Kriminalisasi, Intimidasi, dan Kekerasan Dalam Penanganan Konflik Agraria dan SDA Meningkat Menjelang PILPRES 2014

Jakarta, 30 Juni 2014. Kriminialsisi, intimidasi, dan tindakan represif (kekerasan)terhadap masyarakat semakin meningkat di masa akhir pemerintahan SBY dan menjelang Pemilihan Presiden RI tahun 2014. Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Eknas WALHI mengungkapkan, “Konflik agraria dan SDA yang tidak terselesaikan hingga saat ini justru dijawab dengan pengerahan pasukan (aparat Kepolisian dan TNI) yang berlebihan, intimidasi, dan penangkapan. Ironisnya, kondisi yang sangat tidak demokratis ini justru terjadi menjelang perhelatan demokrasi bagi seluruh masyarakat Indonesia yakni Pemilihan Presiden RI 2014-2019. Namun, sampai saat ini, belum ada tanggapan Presiden RI (SBY) ataupun seluruh pasangan Capres dan Cawapres RI sebagai calon pemimpin Indonesia yang tentunya juga akan bertanggung jawab atas masalah yang akan terus berlanjut di masa pemerintahan yang baru.”
Dalam pantauan WALHI, KPA, KONTRAS, AGRA, PIL-NET, SPKS, dan IHCS dalam bulan Juni saja ada beberapa kasus dimana warga mendapat tindakan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat, diantaranya; penggusuran paksa, penangkapan terhadap 8 orang dan kekerasan terhadap warga karawang yang bersengketa dengan PT. Agung Podomoro Land mengakibatkan 11 warga terluka (Jawa Barat); kriminalisasi 6 orang masyarakat adat tungkal ulu kab. Musi Banyu Asin di taman suaka marga satwa Danku (Sumatera Selatan); Kriminalisasi dan penembakan yang mengakibatkan 1 orang meninggal buntut berlarutnya kasus sengketa tanah antara warga dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak tahun 2003 (Kalimantan Tengah); 5 orang warga Kelurahan Sukodadi, Kecamatan Sukarami mengalami luka tembak saat terjadi bentrok dengan pasukan TNI AU karena sengketa tanah antara warga dengan TNI AU. Penembakan dilakukan dengan modus latihan rutin; penangkapan terhadap lima warga desa Batu Daya yang berkonflik dengan perusahaan sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa di Kalimantan Barat; kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa rencana pembangunan pabrik semen (PT. Semen Indonesia) di Rembang (Jawa Tengah); pembabatan lahan masyarakat oleh PT.PN II Malang Sari, Jember; dan terkini (26 Juni 2014), warga Kec. Keera Kab. Wajo, Sulawesi Selatan menghadapi initimidasi dari aparat Brimob yang dikerahkan secara besar-besaran ke lokasi PT.PN XIV (HGU telah berakhir di tahun 2003).
Munir (Kontras) menegaskan bahwa “dengan melihat beberapa kasus yang terjadi saat ini, patut diduga adanya pelanggaran Hak sipil politik berupa penangkapan sewenang-wenang. Ini berkaitan dengan pasal 18 ayat 1 KUHAP, pasal 9 ayat 1 dan 2 dan UU No.12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Tindakan Penganiayaan berkaitan dengan pasal 351 KUHP, pasal 33 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 7 UU No 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Perbuatan Merendahkan Martabat Manusia (pasal 12 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia.
Selain itu, “patut juga diduga terjadi pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya. Padahal mereka berhak atas pemenuhan hak atas lahan, mendapatkan kehidupan yang layak, kesempatan mencari nafkah melalui pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam pasal 25 (1) Deklasarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 36 UU no 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 6 (1) dan pasal 11 (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” tambahnya.
Sampai saat ini, konsentrasi aparat dalam jumlah besar masih terjadi di beberapa daerah sepert, Karawang dan Kab. Wajo. DD Shineba (KPA) menerangkan,“Pengerahan aparat dalam jumlah besar, penangkapan, dan intimidasi merupakan tindakan berlebihan dalam penanganan konflik agraria. Pasti akan merugikan rakyat dan bisa saja akan jatuh korban jiwa. Hal ini menciptakan situasi yang sangat tidak kondusif menjelang Pilpres 2014 dimana seluruh masyarakat semestinya dengan kegembiraan bisa berpartisipasi dalam pesta demokrasi di Indoenseia. SBY masih tetap bertanggung jawab atas dan mesti segera menghentikan penangkapan dan intimidasi, serta yang paling penting yakni memerintahkan penarikan pasukan (Polisi dan TNI) yang masih terkonsentrasi di lokasi-lokasi konflik untuk segera berfokus untuk mengawal jalannya pesta demokrasi yang lebih kondusif. Jangan sampai situasi ini justru dimanfaatkan oleh korporasi dan pihak tertentu karena menganggap negara dalam masa transisi”.
Kondisi ini semestinya menjadi pelajaran penting bagi negara Indonesia, khususnya bagi Capres dan Cawapres Indonesia dalam masa pemerintahan baru nantinya. “Tidak bisa ditawar lagi bahwa negara harus serius menjalankan reforma agraria, membentuk Undang-undang yang menjadi payung hukum bagi pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, serta membetuk suatu Badan Khusus Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia,” tegas Kurniawan Sabar.
Secara khusus terkait kasus di beberapa daerah, WALHI, KPA, KONTRAS, AGRA, PIL-NET, SPKS dan IHCS menyatakan tuntuan dan sikap;

  1. Kapolri untuk segera melakukan pengawasan terhadap kebijakan dalam tindakan kepolisian dalam penanganan konflik di Sumber Daya Alam dan penegakan hukum kepada semua anggotanya yang melakukan tindakan kekerasan terhadap petani dan warga
  2. Komnas HAM segera melakukan penyelidikan Pelanggaran HAM Berat terhadap aparat Kepolisian Polda Jawa Barat dan Polres Karawang terkait adanya tindakan pelanggaran HAM Berat.
  3. Komnas HAM segera melakukan penyelidikan terhadap tewasnya 1 orang petani di Kalimantan tengah dalam kasus sengketa tanah antara warga dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak tahun 2003
  4. Pemerintah harus memberikan pemulihan akibat trauma yang dialamai warga karena tindakan pengabaiannya saat terjadi aksi penolakan eksekusi lahan dilapangan.
  5. Polda Sumatera elatan agar segera membebaskan petani yang masih ditahan oleh BKSDA Sumatera Selatan.
  6. Kapolri dan Kapolda Sulselbar agar segera menghentikan intimidasi dan pengerahan pasukan ke lokasi PT. PN XIV yang telah menciptakan situasi yang tidak kondusif dalam rangka penyelsaian konflik di Kab. Wajo, Sulawesi Selatan. Dan harus ada penegakan hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. PN XIV Kab. Wajo karena tetap melakukan penguasaan lahan meskipun HGU telah berakhir di tahun 2003.

RILIS PERS BERSAMA
WALHI, KPA, KONTRAS, PIL-NET, AGRA, SPKS, IHCS, TUK Indonesia
Tautan:
http://www.walhi.or.id/kriminalisasi-intimidasi-dan-kekerasan-dalam-penanganan-konflik-agraria-dan-sda-meningkat-menjelang-pilpres-2014.html

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *