Merauke Integrated Food and Energy Estate: Melanggar Hak-hak Masyarakat Adat di Merauke dan Meruntuhkan Nilai-nilai Sosial, Ekonomi dan Budaya

Implementasi UU No. 21 tahun 20101 tentang Otonomi Khusus Papua belum memberikan keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua. Berbagai proyek pembangunan, khususnya yang dilakukan di Merauke tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengetahui proses pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. Sebaliknya, malah mengakibatkan tercabutnya hak-hak masyarakat asli Papua dan maraknya pelanggaran hak asasi manusia.
Padahal, permintaan masyarakat Papua untuk memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Papua ini ditujukan untuk mengkoreksi ketidakadilan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahan orde baru.
Melalui UU Otsus Papua, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih memenuhi rasa keadilan, memberikan kesejahteraan rakyat, lebih memperhatikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan dan sumber daya alam Papua diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
Penyimpangan terhadap maksud otonomi khusus Papua tersebut disebabkan, salah satunya, oleh dilaksanakannya mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang mulai dilaksanakan sejak 2010 telah mengakibatkan terjadinya perampasan hak-hak atas tanah dan pelanggaran hak asasi  manusia masyarakat adat di Merauke.
MIFEE yang secara resmi diluncurkan Pemerintah Indonesia 11 agustus 2010 di Merauke, sebelumnya, Mifee berawal dari MIRE ( Merauke Integrated Rice Estate ). yang di gagas oleh Bupati Merauke, John Gluba Gebze, sebelumnya, tahun 1939-1958 dikenal program Padi Kumbe di wilayah itu.
Pemerintah daerah Merauke menyediakan dan mencadangkan lahan seluas 2,5 juta hektar dan badan perencanaan tata ruang (BKPRN) merekomendasikan areal potensial yang efektif untuk proyek MIFEE seluas 1,2 juta hektar. Lahan tersebut sebagian besar adalah kawasan hutan (91 %) dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas. Hingga tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan puluhan izin lokasi dengan luas lahan melebihi 2,5 juta ha kepada 47 perusahaan transnasional dan nasional yang mengendalikan bisnis dan mempunyai jaringan hingga di tingkat lokal Papua.
Proyek MIFEE ini telah berdampak dan mengancam keberadaan hak-hak masyarakat adat. Perusahaan-perusahaan besar terus melakukan ekspansi dan dan menggusur tanah-tanah masyarakat adat untuk dialihkanfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Akibatnya, terjadi penyingkiran terhadap para masyarakat adat. Penduduk setempat semakin minoritas di atas tanahnya sendiri; membludaknya pekerja dari luar Merauke, dan hancurnya ekonomi tradisonal masyarakat adat yang selama ini mengandalkan hidupnya pada hutan mereka.
Ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia dimulai ketika proses pelepasan tanah dari masyarakat adat Malind Anim kepada perusahaan-perusahaan. Pelepasan tanah umumnya terjadi melalui manipulasi kata dan makna dari mekanisme adat. Manipulasi “pengangkatan anak adat”, “toki babi”, atau pengorbanan hewan babi, yang menurut hukum adat memiliki makna sakral untuk mengesahkan perputaran hak dan kewajiban di antara sesama warga suku dan marga-marga dalam masyarakat Malind, oleh pihak perusahaan justru dipakai sebagai upaya dan tanda pengesahan peralihan hak dari marga pemilik tanah ke pihak perusahaan. Dan itu berarti penghilangan hak kepemilikan orang Malind atas tanah mereka selama-lamanya!!!
Proses manipulasi ini dilakukan melalui penciptaan istilah-istilah yang membingungkan masyarakat. Masing-masing perusahaan mempunyai pola yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah “pelepasan tanah adat” (contoh di Domande), “kompensasi” di Boepe dan Tagaepe, yang lain memakai istilah “pemberdayaan masyarakat kampung” (contoh di Kaliki), yang lain lagi, “tali asih” dan “uang penghargaan” (contoh di kampung Zanegi), “ketok pintu” di Muting. Semuanya mempunyai muara yang sama, yaitu hilangnya hak kepemilikan masyarakat adat Malind Anim.
Kehilangan hak atas tanah untuk selamanya itu sudah membawa akibat yang tidak terbayangkan oleh orang Malind Anim sendiri; sangat mengejutkan mereka. Seluruh bangunan kebudayaan mereka, termasuk hukum adat dan hubungan sosial, serta pola produksi pangan yang selama ini dibangun dan berkembang  di atas landasan kebudayaan yang berbasiskan tanah dan alam, sekarang lenyap  atau porak poranda. Kehidupan sebelumnya yang dekat dengan alam, menjadi bagian dari alam yang menyediakan semua kebutuhan hidup mereka, kini berubah.
Serbuan ekonomi uang membuat segala sesuatu yang tadinya dihargakan dengan simbol adat seperti wati, babi, sagu, tebu, pisang buti berubah. Nilai-nilai religius, moral, sosial dan budaya  dari simbol-simbol adat itu dikalahkan oleh nilai uang. Contohnya, dalam transaksi tanah yang dilakukan oleh perusahaan sejumlah uang yang bernilai milyaran rupiah dianggap sudah cukup untuk mengganti tanah yang dilepaskan. Padahal kehilangan nilai-nilai religius, moral, sosial, dan budaya tidak sebanding dengan berapa pun nilai uang.
Masyarakat adat di Merauke kini dihadapkan pada sebuah bangunan ekonomi industri baru,  yang disokong oleh sistem-sistem hukum, hubungan sosial, pola kepemilikan, dan produksi yang kapitalistik, atau dengan kata lain sistem-sistem yang sepenuhnya mengandalkan uang dan bertujuan menimbun kekayaan sebesar-besarnya bagi pemilik perusahaan.
Perubahan ini menyebabkan :

  1. masyarakat adat Malind Anim mengalami kekurangan pangan, gizi buruk, hilangnya tanaman-tanaman yang menjadi sumber-sumber obat, dan lenyapnya tempat-tempat sakral;
  2. hilangnya manifestasi atau perwujudan nilai-nilai luhur masyarakat adat Malind Anim. Totem-totem tidak lagi dihargai karena tanah di mana totem itu hidup, ‘mama’ yang mengandung dan melahirkan totem itu sudah hilang. Hubungan antara manusia dan Alam serta antara manusia dan manusia yang pada mulanya hidup dalam kedamaian dan persaudaraan sedang dan akan terus terkikis.

 
Seluruh situasi ini membuat orang-orang Malind Anim mulai bertanya-tanya: “mama di mana saya punya tanah?” atau “mama donde nok en makan?”. Ungkapan ini dalam tradisi Malind Anim sesungguhnya bermakna pertanyaan seorang anak atas warisan tanah yang menjadi haknya secara turun-temurun. Kini makna pertanyaan itu menjadi “sa pu tanah hilang kamana”?
Secara hukum adat masyarakat adat Malind Anim tidak mengenal adanya transaksi pelepasan hak atas tanah karena tanah merupakan “mama”. Tanah dalam kosmologi orang Marind adalah mahkluk hidup, bukan benda mati. Kepemilikan tanah bersifat kolektif dan bukan kepemilikan secara pribadi. Ada ungkapan untuk itu di kalangan masyarakat Malind Anim, yang berbunyi “ina anem makan anem”, atau “tanah ini kita sama-sama punya”. Kolektifitas ini digambarkan oleh ungkapan “Kondo – Digul”, ruang hidup yang membentang dari Kondo sampai Digul. Nilai ini yang membuat hasil dari tanahpun dibagi secara merata tanpa membeda-bedakan kedudukan dan pangkat secara adat. Sifat kolektifitas hak itu lahir dari filosofi ‘tanah adalah mama’. Sebagaimana seorang ibu adalah ‘milik’ dari semua anak-anaknya, bukan hanya ‘milik’ satu anak saja, demikian pula ‘makan’ atau tanah adalah ‘punya kita’ atau ‘ina anem makan anem’
Potensi pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi dan perampasan hak-hak dan sumber daya alam masyarakat adat di Papua, Merauke khususnya akan semakin besar dengan adanya Peraturan Menteri Pertanian No 98 tahun 2013 tentang Izin Usaha Pertanian. Dalam Permentan 98/2013 dinyatakan bahwa “apabila izin usaha perkebunan dimohonkan di Provinsi Papua dan Papua Barat, maka dapat diberikan 2 (dua) kali dari batas paling luas”. Misalnya, perkebunan sawit dibolehkan mencapai 20.000 ha per-provinsi, maka pada kedua provinsi tersebut dapat mencapai 40.000 Ha.
 
Untuk itu, kami meminta agar:

  1. Presiden SBY mencabut dan menghentikan proyek MIFEE;
  2. Presiden segera melakukan evaluasi terhadap izin-izin terkait pemanfaatan sumber daya alam di Merauke;
  3. Presiden SBY, Gubernur Papua, dan Bupati Merauke agar menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat Papua, khususnya Merauke; menciptakan dan memberikan kesejahteraan rakyat, menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat di Merauke;

 
Jakarta, 11 Juni 2014

Pernyataan Pers Bersama: Gugatan Warga Ringinrejo, Blitar Melawan Kemenhut & PT. Holcim Indonesia Tbk. Gugatan Para Petani Tidak Dapat Diterima: PTUN DKI Jakarta Kesampingkan Faktual Kepemilikan Lahan

[Jakarta, 22 April 2014] Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta hari ini membacakan putusan  gugatan 8petani Gondangtapen terhadap Kementerian Kehutanan & PT Holcim Indonesia Tbk. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan Gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima karena Para Penggugat dianggap tidak memiliki kepentingan langsung atas terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.367/Menhut-II/2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Yang Berasal Dari Lahan Kompensasi Dalam Rangka Pinjam Pakai Kawasan Hutan Atas Nama PT. Semen Dwima Agung Yang Terletak Di Desa Ringinrejo Kecamatan Wates Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur Seluas ± 724,23 Hektar, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 21 Mei 2013 (objek sengketa).
Majelis Hakim juga menyatakan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum, karena tidak ada bukti akan alas hak penguasaan warga atas lahan yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan tersebut.
Atas putusan ini, ± 60 (enam puluh) warga Ringinrejo yang menghadiri pembacaan putusan tersebut merasa kecewa, karena Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi faktual keberadaan masyarakat yang mengelola selama 17 tahun lamanya di atas tanah bekas perkebunan Gondangtapen.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim tersebut sangat berbeda dengan perkara lain yang juga pernah ditangani PTUN DKI Jakarta. Pada perkara No: 25/G/2013/PTUN.JKT, sebanyak 13 (tiga belas) warga Desa Tumbrep, Kabupaten Batang ditetapkan sebagai Pihak Tergugat II Intervensi, meski tak memiliki alas hak yang sah atas tanah (yang ketika itu menjadi objek sengketa) seluas 89,9 Ha.
Putusan ini menjadi bukti kegagalan Majelis Hakim, serta pengadilan dalam membaca konstruksi relasi antara petani-penggarap lahan sebagai rakyat yang harus mendapat perlindungan hukum (rechtsbescherming) dari Kemenhut selaku penguasa, termasuk hak untuk men-challenge jika ada tindakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat.
Majelis Hakim seharusnya melihat jaminan konstitusi atas kepastian hukum yang adil. Peradilan perlu mempertimbangkan dengan seksama didasarkan prinsip keadilan hak gugat dari rakyat, karena hanya peradilan TUN yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara yang timbul akibat tindakan hukum TUN (bestuurshandeling). Mengenai syarat hak gugat yang harus dikaitkan dengan syarat kepastian hak penggugat justru tidak diatur dalam UU PTUN. Sebaliknya, jika dilihat dari rangkaian norma dalam UU Peradilan TUN, justru yang terutama harus dibuktikan di PTUN adalah keabsahan tindakan hukum TUN pejabat TUN dari aspek wewenang, prosedur dan substansi.
Putusan ini mendukung kejahatan yang dilakukan Kementerian Kehutanan dalam menjalankan “praktek pencucian hak” terhadap wilayah kelola rakyat. Dimana penunjukan kawasan hutan yang tidak partisipatif digunakan untuk mengambil alih tanah rakyat yang masih banyak menggunakan hukum adat atau kebiasaan lokal dalam pengakuan, kemudian menerbitkan pelepasan kawasan hutan atau tukar menukar kawasan hutan untuk memunculkan bukti kepemilikan semu kepada pengusaha, dimana surat Keputusan penunjukan kawasan hutan dan penerbitan Keputusan tukar menukar kawasan hutan secara materil digunakan sebagai alas hak oleh perusahaan di mata hukum
Public Interest Lawyer Network [PIL-Net] sebagai kuasa hukum warga Ringinrejo akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 22 April 2014
Hormat kami,
ELSAM – KPA – Sitas Desa – Sawit Watch – SILVAGAMA – TuK Indonesia – WALHI – EPISTEMA – PILNET

Siaran Pers Bersama: Gugatan Warga Ringinrejo, Blitar Melawan Kemenhut & PT. Holcim Indonesia Tbk.

Penunjukkan Kawasan Hutan Dari Lahan Pengganti PT. Holcim di Blitar Harus Dibatalkan
(Jakarta – 16/01/2014) Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] DKI Jakarta kembali sidangkan gugatan masyarakat desa Ringinrejo yang ditujukan kepada instansi Kementrian Kehutanan. Adapun yang menjadi objek gugatan tersebut adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 367/Menhut-II/2013 yang menunjuk ± 724,23 Ha lahan yang kini ditempati dan digarap oleh 826 KK warga Ringinrejo sejak 16 tahun lalu sebagai lahan pengganti dari lahan yang dikelola PT. Holcim Indonesia Tbk. di Tuban.
Dalam persidangan hari ini, 8 warga Ringinrejo sebagai Penggugat mengajukan berbagai bukti, diantaranya adalah Laporan Tim Pertanahan Kabupten Blitar tahun 2011 yang menyatakan bahwasanya proses peralihan lahan pengganti dari PT. Semen Dwima Agung (Grup Holcim) tidak clear and clean karena secara faktual telah ada masyarakat yang mengelola lahan tersebut, sehingga harus diadakan musyarawah untuk menemukan solusinya.
Keputusan Menhut tersebut mengancam keberadaan 826 KK masyarakat Ringingrejo yang telah mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut dengan menanam palawija, buah semangka, melon, dan berbagai tanaman lainnya, yang merupakan sumber penghidupan mereka sejak tahun 1996. Kami juga mengindikasikan praktik yang tidak baik dalam proses pertukaran lahan antara PT. Holcim Indonesia Tbk. dengan Perhutani, karena lahan seluas 724,23 ha yang dijadikan pertukaran sudah beralih status menjadi tanah negara bebas sejak tahun 2009, setelah hak guna usaha PT. Semen Dwima Agung telah habis masa pakainya.
Setelah proses akuisisi tahun 2012, PT. Semen Dwima Agung (kini berada di bawah kepemilikan PT. Holcim Indonesia Tbk.), salah satu perusahaan produksi semen terbesar di Indonesia. Di bawah bendera Holcim, pada tahun 2013 PT. Semen Dwima Agung menyerahkan lahan seluas 796,93 ha. kepada Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan di desa Ringinrejo, Wates, Kabupaten Blitar. Permasalahan ini yang mendorong Paguyuban Petani Gondang Tapen untuk menggugat keputusan tersebut, mengingat belum jelasnya nasib 826 KK yang telah hidup dari tanah tersebut.
Kami mendesak agar PTUN DKI Jakarta dapat membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 367/Menhut-II/2013 yang akan gusur  dan merampas kehidupan 826 KK di Ringinrejo, Blitar.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 16 Januari 2014
Hormat kami,
ELSAM – KPA – Sitas Desa – Sawit Watch – WALHI – Silvagama – Paguyuban Petani Gondangtapen – TuK INDONESIA.

Liputan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Sawit”

IMG_0101-300x200

Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas


Solidaritas Perempuan melakukan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Kelapa Sawit” selama 3 hari (27 – 29 November) di Hotel Puri Yuma-Denpasar, Bali. Bersama 27 perempuan dari 5 wilayah yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sumbawa, Poso dan Sulawesi Tengah, berbagi pengalaman, pengetahuan, inisiatif serta strategi perempuan dalam mengelola sumber daya hutan, mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya, serta melawan ketidakadilan yang dialaminya, akibat kehadiran proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit.
Temu perempuan ini juga menghadirkan 3 narasumber yang memiliki pengetahuan dan expert pada isu perlindungan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan (Mia Siscawati – Sayogjo Institute), perkebunan kelapa sawit (Norman Jiwan – Transformasi Untuk Keadilan), perubahan iklim dan pendanaan iklim (Titi Soentoro – AKSI!).
Dalam materinya Titi Soentoro menyampaikan Perkembangan Kebijakan, Proyek dan Pendanaan Iklim dalam Konteks Hutan dan Perlindungan Perempuan. Komitment pembiayaan iklim di Indonesia saat ini mencapai $ 4,4 milyar, yang berasal dari Bank Dunia, JICA, USAID, dan lain-lain. Kucuran dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek iklim di Indonesia, seperti geothermal, FIP dan REDD. Selain itu, ada juga Green Climate Fund, yang berkomitment untuk mengeluarkan dana US$ 800 milyar/tahun untuk adaptasi dan mitigasi di Negara berkembang. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana perempuan memperoleh manfaat dari proyek-proyek tersebut?. Proyek iklim ini kenyataannya merugikan masyarakat Indonesia, khususnya perempuan yang tinggal di sekitar hutan, karena tujuan proyek iklim ini bukan lagi untuk menjaga lingkungan, namun hanya untuk bisnis semata.
Persoalan perempuan juga terjadi di perkebunan kelapa sawit juga disampaikan Norman Jiwan, dimana luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sebanyak 11,5 juta Ha di seluruh indonesia (Data Sawit Watch, tahun 2011), namun ironisnya 60 – 70 % perkebunan sawit yang berada di indonesia dimiliki oleh negara luar seperti Malaysia dan Singapura. Perkebunan kelapa sawit skala besar tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dengan adanya industri ekstraktif ini, masyarakat khususnya perempuan rentan mengalami pelanggaran HAM, pelecehan seksual, bekerja tanpa diupah,eksploitasi tenaga kerja perempuan, karena itulah selain dibutuhkan perlindungan, perempuan juga membutuhkan penghargaan dan penghormatan bagi hak azasi mereka.
Sementara Mia Siscawati dari Sajogjo Institute menyampaikan bahwa perempuan dari dulu telah memiliki peran signifikan dalam pengelolaan hutan. Pengalaman dari berbagai daerah dan dunia, memperlihatkan bagaimana perempuan memperjuangkan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan dalam mempertahankan tanah mereka dan lingkungan mereka yang dirampas oleh perusahaan. Eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam yang terjadi sejak kolonial sampai abad 21, akan semakin meningkat dengan ada mega proyek MP3EI yang semakin memudahkan eksploitasi sember daya alam Indonesia oleh perusahaan asing.
Peserta kemudian turut menyampaikan persoalan dan pengalamannya dalam sesi ini, seperti perempuan di Lore Peore, yang berbagi tentang informasi mengenai HGU perkebunan ubi di wilayah mereka. Bagaimana hutan yang selama ini mereka kelola beralih fungsi menjadi perkebunan ubi dengan masa HGU yang terus diperbaharui, namun tanpa memberikan informasi dan melakukan proses persetujuan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya perempuan.

Pembahasan dan berbagai pengalaman perempuan telah membuktikan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan berlapis dengan adanya proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit, dimana perempuan tidak dapat lagi mengakses dan mengelola sumber daya hutannya.
(Liputan oleh Margaretha Winda FK)
Link:
http://www.solidaritasperempuan.org/liputan-temu-dan-konsultasi-perempuan-komunitas/

Revisi UU Perbankan sudah rampung 95%

Oleh Dea Chadiza Syafina – Selasa, 12 November 2013 | 11:05 WIB

JAKARTA. Panitia Kerja revisi Undang-Undang No. 29 tahun 1999 tentang Perbankan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merampungkan 95% penyusunan revisi UU Perbankan pasal per pasal.
Anggota Komisi XI DPR fraksi PDI-Perjuangan Dolfie Othniel Fredric Palit mengungkapkan, meski draf revisi UU Perbankan telah rampung 95%, namun pembahasan mengenai revisi UU ini baru akan dilakukan pada tahun depan. Sebab, DPR periode saat ini berakhir pada Oktober 2014 mendatang.
“Jadi kalaupun dibahas, maksimum sebelum Oktober 2014,” ujar Dolfie saat dihubungi KONTAN, Selasa (12/11).
Dolfie menyebutkan, banyak yang di revisi pada UU Perbankan ini. Di antaranya adalah mengenai izin operasional bank asing, kantor bank asing, kepemilikan saham asing pada industri jasa keuangan perbankan.
“Untuk kantor bank asing, harus mengikuti ketentuan hukum di Indonesia. Mengenai kepemilikan akan dirumuskan secara normatif. Sedangkan aturan teknisnya oleh OJK (otoritas jasa keuangan),” ujar Dolfie.
Lebih lanjut Dolfie menjelaskan, untuk aturan mengenai kepemilikan saham asing di perbankan, mengacu pada PBI bernomor 14/8/ PBI/2012. Dalam peraturan BI itu disebutkan, batas maksimum kepemilikan saham bank untuk kategori badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank sebesar 40%, badan hukum bukan lembaga keuangan sebesar 30% dan kategori pemegang saham perorangan sebesar 20%.
Sementara itu, mengenai jumlah kepemilikan asing yang semula diperbolehkan dari 99%, akan diturunkan menjadi kurang dari 50%. Dengan begitu, posisi pemodal domestik diberi kesempatan kepemilikan yang lebih besa dan akan berada di atas pemodal asing.
Namun begitu, untuk besaran pastinya, pentahapannya akan diatur lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nantinya, lanjut Dolfie, rumusannya akan sangat teknis karena terkait pentahapan.
Sebelumnya, persoalan kepemilikan asing dalam saham mayoritas di sektor perbankan termasuk salah satu hal yang dipersoalkan dalam rencana revisi Undang-Undang No 29 tahun 1999 tentang Perbankan.
Terdapat tiga opsi yang sempat mencuat dalam pembahasan revisi UU Perbankan tersebut. Pertama, menurunkan jumlah kepemilikan asing yang semula diperbolehkan dari 99% menjadi hanya 49%. Sedangkan pemodal domestik diberi kesempatan kepemilikan sebesar 51%.
Opsi kedua adalah mengikuti sistem perbankan yang dianut negara lain. Politisi Golkar itu pun lantas mencontohkan China yang memperbolehkan sektor asing menguasai saham perbankan sebanyak 20%-30% saja.
Kemudian yang terakhir adalah wacana untuk menentukan jumlah kepemilikan saham asing dengan menyesuaikan kesehatan perbankan di Indonesia. Kata dia, dalam opsi ini DPR memberikan beberapa kriteria yang kemudian dirumuskan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada dasarnya kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia harus tetap dipelihara. Sebab, jika hanya mengandalkan pemodal dalam negeri hanya beberapa pengusaha saja yang bisa masuk.
Editor: Barratut Taqiyyah
Link:
http://keuangan.kontan.co.id/news/revisi-uu-perbankan-sudah-rampung-95

Pernyataan bersama oleh peserta yang berkumpul di “Conflict or Consent Workshop”

Medan, 8-10 November 2013

Pada kesempatan lokakarya Conflict or Consent, diselenggarakan sebelum RT11 RSPO dan GA 10, peserta membawa bersama 16 studi kasus dari dua benua, menjadi saksi atas konflik tanah dan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab.1

Kami mengamati sejumlah kemajuan prosedur dan beberapa perbaikan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, dan upaya-upaya yang kuat oleh beberapa anggota dan pihak-pihak lainnya untuk mendorong upaya pemulihan. Meskipun begitu, peserta lokakarya mengamati bahwa diantara perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam berbagai pelanggaran tersebut adalah anggota RSPO. Kenyataan tersebut menggaris bawahi tantangan besar yang sedang dihadapi RSPO, keanggotaan RSPO dan pasar untuk memastikan kepatuhan dengan persyaratan-persyaratan dasar dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, seperti kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hukum nasional dan konvensi sosial dan lingkungan hidup internasional.

Itulah yang menjadi alasan keprihatinan bahwa kebijakan dan arena pasar Eropa/Belanda/Perancis/Inggris/Jerman/Belgia masih belum mampu sepenuhnya memahami berbagai implikasi sosial perdagangan dan penggunaan komoditas yang strategis ini. Laporan ini menekankan pula kegagalan RSPO juga akibat pemerintah belum berhasil mengatur sektor minyak sawit dan mencegah berbagai pelanggaran yang dicatat dalam studi kasus ini dan laporan-laporan lapangan lainnya.

Pernyataan ini juga menekankan bahwa para peserta yang mendukung pernyataan ini banyak terlibat dalam sektor minyak sawit dan arena RSPO, bekerja untuk menyusun cara-cara untuk membantu mengurangi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Beberapa diantara peserta diberikan tugas untuk terlibat dalam badan eksekutif dan pengurus RSPO.

Menghargai komitmen yang dibuat oleh Task Force … untuk mencapai target minyak sawit lolos sertifikasi, kami meminta anda meninjau laporan kami dan menyusun aksi nyata yang membantu memastikan bahwa semua minyak sawit yang masuk ke pasar adalah “bebas konflik”.

Kami mengundang anda bergabung bersama kami dalam upaya-upaya menegakkan standar RSPO dan implementasinya terutama dengan menggunakan instrumen-instrumen pemulihan seperti mekanisme pengaduan RSPO dan Fasilitas Penanganan Sengketa, dan mendesak pemerintah kami untuk memperbaiki kerangka kerja kelembagaan hukum yang memandu sektor minyak sawit. Kami meminta anda memeriksa sendiri di lapangan dalam berkonsultasi dengan masyarakat, keadaan-keadaan dimana minyak sawit diproduksi dan membantu menyusun bersama serta menerapkan berbagai upaya untuk membawa standar RSPO dalam praktek. Kami siap untuk dialog dengan semua pihak dan melakukan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Hormat kami,

Peserta dari:

  1. Andalas University, Padang, Sumatra
  2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Indonesia
  3. Bitra Indonesia, North Sumatra
  4. Both ENDS, Netherlands
  5. Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement (CIRAD), France

  6. École des Hautes Études en Sciences Sociales, France

  7. ELSAKA, North Sumatra
  8. Forest Peoples Programme, United Kingdom
  9. Front Mahasiswa Nasionalis Medan, North Sumatra
  10. Gabungan Serikat Buruh Indonesia, North Sumatra
  11. HuMa, Indonesia
  12. HUTAN, Malaysia
  13. Hutan Rakyat Institute (HARI), North Sumatra
  14. IDEAL, Malaysia
  15. Impartial Mediators Network, Indonesia
  16. Indigenous Peoples’ Foundation for Education and Environment, Thailand
  17. Indonesia Peoples’ Alliance, North Sumatra
  18. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia
  19. Jaringan seOrang Asal SeMalaysia (JOAS)
  20. Keystone Foundation, India
  21. Komunitas Peduli Hutan Sumatra Utara (KPHSU), Indonesia
  22. Lembaga Gemawan, West Kalimantan, Indonesia
  23. Natural Justice, South Africa
  24. Oxfam Novib, The Netherlands
  25. PUSAKA Indonesia, Indonesia
  26. PUSAKA, Indonesia
  27. Qbar Association, Padang, Indonesia
  28. Rainforest Action Network (RAN), United States
  29. Sawit Watch, Indonesia
  30. SCALE UP, Indonesia
  31. Setara Jambi, Indonesia
  32. Socio-Pastoral Institute, Cameroon
  33. StaB-LB, North Sumatra, Indonesia
  34. Transformasi Untuk Keadilan INDONESIA
  35. Wahana Bumi Hijau (WBH), Indonesia
  36. Walhi Kalbar, Indonesia
  37. Walhi Kalteng, Indonesia
  38. Walhi Riau, Indonesia
  39. Walhi SumSel, Indonesia
  40. Walhi Sumut, Indonesia
  41. Warsi, Jambi, Indonesia
  42. Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Indonesia

Minyak Sawit Berkelanjutan: Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

6 November 2013

EMBARGO NASKAH TIDAK UNTUK DISEBARLUASKAN HINGGA 4:00 AM GMT KAMIS, NOVEMBER 7, 2013

CATATAN EDITOR: Untuk semua publikasi, “Konflik atau Mufakat,” dan bahan-bahan pendukung, silakan kunjungi: http://www.forestpeoples.org/press-room

Minyak Sawit Berkelanjutan: Permainan Pasar atau Komitmen Nyata? Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

16 Studi Kasus Menyimpulkan Beberapa diantara Perusahaan Minyak Sawit Terbesar Dunia Meremehkan Mandat PBB Keputusan Persetujuan Masyarakat Adat & Masyarakat Lokal Sebelum Membabat Hutan, Lahan Gambut

MEDAN, INDONESIA (7 November, 2013)— Anggota RSPO melanggar hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, menurut satu publikasi kajian baru yang diluncurkan hari ini. Kajian tersebut merinci kinerja 16 kegiatan perusahaan kelapa sawit, banyak dijalankan oleh anggota RSPO, melaporkan tentang kegagalan mereka untuk menjunjung tinggi HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Sejak dibentuknya delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standar yang baik tetapi banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji diatas kertas tersebut,” kata Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, organisasi HAM berkedudukan di Jakarta. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat, tetapi untuk tercapainya hal itu kita perlu penegakan yang lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan.”

Buku Konflik atau Mufakat? Sektor minyak sawit di persimpangan, menguraikan kasus-kasus produsen minyak sawit telah gagal mendapat persetujuan dari masyarakat – proses yang diwajibkan oleh RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal sebagai keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Temuan-temuan tersebut juga mendukung bukti-bukti dampak merusak yang disebabkan pengembangan minyak sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Para pendukung berencana menyebarkan kajian ini di pertemuan tahunan RSPO yang berlangsung 11-14 November di Medan, Sumatra Utara. Sasaran rencana mereka fokus dalam tiga tema:

  • Rantai pasok — perjalanan minyak sawit dari perkebunan ke pabrik pengolahan sampai rak supermarket harus transparan dan terlacak utuh.

  • Penegakan — mandat dan kapasitas RSPO mengesahkan lembaga sertifikasi harus diperluas dan ditegakan serta prosedur pengaduan dan mekanisme resolusi konflik lebih bergigi.

  • Komitmen – janji-janji anggota RSPO menghormati HAM dan standar lingkungan harus ditegakan lebih tegas dan tidak diperlakukan sebagai pilihan.

Meningkatnya permintaan global akan minyak sawit memicu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit sepanjang hutan-hutan Asia Tenggara dan Afrika. Keprihatinan mengenai berbagai dampak lingkungan dan sosial mendesak pembentukan Roundtable on Sustainable Palm Oil tahun 2004. RSPO menjalankan sebuah standard sertifikasi untuk kegiatan usaha yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup dalam lahan yang terdampak oleh perkebunan dan juga melingungi tanah dan hutan dengan nilai konservasi tinggi.

Begitu banyak upaya diinvestasikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation, tapi hasilnya sedikit,” kata Jefri Saragih, Eksekutif Direktur Sawit Watch, salah satu anggota RSPO. “Kami bisa tunjukan satu atau dua hasil yang baik dilapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan kelapa sawit di Indonesia saja, dan masalah tersebut kini semakin meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika. Kami mendesak satu tanggapan segera dan meluas atas krisis ini.”

Walaupun beberapa dari perusahaan anggota RSPO sudah mengesahkan standar dan prosedur operasional yang baru, memperbaiki praktek mereka diatas kertas, dan bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha mereka, kenyataan di lapangan menyimpulkan bisnis-seperti-biasa. Pejabat senior perusahaan mungkin sudah bersedia menjalankan pendekatan baru, tetapi sering kali para manejer operasional di lapangan – tidak ada pelatihan wajib dan insentif – gagal menanggapi. Prosedur untuk memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk.

Dibalik kegagalan ‘praktek terbaik sukarela’ ini adalah hukum dan kebijakan nasional yang menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal,” Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, sebuah organisasi HAM internasional. “Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka dan menghormati hak-hak masyarakat.”

Indonesia Memimpin dalam Produksi Minyak Sawit dan Deforestasi

Asia Tenggara dalam pusat dari industri minyak sawit. Indonesia, dimana pertemuan RSPO akan berlangsung, adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, dengan 10.8 juta hektar lahan ditanami pohon kelapa sawit, satu angka diperkirakan meluas hingga lebih dari 20 juta hektar—lebih dari 10 persen seluruh luas daratan Indonesia — hingga tahun 2020. Indonesia juga menempati peringkat ketiga di dunia untuk emisi karbon dioksida, terutama karena deforestasi dan kerusakan lahan gambut Indonesia.

Banyak perkebunan Indonesia, dengan pabrik pengolahan dan fasilitas lainnya dalam rantai pasok minyak sawit, berkedudukan di Sumatra, sehingga menjadikan Medan ibukota tidak resmi industri minyak sawit Indonesia. Kota ini menjadi panggung untuk teater jalanan dan protes selama pertemuan RSPO.

Forest Peoples Programme, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan: Tidak dilaksanakan dan Kurang ditegakkan

Ada 16 studi kasus dalam kajian tersebut mengungkapkan bahwa proses RSPO telah menyebabkan terjadinya pemahaman yang lebih baik atas banyak persoalan penting, baik untuk masyarakat dan perusahaan, dalam mencapai ‘pembangunan berkelanjutan’ berdasarkan penghormatan terhadap HAM. Sejumlah perbaikan procedural mungkin menyediakan suatu dasar untuk penyelesaian konflik lahan, dan beberapa perusahaan telah menanggapi dengan baik dan menyelaraskan operasi mereka untuk lebih baik menampung sumber mata pencaharian dan tuntutan masyarakat.

Tetapi banyak anggota RSPO menjalankan proses yang sangat singkat dalam mendapatkan keputusan persetujuan masyarakat yang jauh dari ‘bebas’, ‘didahulukan’ and ‘diinformasikan.’ Di wilayah konsesi PT Permata Hijau Pasaman I, anak perusahaan multinasional Wilmar International berkedudukan di Singapura, di Sumatra Barat, Indonesia, proses pembebasan lahan bercirikan konsultasi selektif antara perusahaan dan perwakilan masyarakat yang terkooptasi. Dalam kasus Tanjung Bahagia Sdn Bhd, anak perusahaan Genting Plantations, tanah dan hutan terusa digusur dan ditanami meskipun masyarakat bersikukuh menolak.

Banyak perusahaan juga gagal mengikuti prosedur RSPO dengan mengabaikan langkah-langkah prasyarat untuk mengakui hak-hak adat. Di Kalimantan Barat, Indonesia, terjadi kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas, lebih memihak elit lokal daripada masyarakat panggarap lahan Melayu setempat. Di Kalimantan Timur, Indonesia, PT Rea Kaltim Plantations, dimiliki oleh perusahaan Inggris REA Holdings PLC, tidak melakukan pemetaan partisipatif atau penelitian kepemilikan tanah sebelum pembebasan lahan. Meskipun begitu, hal ini telah diakui oleh perusahaan dan pemetaan telah dimulai.

Kurang Penegakan Memicu Konflik dan Pengunduran dari RSPO

Penistaan hak kerapkali memicu konflik yang tidak berimbang, saat protes dari masyarakat lokal dihadapkan dengan penangkapan dan kekerasan fisik. SG Sustainable Oils Cameroon PLC di Selatan Barat Kamerun, dimiliki oleh perusahaan Amerika Herakles Farms, sebenarnya mundur dari RSPO bulan September 2012 sebagai reaksi terhadap pengaduan resmi terhadap dirinya dan kritik meluas atas proyek perusahaan. Di PT Permata Hijau Pasaman I, konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal mengarah pada sejumlah penangkapan dan tunggakan satu perkara pengadilan di Pengadilan Tinggi di Indonesia.

Kajian tersebut juga menunjukan bahwa mekanisme resolusi konflik yang ada, termasuk milik RSPO, belum menghasilkan nyata bagi masyarakat lokal. Proses resolusi konflik International Finance Corporation (IFC) Compliance Advisor/Ombudsman (IFC CAO) dan RSPO, kendati membentuk beberapa preseden penting, sayangnya kurang mandat dan kapasitas utnuk memulihkan banyak sengketa antara perusahaan dan masyarakat.

Kurang niat baik dan transparansi perusahaan semakin memperparah keberhasilan mekanisme IFC CAO. Sebagai contoh, dalam PT Asiatic Persada (PT AP) di Jambi, mediasi IFC CAO digagas tahun 2012, setelah perusahaan menggusur pemukiman masyarakat yang menolah ke sungai-sungai kecil terdekat, terhenti total akibat PT AP dijual oleh Wilmar tanpa konsultasi dengan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses mediasi. Wilmar benar-benar cuci tangan dan masalah yang Wilmar ciptakan sendiri.

RSPO hanya berhasil jika komitmen para anggotanya buat adalah sungguh-sungguh,” simpul Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme. “Sertifikasi RSPO tidak dimaksudkan menjadi satu permainan pasar. Harusnya sertifikasi ditujukan untuk menunjukan satu pengabdian sepenuh hati untuk menghormati hidup dan mata pencaharian masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan tanah yang mereka sebut sebagai rumah. Sebagai anggota RSPO kami mendesak RSPO sebagai satu kesatuan untuk mempertegas kembali komitmen ini dan menjalankannya.”

# # #

Forest Peoples Programme (FPP):

FPP bekerja dengan masyarakat penghuni hutan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, untuk membantu mereka mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka, mendirikan organisasi mereka sendiri, dan bernegosiasi dengan pemerintah dan perusahaan dalam menentukan cara terbaik untuk melestarikan dan mewujudkan pembangunan ekonomi di lahan mereka. Visi dari organisasi ini adalah hutan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat penghuni hutan dalam cara yang menjamin kelangsungan mata pencaharian, keadilan, dan kesejahteraan yang didasarkan pada penghormatan atas hak, pengetahuan, kebudayaan, dan identitas mereka. FPP juga telah melakukan kerja yang ekstensif di Asia Tenggara tentang pluralisme hukum serta kesempatan dan tantangan yang dialami oleh masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai akibat dari rezim hukum plural. Sebagai tambahan, FPP juga terlibat dalam penelitian, advokasi, dan kerja lapang terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara dan dampak sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Untuk informasi lebih lanjut silakan kunjungi www.forestpeoples.org.

Sawit Watch:

Sawit Watch didirikan pada tahun 1998 dan sejak saat itu telah membangun jaringan dengan lebih dari 130 anggota dan kontak lokal yang bekerja dengan puluhan komunitas lokal di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Mandat Sawit Watch adalah untuk mendukung komunitas lokal yang kehilangan hutan dan mata pencaharian mereka sebagai akibat dari ekspansi kelapa sawit skala besar, dan untuk mendukung komunitas penghuni hutan yang terus menolak pembangunan ini. Melalui mandat ini, Sawit Watch bekerja menuju konservasi dan restorasi bagi hutan di Indonesia dan mempromosikan kesepakatan terbaik yang paling mungkin bagi komunitas tersebut, yang memilih untuk hidup di tengah perkebunan kelapa sawit. Selain aktivitas-aktivitas peningkatan kesadaran komunitas, mereka terlibat dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan jaminan hak atas lahan mereka dan mempertahankan hukum tradisional (adat) mereka. Sawit Watch juga membantu komunitas untuk mengembangkan atau mempertahankan pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.sawitwatch.or.id.

Transformasi untuk Keadilan INDONESIA:

Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA) adalah sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) Indonesia yang berkedudukan di Jakarta yang berkerja mendorong terwujudnya hak konstitusional rakyat menuju keadilan, kesejahteraan dan jatidiri bangsa Indonesia. Tujuan TuK INDONESIA adalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan keadilan, HAM, solidaritas sosial, peningkatan kapasitas mayarakat, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi pasar dan modal, yang akan melahirkan Indonesia yang bebas dari praktek korupsi, jaminan kepastian hukum, kelestarian lingkungan hidup, hutan dan sumber daya alam, integrasi sosial dan keberpihakan Negara yang menghasilkan kesejahteraan rakyat. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.tuk.or.id

Referensi/link:

http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/11/Conflict%20or%20Consent%20press%20release_FINAL_7Nov_Bahasa_0.pdf