Laporan "In the Red" – Kebijakan bank di sektor pulp dan kertas

In the Red – Kebijakan Bank gagal untuk memastikan mereka akan menghindari dari investasi tidak bertanggung jawab di dalam industri kertas
Sebuah penilaian baru oleh EPN (Environmental Paper Network) atas kebijakan-kebijakan bank telah diselesaikan dan diterbitkan di sini: http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
Penilaian ini mempelajari seberapa siap sektor keuangan dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial dari keterlibatan sektor keuangan dengan industri pulp dan kertas. Dari 2016 sampai dengan 2017 kami melakukan penilaian benchmark atas kebijakan-kebijakan pulp dan kertas dari 42 bank swasta terhadap persyaratan yang ditetapkan pada tahun 2017 di dalam Green Paper, Red Lines. Red Lines adalah kriteria lingkungan dan sosial, yang mengartikulasikan persyaratan minimum yang perusahaan-perusahaan pulp dan kertas wajib penuhi sebelum investasi dipertimbangkan ke dalam perusahaan-perusahaan tersebut.
42 bank terpilih tersebut terdiri dari salah satu pemodal terbesar sektor pulp dan kertas, dan/atau terlibat di dalam “Kesepakatan-Kesepakatan yang Tidak Jujur”, misalnya proyek pabrik kertas yang menjadi subyek kampanye aktif dari anggota organisasi kami karena dampak lingkungan dan sosial mereka yang berbahaya. Kami melakukan sebuah studi kualitatif yang mendalam atas kerangka kebijakan yang tersedia secara publik dari tiap bank dan menilai hingga sejauh apa kebijakan bank melindunginya dari risiko klien untuk melanggar setiap Red Line.
Hasil dari penilaian kami menyingkap bahwa kebijakan-kebijakan bank sangatlah mengecewakan. Sayangnya tidak satupun dari bank yang kami nilai mampu benar-benar melindungi dirinya dari klien yang melanggar Red Lines. Memang untuk sebagian besar Red Lines, kebanyakan bank tersebut, paling bagus hanya terlindungi sebagian. Kami hanya dapat menyimpulkan kalau sektor perbankan tidak memiliki kebijakan yang sesuai untuk menghindari investasi ke dalam proyek dan perusahaan pulp dan kertas yang merusak.
Red Lines kami sangat didukung oleh lebih dari 140 organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia. Kami harap sektor perbankan akan bekerja sama dengan kami untuk mendorong industri pulp dan kertas menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Seluruh penilaian dan rekomendasi tersedia di sini: http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
 

Siaran Pers: Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri (Civil Society Forum on Foreign Policy – ICFP)

Perlu Kerja Ekstra-Keras!
Sikap Masyarakat Sipil Jelang KTT G20 di Jerman
 
Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil Indonesia telah hadir di dalam pertemuan puncak Civil20 (C20) di Hamburg, Jerman, tanggal 18-19 Juni 2017.  Pertemuan tersebut adalah forum yang dibuat secara khusus untuk merumuskan masukan organisasi masyarakat di seluruh dunia kepada negara-negara anggota G20.  Perwakilan Indonesia telah turut serta—bersama-sama dengan perwakilan lebih dari 300 organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia—dalam merumuskan Komunike C20.
Dalam komunike tersebut, jelas dapat bisa dilihat butir-butir pemikiran utama masyarakat sipil yang telah disampaikan kepada Presiden G20, Angela Merkel, Kanselir Jerman.  Secara umum, masyarakat sipil melihat bahwa sistem ekonomi neoliberal yang saat ini mewarnai dunia adalah ancaman terhadap keberlanjutan.  Bila umat manusia serius untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan serta menjalankan Kesepakatan Paris untuk melindungi generasi mendatang dari bencana perubahan iklim, perubahan mendasar atas sistem ekonomi haruslah dilakukan.  Dan ini membutuhkan kerja ekstra-keras dari seluruh negara G20, termasuk dan terutama Indonesia.

Komunike C20

KEBUTUHAN MENDESAK UNTUK

KERJASAMA INTERNASIONAL YANG LEBIH BAIK

Kesimpulan dari Pertemuan Puncak Civil20, Hamburg, 19 Juni 2017

Lebih dari 300 organisasi masyarakat sipil dari seluruh wilayah di dunia berkumpul pada tanggal 18-19 Juni 2017 di Universitas HafenCity di Hamburg, Jerman untuk memberi saran kepada pemerintah negara-negara Kelompok 20 (G20) tentang bagaimana mencapai the world we want atau dunia yang kita inginkan. Jelas bagi kita semua bahwa tantangannya sangat besar, dan sistem ekonomi global kita berada di jalur yang salah. Dunia belum pernah melihat ketimpangan yang sedemikian parah: delapan individu super-kaya sekarang memiliki kekayaan setara dengan separuh bagian bawah populasi dunia. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin melebar di kebanyakan negara di seluruh dunia.  Demikian juga dengan  ketimpangan gender.
Tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang diadopsi oleh kepala negara dan pemerintahan dunia dua tahun yang lalu di Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak akan tercapai. Dunia juga akan tetap rentan terhadap krisis ekonomi baru dan degradasi lingkungan. Selain itu, kecuali pemerintah berkomitmen pada sistem jaminan sosial dan upaya penciptaan lapangan kerja yang semakin luas, digitalisasi dan otomasi akan meningkatkan pengangguran, yang berpotensi menyebabkan penurunan upah, mengikis hak-hak buruh dan menimbulkan ketidakstabilan politik. Tindakan yang gagah berani dibutuhkan oleh semua pemerintah, terutama oleh pertemuan di KTT G20 bulan depan. Prinsip Leave No One Behind berarti tindakan afirmatif untuk orang miskin dan kurang beruntung, mereka yang didiskriminasikan, juga bagi orang dan negara yang dieksklusikan. Ini membutuhkan perubahan kebijakan dalam bidang perdagangan, fiskal, energi, iklim, pertanian dan lainnya.
Pengumuman baru-baru ini oleh Pemerintah AS untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris tidak hanya ditolak oleh masyarakat sipil global namun oleh banyak negara bagian, kota, dan perusahaan—di AS dan seluruh dunia. Krisis iklim global merupakan salah satu risiko terbesar bagi pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, inklusivitas, pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas keuangan, dan bahkan kelangsungan hidup sendiri bagi mereka yang paling rentan. Transisi dan kerjasama yang tepat untuk masa depan yang berkelanjutan dapat mendorong pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi ketidaksetaraan. Kami mengharapkan 19 anggota G20 lainnya untuk menegaskan kembali komitmen kokoh mereka terhadap langkah-langkah implementasi yang komprehensif dan konkret dalam Perjanjian Paris.
Beberapa minggu yang lalu, G20 dan pemerintah lainnya bertemu di Forum Pembiayaan PBB untuk Pembangunan dan sepakat bahwa “trajektori global saat ini tidak akan mencapai tujuan untuk memberantas kemiskinan pada tahun 2030.” Kita perlu segera melangkah lebih efektif dan progresif. Kebijakan dan administrasi pajak yang lebih baik, termasuk kerja sama internasional yang lebih dalam untuk meningkatkan pengumpulan pajak dan mengurangi arus keuangan terlarang. Langkah-langkah ini, ditambah dengan menghormati komitmen pada bantuan pembangunan yang resmi, diperlukan untuk memobilisasi pendanaan yang diperlukan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Dunia tetap sangat rentan terhadap krisis keuangan sementara sektor keuangan dan institusinya terus berkembang. Sekarang, alih-alih memperbaiki peraturan keuangan (yang merupakan salah satu alasan utama untuk mengangkat pertemuan G20 ke tingkat tertinggi), malah ada kemungkinan untuk melonggarkan peraturan yang ada. Selain itu, lantaran tidak adanya mekanisme kesepakatan secara internasional untuk restrukturisasi hutang luar negeri dengan adil, transparan dan efektif, telah membuat persoalan hutang menjadi semakin mengkhawatirkan.  Karenanya, tidak mengherankan bila IMF menilai semakin banyak negara berkembang yang mengalami peningkatan risiko tekanan hutang.
Sementara Agenda 2030 untuk mencapai SDG memerlukan investasi berskala besar dan jangka panjang, termasuk di bidang infrastruktur, kami khawatir menyaksikan kondisi pemerintah G20 terutama mencari investor untuk menyediakan sebagian besar pembiayaannya. Kami khawatir bahwa persyaratan investasi yang diusulkan, terutama melalui kemitraan publik-swasta (public private partnerships/PPP), dapat secara signifikan mengurangi kapasitas pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.  Kami mendesak agar dilakukan pertimbangan yang bertanggung jawab dan transparan mengenai pembagian risiko sebelum setiap kontrak PPP ditandatangani.
Banyak kemajuan dalam bidang kesehatan global akan menghadapi risiko jika ekonomi terbesar di dunia tidak menangani beragam masalah kesehatan global melalui penguatan dan pendanaan yang lebih baik atas organisasi kesehatan dunia. Konsekuensi dari ketidaksiapan dalam mengatasi wabah dan resistensi antimikrobial jelas akan melampaui batas-batas negara dan membahayakan keamanan kesehatan global.
Singkatnya, kita sekarang memerlukan transformasi radikal yang menjauh dari sistem ekonomi neoliberal dengan:

  • Menghentikan perlakuan atas lingkungan, lautan dan atmosfer seolah-olah tempat pembuangan sampah tanpa batas untuk beragam jenis polusi dan gas rumah kaca (GRK),
  • Mengatur pasar keuangan sehingga mereka tidak lagi berperilaku seperti kasino spekulasi, tetapi benar-benar melayani kebutuhan ekonomi yang nyata,
  • Memperkuat investasi publik dan kesejahteraan sosial dengan tidak lagi menoleransi penghindaran pajak secara ilegal maupun legal oleh perusahaan multinasional dan orang-orang super-kaya, serta terus mendorong kebijakan pajak progresif,
  • Melaksanakan dengan segera Kesepakatan Paris dengan strategi iklim jangka panjang yang ambisius, menghapuskan subsidi bahan bakar fosil, menetapkan sinyal harga karbon yang efektif dan adil, menggeser arus keuangan untuk mempromosikan transformasi dan ketahanan, serta berpegang teguh pada janji untuk meningkatkan pembiayaan iklim,
  • Mereformasi perjanjian perdagangan sehingga memudahkan perdagangan barang dan jasa yang adil, memberi manfaat kepada masyarakat luas dan bukan hanya kepada segelintir orang, serta membatalkan ketentuan-ketentuan terkait deregulasi ekonomi, perlindungan hak kekayaan intelektual, liberalisasi pengadaan, dan pengalihan hak dan kekayaan dari negara kepada investor,
  • Mengakhiri kebijakan pemotongan anggaran dan mendorong peningkatan anggaran publik untuk mempromosikan pembangunan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial, dan
  • Mengatur pasar tenaga kerja melalui cara-cara yang menjamin hak pekerja atas pekerjaan dan Pe

Oleh karena itu, kami mendesak para pemimpin G20 untuk mengambil langkah-langkah yang gagah berani untuk secara mendasar merancang ulang sistem keuangan dan ekonomi global saat ini sehingga benar-benar menghormati hak asasi manusia, melayani kepentingan rakyat dan planet ini.
Untuk Rekomendasi C20 kami yang lebih terperinci, silakan lihat tujuh catatan kebijakan yang dapat dibuka melalui laman berikut ini: https://civil-20.org/media/positions/
Menindaklanjuti Komunike tersebut, berbagai kelompok masyarakat sipil di Indonesia kemudian melakukan diskusi lanjutan untuk merumuskan sikap secara spesifik dari kepada Pemerintah Republik Indonesia dan negara-negara G20 lainnya.  Sikap spesifik tersebut terkait dengan fokus kerja masing-masing organisasi, dikaitkan dengan agenda G20.
 
Transparansi, Investasi dan Perdagangan, serta Migrasi
TuK Indonesia secara spesifik menyoroti tiga hal, yang seluruhnya terkait dengan bagaimana perusahaan harus diatur.  Sangat jelas bahwa perusahaan-perusahaan di dunia ini masih cenderung menutupi berbagai dampak negatif dari operasinya terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.  Oleh karenanya, bersepakat dengan rekomendasi C20, TuK Indonesia menuntut agar Pemerintah Indonesia bisa melakukan pewajiban pelaporan keberlanjutan dengan segera.  Perusahaan-perusahaan besar serta yang melantai di Bursa Efek Indonesia sudah seharusnya diwajibkan melaporkan kebijakan, program dan kinerja keberlanjutannya dengan komprehensif.
Pewajiban pelaporan itu, dengan pengawasan yang ketat atas kebenaran isinya, juga kejelasan tentang apa yang menjadi kewajiban ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan akan bisa mengubah praktik dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dan seluruh dunia.  Ini bisa dilakukan oleh pemerintah dengan membuat regulasi yang tegas, serta menciptakan sistem (dis)insentif yang komprehensif.  Pembedaan antara perusahaan yang bertanggung jawab sosial dengan yang tidak sangatlah perlu dilakukan, sehingga pemangku kepentingan lainnya juga bisa memberikan sikap yang tepat kepada perusahaan-perusahaan itu.
Salah satu pemangku kepentingan yang paling perlu untuk diubah perilakunya adalah lembaga-lembaga jasa keuangan.  “Kalau kita sungguh-sungguh menginginkan perusahaan beroperasi secara berkelanjutan, maka harus dipastikan bahwa hanya mereka yang serius dalam mencapai tujuan keberlanjutan saja yang bisa mendapatkan akses pendanaan.” Demikian pernyataan Jalal, penasihat kebijakan keuangan berkelanjutan TuK Indonesia.  Lebih lanjut lagi, dia menyatakan “Sudah saatnya pendanaan publik maupun swasta ditimbang dengan ukuran yang tegas.  Yang membantu mencapai tujuan SDGs dan Kesepakatan Paris, itulah yang dibiayai.  Yang bertentangan dengan keduanya, segera perlu untuk dimasukkan ke dalam daftar negatif dan tidak dibiayai.  Hanya dengan demikian saja Indonesia dan dunia bisa benar-benar bisa melihat masa depan yang lebih baik.”
Isu perdagangan dan investasi akan menjadi salah satu pembahasan yang juga penting dalam agenda G20. Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai agenda G20 dalam memerangi proteksionisme melalui reformasi kebijakan perdagangan dan investasi internasional harus disikapi secara hati-hati oleh Pemerintah Indonesia, karena hal ini bisa menjadi pukulan balik bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, berpendapat dorongan G20 untuk pendisiplinan terhadap regulasi domestik atas kebijakan perdagangan dan investasi internasional termasuk penegakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, akan semakin mempersempit ruang kebijakan pemerintah Indonesia.  “Jangan sampai, reformasi kebijakan perdagangan dan investasi ini nantinya akan menghambat pencapaian paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan daya saing nasional. Perlu diingat, Pemerintah Indonesia sudah diprotes dan digugat banyak negara akibat menerapkan kebijakan pelarangan ekspor konsentrat untuk memperkuat industri hilir, persyaratan kandungan lokal, dan pembatasan impor di sektor tertentu,” terang Rachmi.
Wahyu Susilo, direktur eksekutif Migrant Care, menyoroti kondisi dunia yang berubah dalam kurun waktu yang sangat cepat. “Kecenderungan politik anti-migrasi yang mengemuka di Amerika setelah terpilihnya Donald Trump dan penguatan populisme kanan di negara-negara anggota G20 adalah ancaman bagi kebebasan bermobilitas pekerja dari negara-negara berkembang dan juga mempersempit ruang aman bagi para pengungsi yang terusir di negara asalnya.” Oleh karena itu, Migrant Care berharap bahwa butir terakhir dari Komunike C20 bisa ditambahkan dengan pernyataan “…tidak diskriminatif, dan memastikan mobilitas pekerja antar-negara dilindungi dalam skema hak asasi manusia.”
 
Sumberdaya Alam, Perubahan Iklim dan Energi
Bersetuju dengan kesimpulan C20, WALHI menilai bahwa selama negara-negara anggota G20 tidak mengoreksi sistem ekonomi neoliberal yang menjadi paradigma ekonomi mereka, maka G20 tidak akan pernah berhasil mencapai pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Rezim pertumbuhan ekonomi global, yang juga dianut oleh pemerintah Indonesia, justru semakin melanggengkan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, termasuk sumber-sumber agraria.  Penguasaan oleh segelintir korporasi atas sumberdaya tersebut hampir selalu berujung pada konflik.
“Ketimpangan ekonomi semakin nyata dan krisis global terus terjadi—seperti krisis iklim dan krisis pangan—akibat monopoli atau penguasaan korporasi dalam sistem pangan global dan sistem produksi pertanian dunia.  Karena mengacu pada perjanjian perdagangan internasional yang memihak pada kepentingan korporasi dan membatasi peran negara, maka ketidakadilan dan krisis adalah keniscayaan.”  Demikian ungkap Khalisah Khalid, juru bicara WALHI.
Terkait dengan perubahan iklim, negara-negara G20 mempunyai peran penting memimpin dunia menuju pembangunan rendah karbon. G20 yang menghasilkan 85% GDP global, bertanggung jawab terhadap 75% emisi global.  Berdasarkan Brown to Green Report 2017 yang diluncurkan oleh Climate Transparency pada awal pekan ini, negara-negara G20 telah memulai transisi menuju ekonomi rendah karbon, namun dinilai masih sangat lambat untuk mencegah terjadinya kenaikan di bawah 2 derajat C sesuai target Kesepakatan Paris.
Indonesia sendiri telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 yang dinyatakan dalam NDC, namun, sayangnya, belum sejalan dengan target Kesepakatan Paris. Kebijakan iklim Indonesia di tingkat sektoral dinilai belum cukup baik, dan minim strategi penurunan emisi jangka panjang.  Walaupun dinilai cukup berhasil dalam upaya pengurangan subsidi bahan bakar fosil, namun di sisi lain dukungan instrumen-instrumen pendanaan publik atas energi terbarukan tidak bertambah. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan Indonesia juga sangat rendah bandingkan dengan negara-negara G20 lainnya.
Berkenaan dengan kondisi tersebut, Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR, menyatakan “Kami meminta Presiden Joko Widodo dalam KTT G20 di Hamburg untuk memperkuat komitmen Indonesia atas Kesepakatan Paris dan mendorong pengurangan emisi GRK di sektor kehutanan, lahan gambut dan energi yang lebih ambisius sebelum 2020.”
 
Pajak dan Industri Ekstraktif
Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, menilai pertemuan KTT G20 di Jerman penting untuk disikapi secara kritis, karena secara langsung akan berimbas pada kebijakan dalam negeri Indonesia.  Terdapat sejumlah butir penting khususnya di sektor pajak dan industri ekstraktif yang harus didorong oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh pemimpin G20.
Lima hal yang menjadi perhatian PWYP Indonesia terutama adalah: Pertama, Indonesia dan negara-negara G20 untuk serius menindak dan mencegah praktik aliran uang ilegal yang berasal dari praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, pencucian uang dan tindakan kriminal lainnya dengan membentuk mekanisme pengawasan yang tepat.  Kedua, Indonesia perlu mendorong adanya transfer pengetahuan dari negara-negara G20 dalam implementasi  Automatic Exchange of Information (AEoI) agar penerapan dapat berjalan secara baik dan efektif.  Ketiga, Pemerintah Indonesia dan negara-negara G20 dituntut serius untuk segera mensahkan peraturan soal beneficial ownership dari perusahaan dan entitas legal lainnya yang mengambil keuntungan di Indonesia.  Keempat, Indonesia dan negara-negara G20 harus mendesak perusahaan multinasional untuk mengimplementasikan informasi country-by-country reporting secara terpisah namun dapat diakses antarnegara.  Terakhir, Indonesia dan negara-negara G20 lainnya penting untuk memastikan perusahaan di sektor ekstraktif untuk mematuhi standar-standar internasional dalam pembangunan berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek HAM, lingkungan, tata kelola (transparansi dan akuntabilitas), serta hak-hak pekerja pada sepanjang rantai nilainya.
Sementara, Prakarsa menyatakan dukungannya bagi langkah Presiden Joko Widodo yang akan mendorong agenda perang terhadap penggelapan pajak secara global pada KTT G20. Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi korban dari praktik penghindaran dan pengelakan pajak harus memaksa seluruh kepala negara anggota G20 untuk bersama-sama memerangi penggelapan pajak.  Pemerintah Indonesia juga harus mendorong kebijakan pajak progresif dan redistributif secara global melalui G20 dan forum multilateral lainnya.  Pajak harus menjadi instrumen bagi peningkatan investasi publik dan peningkatan kesejahteraan sosial serta penurunan ketimpangan.  Selain itu, Presiden Joko Widodo juga harus berani memimpin kerjasama global antar-jurisdiksi pajak dan penegak hukum untuk pencegahan dan penanganan kejahatan ekonomi dan perpajakan.
“Pemerintah Indonesia perlu mengkampanyekan kepatuhan pajak secara global, khususnya kepatuhan korporasi global dan orang super-kaya. Selain itu, Indonesia perlu mendorong kerjasama pemajakan terhadap bisnis digital. Ini penting karena potensi pajak dari sektor bisnis digital sangat besar dan kepatuhan mereka masih sangat rendah.”  Demikian pernyataan Ah Maftuchan, direktur eksekutif Prakarsa.  Dia kemudian melainjutkan,  “Indonesia juga perlu mengajak seluruh negara G20 untuk mendesakkan pembentukan Intergovernmental UN Tax Body. Selain, perlu juga mendorong realisasi kesepakatan global tentang Automatic Exchange of Information (AEoI) dan Base Erosion Profit Shifting (BEPS) agar dilaksanakan secara global pada tahun 2017. Jika mundur, maka akan makin mempersulit langkah-langkah untuk memobilisasi penerimaan negara dari pajak secara akseleratif dan massif.”
 
Pilihan bagi Indonesia
Seluruh organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung di dalam ICFP sangat menekankan betapa pentingnya agenda-agenda tersebut untuk segera dijalankan, agar penerimaan negara dari pajak terus meningkat tajam dan kemampuan negara untuk membiayai pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk menciptakan kesejahteraan sosial, akan makin meningkat pula.  Reformasi perpajakan memang dapat menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk bahu-membahu mendorong sistem ekonomi-politik yang lebih berkeadilan, menyejahterakan majoritas masyarakat, dan berkelanjutan.  Tidak saja bagi rakyat Indonesia tetapi juga bagi rakyat di belahan lain secara global.
Namun, yang sangat penting diingat adalah bahwa seluruh tugas tersebut sangatlah berat, sehingga membutuhkan disiplin yang sangat tinggi dalam merencanakan dan mengeksekusinya.  Indonesia kini masih dipandang sebagai anak bawang di antara negara-negara G20, terutama lantaran ukuran ekonomi yang masih berada di nomor 16.  Tetapi, kalau memang Indonesia ingin berdiri tegak di antara negara-negara G20 lainnya—dan mewujudkan ramalan bahwa kita akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 7 (menurut McKinsey) atau nomor 6 (menurut PwC) di tahun 2030, dan menjadi nomor 5 di tahun 2050—tak ada pilihan selain bersama-sama seluruh komponen bangsa Indonesia yang progresif untuk bekerja keras mewujudkannya, di antaranya dengan menjalankan berbagai masukan di atas.  Menjalankan masukan-masukan tersebut sangatlah penting karena menjadi kekuatan ekonomi yang lebih besar dibandingkan sekarang tidaklah otomatis berarti kebaikan bagi masyarakat Indonesia apabila keadilan dan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak terwujud.
Pilihan lainnya adalah terus bekerja secara business as usual, menyia-nyiakan berbagai peluang yang sekarang sebetulnya dimiliki Indonesia, dan terus menjadi negara yang berada di hampir nomor buncit di antara negara-negara G20, dan terus terancam keberlanjutannya.  “Kalau memang tidak bersedia bekerja keras untuk memantaskan diri naik peringkat di G20, mungkin lebih baik menyerah saja sekarang.  Keluar dari G20 mungkin lebih terhormat, daripada mempermalukan 250 juta warga Indonesia di hadapan lebih dari 7 miliar penduduk Bumi.”  Demikian yang disampaikan Edi Sutrisno, direktur advokasi TuK Indonesia, menutup diskusi.
 
Jakarta, 6 Juli 2017
Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri (Indonesia Civil Society Forum on Foreign PolicyICFP) terdiri dari IESR – IGJ – INFID – Migrant Care – Prakarsa – PWYP Indonesia – Transparency International Indonesia – TuK Indonesia – WALHI.  Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ICFP, hubungi Asri Nuraeni (+62-813-54723226) dan Agung Budiono (+62-812-91697629).

Review Perizinan

PT Wira Mas Permai dan Dampaknya terhadap Kehidupan Masyarakat Lokal di Kecamatan Bualemo, Kab. Banggai, Sulawesi Tengah. 
 
PT. Wira Mas Permai (PT WMP) adalah salah satu perusahaan budidaya kelapa sawit di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai yang mendapatkan Izin Lokasi dari Bupati Banggai pada tahun 2009. Meski demikian, kemunculan PT WMP di Bualemo dapat ditelusuri sejak tahun 2007 dan 2008 dimana PT WMP mulai melakukan negosiasi-negosiasi terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini.
Keberadaan PT. Wira Mas Permai (PT WMP) di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sejak awal sudah memunculkan kontroversi, bahkan mendapatkan penolakan dari masyarakat. PT WMP merupakan anak perusahaan dari Kencana Agri Group yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia dan bergerak di bisnis perkebunan kelapa sawit. Salah satu alasan utama dari penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap PT WMP yang muncul saat ini dikarenakan keberadaannya telah memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan dan kehidupan social ekonomi masyarakat.
PT. Wira Mas Permai sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit awalnya mengantongi izin lokasi seluas 17.500 hektar berdasarkan Keputusan Bupati Banggai Nomor: 522.26/Disbun tertanggal 3 Februari 2009 tentang Penetapan Izin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit Kepada PT. Wira Mas Permai. Sedangkan areal Hak Guna Usaha (HGU) yang dikuasai oleh PT WMP seluas 8.493 Ha. Namun faktanya sampai saat ini, pihak perusahaan tidak mengusahakan secara aktif –bahkan dapat dikatakan tidak sepenuhnya menguasai luasan lahan sebagaimana yang disebutkan dalam izin di atas.
Sejatinya, keberadaan suatu perusahaan di suatu wilayah dapat memberikan dampak perekonomian yang baik bagi masyarakat sekitar. Karena akan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat sekitar. Namun keberadaan PT. WMP di Kecamatan Bualemo justru mengakibatkan kondisi kehidupan masyarakat terpuruk dan merusak lingkungan di sekitarnya. Dari awal keberadaannya, PT WMP diindikasikan mendapatkan tanah melalui proses-proses penyerobotan paksa lahan masyarakat untuk dijadikan lokasi perkebunan kelapa sawit….
 
Selengkapnya https://drive.google.com/open?id=0B-NrsmIaftChb2tXNm1sQlVod28

Walhi Minta Bank Green Kredit, ini Alasannya

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi memeringati Hari Lingkungan Hidup dengan mengadakan aksi damai di simpang Bank Indonesia, Telanaipura, Senin (5/6).
“Sekaligus kami dari Walhi dan Sahabat Walhi, mengampanyekan perbankan hari ini masih banyak memberikan kredit ke perusahaan pelaku pengrusakan lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia,” kata Abdul, Manajer Kampanye dan Penguatan Jaringan Walhi Jambi.
Walhi menuntut bank-bank yang memberikan kredit harusnya lebih teliti. “Atau memberikan semacam garansi ketika memberikan modal dan kredit. Atau lebih terbuka memberikan kredit ke perusahaan-perusahaan dan industri kelapa sawit. Misalnya juga menerapkan seperti green kredit dan semacamnya,” ungkapnya.
Pihaknya sudah melakukan tracking ke beberapa bank. Walhi akan mempublikasikan setelah data lengkap.
Sumber http://www.walhi-jambi.com/2017/06/walhi-minta-bank-green-kredit-ini.html – .WT_2_6Nh1p8
 

SOLIDARITAS ORGANISASI SIPIL (SOS) di TANAH PAPUA

Kami yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua (SOS TANAH PAPUA) , Jayapura, Papua. Secara bersama melakukan aksi solidaritas untuk mengingatkan kepada kita semua dan juga kepada negara. Bahwa sejarah telah tertulis sejak adanya UU No 1 /1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) telah menyebabkan terjadinya konflik agraria, perampasan lahan , kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM, karena inilah awal mulanya masuk investor asing ke Indonesia. Dua tahun kemudian yakni tahun 1969 Tanah Papua baru masuk menjadi bagian dari Indonesia.
Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudia pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia meratifikasi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights –  ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No.11 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pada tataran Papua dan Papua Barat telah mempunyai UU Otonomi Khusus yakni dengan adanya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan perubahan UU Otsus melalui UU Nomor 35 Tahun 2008 yang didalamnya tersirat Perlindungan (Protection), Pemberdayaan (empowerment) dan keberpihakan (alfirmasi action) yang merupakan roh dari Undang-undang Otonomi khusus Papua kepada masyarakat adat Papua.
Selengkapnya PERNYATAAN SIKAP SOS di TANAH PAPUA

Database forestsandfinance.org telah Diperbaharui

INVESTOR DAN BANK DARI JEPANG DAN MALAYSIA TERUS MEMASUKAN MILIARAN DOLAR KE DALAM PERUSAHAAN YANG BERISIKO KEPADA HUTAN, TANPA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL YANG CUKUP                                                                                                         
Juni 2017
 
Database forestsandfinance.org telah diperbarui dengan informasi mengenai aliran uang ke perusahaan-perusahaan di kawasan Asia tenggara yang berisiko kepada kehutanan sejak tahun 2010, mengungkapkan besarnya peran bank dan investor dari Jepang dan Malaysia dalam membiayai perusahan-perusahaan yang operasinya memberikan dampak kepada hutan tropis alami dan masyarakat yang bergantung kepada hutan tersebut.
Semenjak menerbitkan database awal pada September 2016, beberapa perubahan telah dilakukan kepada metodologi dan pemilihan perusahaan, supaya dapat lebih merepresentasikan aliran uang ke rantai pasok minyak sawit, pulp dan kertas, kayu ,dan karet di kawasan Asia Tenggara. Database-nya saat ini memasukan lebih dari 180 perusahaan dan didasarkan kepada metodologi yang lebih komprehensif, yang mencakup tidak hanya uang yang disediakan ke aktivitas pengolahan utama dan produksi dari perusahaan-perusahaan yang berisiko kepada kehutanan, namun sekarang juga kepada aktivitas-aktivitas rantai pasok hilir dan tengah (midstream), termasuk aktivitas perdagangan dan pabrikan.
Penelitian menemukan bahwa antara tahun 2010 dan 2016 terdapat fasilitas penjaminan (underwriting) dan pinjaman perusahaan (corporate loans) yang bernilai setidaknya USD 72 miliar disediakan untuk operasi yang berisiko kepada kehutanan dari 183 perusahaan yang terdapat di database.2 Bank-bank yang berkantor pusat di Jepang, Malaysia, Eropa, Cina, Indonesia, Singapura, Amerika Serikat dan Taiwan merupakan pemodal terbesar, dan bank-bank yang paling terekspos adalah Sumitomo Mitsui Financial, Malayan Banking, Mizuho Financial, CIMB, RHB Banking, HSBC, Mitsubishi UFJ, Bank Rakyat Indonesia, OCBC, DBS, China Development Bank, Standard Chartered, Credit Suisse, Bank Mandiri & Industrial dan Commercial Bank of China.
Selengkapnya https://drive.google.com/open?id=0B-NrsmIaftChcElwOUxHNDVSMVU
 
 
 

Tanpa penggundulan hutan: Komitmen pada perubahan

Artikel dari TuK, Profundo, RAN dan Fern untuk publikasi ETFRN 58 Zero deforestation: A commitment to change.
Download artikel (di Bahasa inggris)

Pernyataan Pers Bersama

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia

Tolak Hutang Baru Untuk Pembangunan Infrastruktur

[Jakarta, 2 Maret 2017] Melanjutkan serangkaian kebijakan Pinjaman Bank Pembangunan Multilateral di dunia, World Bank, IFC, ADB dan berbagai pendana bilateral yang memberikan pinjaman dan investasi mendukung rekomendasi mereka bahwa Pemerintah Indonesia meluncurkan perantara keuangan infrastruktur penuh kontroversi dan resiko tinggi. Secara umum, telah ditemukan bahwa risiko lingkungan dan sosial yang terkait dengan “financial intermediaries” cukup tinggi, sementara uji tuntas lingkungan, sosial dan fidusia dan kinerjanya secara keseluruhan cukup rendah.

Pendanaan dari Bank Pembangunan Multilateral ini telah menjadi subyek dari pengawasan publik selama beberapa tahun, dan berbagai analisis besar risikonya bagi masyarakat dan lingkungan, serta potensi pelanggaran terhadap safeguard World Bank, IFC dan ADB telah diidentifikasi dalam konteks PT. IIF dan RIDF misalnya, serta perantara keuangan infrastruktur Indonesia lainnya. Kelemahan yang mencolok terdapat di uji tuntas lingkungan, sosial dan keuangan telah ditemukan serta risiko yang tinggi berdampak pada masyarakat yang terkena dampak dan lingkungan, dampak pada wanita, kelompok rentan, hak atas tanah, akses ke informasi, kurangnya konsultasi dan/atau konsultasi palsu, dari investasi atau jaminan yang ada dan direncanakan.

Buruknya financial intermediaries ini adalah kini mereka bergerak ke arah penggunaan “sistem peminjam” untuk kerangka perlindungan social dan lingkungannya. Publik pun akhirnya melihat pada masalah aturan AMDAL, undang-undang pembebasan lahan, aturan tentang partisipasi masyarakat dan konsultasi; melemahnya peran AMDAL, aturan baru yang mempercepat perampasan tanah, melemahkan hukum tanah yang ada dan mengurangi jangka waktu komentar publik; selain itu terdapat juga masalah dengan mekanisme pengaduan; perlindungan keanekaragaman hayati; tanah adat dan hak-hak; proses perijinan lingkungan dll

Hutang baru untuk pendanaan infrastruktur Indonesia akan segera diputuskan. Gabungan pendanaan untuk RIDF sebesar USD 400 juta, yang terdiri dari USD 100 juta berasal dari pinjaman dari AIIB, USD 100 juta berasal dari pinjaman dari WB, dan USD 200 juta berasal dari kontribusi ekuitas PT SMI. Pinjaman Proyek tambahan untuk PT. IIF mencapai 200 juta dollar dari Bank Dunia. Para Eksekutif Direktur Bank Dunia dan AIIB merencanakan akan memutuskan RIDF sekitar 10 Maret 2017, sedangkan suntikan dana untuk PT. IIF direncanakan akan diputuskan Bank Dunia pada 22 Maret.

Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) banyak memberi pinjaman ke Indonesia pada beberapa proyek, yang juga bergandengan dengan Bank Dunia. Dia didirikan pada 2016 oleh pemerintah RRC, dengan keanggotaan dari banyak negara, untuk mengatasi kebutuhan pembangunan infrastruktur di Asia. Selain RIDF, di Indonesia, AIIB telah menyetujui satu proyek co-finance bersama dengan Bank Dunia (IBRD) yaitu National Slum Upgrading Project (NSUP) bagian dari program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh).

Regional Infrastructure Development Fund Project (RIDF)

Salah satu proyek yang akan dibahas persetujuannya oleh AIIB pada bulan Maret 2017 adalah RIDF. Proyek ini sendiri merupakan keberlanjutan dari hutang yang diberikan Bank Dunia kepada PT SMI, sebagai bentuk kepersertaan modal melalui PT IIF, yang menggunakan model KSP / PPP untuk pembangunan infrastruktur. Dan setelah proyek ini selesai dilanjutkan dengan usulan co-finance bersama AIIB.

Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan akses pembiayaan infrastruktur di tingkat daerah melalui perantara keuangan. Penerima manfaat proyek utama adalah penduduk daerah-daerah yang akan dilayani oleh subproyek infrastruktur yang didanai oleh sub-pinjaman di bawah proyek. RIDF yang diusulkan sebagai solusi pembiayaan untuk infrastruktur perkotaan, yang meliputi serangkaian investasi sektor nasional vertikal dan program bantuan teknis untuk: (i) sistem transportasi perkotaan; (ii) penyediaan air perkotaan dan sanitasi; (iii) drainase, banjir dan risiko bahaya; (iv) perbaikan permukiman kumuh dan risiko bahaya; dan (v) sistem pengelolaan sampah. Proyek ini akan dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Dan proyek RIDF ini juga terdapat dalam informasi yang diunggah PT SMI sebagai proyek dalam proses persetujuan.

Proyek ini terdiri dari dua komponen, yaitu :

  1. Dukungan Modal untuk RIDF sebesar USD 400 juta, yang terdiri dari USD 100 juta berasal dari hutang AIIB, USD 100 juta berasal dari hutang WB, dan USD 200 juta berasal dari kontribusi ekuitas PT SMI. RIDF melalui PT.SMI akan memberikan pinjaman langsung kepada pemerintah daerah yang fokus di tingkat kabupaten (kota dan kabupaten), dan ke perusahaan lokal tingkat milik negara (misalnya PDAM (utilitas publik tingkat lokal), dan Perusahaan Daerah (PD) atau perusahaan pemerintah tingkat Regional). Juga, RIDF akan mendanai sub-proyek untuk infrastruktur produktif, lingkungan, dan sosial yang menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah di bawah sistem desentralisasi di Indonesia.
  2. Fasilitas Pengembangan Proyek RIDF senilai USD 6 juta yang terdiri dari USD 3 juta pembiayaan hibah bilateral berasal dari Swiss dan USD 3 juta sebagai kontribusi peminjam. Dukungan Fasilitas Pengembangan Proyek (PDF) ini akan membantu memastikan bahwa sub-proyek yang konsisten dengan standar penilaian teknis, keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan dari RIDF. Kegiatan yang memenuhi syarat untuk dukungan PDF meliputi: identifikasi proyek dan penataan awal; studi persiapan proyek, termasuk 3 studi kelayakan dan desain rekayasa rinci; desain dan pengawasan bantuan; jasa konsultasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan, penilaian lingkungan dan sosial, dll .dan persiapan pengadaan dan kontrak dokumen

Dan AIIB telah memutuskan untuk menggunakan ESSP Bank Dunia (WB)  dan di bawah ESSP, proyek ini dikategori FI, karena melibatkan investasi dari Dana Bank melalui perantara keuangan, PT. SMI.

Menurut Green Climate Fund (GCF), sebuah lembaga internasional yang menilai kepatutan PT. SMI untuk terima dana dari GCF, anehnya bukan hanya bahwa PT. SMI tidak memiliki kebijakan keterbukaan [disclosure policy] yang memang biasa tetapi juga “tidak membuktikan bukti “track record” dalam procurement skala besar”.[1]

Indonesia Infrastructure Finance (IIF)

Indonesia Infrastructure Finance (IIF) didirikan pada tanggal 15 Januari 2010 sebagai inisiatif Pemerintah Indonesia. IIF terstruktur sebagai lembaga keuangan swasta non-bank bekerja sama dengan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lembaga-lembaga multilateral internasional lainnya di bawah regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 100 / PMK.010 / 2009 tanggal 27 Mei 2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur[2] dengan fokus pada investasi di proyek-proyek infrastruktur yang layak secara komersial di Indonesia dan untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur negara.

Pendirian PT IIF diharapkan dapat mendukung akselerasi pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Swasta /Public Private Partnership (KPS/PPP) di bidang infrastruktur, melengkapi program penyediaan dana land capping, program penyediaan dana bergulir untuk pembebasan tanah (land revolving fund), dan memperkuat sinergi dengan institusi institusi yang telah dibentuk sebelumnya yaitu PT SMI dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII).

PT.IIF didukung oleh Pemerintah  Indonesia dan Lembaga-Lembaga multilateral dunia yang tercermin dalam kepemilikan saham. Dan karena PT.IIF sumber dananya melalui salah satu group Bank Dunia yaitu IFC, dan ADB, maka berlaku praktik terbaik berstandar internasional dalam hal perlindungan sosial dan lingkungan (ESMF) dan tata kelola perusahaan yang baik dalam rangka untuk mempromosikan pengembangan proyek infrastruktur yang lebih berkelanjutan di Indonesia.

Terdapat beberapa pinjaman WB dan IFC dan investasi, termasuk pinjaman WB $ 100 juta ke dana infrastruktur yang dimiliki Kementerian Keuangan (Kategori FI, Disetujui 2009; Tanggal penutupan 2016.) Kemungkinan Bank Dunia berencana untuk memberikan tambahan dana sebesar $ 250 juta kepada IIF, namun hal ini belum jelas. Terlepas dari kenyataan bahwa awal proyek Bank Dunia dimulai pada tahun 2009, sebagian besar dana dari proyek pertama ($ 97 juta) terutama baru dikeluarkan pada tahun 2014 untuk “proyek-proyek infrastruktur yang memenuhi syarat”.

Pada 2015, IIF telah mencairkan pinjaman subordinasi dari Bank Dunia sebesar US$ 2,7 juta sehingga jumlah pinjaman subordinasi total adalah US$ 199,4 juta dari total fasilitas US$ 200 juta. Selain itu, IIF mendapatkan fasilitas pinjaman baru dari Bank Mandiri senilai Rp 150 miliar dari total fasilitas pinjaman Rp 1 triliun.

Menurut laman PT IIF, proyek infrastruktur yang menjadi sasaran pembiayaan PT IIF adalah :

  1. Infrastruktur Transportasi, meliputi pelayanan jasa ke bandar-udaraan, penyediaan dan/atau pelayanan jasa ke pelabuhanan, sarana dan prasarana perkereta-apian.
  2. Infrastruktur Jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol.
  3. Infrastruktur Pengairan, meliputi saluran pembawa air baku.
  4. Infrastruktur Air Minum, yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum.
  5. Infrastruktur Air Limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan.
  6. Infrastruktur Komunikasi dan Informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government.
  7. Infrastruktur Ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari energi terbarukan, transmisi, atau distribusi tenaga listrik.
  8. Oil And Gas Infrastructure, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.

Berdasarkan release yang disampaikan PT IIF, telah mencakup hampir 20 proyek termasuk jalan tol, pengelola bandara dan bengkel perawatan pesawat, operator pelabuhan, infrastruktur telekomunikasi, pembangkit listrik (PLTA besar, kecil, PLTU, pembangkit listrik tenaga matahari), produsen gas dan pipa gas. Pada bidang layanan advisory, Indonesia Infrastructure Finance juga telah berhasil menjadi konsultan pendamping proyek jalan tol Trans Sumatera dan proyek pengadaan air bersih di Semarang Barat.

  1. Pinjaman kepada PT Angkasa Pura II (Persero) untuk pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Terminal 3 Ultimate) dan bandara lain di bawah lingkungan perusahaan
  2. Penyertaan setoran modal sebesar Rp 300.000.000.000 (tiga ratus miliar rupiah) dalam bentuk Mandatory Convertible Bond dengan jangka waktu selama 5 tahun kepada PT. Sumberdaya Sewatama, untuk membiayai pembangunan proyek-proyek pembangkit tenaga listrik menggunakan bahan bakar energi bersih dan baru terbarukan yang disiapkan Perseroan.
  3. Pembiayaan proyek Konstruksi Pipa Gas Bawah Laut sepanjang 13,5Km dari Pulau Pemping ke Tanjung Uncang, Batam.
  4. Pembiayaan Proyek Tol Cipali.
  5. Bekerjasama dengan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) untuk program pembiayaan proyek infrastruktur di daerah.
  6. Sebagai MandatedLead Arranger, pembiayaan pembangunan jaringan tulang punggung serat optik nasional Palapa Ring Paket Tengah untuk  PT Len Telekomunikasi Indonesia (PT LTI)
  7. Pembiayaan bersama (co-financing) untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia bersama PT Kopelindo Infrastruktur Indonesia (Kopel Infrastruktur)
  8. Konsultan pendamping proyek jalan tol Trans Sumatera dan
  9. Proyek pengadaan air bersih di Semarang Barat.

Tuntutan

1) Dewan Pengurus AIIB dan BD mesti Menolak RIDF dan IIF

Pada bulan Maret, Dewan Pengurus AIIB dan BD merencanakan ambil keputusan tentang apakah BD dan AIIB patut mendanai RIDF dan PT IIF. Tapi oleh karena pelanggaran Safeguards BD dan risiko tinggi untuk lingkungan dan masyrakat, Koalisi menuntuk Dewan Pengurus AIIB dan BD untuk menolak RIDF dan IIF yang sangat berisiko.

 Jika melihat waktu disetujuinya RIDF II ini oleh World Bank – AIIB, maka Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial dalam proyek RIDF II ini adalah Safeguards Bank Dunia, bukan ESF World Bank yang tahun lalu disahkan. Sehingga sepatutnya, kalau dalam sebuah proyek BD, kalau ada proposal untuk penggunaan sebuah “sistem peminjam” – yaitu undang-undang, PP dll dari negara peminjam dari pada Safeguards BD, harus ikuti syarat Country Safeguards System (CSS) yang mewajibkan pembuktian bahwa perlindungan atas lingkungan dan masyraka di “sistem peminjam” sama kuatnya dibandangkan dengan syarat BD. Misalnya ada syarat BD bahwa harus ada proses konsultasi yang berarti [meaningful consultation] selama sekitar 120 hari sebelum ada keputusan tengang proyek; penggusuran perlu dihindari dan kalau tidak bisa dihindari harus ada proses konsultasi jelas, adil dan tanpa koersi atau kekerasaan untuk membangun sama rakyat yang kena dampak sebuah Rencana Pemindahan yang menjamin pendapatan rakyat yang dipindahkan tidak akan jatuh, mala naik.  Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa standard national memberi pelindungan yang sama, dilarang memakai standard nasional kalau lebih lemah dari perlindungan BD. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan isi dari ESMF RIDF. Disebutkan bahwa ESMF ini disusun berdasarkan peraturan Pemerintah Indonesia, ESS (Environmental and Social Standards) PT. SMI dan Standar Internasional termasuk Kebijakan Safeguards Bank Dunia (OP 4.01, OP 4.04, OP 4.09, OP 4.36, OP 4.11, OP 4.37 dan OP 4.10 and OP 4.12).[3] Jika demikian adanya, Kerangka Perlindungan dalam proyek RIDF ini justru mendasarkan pada penggunaan system perlindungan Negara peminjam, yang tidak equivalen dengan Safeguards Bank Dunia yang adalah melanggar ketentuan Bank Dunia sendiri.

 RIDF dan IIF merupakan fasilitas pembiayaan untuk pembangunan berbagai sarana infrastruktur yang akan dilakukan di daerah. Deklarasi tentang Hak untuk Pembangunan, yang disahkan Sidang Umum PBB 41/128 tanggal 4 Desember 1986 telah menyatakan bahwa Hak atas pembangunan merupakan Hak Asasi Manusia, yang juga mengandung arti diwujudkannya sepenuhnya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, yang mencakup, tunduk pada ketentuan berkaitan dari kedua Persetujuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, pelaksanaan hak mereka yang tak terpisahkan terhadap kedaulatan sepenuhnya atas semua kekayaan alam dan sumberdaya. Hal ini patut menjadi perhatian bagi Negara dalam melaksanakan pembangunan.[4]

Selain tuntutan di atas, Koalisi juga menuntut:

  1. Mengingat sampai kini dokumen proyek (yg mana? Keduaduanya?)hanya ada dalam Bahasa Inggris, maka Bank Dunia dan AIIB wajib memberikan informasi seluas-luasnya, mengkonsultasikan terkait proyek ini, serta memberikan berbagai dokumen proyek dalam bahasa Indonesia;
  2. Memastikan negara Indonesia menaati keseluruhan ketentuan perlindungan sosial dan lingkungan (safeguards) Bank Dunia, guna meminimalisasi pelanggaran atas hak-hak warga yang terdampak dari pelaksanaan proyek RIDF da PT. IIF di daerah;
  3. Pelemahan system perlindungan social dan lingkungan harus dihindari, sehingga penggunaan system perlindungan yang diatur Negara peminjam harus dihindari;
  4. Proyek pembangunan infrastruktur di daerah merupakan proyek yang kerap menggunakan pengamanan dan pemaksaan oleh polisi atau militer. Maka harus ada larangan eksplisit mengikat secara hukum pada penggunaan pasukan keamanan bersenjata, ancaman dan kekerasan terhadap masyarakat dengan klausul yang mengikat secara hukum, bahwa setiap ancaman tersebut atau penggunaan kekerasan terhadap masyarakat atau organisasi masyarakat sipil akan mengakibatkan pembatalan proyek;
  5. Bank Dunia dan AIIB harus bertanggungjawab penuh terhadap pembebasan lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; Pertama, penggusurah harus dihindari; Kedua, semua syarat BD untuk pemindahan perlu diimplementasikan 100%.
  6. Bank Dunia dan AIIB mendorong penyelesaian hukum terhadap setiap penyalahgunaan anggaran proyek, dan membangun mekanisme  pengawasan yang ketat  guna  menghindari  terjadinya  korupsi  proyek;

Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia

(WALHI – ILRC – ELSAM – The Ecological Justice – TuK INDONESIA)

 

Kontak:

Zenzi Suhadi (WALHI)                                                : 081289850005

Siti Aminah Tardi (ILRC)                                            : 081908174177

Andi Muttaqien (ELSAM)                                           : 08121996984

Rio Ismail (The Ecological Justice)                           : 081290230558

Vera Falinda (TuK INDONESIA)                              : 082177889183

[1] GCF, Consideration of accreditation proposals, 12/2/16: “Moreover, the applicant has not provided evidence of its track record for large-scale procurement”.  Ini luar biasa karena PT SMI telah bertahun2 terlibat procurement untuk proyek skala besar dimana ada risiko tinggi untuk korupsi.

 
[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 /Pmk.010/2009 Tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
[3] Ibid, hal 3
[4] Selengkapnya lihat Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UN Declaration on the Right to Development A/RES/41/128, 4 December 1986
 
 

Pendekatan Regulasi untuk Keberlanjutan dalam Perbankan Komersial

Oleh: Julian Müller, Profundo (Amsterdam).
Bidang perbankan yang berkelanjutan didominasi oleh kerangka kerja sukarela karena penggabungan dari kriteria keberlanjutan dalam pekerjaan perbankan, tetapi peraturan yang mengikat diperlukan agar berbagai inisiatif tersebut dapat lebih mengikat. Sejak tahun 2010, beberapa Negara telah mempelopori pendekatan regulasi ini. Bangladesh, Brazil, dan Cina adalah Negara-negara yang paling terdepan, Bangladesh dan Cina memimpin pendekatan regulasi tersebut dengan tidak hanya mensyaratkan penggabungan kriteria keberlanjutan, tetapi juga membuat alat untuk memantau keberhasilan dari berbagai inisiatif tersebut, misalnya standarisasi format yang bank harus gunakan ketika membuat laporan kepada otoritas pengawasan. Bangladesh menggunakan berbagai instrument untuk skala yang lebih luas, dari mengawasi perbankan hingga kebijakan moneter, dan dari insentif pinjaman “hijau” hingga ke kuota wajib. Lebih lanjut lagi, instrument tersebut juga mensyaratkan pelaporan tentang resiko manajemen lingkundan dari regulasi bank dengan standar baku dan mengumumkan informasinya per tiga bulan, masyarakat umum dan masyarakat sipil juga memiliki peran dalam melakukan pemantauan.
Langkah-langkah ini menunjukkan apa yang bisa dilakukan untuk menstimulasi bank untuk menaikkan suplai pendanaan ke bisnis yang berkelanjutan dan mengurangi pembiayaan ke binis yang tidak berkelanjutan. Meskipun demikian, langkah-langkah lain dari sisi permintaan harus lebih banyak dilakukan juga. Pemerintah harus menggunakan langkah-langkah ekonomi yang tepat, kebijakan lingkungan dan fiskal, seperti insentif pajak, subsidi atau denda, untuk mendorong bisnis non fiskal agar investasinya terus berlanjut. Hal ini akan mendorong pembiayaan keberlanjutan yang ditawarkan oleh bank.
Bersama dengan Kementarian Lingkungan dan Kehutanan, Otoritas Jasa Keuangan yang juga berperan dalam regulasi perbankan, tahun 2014 diluncurkan “Roadmap Pembiayaan Keberlanjutan di Indonesia,” sebuah rencana kerja untuk mencapai transisi menuju sektor keuangan yang berkelanjutan di Indonesia sampai tahun 2024. Roadmap tersebut menyatakan bahwa lembaga keuangan dibawah otoritas OJK “diharapkan untuk mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan dalam resiko managemen dan tata kelola perusahaan, dan menyediakan laporan perkembangan tentang implementasi pembiayaan berkelanjutan ke publik.” Inisiatif ini pantas mendapatkan banyak dukungan dari pihak-pihak yang tertarik dan terkena dampak dari peraturan ini, termasuk industri perbankan itu sendiri jika hal tersebut untuk membuat perkembangan yang baik. OJK harus didorong untuk belajar dari para pelopor seperti Bangladesh, sementara pemerintah Indonesia harus mendampingi dan mendorong langkah-langkah sisi penawaran ini dengan kebijakan ekonomi dan lingkungan yang juga akan merubah tuntutan pembiayaan.
 

Respon TuK INDONESIA terhadap Pernyataan Sime Darby mengenai TuK Factsheet: “Perampasan Tanah oleh Sime Darby di Indonesia”

Jakarta, 14 Desember 2016 – Kami merujuk pada Pernyataan tentang Lembar fakta TuK INDONESIA oleh Sime Darby pada tanggal 8 November 2016. Masyarakat adat Dayak dari Kerunang dan Entapang telah lama melibatkan Sime Darby untuk menyelesaikan hak tanah adat mereka.
Sebagai anggota RSPO, Sime Darby plantation, seharusnya mengupayakan penyelesaian konflik tanah yang melibatkan PT MAS dengan mematuhi Prinsip dan Kriteria RSPO 2013.
Sejak 1995/1996, perusahaan [PT MAS] tidak pernah memberitahukan masyarakat Kerunang dan Entapang bahwa hak tanah/adat mereka telah dijadikan sebagai jaminan perjanjian antara Sime Darby Plantation dan Pemerintah Indonesia.

Masyarakat dusun Kerunang dan dusun Entapang percaya bahwa pemerintah Indonesia akan menegakkan dan menjalankan kewajiban Negara untuk melindungi, mengakui dan memenuhi hak konstitusi dan HAM setiap warga Negara Indonesia.
Sime Darby Plantation memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memulihkan dampak-dampak kegiatan perusahaan terhadap HAM masyarakat yang terkena dampak di wilayah-wilayah kegiatan mereka sebagaimana tercantum dalam Kriteria 6.13 RSPO dan UNGP.
Apa yang disampaikan Sime Darby dalam pernyataan tertulis 8 November justru menambahkan uraian terhadap lembar fakta tersebut:
1. Masyarakat Kerunang dan Entapang menyampaikan dengan dengan jelas dalam pengaduan kepada RSPO bahwa pengaduan ditujukan kepada Sime Darby group sebagai anggota RSPO yang memiliki kendali kepemilikan dan keputusan atas PT MAS II. Disisi lain, kepemimpinan dan perwakilan PT MAS dalam TKPP memiliki benturan kepentingan sebab beliau terlibat langsung dalam pembebasan lahan yang menjadi pokok persoalan pengaduan masyarakat kepada RSPO. Dengan mundur dari TKPP, dusun Kerunang dan dusun Entapang tetap menghormati hak kampung-kampung lain untuk meneruskan proses tim TKPP. Selain itu, keluhan-keluhan yang disampaikan utusan Kerunang dan Entapang tidak pernah ditangani oleh TKPP dan proses pengambilan keputusan TKPP tidak cermat dan kurang partisipatif. Proses TKPP membiarkan masyarakat dusun Kerunang dan dusun Entapang ‘ngambang’ dengan istilah bahwa diatas kertas tuntutan dinyatakan ‘selesai’ atau ‘ditutup’ padahal kenyataan implementasinya tidak benar- benar dijalankan.

Dusun Kerunang dan Entapang menyerahkan tanah hak/adat yang sangat luas dibandingkan kampung-kampung tetangga lainnya. Sime Darby melaporkan bahwa 12 tuntutan telah diselesaikan per Juli 2015 tanpa terlebih dahulu memahami dengan jelas perihal tuntutan tentang hak tanah/adat. Dengan kata lain, sebelum menangani tuntuta- tuntutan lainnya, Sime Darby harus memastikan PT MAS mendata dan melakukan pemetaan partisipatif tentang luas lahan yang disengketakan sebagaimana disyarakatkan oleh standar RSPO.
2. Masyarakat dusun Kerunang dan Entapang juga telah melibatkan PT MAS sejak 1995/11996. Bahkan pertemuan terakhir dengan perwakilan Sime Darby Plantation dilaksanakan di Kuala Lumpur pada saat konferensi tahunan RT13 RSPO bulan November 2015. Masyarakat banyak belajar dari berbagai urusan dengan PT MAS II dan dengan sabar terus mencoba jalan keluar penyelesaian termasuk aksi damai pada tahun 2007 yang berakhir kriminalisasi pemenjaraan terhadap 4 anggota masyarakat. Ada persoalan sistemik dengan PT MAS yang hanya dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan dengan mematuhi standar RSPO, dan komitmen kelompok oleh Sime Darby Plantation.
Masyarakat dusun Kerunang dan dusun Entapang menyambut baik Sime Darby Plantation yang tidak hanya membantu tetapi juga proaktif berkerjasama dengan masyarakat Kerunang dan Entapang untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengembalikan tanah masyarakat, setidak-tidaknya dengan mematuhi Prinsip dan Kriteria RSPO.
Untuk lebih jelasnya, silahkan unduh lembaran fakta perampasan tanah oleh Sime Darby di Indonesia pada tautan dibawah ini:
http://www.tuk.or.id/fact-sheet-sime-darby-bahasa/
 
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Edi Sutrisno (Advocacy Director TuK INDONESIA)
Telp: +62877-1124-6094
Email: [email protected] 
http://www.tuk.or.id
 
Hadiya Rasyid (Communication Officer TuK INDONESIA)
Telp: +6285355631430
Email: [email protected] 
www.tuk.or.id