Sedih mereka adalah air mata kita. Karena kita saudara sebangsa, sesama manusia Indonesia.
TuK INDONESIA mengucapkan belasungkawa yang mendalam untuk para korban bencana gempa dan tsunami di Donggala dan Palu.
Mari kuatkan solidaritas untuk saudara-saudara kita di sana.

Dana 'Panas' Sawit Maybank Rp34 T Rusak Hutan Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia — Maybank, bank raksasa asal Malaysia, menyalurkan sekitar sedikitnya Rp34 triliun kepada perusahaan sawit yang diduga terlibat dalam perusakan hutan Indonesia sepanjang 2010-2016.
Riset terbaru berjudul Maybank: The Single Largest Palm Oil Financier menemukan bank yang dikendalikan Malayan Banking Berhad itu menjadi lembaga keuangan terbesar dunia dalam pendanaan sawit, melalui pinjaman dan penjaminan.
Laporan itu diluncurkan oleh Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo.
Pembiayaan sawit terbesar sendiri dilakukan di kawasan Asia Tenggara, yakni mencapai 50 persen lebih di antaranya tersebar di Malaysia dan Indonesia.
Laporan itu menyatakan enam perusahaan sawit yang menjadi klien terbesar Maybank, diduga bermasalah dengan operasi bisnisnya di Indonesia. Di antaranya terkait dengan aksi deforestasi, kebakaran hutan, perampasan tanah hingga konflik dengan masyarakat lokal.
Sepanjang 2010-2016, Maybank mengucurkan total dana melalui utang maupun penjaminan kepada 24 perusahaan sawit, termasuk yang beroperasi di Indonesia dan Malaysia. Nilai total dari kedua layanan itu mencapai US$3,88 miliar atau sekitar Rp34 triliun dengan kurs Rp9.000 pada 2010. Pinjaman pada periode itu mencapai US$1,66 miliar dan US$2,21 miliar untuk penjaminan.
Wakil Direktur TuK Indonesia Edi Sutrisno menuturkan sedikitnya enam perusahaan sawit yang menjadi klien terbesar Maybank saat ini. Ini terdiri dari Sime Darby, Felda, Batu Kawan Group, Triputra, Genting dan Salim Group.
“Klien terbesar Maybank diduga terlibat dengan konflik berkaitan dengan deforestasi, kebakaran dalam konsesi mereka, dan konflik dengan warga lokal,” kata Edi dalam peluncuran laporan tersebut, Rabu (28/2).
Dia menuturkan pengembangan kebun sawit di Indonesia diduga telah menghancurkan keanekaragaman hayati. Tak hanya itu, kata Edi, namun juga berimbas pada hilangnya lahan masyarakat adat.
Riset Tuk Indonesia dan Profundo menemukan pendanaan baik utang maupun penjaminan Maybank untuk enam klien terbesarnya sepanjang 2010–2016 adalah Sime Derby (US$580 juta); Felda Group (US$513 juta); dan Batu Kawan Group (US$384 juta).
Lainnya adalah Genting Group (US$205 juta) Triputra Group (US$192 juta) dan Salim Group (US$109 juta).
Laporan itu menemukan klien terbesar Maybank memiliki persoalan di lapangan yang tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan, Papua serta Papua Barat.
“Hal ini dapat menyebabkan Maybank mendapatkan dampak risiko pada reputasi dan pembiayaannya,” kata dia.
Metode penelitian yang dipakai dalam laporan itu adalah mengidentifikasi pelbagai perusahaan sawit di Asia Tenggara dengan sejumlah layanan data finansial. Di antaranya adalah Thomson EIKON, Bloomberg, IJGlobal, TradeFinanceAnalytics hingga laporan publik perusahaan.

Fokus pada Keberlanjutan

CEO Maybank Datuk Abdul Farid Alias dalam pernyataan resminya menyatakan pihaknya akan memfokuskan pada persoalan keberlanjutan, terutama berkaitan pada pembiayaan yang bertanggung jawab.
Hal itu berkaitan dengan Environmental, Sustainability and Governance (ESG)-standar yang digunakan investor berkaitan dengan penilaian perfoma perusahaan tertentu.
Salah satunya adalah membuat bisnis perusahaan yang berdampak pada jejak karbon rendah
Farid juga menuturkan upaya yang dilakukan oleh Maybank itu berkaitan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) oleh PBB. SDGs merupakan standar global untuk upaya pembangunan berkelanjutan.
“Kami akan lebih mengeksplorasi cara-cara yang lebih efektif untuk menggabungkan SDGs terkoneksi langsung dengan bisnis kami,” kata dia dalam Sustainability Report 2016.
Dia menegaskan keberlanjutan dalam bisnis juga berarti menyeimbangkan antara kebutuhan klien, pemegang saham dan pemangku kepentingan.

Panduan OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Panduan Pembiayaan Kelapa Sawit Berkelanjutanmenyatakan Lembaga Jasa Keuangan harus memahami masalah skema rantai pasok kelapa sawit yang kompleks.
Hal itu bertujuan agar pembiayaan dan produk jasa keuangan yang dikeluarkan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
OJK menyatakan secara umum dampak yang ditimbulkan dari praktik perkebunan sawit adalah konflik sosial, ekologis, iklim, hingga air bersih. Otoritas itu menyatakan konversi hutan oleh perusahaan perkebunan berkontribusi pada perubahan iklim.
OJK menyatakan konversi hutan gambut tropis sebagai penyerap karbon lebih sangat merusak upaya mitigasi iklim.
“Selain itu, pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan menjadi sumber utama asap di Asia Tenggara, yang mengancam kesehatan secara serius,” demikian keterangan otoritas tersebut.
OJK menyarankan bank dapat mendorong kliennya untuk menerapkan sertifikasi sawit berkelanjutan macam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Di sisi lain, bank juga dapat melihat apakah klien mereka memiliki kebijakan soal lingkungan, sosial dan tata kelola sebelum memberikan pinjaman.
Sumber Berita: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180228090606-78-279330/dana-panas-sawit-maybank-rp34-t-rusak-hutan-indonesia

Belajar dari Dua Pakar Keuangan Berkelanjutan Global

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Dalam kurun waktu hanya sekitar satu bulan, dua pakar keuangan berkelanjutan global datang ke Indonesia.  Keduanya punya beragam urusan, namun sama-sama bersedia meluangkan waktu untuk berbagi pemikiran dengan publik di Indonesia.  Yang pertama, Myriam Vander Stichele dari SOMO (Center for Research on Multinational Corporation), yang memberikan kuliah di Universitas Trisakti pada tanggal 5 Agustus 2017. Yang kedua, Jan Willem van Gelder dari Profundo, yang mempresentasikan gagasannya di Mercantile Club pada 7 September 2017.
Apa yang bisa kita pelajari dari kedua pakar tersebut?  Sangat banyak, tentu saja.  Namun, untuk kepentingan keringkasan dari artikel ini, maka hanya pelajaran-pelajaran yang terpenting saja yang akan disampaikan di sini.  Pertama-tama, dengan meringkas isi materi yang mereka sampaikan masing-masing.  Kedua, dengan menunjukkan kesimpulan paling penting yang bisa kita ambil dari keduanya.
Myriam dan Praktik Keuangan Berkelanjutan
Presentasi Myriam diberi judul Sustainable Finance: What It Means in Practice (for Accountants).  Dalam pembukaannya, dinyatakan bahwa tujuan presentasi ini untuk mendiskusikan tiga hal.  Pertama, apa nilai penting dari keuangan berkelanjutan terhadap profesi akuntan dan ekonomi secara keseluruhan.  Kedua, bagaimana peran yang dimainkan oleh berbagai lembaga jasa keuangan terhadap pembangunan berkelanjutan—termasuk dan terutama SDGs dan Kesepakatan Paris.  Ketiga, apa saja alternatif solusi yang tersedia dari keuangan berkelanjutan.
Hingga sekarang, laporan perusahaan yang dianggap paling penting adalah laporan keuangan tahunannya.  Isinya adalah pernyataan keuntungan serta strategi bagaimana keuntungan itu diperoleh.  Sayangnya, laporan itu tidak berisikan bagaimana keuntungan itu dalam praktiknya benar-benar didapat.  Demikian juga, tak ada laporan tentang dampak yang komprehensif atas praktik perusahaan dalam mendapatkan keuntungannya itu.  Lantaran dibatasi periode pelaporan setahun, maka apa yang terjadi dalam jangka yang lebih panjang juga tak dilaporkan secara memadai.  Padahal, dampak jangka panjang inilah yang akan memengaruhi kondisi—termasuk profitabilitas—perusahaan dan ekonomi secara umum.
Karenanya, perusahaan—termasuk para akuntan yang berada di dalamnya—sangat perlu untuk menyadari bahwa laporan keberlanjutan adalah norma baru yang penting.  Perusahaan-perusahaan global sudah mengadopsi bentuk pelaporan ini.  Governance and Accountability Institute melakukan pelacakan dan menemukan perkembangan yang sangat cepat.  Apabila pada tahun 2011 baru 20% dari perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam S&P 500 yang memiliki laporan tersebut, pada awal 2016 proporsinya sudah mencapai 81%.  Dan, yang terpenting untuk disadari, adalah isinya yang komprehensif, yaitu isu-isu tata kelola, ekonomi, sosial, dan lingkungan terkait perusahaan—bukan kegiatan karitatif.
Tantangan bagi perusahaan jasa keuangan adalah ragam dari jasa keuangan terasuk transaksi derivatif.  Ini berarti memerlukan pemahaman atas dampak apa saja dari jasa keuangan yang mereka berikan.  Lebih jauh lagi, kalau di masa depan kita harus menggeser ke arah ekonomi yang rendah (atau bahkan tanpa) karbon, maka perlu diketahui pula berapa jumlah pembiayaan yang dibutuhkan dan oleh siapa.  Di level global kini diperkirakan bahwa transisi itu membutuhkan USD90 triliun dalam 15 tahun, tetapi berapa nilainya di Indonesia belumlah diketahui secara tepat.  Di level global juga sudah diketahui bahwa sekitar 10% pinjaman bank sekarang ditujukan untuk mendukung projek-projek yang ramah lingkungan, sementara obligasi yang demikian hanya sekitar 1% saja.  Di Indonesia, kita belum mengetahuinya.
Bagi lembaga jasa keuangan, isu-isu keberlanjutan—seperti perubahan iklim, polusi, kemiskinan dan HAM—sesungguhnya sangat relevan.  Namun, belum banyak yang menyadarinya.  Dari sudut pandang risiko saja, sangat jelas bahwa membiayai kredit perumahan yang nilainya turun lantaran ternyata daerahnya kerap dikunjungi angin topan, membiayai operasi migas yang mengalami masalah aset terdampar (stranded assets), membiayai kegiatan pertanian yang menghadapi bencana kekeringan dan banjir, atau membiayai perkebunan yang tanahnya bersengketa dengan masyarakat, seluruhnya memiliki risiko tinggi.  Sudah seharusnya para analis kredit memahami isu-isu seperti itu dalam mengambil keputusan pembiayaan.
Soal stranded assets ini menjadi perhatian Myriam dengan sungguh-sungguh.  Dengan mengambil contoh industri kelapa sawit dengan berbagai konteksnya, stranded assets—yang didefinisikan  sebagai segala jenis properti berharga milik perusahaan yang mengalami penurunan nilai dalam waktu yang relatif cepat—memang sangat penting.  Kebun yang sudah dikembangkan perusahaan, bila kemudian terbukti adalah milik pihak lain bisa tiba-tiba tidak berharga.  Bila perusahaan tidak mengelola hubungan sosial dengan memadai, dan masyarakat menghentikan operasi perusahaan, aset kemudian menjadi sulit dimanfaatkan.  Bila perusahaan terlibat dalam kebakaran hutan, dan mendapatkan hukuman dari pemerintah, maka nilainya juga bisa turun.  Bahkan, lantaran perusahaan dianggap merusak hutan dan bertanggung jawab pada perubahan iklim, bisa jadi konsumen—terutama di Eropa dan AS—memutuskan kontrak pembelian dan perusahaan menjadi sasaran kampanye negatif.  Itu semua bisa menurunkan nilai (properti) perusahaan dalam waktu yang sangat cepat.
Myriam mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti yang telah disebutkan sesungguhnya bisa dicegah dari hulu, apabila lembaga-lembaga jasa keuangan mau mengadopsi keuangan berkelanjutan.  Apa yang menjadi karakteristik keuangan berkelanjutan ada 4, yaitu: menghormati standar nasional dan internasional terkait isu-isu keberlanjutan; melindungi lingkungan dan mencegah perubahan iklim; mencegah dampak negatif jangka panjang atas keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan transparen dalam apa saja dan bagaimana projek dibiayai.  Terkadang, keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai implementasi kebijakan lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, disingkat ESG).  Masalahnya, memang apa yang masuk ke dalam masing-masing aspek itu belum secara tegas diregulasi.
Myriam kemudian mengajukan sebuah definisi progresif atas keuangan berkelanjutan, yaitu: “…contribute in transparent way to improving social and environmental aspects in short and long term, pro-actively aim to achieve the SDGs and the Paris Agreement, implement ESG issues throughout their value chain, and avoid financial instability.”  Menariknya, ia juga melihat bahwa keuangan Islam—atau keuangan syariah—yang relatif popular di Indonesia bisa menjadi dasar bagi keuangan berkelanjutan yang progresif itu, apabila memasukkan kebijakan terkait dukungan terhadap SDGs, misalnya terkait pengentasan orang miskin dan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan.
Lalu, bagaimana caranya memastikan bahwa transisi menuju keuangan berkelanjutan itu terjadi?  Menurut Myriam, ada 4 hal terpenting untuk itu.  Pertama adalah regulasi keuangan yang memasukkan unsur-unsur ESG yang jelas.  Kedua, pembiayaan yang menghindari berbagai dampak negatif, mendukung projek-projek berkelanjutan, dan pada akhirnya menunju kepada pembentukan bank-bank berkelanjutan.  Ketiga, analisis risiko dan penilaian dampak yang kokoh, termasuk oleh lembaga pemeringkatan kredit, uji tuntas oleh pemberi pinjaman, sertifikasi keberlanjutan, serta informasi dari komunitas dan LSM.  Dan terakhir, transparensi informasi maksimum oleh perusahaan jasa keuangan atas dampak keberlanjutan yang benar-benar dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan.
Dalam hal tersebut, Myriam menekankan bahwa LSM memang sudah aktif dalam memberikan masukan dan tekanannya, kumpulan perusahaan sendiri sudah bergerak untuk membuat standar-standar sukarela seperti RSPO di industri kelapa sawit, namun itu tidak memadai tanpa regulasi yang kokoh dan pemerintah.  Yang belakangan inilah yang dinilai Myriam paling terbelakang, sehingga perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.  Masih terlampau sedikit negara yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan, termasuk di Eropa.  Regulasi pendukungnya, seperti insentif fiskal dan indikasi jumlah uang yang dibutuhkan untuk mencapai SDGs dan Kesepakatan Paris, juga belum jelas.
Jan Willem dan Tantangan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia
Jan Willem memulai presentasinya dengan menunjukkan tiga grafik yang menunjukkan tantangan keberlanjutan.  Pertama, grafik yang menunjukkan bahwa populasi global yang kini telah melampaui 7 miliar orang diperkirakan akan mencapai 9 miliar di tahun 2050.  Pada saat yang sama, kebutuhan pangan masing-masing orang cenderung meningkat.  Kalau pada dekade 1960an setiap orang mengkonsumsi sekitar 2.000 kalori/hari, pada tahun 2030 saja diperkirakan akan semakin dengan dengan 3.000 kalori/hari.  Demikian juga dengan kebutuhan energi global yang bila pada tahun 2015 lalu belum mencapai 600 exajoules, pada 2035 kelak diperkirakan mencapai hampir 800 exajoules.  Dengan peningkatan yang seperti itu, Jan Willem mengingatkan: kita hanya punya satu Bumi, dan kita sekarang sudah memanfaatkan sumberdaya yang melampaui 1,5 kali lipat daya dukungnya.
Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah tujuan, target, dan cara yang disepakati oleh 193 negara—termasuk Indonesia—untuk menjawab tantangan itu.  Sehingga, keuangan berkelanjutan sangatlah terkait dengan SDGs, yaitu sistem keuangan yang diarahkan untuk mencapai SDGs dan tujuan lain yang terkait, seperti Kesepakatan Paris.  Menurut Jan Willem, ada tiga cara mencapainya, yaitu, (1) melalui pembiayaan inovasi produk yang memenuhi beragam kebutuhan global di bidang pangan, energi, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, (2) melalui pembiayaan yang menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara hati-hati dan efisien, dan (3) melalui pembiayaan yang berperspektif keadilan sosial, yang memastikan bahwa setiap orang bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
Kebijakan-kebijakan keuangan berkelanjutan pun diperlukan untuk memastikan ketiganya bisa terlaksana.  Hingga sekarang, dikenal dua jenis kebijakan, yaitu yang dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan, terutama bank, sendiri; serta yang dikembangkan secara kolektif.  Yang disebut belakangan ini contohnya adalah UNEP Finance Initiative, Equator Principles, dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises.  Kebijakan-kebijakan yang dibuat secara kolektif kemudian juga banyak diadopsi dan diadaptasi oleh perusahaan keuangan.
Indonesia sendiri, dalam pandangan Jan Willem, memiliki sejumlah tantangan yang menurutnya membuat keuangan berkelanjutan menjadi mendesak untuk diberlakukan.  Mengutip survei yang dilakukan oleh OECD pada Oktober 2016, masih ada 28 juta warga Indonesia yang masuk kategori miskin, sementara kesenjangan kaya-miskin di sini adalah salah satu yang paling lebar di dunia.  Anggaran pembangunan oleh pemerintah, dan pemasukan dari pajak, juga masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk tetangga terdekat.  Korupsi masih tinggi, dan menghambat pertumbuhan serta kesejahteraan.  Kondisi lingkungan dan kesehatan yang buruk juga menjadi tantangan tersendiri untuk keberlanjutan dan dalam mewujudkan inklusi pembangunan.
Dalam kondisi yang penuh tantangan seperti itu, bank-bank yang ada di Indonesia—sebagai bagian penting dari lembaga jasa keuangan—sendiri masih jauh dari praktik atau bahkan ide keuangan berkelanjutan.  Mengutip penelitian mutakhir Responsibank, Jan Willem menunjukkan bahwa bank lokal yang skor kebijakannya terbaik adalah Danamon, yang hanya mendapatkan 16,35 dari 100.  BNI yang mendapatkan tempat kedua terbaik—dan satu-satunya bank dari Indonesia yang menjadi anggota UNEP FI—malahan hanya mendapatkan skor 9,89.  CIMB Niaga, yang terendah dalam penelitian tersebut, memiliki skor 3,46.
Jan Willem kemudian menunjukkan sisi yang lain mengapa keuangan berkelanjutan itu penting, yaitu melalui industri kelapa sawit.  Secara ‘teori’, industri ini sangatlah menjanjikan bagi Indonesia.  Perkebunan kelapa sawit bisa memanfaatkan kekayaan lahan yang dimiliki Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.  Pendapatan dari kelapa sawit bisa diperoleh dari ekspor ke berbagai negara, pajak yang dibayarkan, selain pendapatan lainnya.  Peluang ketenagakerjaan yang timbul juga tidak sedikit, dan tentu saja peluang kerjasama produksi antara perkebunan inti dan plasmanya.  Indonesia yang kini menguasai setidaknya 47% produksi minyak sawit dunia bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Sayangnya, sisi baik dari industri ini juga disertai berbagai ekses yang membuat ‘teori’ itu tak seindah realitasnya.  Dari sisi lingkungan, deforestasi dalam 15 tahun sangat banyak yang terkait dengan pembukaan kebun kelapa sawit, demikian juga dengan kebakaran hutan.  Hilangnya keanekaragaman hayati, hutan dengan carbon stock yang tinggi, termasuk lahan-lahan gambut juga terkait dengan ekspansi kelapa sawit.  Di sisi sosial, konflik lahan dengan masyarakat, pelanggaran hak-hak tenaga kerja, serta ketimpangan hubungan dengan petani kecil telah banyak didokumentasi.  Persoalan tata kelola juga sangat jelas, terutama terkait dengan penghindaran pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan kelapa sawit, juga korupsi.
Di sinilah peran penting keuangan berkelanjutan.  Bagaimanapun, industri kelapa sawit—dan industri apapun—membutuhkan pembiayaan.  Sehingga, apabila para pembiaya itu bisa memersyaratkan aspek-aspek ESG itu secara merata, mencipatkan level playing field dalam keberlanjutan, tentu pengaruhnya akan sangat besar.  Apa yang perlu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, menurut Jan Willem, adalah memahami isu-isunya secara komprehensif, mengembangkan visi yang jelas untuk keberlanjutan setiap sektor yang dibiayai, membuat berbagai kebijakan dengan standar yang jelas, melatih staf untuk menegakkan kebijakan yang dibuat, menapis proposal pembiayaan dari klien dengan kebijakan yang baru, melakukan pemantauan terhadap kinerja keberlanjutan klien, merundingkan tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan oleh klien, serta membuat mekanisme penyelesaian keberatan.
Dalam hal ini, Jan Willem menyatakan bahwa HSBC—yang merupakan tuan rumah dalam diskusi tersebut—berada di jalur yang tepat.  HSBC, dalam penilaian Responsibank, adalah bank dengan skor kebijakan kehutanan tertinggi, yaitu 56,25 dalam skala 100.  Selain karena sudah lama memiliki sejumlah kebijakan keberlanjutan, sebagai anggota RSPO yang baru saja memerbarui kebijakan untuk industri kelapa sawitnya, HSBC mendapatkan skor yang jauh di atas bank-bank Indonesia.  Tetapi, tentu saja skor tersebut masih bisa ditingkatkan lebih jauh.  Masalahnya, kompetisi yang belum adil dengan bank-bank lainnya di kawasan Asia Tenggara mungkin membuat HSBC ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.
Tetapi, HSBC jelas memiliki kepasitas untuk menjadi lebih baik lagi.  Jan Willem menunjukkan setidaknya dua jalur pengaruh yang sangat kuat bisa dimainkan oleh HSBC.  Pertama, dalam pembiayaan industri kelapa sawit, antara 2010-2017 berpartisipasi dalam 102 sindikasi pembiayaan, dengan total USD2,9 miliar.  Kedua, HSBC sendiri juga meminjamkan uang kepada bank-bank lainnya di kawasan ini, termasuk melalui loan sebesar USD4,4 miliar, serta underwriting sebanyak USD9,7 miliar (termasuk obligasi yang bernilai USD4,5 miliar).  Dengan kekuatan kapital seperti itu, jelas HSBC punya pengaruh besar yang bisa dimanfaatkannya untuk mendorong keuangan berkelanjutan.
Jan Willem kemudian menjelaskan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan membuat Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan dan POJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan sangatlah tepat.  Langkah selanjutnya yang dipandang sangat krusial adalah mewajibkan pelaporan berkelanjutan yang memanfaatkan standar dari Global Reporting Initiative (GRI), memastikan adanya mekanisme penyelesaian keberatan terhadap pembiayaan, serta membuat regulasi tanggung jawab bersama dalam kinerja sosial dan lingkungan antara klien dengan pembiayanya.  Khusus terkait industri kelapa sawit, OJK bisa memastikan eksklusi deforestasi, high conservation value (HCV), dan gambut; menerapkan free, prior and informed consent terhadap masyarakat adat dan lokal; mengadopsi standar ILO tentang ketenagakerjaan dan UN Guiding Principles on Business and Human Rights; dan mengidentifikasi serta mencegah korupsi dan penghindaran pajak.
Harapan juga disematkan Jan Willem kepada LSM seperti TuK Indonesia yang menjadi salah satu penyelenggara diskusi. Pertama, agar semakin giat mendampingi masyarakat yang mengalami konflik, dan berusaha menuntaskan kasus-kasus itu.  Kedua, mendukung lembaga jasa keuangan dalam mengadopsi berbagai kebijakan yang relevan untuk keberlanjutan, serta mendorong pemanfaatan kekuatan lembaga jasa keuangan dalam menyelesaikan konflik.  Terakhir, memberikan data yang relevan kepada lembaga jasa keuangan supaya mereka bisa mengambil keputusan pembiayaan dengan tepat, juga dalam melakukan pemantauan.
Pesan-pesan Terpenting
Jelas, kedua pakar tersebut menyatakan bahwa keuangan berkelanjutan ini bukanlah tantangan yang mudah diselesaikan oleh Indonesia atau negara manapun.  Menyeimbangkan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang adalah keniscayaan, dan karena selama ini fokusnya kebanyakan hanya di jangka pendek, maka cakrawala waktu perlu ditarik jauh ke depan.  Ini bukanlah pekerjaan yang ringan.  Keniscayaan yang lain untuk hal itu adalah kerjasama erat antar-pemangku kepentingan keuangan berkelanjutan, bukan saja dengan pemangku kepentingan di dalam negeri, melainkan juga di tingkat regional dan global—mengingat asal kapital yang diinvestasikan di Indonesia adalah juga dari negeri-negeri lain.
Berbagi data adalah hal yang sangat ditekankan oleh Myriam dan Jan Willem.  Keduanya menyatakan bahwa baik untuk keperluan uji tuntas sebelum keputusan pembiayaan itu diambil, maupun untuk keperluan pemantauan, data yang sahih adalah esensial.  Data yang sahih juga yang bisa berperan penting dalam menyelesaikan berbagai konflik; sementara minimnya konflik adalah prasyarat agar operasi bisa berjalan lancar dan manfaat bagi seluruh pihak bisa dirasakan.
Konflik juga merupakan sumber dari permasalahan aset terdampar yang bakal membuat perusahaan dan lembaga jasa keuangan yang membiayainya terpapar pada risiko finansial.  Sehingga, penyelesaian konflik dengan cara-cara yang adil dan menjamin kedamaian yang hakiki sesungguhnya merupakan kepentingan seluruh pihak.  Kedua pakar menekankan bahwa Indonesia perlu memastikan bahwa kebun atau aset berharga perusahaan-perusahaan sektor apapun tidak menjadi terdampar dan muspra.  Oleh karenanya, isu ini perlu benar-benar dipahami untuk dihindari.
Terakhir, sangat jelas bahwa Myriam dan Jan Willem menempatkan SDGs dan Kesepakatan Paris sebagai aspirasi yang tepat untuk memandu keberlanjutan seluruh sektor, tak terkecuali sektor keuangan.  Jelas, keduanya itu tidaklah mudah dicapai, dan interpretasinya yang tepat secara lokal dan oleh masing-masing sektor juga masih perlu dibuat.  Jelas, bukan tugas yang mudah.  Tetapi, seperti kalimat terakhir yang dinyatakan oleh Jan Willem dalam presentasinya, “A long road to go, but there’s no alternative,” jalan itulah satu-satunya yang perlu ditempuh agar Indonesia menjadi lebih baik.

Nasihat bagi pemodal atas akuisisi perusahaan pulp Eldorado Brasil

Investor wajib meminta pembeli Eldorado Brasil,  untuk berkomitmen dalam menerapkan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang ketat, sehingga akan memperbaiki kinerja sosial, lingkungan dan tata kelola Eldorado. Bila tidak, maka akan pemodal akan terpapar kepada risiko keuangan dan risiko kerusakan reputasi.
Kinerja Eldorado pada isu-isu Sosial, Lingkungan dan Tata Kelola belum menjadi sesuatu yang patut dicontoh. Perusahaan yang memiliki pabrik pulp satu lini terbesar di dunia (1.7 juta ton per tahun), telah terlibat di dalam skandal korupsi dan karena ukurannya yang besar dan rencana ekspansinya (lini produksi ke dua [note] http://www.eldoradobrasil.com.br/Institucional/Quem-Somos/vanguarda20 [/note] yang berkapasitas 2.5 juta ton per tahun), Eldorado memiliki risiko besar untuk terlibat di dalam konflik sosial dan lingkungan hidup.
Menurut laporan media yang baru keluar[note]  http://www.valor.com.br/international/news/5078116/asia-pulp-paper-poised-buy-eldorado-brasil; http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app; http://www.valor.com.br/empresas/5096624/app-oferece-r-15-bi-pela-eldorado https://www.reuters.com/article/us-global-oil-idUSKCN1BB01Z[/note] , J&F tengah bernegosiasi dengan APP dan China Paper. Penawar lainnya yang dilaporkan adalah Arauco, Fibria dan APRIL. Perusahaan-perusahaan ini memiliki tingkat komitmen terhadap kebijakan berkelanjutan yang berbeda-beda, di mana beberapa diantaranya terkenal sangat buruk. Investor dengan demikian disarankan untuk mengevaluasi kapasitas pembeli potensial untuk memperbaiki rekam jejak Eldorado, supaya terhindar dari risiko ESG (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola). Panduan mengenai kriteria minimum absolut bagi pemodal dapat ditemukan di dalam dokumen Green Paper, Red Lines dan pada situs web Forests & Finance.
1.  Sebuah analisis rekam jejak ESG dari para Pembeli Potensial
1.1  APP
Asia Pulp and Paper (APP), anak perusahaan dari konglomerat Indonesia, Sinar Mas Group adalah salah satu dari perusahaan pulp & kertas terbesar di dunia yang terintegrasi secara penuh dan berkontribusi lebih dari setengah kapasitas total pulp Indonesia. APP dilaporkan memberikan penawaran sekitar USD 4.8 miliar (BRL 15 miliar)[note] http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app [/note] untuk Eldorado Brasil. [note] RAN 2017, Every investor has a responsibility (Setiap Investor memiliki sebuah tanggung jawab). Available at: https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/1497 287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352 [/note] http://www.scmp.com/business/companies/article/1780979/us14b-default-forgotten-indonesia-billionaire- widjaja-sells-debt [/note]
APP gagal memenuhi kewajiban finansialnya sebesar USD 14 miliar [note]  pada tahun 2001. APP juga terlibat di dalam kasus korupsi besar yang melibatkan penerbitan izin tanah yang ilegal di Riau, sebuah kasus yang membuat Gubernur Riau dipenjara selama 15 tahun [note] http://wwf.panda.org/wwf_news/?159162/APPs-forest-clearing-linked-to-12-years-of-human-and-tiger- deaths-in-Sumatra [/note]. Pabrik pulp dan kertas APP di Indonesia telah mendorong deforestasi besar-besaran [note]https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/ 1497287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352[/note], pengeringan lahan gambut, dan konflik sosial di 38 konsesi pemasoknya yang mencakup 2.6 juta hektar, dan ratusan ribu konsesi APP terbakar di dalam kebakaran besar yang terjadi pada tahun 2015. APP dikeluarkan dari FSC pada tahun 2007 [note]https://ic.fsc.org/en/what-is-fsc/what-we-do/dispute-resolution/current-cases/asia-pulp-and-paper-app[/note]. APP mengadopsi Kebijakan Konservasi Hutan di tahun 2013, namun pejabat Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia baru-baru ini mengatakan “Kebijakan Konservasi Hutan APP jelas hanyalah sebuah jargon [note]http://www.foresthints.news/app-business-transformation-not-substantial-monitoring-finds[/note]”,  setelah Kementerian sekali lagi menemukan kalau APP menanam ulang akasia di dalam lahan gambut yang dilindungi, yang adalah ilegal dan bertentangan dengan Kebijakan APP.
Sebuah  evaluasi independen di tahun 2014-15 menemukan ratusan sengketa kepemilikan lahan masyarakat [note]http://www.rainforest-alliance.org/sites/default/files/uploads/4/150205-Rainforest-Alliance-APP- Evaluation-Report-en.pdf[/note] dan konflik sosial di sepanjang konsesi pemasok APP. Sebagian besar konflik ini masih belum diselesaikan[note]https://www.asiapulppaper.com/system/files/170313_fcp_progress_updates_-_march2017v2_0.pdf[/note] hingga tahun 2017, bertentangan dengan Kebijakan Konservasi Hutan 2013 milik mereka[note]https://www.asiapulppaper.com/sustainability/vision-2020/forest-conservation-policy[/note].
BTG Pactual, bank investasi terbesar di Amerika Latin, dilaporkan memberikan nasihat kepada APP terkait dengan kesepakatan potensial ini. Karena BTG Pactual tidak memiliki kebijakan sektor yang kuat[note]http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/[/note] mengenai investasi di sektor kehutanan, kami mendesak BTG Pactual untuk menerapkan uji tuntas (due diligence) ekstra untuk menghindarinya terpapar risiko kerusakan reputasi dan risiko ESG (lingkungan, sosial dan tata kelola). Peringatan yang serupa juga diterapkan kepada pemodal besar APP (lihat Forests&Finance.org), yang mana kemungkinan juga terlibat di dalam akuisisi Eldorado, dan tidak memiliki kebijakan yang kuat.
1.2  Korporasi Kertas China[note]Jangan bingung dengan China Paper Holdings karena apa yang telah dilakukan oleh banyak media. China Paper Holdings adalah sebuah perusahaan induk yang didirikan di Bermuda. Sebelumnya dijual pada Bursa Saham Singapura. Namun demikian, setelah api pada operasinya di China, rekaman keuangannya kemudian hilang. Dengan demikian tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada bursa saham, dan kemudian ditangguhkan. Satu-satunya anak perusahaan dengan aktivitas usaha apapun adalah anak perusahaannya di China. Anak perusahaan ini sekarang juga ditangguhkan di China. Holding company ini nampaknya masih beroperasi, walaupun tidak jelas dimana lokasi operasi-operasinya..[/note]
Perusahaan China ini dilaporkan memberikan penawaran sebesar USD 5.06 miliar (BRL 16 miliar) untuk 100 % saham Eldorado Brasil[note]https://www.reuters.com/article/us-eldorado-m-a-china-paper-idUSKCN1B31P0[/note]. Perusahaan tersebut adalah perusahaan induk investasi yang terlibat di dalam manufaktur dan distribusi kertas dan produk kimia kertas[note]https://www.bloomberg.com/research/stocks/private/snapshot.asp?privcapId=10945484[/note].  Namun di atas perusahaan tersebut terdapat perusahaan yang memilikinya -– China Chengtong – yang dimiliki langsung oleh Komisi Administrasi dan Pengawas Aset Dewan Provinsi (SASAC)[note]Qi Xin Bao (2017, August), China Chengtong, p. 1.[/note] yang merupakan komisi milik negara
Korporasi Kertas China memiliki 3 anak perusahaan yang terdaftar: Foshan Huaxin Packaging, Guangdong Guanhao High-Tech dan Yueyang Paper. Ketiga perusahaan tersebut terdaftar di Bursa Saham China[note]http://www.zwt.com.cn/contents/2/1.html[/note]. Korporasi Kertas China baru-baru  ini mencapai sebuah kesepakatan di awal tahun ini dengan Grup Produk Hutan milik Rusia yang akan berinvestasi sebanyak USD 1 miliar untuk membangun pabrik pulp dengan kapasitas 700,000 ton per tahun di Rusia[note]China Pulp & Paper (2017, January 12), “Investments exceed US$ 1 billion, China Paper plans to build 700,000 ton per annum capacity pulp mill in Russia”, online: http://www.chinapulp.cn/news/201701/12/zx11426.html, viewed in August 2017[/note].
Korporasi Kertas China, terlibat di banyak kasus pelanggaran kontrak dengan pemasok di China[note]20     Qi Xin Bao (2017, August), China Paper Investment – Risks, p. 1.[/note]
1.3  Fibria
Fibria telah dilaporkan juga memberikan penawaran untuk 21 Perusahaan ini sudah memiliki sebuah pabrik dengan kapasitas 1.2 juta ton per tahun di Três Lagoas dan dalam waktu dekat akan membuka lini pabrik ke dua. Fibria dapat melakukan penghematan biaya yang signifikan dari sebuah akuisisi namun Fibria dapat menghadapi pemeriksaan melekat antitrust yang ketat di Brasil[note]https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN[/note]
Fibria adalah penghasil pulp eucalyptus terbesar di dunia. Pabriknya di Bahira dan Espírito Santo telah terlibat di dalam beberapa konflik sosial yang sudah berlangsung lama, melibatkan masyarakat adat, gerakan pekerja tanpa lahan dan masyarakat keturunan Afrika[note]http://awsassets.panda.org/downloads/brazilpulppapercasestudy_pdf.pdf;[/note]. Di pabriknya yang berada di Três Lagoas, perusahaan ini dituduh oleh para pegawainya, mengenai keanehan tenaga kerja yang serius[note]http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/brazil-rising-profits-do-not-prevent-layoffs- fibria-celulosa-in-mato-grosso-do-sul/[/note]
Fibria memang memiliki FSC untuk sebagian besar perkebunannya, namun telah dituduh sebagai kontributor utama atas masalah desertifikasi di Espírito Santo[note]https://news.mongabay.com/2017/03/pressure-over-water-in-brazil-puts-pulp-industry-in-the- spotlight/?n3wsletter&utm_source=Mongabay+Newsletter&utm_campaign=70c741f76a- newsletter_2017_03_02&utm_medium=email&utm_term=0_940652e1f4-70c741f76a-67232023[/note]
1.4  COPEC
Copec, yang memiliki perusahaan pulp Chile, Arauco, merupakan penghasil pulp terbesar di dunia. Copec mendapatkan kesepakatan dengan Eldorado untuk melakukan pembicaraan eksklusif mengenai pengambil alihan ini, namun waktu untuk pembicaraan seperti ini telah  berakhir di awal Agustus, tanpa menghasilkan kesepakatan apapun[note]https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN[/note]
Arauco, sebagai perusahaan perkebunan milik Chile lainnya, terlibat di dalam sengketa lahan Chile dengan masyarakat adat[note]http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/[/note]. Arauco juga dihubungkan dengan kelangkaan air, yang disebabkan oleh konsumsi air dalam jumlah besar oleh perkebunan-perkebunannya[note]http://resumen.cl/2015/05/agua-para-quien-escasez-hidrica-y-plantaciones-forestales-en-la-provincia-de- arauco-un-informe-develador-y-por-eso-indignante/[/note], dan dihubungkan dengan kebakaran besar yang mengamuk melewati Chile awal tahun ini. Arauco memiliki sertifikasi FSC, namun hal ini telah dikritisi oleh beberapa organisasi masyarakat sipil[note]tp://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/[/note]
Pada tahun 2004, sebuah tumpahan di pabriknya di Valdivia menyebabkan ribuan angsa leher hitam di suaka marga satwa Rio Cruces mati, sebuah situs Ramsar yang dilindungi secara internasional[note]/wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/uruguay-the-ence-arauco-and-stora-ensos- eucalyptus-and-pulp-fairytales/[/note]. Rencana untuk membangun sebuah pipa untuk membuang limbah langsung ke laut telah mengundang protes besar-besaran oleh masyarakat lokal[note]http://www.noalducto.com/[/note]
1.5  APRIL
APRIL, dimiliki oleh Grup RGE milik Indonesia, merupakan perusahaan pulp dan kertas terbesar ke dua di Indonesia. April dilaporkan[note]http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app[/note] memberikan penawaran terhadap Eldorado Brasil.
APRIL memiliki rekam jejak deforestasi yang besar, pengeringan dan pengrusakan lahan gambut dan konflik sosial terkait lahan. Perusahaan ini dikeluarkan dari FSC. APRIL mengadopsi sebuah Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan pada tahun 2014, namun setelah itu menerima banyak tuduhan pelanggaran atas kebijakan tersebut[note]https://www.banktrack.org/company/april#popover=issues[/note]
2. Isu-isu lingkungan, sosial dan tata kelola Eldorado
Eldorado Brasil hendak dijual, karena pemiliknya, J&F Holdings, harus mengumpulkan dana untuk membayar denda sebesar USD 3.2 miliar (BRL 10.3 miliar) karena perannya di dalam skandal korupsi [note] http://www.bbc.com/news/world-latin-america-40109232[/note] yang mengancam untuk menggulingkan Presiden Michel Temer. Diantara lain, penuntut sedang menyelidiki kejahatan-kejahatan potensial yang melibatkan persetujuan dan pencairan pinjaman bernilai miliaran Reais [note] http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-jbs-fine-idUSKBN1910MW[/note] dari Bank Pembangunan Negara BNDES kepada J&F. Eldorado juga sedang diselidiki atas penipuan untuk mendapatkan pendanaan dari skema pensiun [note] http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-idUSKBN16F25W[/note], dan sedang dituntut oleh Fibria karena menyalahgunakan clones [note] http://www.fibria.com.br/r2015/en/multas-acoes-judiciais.html[/note] http://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/library/sitelist.pdf[/note]  yang dimiliki oleh kompetitornya.
Pabrik Eldorado berada di sisi timur dekat dengan lahan basah Pantanal, yang merupakan situs Ramsar yang penting secara internasional[note] dan merupakan situs warisan dunia berdasarkan UNESCO.[note]http://whc.unesco.org/en/list/999[/note]Karena besarnya area yang dibutuhkan untuk perkebunan yang akan memasok kepada pabrik, terdapat risiko perubahan penggunaan lahan yang akan mendorong perambahan ke area Pantanal. Juga terdapat risiko di mana bila perkebunan tidak dikelola menurut praktik-praktik terbaik, mereka akan memberikan dampak yang besar kepada keanekaragaman hayati lokal, menguras sumber air dan menyebabkan bahaya kebakaran.
Pabrik Eldorado membuang limbahnya ke dalam sungai Paraná. Sungai ini melewati Taman Nasional Ilha Grande yang mana terdapat air terjun Iguaçu yang terkenal, juga menerima limbah dari pabrik Fibria. Bila rencana ekspansi dari kedua pabrik dilaksanakan, sungai tersebut akan menerima limbah dari 4 pabrik kertas, yang memiliki total kapasitas sebesar 7 juta ton pulp per tahun. Limbah pabrik pulp mengandung klorin dan bahan kimia beracun lainnya yang dapat memberikan dampak merugikan pada organisme-organisme akuatik.
Terdapat risiko yang lebih tinggi bagi dampak-dampak lingkungan ini, karena Analisis Dampak Lingkungan tidak menilai dampak perkebunan, dan juga tidak menilai dampak kumulatif dari 2 (apalagi 4) pabrik kertas besar yang saling bersebelahan. [note] tp://www.environmentalpaper.eu/wp-content/uploads/2017/03/170314-Pulp-Mill-Expansion-in-Brazil- discussion-document.pdf [/note] Lebih jauh lagi, berdasarkan Kantor Penuntut Umum, [note] http://www.prms.mpf.mp.br/servicos/sala-de-imprensa/noticias/2015/08/mpf-ms-ibama-deve-averiguar- impactos-cumulativos-de-empreendimentos-no-rio-parana [/note] Analisis Dampak Lingkungan Eldorado disetujui oleh otoritas yang tidak kompeten – Badan Lingkungan Hidup Provinsi (Imasul) – alih-alih Badan Federal (Ibama).
Eldorado Brasil memiliki sertifikasi FSC bagi sebagian besar perkebunannya, namun audit [note] http://fsc.force.com/servlet/servlet.FileDownload?file=00P3300000hq2VJEAY [/note] https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/terceirizados-da-eldorado-decretam-greve-mais-uma-vez/45191/ [/note] FSC khusus di tahun 2016 menemukan kalau Eldorado Brasil tidak berhasil untuk mengidentifikasi dengan benar area-area dengan Nilai Konservasi Tinggi dan untuk mendiskusikannya dengan pemangku kepentingan relevan. Eldorado tidak menyediakan peta dari area tempat pasokannya berasal. Sertifikat FSC akan kadaluwarsa pada November tahun ini dan pembaruannya akan bergantung kepada pemilik barunya. Ini bisa menjadi sulit bila pemilik barunya adalah perusahaan yang saat ini dikeluarkan dari FSC, seperti APP dan APRIL. Tidak memiliki sertifikasi FSC akan menyebabkan beberapa pembeli untuk beralih kepada pemasok lain, kemungkinan akan menurunkan pendapatan secara signifikan. Lebih jauh lagi, bila tidak memiliki sertifikat FSC akan membatasi pasar yang dapat dipasok oleh Eldorado atau APP, sekali lagi ini memiliki potensi untuk berdampak kepada kinerja keuangan perusahaan-perusahaan ini.
Eldorado juga telah terlibat di dalam konflik tenaga kerja, di mana para pekerja mogok [note]  karena kondisi kerja yang buruk, dan karena ditolak haknya untuk membentuk serikat, yang mana bertentangan dengan standar tenaga kerja Inti ILO [note] https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/justica-manda-eldorado-reintegrar-funcionario-demitido-ha-3- meses/89756/ [/note]
Konflik tenaga kerja dapat berdampak kepada kinerja keuangan perusahaan. Mogok kerja mendatangkan biaya yang signifikan karena hilangnya produksi dan pendapatan di saat yang sama biaya tetap masih tetap ada. Lebih jauh lagi, resolusi konflik juga dapat memberikan biaya, dan ketika resolusi hanya dicapai di pengadilan, ini juga dapat berakhir dengan denda karena bertentangan dengan standar atau hukum ketenagakerjaan.
Intinya, Eldorado menderita oleh berbagai isu lingkungan, sosial dan tata kelola yang dapat berdampak parah kepada kelayakan keuangan perusahaan bila pemilik barunya tidak mengatasi isu-isu ini dengan baik.
Kesimpulan
Akuisisi Eldorado oleh sebuah pihak dengan rekam jejak yang buruk dalam perlindungan lingkungan hidup, dalam mempertimbangkan hak azasi manusia, atau patuh kepada standar-standar tata kelola fundamental, dapat mendatangkan bencana.
Pemodal potensial didorong untuk meminta pembeli akan menerapkan pengelolaan praktik-praktik terbaik dan memelihara standar dan praktik ESG tingkat tinggi.
Kami mendesak Bank Sentral Brasil, Dewan Administratif Brasil untuk Pertahanan Ekonomi (Conselho Administrativo de Desas Econômica – CADE), Komisi Pengawas Sekuritas dan Perdagangan Saham (Comissão de Valores Mobilíarios – CVM) dan otoritas berkompeten lainnya untuk terlibat dengan pemangku kepentingan finansial yang terlibat untuk meminta kriteria ESG yang diterapkan.
 
1       http://www.eldoradobrasil.com.br/Institucional/Quem-Somos/vanguarda20
2       http://www.valor.com.br/international/news/5078116/asia-pulp-paper-poised-buy-eldorado-brasil; http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app; http://www.valor.com.br/empresas/5096624/app-oferece-r-15-bi-pela-eldorado https://www.reuters.com/article/us-global-oil-idUSKCN1BB01Z
3       http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app
4       RAN 2017, Every investor has a responsibility (Setiap Investor memiliki sebuah tanggung jawab). Available at: https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/1497 287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352
5       http://www.scmp.com/business/companies/article/1780979/us14b-default-forgotten-indonesia-billionaire- widjaja-sells-debt
6       http://wwf.panda.org/wwf_news/?159162/APPs-forest-clearing-linked-to-12-years-of-human-and-tiger- deaths-in-Sumatra
7 https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/17702/attachments/original/ 1497287352/RAN_Every_Investor_Has_A_Responsibility_June_2017.pdf?1497287352
8       https://ic.fsc.org/en/what-is-fsc/what-we-do/dispute-resolution/current-cases/asia-pulp-and-paper-app
9       http://www.foresthints.news/app-business-transformation-not-substantial-monitoring-finds
10 http://www.rainforest-alliance.org/sites/default/files/uploads/4/150205-Rainforest-Alliance-APP- Evaluation-Report-en.pdf
11   https://www.asiapulppaper.com/system/files/170313_fcp_progress_updates_-_march2017v2_0.pdf
12   https://www.asiapulppaper.com/sustainability/vision-2020/forest-conservation-policy
13    http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
14   Jangan bingung dengan China Paper Holdings karena apa yang telah dilakukan oleh banyak media. China Paper Holdings adalah sebuah perusahaan induk yang didirikan di Bermuda. Sebelumnya dijual pada Bursa Saham Singapura. Namun demikian, setelah api pada operasinya di China, rekaman keuangannya kemudian hilang. Dengan demikian tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada bursa saham, dan kemudian ditangguhkan. Satu-satunya anak perusahaan dengan aktivitas usaha apapun adalah anak perusahaannya di China. Anak perusahaan ini sekarang juga ditangguhkan di China. Holding company ini nampaknya masih beroperasi, walaupun tidak jelas dimana lokasi operasi-operasinya..
15   https://www.reuters.com/article/us-eldorado-m-a-china-paper-idUSKCN1B31P0
16    https://www.bloomberg.com/research/stocks/private/snapshot.asp?privcapId=10945484
17     Qi Xin Bao (2017, August), China Chengtong, p. 1.
18    http://www.zwt.com.cn/contents/2/1.html
19 China Pulp & Paper (2017, January 12), “Investments exceed US$ 1 billion, China Paper plans to build 700,000 ton per annum capacity pulp mill in Russia”, online: http://www.chinapulp.cn/news/201701/12/zx11426.html, viewed in August 2017.
20     Qi Xin Bao (2017, August), China Paper Investment – Risks, p. 1.
21 http://markets.businessinsider.com/news/stocks/r-china-paper-mulls-5-bln-bid-for-brazils-eldorado– media-2017-8-1002279006; http://economia.estadao.com.br/noticias/geral,fibria-quer-se-unir-a-arauco- na-eldorado,70001869890
22   https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN
23   http://awsassets.panda.org/downloads/brazilpulppapercasestudy_pdf.pdf;
http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/brazil-the-monoculture-eucalyptus-company- veracel-celulosa-is-trying-to-evict-indigenous-pataxo-from-their-land/; http://quote.morningstar.com/stock-filing/Annual-Report/2015/12/31/t.aspx?t=:FBR&ft=20- F&d=aa4b39ba1af27c1f40724129528ff5fd
24 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/brazil-rising-profits-do-not-prevent-layoffs- fibria-celulosa-in-mato-grosso-do-sul/
 
25 https://news.mongabay.com/2017/03/pressure-over-water-in-brazil-puts-pulp-industry-in-the- spotlight/?n3wsletter&utm_source=Mongabay+Newsletter&utm_campaign=70c741f76a- newsletter_2017_03_02&utm_medium=email&utm_term=0_940652e1f4-70c741f76a-67232023
26   https://www.reuters.com/article/us-eldorado-brasil-m-a-empresas-copec-idUSKBN1AK2EN
27 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/
28 http://resumen.cl/2015/05/agua-para-quien-escasez-hidrica-y-plantaciones-forestales-en-la-provincia-de- arauco-un-informe-develador-y-por-eso-indignante/
29 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section1/chile-discredited-fsc-label-continues-to- legitimize-industrial-tree-plantations/
30 http://wrm.org.uy/articles-from-the-wrm-bulletin/section2/uruguay-the-ence-arauco-and-stora-ensos- eucalyptus-and-pulp-fairytales/
31    http://www.noalducto.com/
32    http://www.valor.com.br/empresas/5078318/jf-negocia-eldorado-com-asiatica-app
33    https://www.banktrack.org/company/april#popover=issues
34    http://www.bbc.com/news/world-latin-america-40109232
35   http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-jbs-fine-idUSKBN1910MW
36    http://www.reuters.com/article/us-brazil-corruption-idUSKBN16F25W
37    http://www.fibria.com.br/r2015/en/multas-acoes-judiciais.html
38   http://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/library/sitelist.pdf
39    http://whc.unesco.org/en/list/999
40 http://www.environmentalpaper.eu/wp-content/uploads/2017/03/170314-Pulp-Mill-Expansion-in-Brazil- discussion-document.pdf
41 http://www.prms.mpf.mp.br/servicos/sala-de-imprensa/noticias/2015/08/mpf-ms-ibama-deve-averiguar- impactos-cumulativos-de-empreendimentos-no-rio-parana
42    http://fsc.force.com/servlet/servlet.FileDownload?file=00P3300000hq2VJEAY
43   https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/terceirizados-da-eldorado-decretam-greve-mais-uma-vez/45191/
44 https://www.jpnews.com.br/tres-lagoas/justica-manda-eldorado-reintegrar-funcionario-demitido-ha-3- meses/89756/

POJK yang baru mengenai Keuangan Berkelanjutan

Regulasi Indonesia tentang Keuangan Berkelanjutan yang baru merupakan langkah penting di dalam mengatasi peran bank dan investor di dalam kerusakan hutan dan pelanggaran hak azasi manusia
18 Agustus 2017
Pada bulan Juli 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang baru mengenai Keuangan Berkelanjutan. POJK ini disambut dengan baik dan merupakan langkah penting di dalam mengatasi peran bank dan investor di dalam kerusakan hutan dan pelanggaran hak azasi manusia di Indonesia.
Read the briefing

Menyambut Gembira POJK Keuangan Berkelanjutan

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Setelah menunggu dengan harap-harap cemas sejak awal 2015, akhirnya kita semua bisa melihat munculnya regulasi keuangan berkelanjutan di negeri ini.  Pada tanggal 20 Juli 2017, yaitu hari terakhir komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masa tugas 2012-2017, Indonesia mendapatkan kado yang menggembirakan berupa Peraturan OJK (POJK) 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Memang, setelah ditandatangani kita belum bisa melihat regulasi tersebut, lantaran masih harus dicatatkan dahulu di Kementerian Hukum dan HAM, untuk mendapatkan nomor dan menjadi sah diundangkan.  Jadi, bagi yang ingin mengetahui detail isinya, masa penantiannya bertambah lagi.  Tetapi, pada awal minggu ini, tepatnya Selasa 8 Agustus 2017, akhirnya regulasi ini benar-benar bisa ditilik isinya.
Empat Pertimbangan
Apa pertimbangan OJK mengeluarkan regulasi ini?  Ada empat.  Pertama adalah “bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif diperlukan sistem perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.” Jadi, terdapat kesadaran dari OJK bahwa untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, stabil dan inklusif tak ada cara lain di luar menyelaraskan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.  Sebaliknya, ketimpangan di antara ketiga aspek itu berakibat ketidakberlanjutan, instabilitas dan eksklusi.
Kedua, “bahwa untuk menggerakkan perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif dibutuhkan sumber pendanaan dalam jumlah yang memadai.” Butir ini sangat penting, mengingat bahwa sumberdaya finansial adalah hal yang mendasar untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif itu.  Dan, sumberdaya tersebut harus tersedia dalam jumlah yang memadai.  Bila tidak, maka tujuan untuk mencapai ekonomi yang demikian tidaklah akan tercapai, atau mungkin dicapai dalam waktu yang lebih lama dari yang diinginkan atau direncanakan.
Pertimbangan ketiga adalah “bahwa pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”  Di sini, OJK menyatakan bahwa mandat dari keuangan berkelanjutan sesungguhnya bukan hanya berasal dari kebutuhan penciptaan ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, melainkan juga dari kebutuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 32/2009.  Oleh karenanya, dapat diartikan bahwa keuangan berkelanjutan juga adalah keuangan yang kompatibel dengan seluruh tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang termaktub dalam UU tersebut.
Terakhir, “bahwa Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan perlu ditindaklanjuti dengan peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.”  Jadi, POJK ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari substansi Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang terbit pada penghujung 2014 lalu.  Artinya juga, target-target yang dinyatakan di  Roadmap itu—beserta kerangka waktunya—juga menjadi rujukan dalam membaca POJK ini.
Empat Belas Pasal
Setelah memaparkan pertimbangan dan regulasi-regulasi yang menjadi rujukan, dan memutuskan pemberlakuan POJK ini, Pasal 1-nya memuat berbagai definisi.  Yang terpenting, tentu saja, adalah definisi keuangan berkelanjutan itu sendiri, yang dinyatakan sebagai “…dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.”
Pengertian dari menyeluruh tentu saja bukan parsial.  Ini berarti sektor jasa keuangan tidak bersikap setengah-setengah—apalagi lebih rendah lagi, seperti hanya melakukan greenwashing—dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.  Ini juga berarti bahwa seluruh lembaga jasa keuangan melakukannya, bukan hanya sebagian bank atau asuransi.  Selain definisi keuangan berkelanjutan, ada 12 definisi lainnya yang bisa disimak di pasal tersebut.
Pada Pasal 2 diterakan kewajiban menerapkan keuangan berkelanjutan kepada seluruh pihak yang disebutkan dalam peraturan ini, yaitu lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, dan perusahaan publik.  Definisi masing-masing pihak tersebut dinyatakan dalam pasal sebelumnya.  Dari sini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya POJK ini bukan sekadar berlaku untuk LJK, sebagaimana yang kerap dipersepsi orang.
Di pasal itu pula terdapat prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, yang disebutkan ada delapan, yaitu:  prinsip investasi bertanggung jawab; prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan; prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup; prinsip tata kelola; prinsip komunikasi yang informatif; prinsip inklusif; prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas; dan prinsip koordinasi dan kolaborasi.  Apa yang dimaksudkan pada prinsip-prinsip itu bisa dibaca pada bagian Penjelasan.  Namun, sebagaimana yang lazim, maka seluruh prinsip tersebut haruslah ditegakkan.  Pelanggaran atas salah satu saja prinsip akan membuat keuangan berkelanjutan tidak tegak.
Pasal 3 menjelaskan bahwa pemberlakuan POJK ini adalah secara bertahap.  Bank umum yang masuk kategori BUKU 3 dan 4 serta bank asing adalah yang mendapatkan mandat paling cepat untuk menegakkannya, yaitu mulai 1 Januari 2019.  Sementara, dana pensiun yang total asetnya minimal Rp1 triliun adalah yang paling lambat, yaitu pada 1 Januari 2025.
Kewajiban untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dinyatakan pada Pasal 4. Sementara isi dari RAKB sendiri dapat dipelajari pada Lampiran 1 POJK.  Pasal 5 menyatakan bahwa RAKB itu wajib dilaksanakan; dan Pasal 6 menyatakan kewajiban untuk mengkomunikasikannya kepada pemegang saham dan seluruh jenjang organisasi LJK.
Pasal 7 masih tentang RAKB, yaitu wajib disusun berdasarkan prioritas LJK yang sedikitnya terdiri dari pengembangan produk produk/jasa keuangan berkelanjutan; pengembangan kapasitas internal; serta penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan prosedur operasional standar yang sesuai dengan prinsip keuangan berkelanjutan.  Apa yang dinyatakan di dalam RAKB itu juga wajib menyertakan target waktu penerapannya.
Kaitan antara keuangan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) disebutkan dalam Pasal 8. Bagi LJK yang diwajibkan melaksanakan TJSL—yaitu LJK yang berbadan hukum perusahan terbatas—maka sumberdaya finansial TJSL-nya wajib dialokasikan sebagian untuk dukungan penerapan keuangan berkelanjutan.  Sementara, emiten dan perusahaan publik yang bukan merupakan LJK namun diwajibkan melaksanakan TJSL dapat (tidak diwajibkan) mengalokasikannya.  Alokasinya sendiri wajib diterakan pada RAKB yang dibuat, dan pelaksanaanya wajib dilaporkan di dalam laporan keberlanjutan.
Pasal 9 mengatur tentang insentif dari OJK untuk mereka yang menerapkan keuangan berkelanjutan secara efektif.  Bentuknya adalah pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, dan insentif lainnya yang belum didefinisikan.
Kalau di Pasal 8 sudah dinyatakan adanya kewajiban untuk melaporkan kaitan TJSL dengan keuangan berkelanjutan dalam bentuk laporan keberlanjutan, Pasal 10 menegaskan tentang pelaporan keberlanjutan yang dimaksud.  Pembuatannya bersifat wajib, bisa dibuat terpisah dari atau sebagai bagian dari laporan tahunan, wajib diserahkan kepada OJK, dengan tenggat waktu penyerahan dan periode pelaporan sesuai yang ditentukan.  Format laporan keberlanjutan yang diwajibkan adalah sebagaimana yang dijelaskan pada Lampiran 2 POJK.
Pasal 11 mengatur tentang penyerahan RAKB kepada OJK, sementara Pasal 12 menjelaskan mengenai kewajiban publikasi laporan keberlanjutan.  Pasal 13 mengatur mengenai sanksi, yang seluruhnya bersifat administratif dalam bentuk teguran atau peringatan tertulis.  Pasal 14 menyatakan bahwa keberlakuan POJK ini adalah mulai tanggal diundangkan, yaitu 27 Juli 2017.
Bersyukur, Bergembira, Bangga
Secara umum, belum banyak negara di dunia ini yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan.  Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu yang paling maju di antara bangsa-bangsa lain.  Hal ini perlu disambut dengan gembira.  Kesadaran bahwa ekonomi Indonesia perlu dibuat berkelanjutan, stabil dan inklusif adalah alasan kegembiraan yang lainnya.
Namun, tentu saja, regulasi ini masih mengandung ruang perbaikan yang besar.  Yang mana bisa dipahami lantaran regulasi ini merupakan salah satu yang paling awal dibuat.  Kita tak punya rujukan yang cukup komprehensif.  Dan ini merupakan peluang untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.
Salah satu ruang yang paling jelas adalah tentang berbagai kebijakan yang seharusnya dibuat oleh LJK, emiten, dan perusahaan publik untuk menegakkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan itu.  Dengan belum dicantumkannya secara eksplisit, maka diperlukan pihak-pihak yang mumpuni untuk membantu mereka semua menginterpretasikannya.  Mengingat kondisi bahwa keuangan berkelanjutan belum lagi menjadi pengetahuan banyak pihak, apalagi menjadi arus utama, maka bangsa ini perlu segera belajar bersama soal keuangan berkelanjutan, sambil menjalankannya.
Ruang perbaikan berikutnya yang sangat penting adalah soal sanksi.  Kalau kita memiliki kesadaran untuk membuat ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, sementara itu hanya bisa dicapai dengan keuangan berkelanjutan, maka pelanggaran terhadap prinsip-prinsipnya perlu mendapatkan sanksi yang tegas.  Mengapa?  Karena pelanggaran itu membahayakan pembangunan Indonesia.
Bagaimanapun, kita perlu mensyukuri terlebih dahulu munculnya regulasi ini lantaran ini menandai Indonesia telah berpikir dalam arah yang benar soal keuangan dan ekonominya.  Kita perlu bergembira juga bangga atasnya.  Membantu menginterpretasikan, mendukung penegakkannya, dan mencari serta mengisi ruang perbaikan atasnya adalah tugas berikutnya.
 
 
 
 
 
 

Kelompok Tenaga Ahli Eropa untuk Keuangan Berkelanjutan Meminta Masukan

Myriam Vander Stichele
Peneliti Senior
SOMO

 
Sejak Januari 2017, Kelompok Tenaga Ahli Tingkat Tinggi untuk Keuangan Berkelanjutan (High-Level Expert Group on Sustainable Finance/HLEG) telah bekerja untuk menyediakan rekomendasi yang sesuai dan konkret kepada Komisi Eropa untuk strategi Uni Eropa yang komprehensif, untuk memastikan agar sektor keuangan memberikan kontribusi kepada keberlanjutan sosial, lingkungan dan ekonomi jangka panjang. HLEG mempublikasikan sebuah laporan interim pada pertengahan Juli 2017, yang telah dipresentasikan pada sebuah acara dengar pendapat umum (public hearing) di Brussels pada tanggal 18 Juli 2017. Komentar terhadap laporan interim tersebut akan tersedia dengan mengisi sebuah kuesioner konsultasi pada tanggal 20 September 2017. Laporan HLEG akhir diharapkan selesai pada akhir Desember 2017. Komisi Eropa telah menyatakan bahwa akan mengkaji rekomendasi akhir pada kuartal pertama 2018.
Kelompok HLEG dibentuk sebagai bagian dari kebijakan Capital Markets Union (CMU) Uni Eropa, dan merupakan hasil dari sebuah kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dengan berinvestasi di dalam energi bersih (setidaknya dibutuhkan €180 miliar per tahun untuk Uni Eropa) dan infrastruktur. Para Anggota datang dari berbagai sektor investasi, begitu juga dengan satu perwakilan perbankan, seorang akademisi, dan beberapa perwakilan LSM, termasuk SOMO.
Fokus utama rekomendasi interim laporan adalah mengenai investasi “hijau” atau iklim yang dilakukan oleh manajer aset dan manajer investasi, perusahaan asuransi dan dana pensiun, melalui lebih banyak kewajiban untuk investasi yang bertanggung jawab (“fiduciary duty”), melalui produk-produk keuangan seperti obligasi hijau (“green bond”) telah didefinisikan dengan lebih baik dibandingkan dengan yang ada saat ini, atau melalui labelled funds yang juga tersedia bagi perorangan.
Namun demikian, bank diakui untuk memiliki kolam aset terbesar, yang mana dapat memainkan peran yang penting di dalam transisi menuju sistem keuangan berkelanjutan. Sayangnya, hingga saat ini belum didefinisikan apakah ini dilakukan dengan melonggarkan persyaratan modal untuk bank-bank yang menyediakan pinjaman hijau atau dengan menghukum pinjaman yang diberikan kepada projek-projek yang tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan (“brown activities”) dengan mengenakan persyaratan modal yang lebih ketat.
Sebuah isu penting bagi HLEG adalah untuk menggeser keputusan finansial menjauh dari pendekatan dampak jangka pendek ke pendekatan dampak jangka panjang, yang mana seringkali tidak terlihat di dalam rentang waktu investasi. HLEG mengenali kenyataan bahwa dampak-dampak jangka panjang seperti perubahan iklim dapat menyebabkan ketidakstabilan finansial, misalkan ketika perubahan iklim menyebabkan devaluasi layanan keuangan atau aset (mis. badai yang lebih sering terjadi dan lebih parah akan mempengaruhi perumahan, operasi pertanian dan bisnis-bisnis yang mana sudah menerima pinjaman dari bank atau yang mana sudah menerima investasi).
HLEG sering mengacu kepada aspek sosial, lingkungan dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG), namun tidak memberikan sebuah definisi. HLEG membedakan antara keuangan untuk iklim, lingkungan (bersama-sama dengan iklim, didefinisikan sebagai “hijau”) dan keuangan “berkelanjutan”, di mana aspek sosial dan tata kelola digabungkan dengan aspek “hijau”. Laporan interim tidak memasukan komitmen Uni Eropa terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), juga tidak memberikan rekomendasi yang konkret mengenai bagaimana mempromosikan kebutuhan sosial masyarakat Eropa, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi ketimpangan dan pendidikan berkualitas bagi semua.
Di dalam laporan interim mereka, rekomendasi tahap pertama HLEG kepada Komisi Eropa adalah:

  • Mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk aset-aset berkelanjutan.
  • Menetapkan standar dan label Eropa untuk obligasi hijau dan produk-produk keuangan berkelanjutan lainnya.
  • Mengklarifikasi bahwa keberlanjutan merupakan bagian dari “fiduciary duty” dan perwujudan Prinsip Kehati-hatian dan yang terkait, oleh manajer investasi dan investor.
  • Memperkuat persyaratan bagi semua perusahaan untuk mengungkap dampak ESG, strategi, dan manajemen risiko.
  • Memastikan bahwa seluruh legislasi keuangan Uni Eropa dilakukan “uji (dampak) keberlanjutan”.
  • Membentuk fasilitas Uni Eropa untuk menyalurkan pembiayaan kepada projek-projek infrastruktur berkelanjutan.
  • Memperkuat peran Otoritas Pengawas Eropa (European Supervisory Authorities/ESA) terhadap bank, pasar keuangan dan dana pensiun untuk menilai risiko-risiko terkait ESG yang mempengaruhi stabilitas keuangan.
  • Mengubah aturan-aturan akuntansi relevan untuk membuka investasi di bidang efisiensi energi.

Selain daripada itu, HLEG mengidentifikasi 12 area kebijakan untuk didiskusikan lebih lanjut, seperti:

  • Memberikan sinyal-sinyal politik mengenai kebutuhan finansial jangka panjang.
  • Mengkaji regulasi untuk membantu pengambilan keputusan yang berbasis jangka panjang.
  • Mengintegrasikan keberlanjutan dan risiko-risiko ESG ke dalam peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkatan kredit.
  • Menyelaraskan indeks-indeks dan benchmark, yang saat ini cenderung pada investasi pasif dan tidak berkelanjutan, menjadi semakin dekat dengan keberlanjutan.
  • Melonggarkan regulasi untuk pembiayaan jangka panjang yang dilakukan oleh bank dan perusahaan asuransi.
  • Secara resmi mendukung pengembangan projek-projek berkelanjutan dan pembiayaannya.
  • Meningkatkan keterlibatan lembaga-lembaga penelitian dan masyarakat di dalam keuangan berkelanjutan.
  • Memobilisasi modal swasta bagi pengelolaan dimensi sosial, khususnya melalui bisnis sosial.

Walaupun HLEG memiliki mandat untuk mengusulkan langkah-langkah regulasi, namun HLEG masih belum memberikan rekomendasi regulasi konkret untuk mendorong modal kepada kegiatan-kegiatan yang terfokus untuk membalik perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, mendorong pembangunan yang berkelanjutan secara sosial, dll. Ketika inisiatif, usaha dan kegiatan berkelanjutan mungkin hanya membutuhkan investasi atau pinjaman dalam jumlah kecil, laporan interim berasumsi bahwa investor kelembagaan (“institutional investors”) ingin melakukan investasi dengan jumlah besar dalam bentuk insentif, pelonggaran regulasi dan metode terstandardisasi, atau melalui dukungan resmi untuk mengelompokkan projek-projek kecil di dalam kolam aset yang besar.
Sekelompok LSM Eropa telah mengeluarkan sebuah pernyataan penting terhadap laporan interim HLEG. Antara lain, LSM-LSM tersebut menyesalkan bahwa ESG belum didefinisikan dengan jelas, dan juga belum dijelaskan bagaimana proses Uni Eropa untuk mendefinisikan ESG tersebut, hak asasi manusia, dan isu-isu lingkungan yang lebih luas belum dimasukkan. Mereka meminta langkah-langkah regulasi yang lebih ketat.
Terlepas dari HLEG dan Unit EC (DG FISMA) yang meluncurkan HLEG, Unit Penelitian Kebijakan Strategis Komisi Eropa juga telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Membiayai Keberlanjutan – Memicu Investasi untuk Ekonomi Bersih” pada tanggal 8 Juni 2017. Laporan ini menekankan kebutuhan akan perubahan di dalam sektor keuangan, begitu juga di dalam kebijakan dan regulasi Uni Eropa. Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup dari Komisi Eropa juga baru-baru ini memulai sebuah studi mengenai “Keuangan Hijau: Definisi dan Implikasinya bagi Investasi”.
Sumber: SOMO