TuK Indonesia Identifikasi Beragam Tantangan Kebijakan Taksonomi Hijau

*Dapatkan resolusi infografis yang lebih baik pada tautan berikut ini : Infografis Taksonomi Hijau 

(dikutip dari hukumonline.com)

Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Pemerintah terus menggulirkan beragam kebijakan terkait pembangunan berkelanjutan, salah satunya Taksonomi Hijau (edisi 1.0). Dalam dokumen tersebut Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, berharap Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan insentif dan disinsentif dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk OJK.

Dokumen ini juga sebagai pedoman untuk keterbukaan informasi, manajemen risiko dan pengembangan produk dan/atau jasa keuangan berkelanjutan yang inovatif bagi sektor jasa keuangan (SJK) dan emiten. “Pengembangan Taksonomi Hijau Indonesia diharapkan dapat memberikan gambaran atas klasifikasi suatu sektor/subsektor yang telah dikategorikan hijau dengan mengadopsi prinsip berbasis ilmiah. Ini bertujuan untuk menghindari adanya praktik greenwashing,” kata Wimboh dalam dokumen Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0.

Wimboh menyadari implementasi kebijakan ini akan menghadapi tantangan, antara lain berkaitan dengan kebutuhan pemahaman dan pendekatan yang beragam dalam penentuan ambang batas kriteria hijau. Dia menyebut Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 ini sebagai living document. Sehingga akan mengalami perubahan bila ada tambahan atau pengurangan sektor ekonomi yang memenuhi kriteria hijau yang disebabkan penambahan kegiatan usaha baru, perubahan standar dan kebijakan, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.

Dalam dokumen itu disebutkan Taksonomi Hijau sangat penting karena dapat memberikan pemahaman lebih baik dan memudahkan SJK dalam mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan portofolio produk dan/atau jasa keuangan. Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Edi Sutrisno, mengapresiasi peluncuran Taksonomi Hijau oleh OJK dan melihat ada tantangan serta peluang dalam pelaksanaannya ke depan. Kebijakan ini diharapkan menjadi acuan dalam menyusun kebijakan isentif dan disinsentif dari berbagai lembaga terutama OJK. Dia melihat kebijakan ini terkait dengan langkah pemerintah belum lama ini yang mengklaim telah mencabut ribuan izin mulai dari sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.

Menurut Ed, Taksonomi Hijau menganut 4 prinsip meliputi investasi bertanggung jawab; strategi bisnis berkelanjutan; risiko sosial dan lingkungan hidup; dan tata kelola. Pencabutan izin lahan sektor kehutanan sebesar 3,1 juta hektar pada tahun lalu sebagai bagian dari prinsip tata kelola dalam Taksonomi Hijau. “Ini tantangan bagi Taksonomi Hijau jika dihubungkan dengan pencabutan izin,” kata Edi Sutrisno dalam diskusi secara daring, Kamis (20/1/2022) kemarin.

Edi mencatat pemerintah telah mencabut sedikitnya 192 izin di sektor kehutanan, paling banyak terkait izin pelepasan kawasan hutan. Ketika izin pelepasan kawasan hutan, muncul pertanyaan bagaimana dengan HGU di atas kawasan tersebut apakah ikut batal atau bisa lanjut. Dari berbagai perusahaan yang izinnya dicabut itu selama ini menerima penyaluran dana dari bank sebesar 26,6 miliar Dollar AS. Dari total kredit yang dikucurkan itu 30 persen berasal dari bank lokal. Selain itu, sebanyak 1,25 miliar Dollar AS dikucurkan oleh investor kepada grup perusahaan yang izinnya dicabut itu.

Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Menurutnya, Taksonomi Hijau dibutuhkan salah satunya untuk monitoring secara berkala penyaluran kredit dan investasi di sektor hijau. Taksonomi Hijau ini mentargetkan SJK, investor, dan pemerintah agar memiliki pemahaman yang baik tentang kebijakan ini. Tantangan lainnya yakni sinergi antar lembaga dan transparansi. Misalnya, ketika lembaga jasa keuangan dan investor tidak mengetahui pencabutan izin yang dilakukan pemerintah, dan perusahaan yang dicabut izinnya itu terus mendapat pembiayaan. Hal tersebut berisiko besar bukan hanya untuk sektor keuangan, tapi juga sektor lainnya.

Tantangan berikutnya terkait rencana pembangunan daerah dimana sektor jasa keuangan hampir tidak pernah dilibatkan. Edi mengatakan sektor jasa keuangan perlu dilibatkan agar paham daya dukung lingkungan di wilayah tersebut sebelum ada investasi hijau yang masuk.

Dalam implementasi Taksonomi Hijau, Edi merekomendasikan OJK melakukan pengawasan, koordinasi, dan perencanaan strategis. Taksonomi Hijau tak bisa lepas dari Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan dan beberapa regulasi terkait lainnya. OJK bisa membangun koordinasi antar kementerian dan lembaga untuk menggulirkan kebijakan ini.

Dia melihat OJK belum menetapkan target dari Taksonomi Hijau ini, untuk saat ini fokusnya masih pada tahap sosialisasi. TuK Indonesia akan memantau dan melakukan tinjauan terhadap laporan keberlanjutan sektor jasa keuangan terutama perbankan.

Taksonomi Hijau ini berkaitan dengan komitmen pemerintah menurunkan tingkat emisi dan peta jalan yang disusun OJK. Kendati Ketua OJK menyebut Taksonomi Hijau sifatnya voluntary atau sukarela, tapi sebenarnya ada beberapa prinsip yang sifatnya legally binding atau mengikat karena selama ini telah diatur seperti dalam Peraturan OJK dan peraturan pemerintah lainnya. Misalnya, ISPO yang menekankan keberlanjutan di sektor kelapa sawit.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *