[The Jakarta Post] Nyawa manusia adalah yang paling penting di kawasan perkebunan

31 Maret 2015
Penyiksaan dan pembunuhan yang baru-baru ini terjadi pada Indra Pelani merupakan tragedi yang mengejutkan. Ini adalah tragedi bagi keluarga dan masyarakatnya, bagi semua orang yang mempertaruhkan hidupnya untuk membela hak dan keadilan, dan bagi perusahaan yang anak usahanya mempekerjakan para penjaga yang dilaporkan telah membunuh korban.
Pembunuhan ini bukan sekadar kebetulan, dan tidak pula sebatas konflik lokal untuk memperebutkan hak atas tanah; melainkan, hal yang melibatkan sistem perkebunan ala industri yang telah merampas petak-petak tanah rakyat pedesaan secara sepihak.
Perusahaan telah mempersenjatai para penjaga yang melindungi perkebunan mereka, dan penjaga tersebut kebal hukum dan biasa melakukan kekerasan.
Akibat dari kriminalisasi yang telah lama dilakukan terhadap masyarakat lokal dalam mengakses lahan dan hutan adat mereka sendiri adalah pelanggaran yang tragis, konflik berdarah, pembunuhan, dan penghancuran masyarakat selama puluhan tahun lamanya di seluruh Indonesia.
Sebenarnya masyarakat adat dan petani telah sejak lama menyerukan dihentikannya tindakan ketidakadilan yang luar biasa ini. Namun Pemerintah dan perusahaan perkebunan hanya menanggapi dengan lambat dan bersikap semena-mena.
Tragisnya, fokus dunia internasional terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya justru diarahkan pada aspek lingkungan dan bukannya pelanggaran HAM yang terjadi.
Penerapan kebijakan konservasi hutan oleh perusahaan merupakan langkah awal yang patut diapresiasi, akan tetapi tetap belum juga berfokus pada HAM dan hak atas tanah.
Organisasi-organisasi lingkungan hidup dan mereka yang mendukungnya jelas-jelas lebih berfokus pada perlindungan keanekaragaman hayati dan cadangan karbon ketimbang nyawa manusia, hak atas tanah, mata pencaharian atau pemenuhan kebutuhan budaya.
Dan bagi kita fakta tragis ini semestinya sama meresahkannya dengan pemberitaan tentang penyiksaan dan pembunuhan korban, seorang pria usia 22 tahun, yang kebetulan berada dalam perjalanan untuk memanen padi di sawah masyarakatnya sendiri pada hari Jumat siang di bulan Februari.
Keanekaragaman hayati, karbon dan perubahan iklim adalah hal yang penting, akan tetapi nyawa manusia tentu jauh lebih penting.
Kalaupun ada hal positif yang menjadi pelajaran dari tragedi ini, maka itu adalah agar perusahaan dan kelompok-kelompok lingkungan hidup mau terlibat dalam memprioritaskan nyawa dan hak asasi manusia.
Ada tiga langkah yang dibutuhkan untuk mewujudkan pergeseran ini dan agar perusahaan yang terlibat dapat menunjukkan keseriusan komitmen mereka untuk memperbaiki pelanggaran terhadap hak-hak rakyat Indonesia dan tanahnya yang sudah berlangsung lama.
Yang pertama, para pemimpin perusahaan perlu mengembangkan secara rinci kebijakan korporat untuk HAM dan hak atas tanah secara konsisten sesuai standar-standar internasional jika hal ini belum dilakukan, dan kemudian dengan sigap menerapkannya dari level atas ke bawah, serta memberikan pelatihan ulang bagi semua staf di semua lini perusahaan, anak usaha dan perusahaan rekanannya.
Selain itu, para pemimpin perusahaan juga harus meminta pertanggungjawaban para staf, anak usaha dan kontraktornya atas kinerja yang mereka lakukan terkait kebijakan baru ini.
Kedua, perusahaan (beserta LSM-LSM lingkungan internasional yang bekerja bersama mereka) perlu berkomitmen untuk melaksanakan program-program yang memberikan pengakuan formal terhadap hak tanah adat yang dimiliki masyarakat adat dan setempat serta memprioritaskannya, dan harus memilih antara mengembalikan lahan-lahan dimaksud atau menegosiasikannya kembali sesuai dengan apa yang dikehendaki masyarakat yang bersangkutan.
Perusahaan perlu mengubah tradisi mereka dalam mempraktikkan ketidakadilan dan perlu memahami standar-standar internasional yang berlaku bagi semua lahan yang mereka dapatkan. Panduan Sukarela yang telah disepakati secara internasional untuk Tata Kelola Penguasaan Lahan, Perikanan dan Hutan secara Bertanggung Jawab, di mana Indonesia menjadi pihak penandatangannya, merupakan kerangka kerja yang baik untuk diterapkan. Selain itusudah ada panduan operasional untuk perusahaan yang sedang dikembangkan oleh suatu kelompok perusahaan besar dan organisasi masyarakat sipil.
Ketiga, perusahaan perlu berkomitmen untuk bisa diaudit secara berkala, independen dan sepenuhnya transparan untuk kinerja mereka terkait HAM dan hak atas tanah oleh organisasi-organisasi HAM internasional. Beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang kehutanan, makanan dan pertanian telah melakukan kajian tersebut terhadap aset-aset multi nasional yang mereka miliki selama beberapa tahun terakhir, sehingga membuktikan bahwa hal ini tidak hanya mungkin untuk dilakukan, akan tetapi juga menguntungkan.
Langkah-langkah di atas, jika dilakukan oleh perusahaan dan organisasi lingkungan, akan menjadi suatu poros sejarah menuju keadilan dan penghormatan bagi warga negara Indonesia. Meski demikian, langkah-langkah ini tidak akan cukup tanpa tindakan Pemerintah yang lebih besar dari yang saat ini dilakukan.
Dengan tidak dapat ditegakkannya hukum yang dibuatnya sendiri atau mematuhi standar-standar internasional yang sudah menjadi komitmennya, dan terus mempermudah pemberian segala jenis konsesi industri tanpa terlebih dahulu memberikan pengakuan dan penghormatan bagi hak atas tanah masyarakat lokal, Pemerintah Indonesia hanya akan mempersiapkan sendiri ruang bagi pelanggaran, konflik besar dan kematian yang sudah sangat biasa terjadi di seluruh penjuru negeri ini.
Janji Presiden Jokowi untuk menghormati hak-hak atas tanah yang dimiliki masyarakat lokal, dengan menjadikannya sebagai salah satu dari sembilan prioritas kabinetnya (Nawacita), memberikan harapan bahwa sejarah ketidakadilan ini pada akhirnya dapat mulai diakhiri untuk kembali menuju arah yang semestinya.
Meskipun Indra Pelani bukanlah pemuda pertama yang mati sia-sia di tangan industri perkebunan, dia bisa menjadi yang terakhir.
Selama beberapa tahun terakhir, sudah ada sejumlah perusahaan yang telah mengambil langkah-langkah penting untuk mulai menyelesaikan beberapa konflik lokal.
Akan tetapi baik Pemerintah maupun kelompok lingkungan yang mengusung agenda reformasinya belum memprioritaskan pemulihan akibat dari perampasan lahan dan kekerasan terhadap masyarakat lokal. Ini harus berubah. Karena nyawa manusia adalah yang paling penting.
Abetnego Tarigan adalah Direktur Eksekutif Walhi, LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Iwan Nurdin adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Siaran Pers: Tentang Kasus Pembunuhan Indra Pelani, Bukan Sekedar Kejahatan Biasa

Credit: Poster oleh WALHI Jambi

Credit: Poster oleh WALHI Jambi


Pembunuhan Indra Pelani, Bukan Sekedar Kejahatan Biasa
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), bersama dengan Walhi, TUK, KPA, dan Elsam, mendesak sejumlah pihak terkait untuk melakukan pengusutan secara lebih mendalam terhadap peristiwa penganiayaan dan perampasan hak hidup terhadap sdr. Indra Pelani (23), Aktivis organisasi Serikat Petani Tebo (SPT) Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Hilir, Kabupaten Tebo, Jambi, pada 27 Februari 2015 lalu.
Kami menduga kuat persitwa menimpa Indra Pelani (alm) bukan merupakan peristiwa pembunuhan biasa atau kriminal murni, namun merupakan kelanjutan tindak kejahatan korporasi (corporate crime) yang marak belakangan ini, dan secara jelas telah melanggar prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia (bussines and human rights) yang dipromosikan PBB.[1] Terlebih profile korban yang merupakan pembela HAM (human rigts defender)[2] semakin menguatkan dugaan adanya skenario besar dibalik peristiwa tersebut.
Terkait hal tersebut, kami juga telah melakukan investigasi bersama pada 18-25 Maret 2015 di Provinsi Jambi, dan mendapati sejumlah temuan yang melengkapi dugaan itu. Sejumlah temuan tersebut natara lain;
a) Sejak kehadiran PT. WKS di Provinsi Jambi telah menimbulkan banyak masalah terkait konflik sosial dalam pengeloalaan Sumber Daya Alam di Jambi. Sementara itu, peristiwa tersebut juga bukan merupakan peristiwa pertama yang melibatkan PT. WKS. Sebelumnya, pada tahun 2007, masyarakat sempat menghadang Traktor persahaan yang berakhir dengan pembakaran traktor. Peristiwa ini menyebabkan 9 orang masyarakat di pidana selama 9 bulan Penjara. Sementara pada Senin tanggal 08 November 2010, dua orang petani ditembak pada saat melakukan aksi untuk merebut kembali hak atas tanahnya seluas 7.224 ha yang telah dirampas oleh PT. WKS. Peristiwa penembakan ini dipicu oleh tindakan PT. WKS yang membawa aparat keamanan (Brimob dan security perusahaan) dan berusaha membubarkan secara paksa aksi massa para petani.
b) Hingga tahun 2013, sebagian masyarakat memutuskan untuk mengambil alih kembali lahan seluas 1500 hektar yang yang telah dikuasai PT. Wirakarya Sakti (WKS) yang berlokasi di daerah Bukit Rinting2 Dusun Pelayang Tebat, desa lubuk Mandarsah. Sejak saat itu persitiwa intimidasi dan sampai pada penangkapan petani terus dilakukan oleh pihak perusahaan WKS. Selain itu juga ditemukan sejumlah fakta-fakta bahwa ada gangguan dan intimidasi dari URC WKS terhadap masyarakat sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap (alm) Indra Pelani. Bahkan menurut keterangan saksi, juga terdapat rencana untuk merebut kembali lahan yang bersengketa dengan masyarakat, Lubuk Mandarsah setelah kegiatan Panen Raya 27 Februari 2015.
c) Untuk keamanan kebun HTI, PT WKS menggunakan tenaga kerja Outsourcing dari PT MCP. Sesuai Perkap Kapolri No.24 tahun 2007, Pasal 8 ayat 3.b.1 maka PT MCP merupakan Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yaitu para anggota Satpam diorganisir dalam satu badan usaha yang bergerak di bidang industri jasa pengamanan. Namun berdasarkan klarifikasi pihak Kepolisian Setempat, mengakui bahwa tidak mengenal Tim URC, tidak melakukan koordinasi, tidak menjalankan standart pelatihan, sebagaimana yang dijabarkan dalam Perkap tersebut. Kami juga menemukan ada serangkaian persiapan operasi dan materi pelatihan tidak lazim yang diberikan kepada tim URC. Lebih dari itu, keberadaan Tim URC didekat lokasi lahan yang dikuasai masyarakat telah memicu keresahan, dan kecurigaan dikalangan masyarakat, sebelum peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan Sdr. IndraPelani.
d) Bahwa pada tanggal 27 Februari 2015, telah terjadi penganiayaan secara bersama-sama (pengeroyokan), dan pembunuhan keji terhadap Sdr. Indra Pelani yang diduga dilakukan oleh para 5 orang tersangka yang merupakan  1 regu TIM URC  (terdiri dari Danton, Danru, dan 3 orang Anggota TIM URC). Bahkan ditemukan senjata-senjata tajam berupa parang, dan Tongkat yang ditancapkan paku-paku, dan ranjau paku di Markas Tim URC yang terletak di wilayah Bukit Rinting, yang diduga sengaja disiapkan untuk melakukan aksi-kekerasan. Sementara kami juga menemukan sejumlah komunikasi tak lazim yang dilakukan antara pelaku dan sejumlah pihak lainnya saat peristiwa terjadi.
Dari fakta, informasi dan keterangan saksi diatas maka kami memberikan Hipotesis sebagai berikut :
I. Terkait pembentukan TIM URC:

  • Sejak dibentuknya TIM URC tahun 2010, merupakan kelompok pengamanan yang di bawah koordinasi dan tanggung jawab langsung manajer PT. MCP. Dari dokumen terungkap Tim URC dicurigai bertentangan dengan PERKAPOLRI No. 24 Tahun 2007.
  • Pada Oktober 2014, telah terjadi pemusatan kekuatan orang, aktifitas, dengan ditempatkannya Camp URC Sector Kilis didekat lokasi lahan yang dikuasai masyarakat, yang berakibat terjadi gangguan privasi, gangguan aktivitas yang intimidatif terhadap masyarakat khususnya ketika menggunakan sungai sebagai kebutuhan hidup.

II. Terkait Kegiatan Panen Raya masyarakat:

  • Pada tanggal 25, 26 februari 2015, telah terjadi usaha, tindakan yang terindikasi dilakukan secara terencana, sistematis, dan terkoordinasi untuk memata-matai kegiatan masyarakat sehubungan dengan Rencana Kegiatan Panen Raya.
  • Pada tanggal 27 Februari 2015, terindikasi terencana, sistematis, dan terkoordinasi untuk memperkuat penjagaan dengan tujuan menghalangi aktivitas warga melewati jalan di POS 803, dan patut dicurigai yang hendak untuk merekayasa sehingga masyarakat yang akan dianggap menerobos, atau masuk tanpa izin dengan penolakan dari “Atasan” untuk berkomunikasi.
  • Pada tanggal 27 Februari 2015, telah terjadi usaha, tindakan yang secara sistimatis, terkoordinasi untuk menunjukan eksistensi yang terkesan propokatif melalui latihan lari-lari oleh TIM URC di jalan tempat lokasi Panen Raya.

III. Terkait Pengeroyokan dan Pembunuhan Sdr. Indra Pelani :

  • Pada tanggal 27 februari 2015, telah terjadi pengeroyokan oleh 7 orang anggota TIM URC terhadap Sdr. Indra Pelani tanpa alasan yang jelas.
  • Terjadi Penculikan, yang dilakukan oleh 3 Orang Tim URC terhadap Sdr. Indra Pelani.
  • Terjadi eksekusi pembunuhan yang keji terhadap Sdr. Indra Pelani dengan kondisi jasat korban dengan leher terikat tali, lubang bekas tusukan benda tajam di bagian leher, luka di sekujur tubuh, tangan patah, serta terlihatnya tulang ibujari kaki.

Oleh karnanya kami mendesak:
Pertama, Pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam terkait peristiwa tersebut untuk dapat mengungkap peristiwa tersebut secara lebih utuh, yang tidak menutup kemungkinan terputus pada ke-lima orang pelaku dilapangan.
Kedua, kami juga mendesak pihak Kepolisian untuk melakukan evaluasi terhadap prosedur keamanan yang ada dalam PT. WKS, sesuai dengan Perkap  Kapolri No. 24 tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan, dan/ Instansi atau Lembaga Pemerintah.
Ketiga, Pemerintah Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Kehutanan, dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap PT. WKS, untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi diantara masyarakat dan perusahaan terkait.
Keempat, Komnas HAM untuk dapat melakukan penyelidikan lebih mendalam dalam bingkai kejahatan korporasi sesuai dengan prinsip-prinsi Bisnis dan Hak Asasi Manusia sesuai mandat dan fungsi berdasarkan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, untuk dapat memberikan pemulihan bagi sejumlah korban dalam konflik tersebut. Kami juga mendukung upaya Komnas HAM pembentukan Tim Pro  Justicia  terkait konflik agraria di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Hilir, Kapubaten Tebo, Jambi.
Kelima, LPSK untuk memberikan perlindungan terhadap sejumlah saksi-saksi terkait peristiwa tersebut agar tidak terjadi intimidasi dan tekanan terhadap saksi-saksi dalam kasus itu.
 
Jakarta, 8 April 2015
KontraS, Walhi, KPA, TUK, Elsam
[1] A/HRC/RES/21/5
[2] A/HRC/RES/25/18

[Tempo.co] Pengakuan Zulkifli Hasan Soal Skandal Korupsi Hutan

RABU, 08 APRIL 2015 | 15:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengakui pernah bertemu bos PT Duta Palma, Surya Darmadi, di kantor Kementerian Kehutanan. Ia mengatakan kedatangan Surya ke kantornya terkait dengan pembukaan izin hutan Provinsi Riau. Hal itu diakui Zulkifli saat menjadi saksi untuk terdakwa eks Gubernur Riau, Annas Maamun, dalam sidang dugaan korupsi alih fungsi lahan sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Rabu, 8 April 2015.
Menurut Zulkifli, kedatangan Surya ke kantor Kementerian Kehutanan saat itu bertujuan meminta izin mengembangkan usahanya pada sektor kehutanan. Ketua MPR itu pun memperbolehkan dengan alasan sesuai peraturan. “Saat itu saya katakan silakan karena memang pemerintah mengutamakan perusahaan nasional. Apalagi kalau di sumber daya alam. Sebisa mungkin sumber daya alam itu bisa dikembangkan oleh perusahaan nasional,” kata Zulkifli saat dicecar jaksa.
Hubungan Surya Darmadi dengan kasus korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi itu berdasarkan fakta persidangan terpidana Gulat Manurung, penyuap Annas Maamun. Dalam sidang, Gulat menyebutkan ia turut memfasilitasi perusahaan sawit PT Duta Palma milik Surya untuk bicara dengan Annas agar lahan seluas 18 ribu hektare milik mereka juga dialihfungsikan. Namun Surya Darmadi dalam kasus ini hanya dijadikan sebagai saksi.
Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Masyhud, pun membenarkan adanya pertemuan Surya dengan Zulkifli. Masyhud, yang juga menjadi saksi dalam persidangan Annas Maamun, mengatakan saat itu ia diperintahkan Zulkifli untuk menemui Surya Darmadi. “Saya dipanggil oleh menteri (Zulkifli Hasan). Pada waktu itu beliau menginstruksikan untuk menemui Surya Darmadi,” kata Masyhud saat memberikan kesaksian.
Menurut Masyhud, maksud kedatangan Surya Darmadi ke kantor tersebut untuk meminta izin perluasan lahan. “Tapi tidak diizinkan karena tidak sesuai peraturan,” ujarnya.
IQBAL T. LAZUARDI S.
Link/tautan:
http://www.tempo.co/read/news/2015/04/08/058656266/Pengakuan-Zulkifli-Hasan-Soal-Skandal-Korupsi-Hutan

[TuK INDONESIA] Produksi Minyak Sawit dan Pelanggaran HAM

Bisnis online menerbitkan dua artikel tentang kampanye hitam sawit [note] Kampanye Hitam Sawit, Kementan Bilang Petani Kuasai 4,4 Juta Hektare, akses di http://industri.bisnis.com/read/20150216/99/403377/kampanye-hitam-sawit-kementan-bilang-petani-kuasai-44-juta-hektare[/note] (16/02/2015 21:02 WIB) dan kampanye negatif sawit (18/02/2015 14:25 WIB) [note] Kampanye Negatif Sawit, Gapki Tolak Masalah Lahan Dikaitkan HAM, akses di http://industri.bisnis.com/read/20150218/99/404111/kampanye-negatif-sawit-gapki-tolak-masalah-lahan-dikaitkan-ham [/note] merupakan pandangan pemerintah dan pengusaha. Pembaca dan publik berhak atas informasi dan berita yang nyata dan objektif.
Artikel ini tidak akan mempertanyakan makna kampanye hitam dan kampanye negatif. Artikel ini mencoba menjabarkan sejumlah hubungan antara produksi minyak sawit dan pelanggaran HAM. Selain memang telah banyak laporan publikasi terkait pelanggaran HAM oleh kegiatan industri produksi minyak sawit (Promised Land, 20053[note] http://sawitwatch.or.id/2012/01/final-land-acquisition-book/[/note]; Losing Ground, 2008[note]http://sawitwatch.or.id/2012/01/palm-impact-in-ecology-and-social/ [/note]; Conflict or Consent, 2013 [note]http://www.tuk.or.id/2015/01/conflict-or-consent/[/note]; Institute for Ecosoc Rights, 2015).
Banyaknya kasus pertanahan perkebunan kelapa sawit berbagai daerah Kabupaten memberi contoh bagaimana pembebasan lahan yang dimiliki komunitas lokal atas nama kelapa sawit dimudahkan oleh lemahnya perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat atas lahan, hutan dan daerah-daerah lain yang penting bagi sumber penghidupan mereka. Beberapa celah hukum tersebut diuraikan di bawah ini.
a) ‘Penguasaan bumi, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat’ sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD Republik Indonesia Tahun 1945 secara sepihak ditafsirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui model dan program pembangunan yang kurang melibatkan partisipasi yang demokratis, termasuk di dalam rencana-rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam praktiknya, pengembangan kelapa sawit dipaksakan kepada masyarakat tanpa memberi mereka posisi tawar yang besar atau hak untuk berunding atau menolak ketentuan-ketentuan pembangunan;
b) Berkenaan dengan tanah, pemerintah telah mengunci dirinya sendiri ke dalam interpretasi sempit dari tanah negara yang telah menjadi obyek perkebunan kelapa sawit skala besar. Meskipun hukum Indonesia telah cukup jelas dalam perbedaan antara tanah negara tanpa hak dengan status bebas dengan tanah negara yang dibebani hak, dalam praktiknya, perbedaan-perbedaan hukum tersebut tidak memberikan cukup perlindungan bagi masyarakat untuk menguasai, mengelola dan menggunakan tanah mereka;
c) Otoritas pemerintah mewajibkan bukti kepemilikan dalam bentuk hak tanah atau sertifikat tanah untuk membuktikan hak-hak sesungguhnya atas tanah negara, sesuai dengan peraturan perundangan administrasi pertanahan. UU administrasi pertanahan tersebut tidak mengakui berbagai bentuk hak atas tanah, seperti hak atas tanah yang tidak ditempati atau yang secara aktif atau teratur digunakan oleh perorangan namun memiliki fungsi penting bagi masyarakat dan mata pencaharian mereka, seperti kawasan hutan, daerah aliran sungai, dan tempat-tempat sosial dan budaya lainnya;
d) peraturan perundangan yang lemah dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman di kalangan otoritas pemerintah tentang sistem penguasaan masyarakat atas lahan di tingkat lokal menimbulkan ketimpangan kekuatan yang tidak berpihak pada masyarakat dalam perundingan dengan perusahaan. Di satu sisi, perusahaan menggunakan ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk merundingkan cara-cara memperoleh hak pemanfaatan lahan masyarakat. Izin Lokasi, misalnya, dalam praktiknya selalu diartikan sebagai hak atas keseluruhan lahan dan daerah yang ditetapkan dalam izin lokasi. Di sisi lain, masyarakat kekurangan dukungan dan informasi untuk melawan dan mencegah konversi lahan dan pola mata pencaharian mereka tanpa persetujuan penuh dan diinformasikan mereka;
e) Salah satu konsekuensi dari ketidakseimbangan dalam daya tawar ini adalah bahwa masyarakat sering mendapati diri mereka hanya mendapat ganti rugi untuk kerusakan tanaman mereka, yang jauh dari memadai mengingat perubahan radikal dalam cara hidup mereka dan ancaman terhadap keamanan ekonomi mereka yang diakibatkan oleh pembangunan tersebut.
Hambatan-hambatan yang diuraikan di atas telah mengakibatkan pengabaian yang meluas oleh pemerintah dari kewajibannya untuk memberikan perlindungan secara penuh dan efektif terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat dan masyarakat lokal. Sebagaimana telah dibahas dengan panjang lebar di sumber-sumber lain (Promised Land, 2005; Losing Ground, 2008; Ghosts on our own land, 2006; Ecosoc Institute, 2015), pelanggaran-pelanggaran ini setidaknya melanggar pasal-pasal dalam UUD 1945 di bawah ini:
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh siapa pun.
Pasal 28I
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban;
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pasal 33:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Bagaimana dengan minyak sawit yang anda beli dan konsumsi saat ini? Silakan anda periksa dan tanyakan kepada perusahaan yang mengolah minyak sawit menjadi minyak goreng yang anda pakai sehari-hari. Merupakan langkah maju apabila perusahaan tersebut memberitahukan kebun dan pabrik darimana minyak sawit berasal atau diproduksi sebelum diolah menjadi minyak goreng dari buah kelapa sawit segar dan terbaik.
Redaksi percaya, bahwa produksi minyak sawit yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan berkeadilan tentu tidak melanggar atau memanfaatkan kelemahan hukum. Dengan kata lain, minyak sawit dihasilkan dengan cara tidak melanggar pasal-pasal UUD diatas, secara moral dan sosial, tentu layak disebut tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM.

Holcim Ltd Harus Bertanggung Jawab Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo

Pernyataan Pers Bersama

ELSAM – Fransiscans International – Sitas Desa – Paguyuban Petani Aryo Blitar – TuK Indonesia – Konsorsium Pembaruan Agraria – AURIGA

Holcim Ltd Harus Bertanggung Jawab Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo
Jakarta-Switzerland, 19/03 – Hari ini, masyarakat sipil yang selama ini membela warga Ringinrejo, Wates, Blitar, Jawa Timur dalam memperjuangkan hak kelolanya dari pengambilalihan lahan yang dilakukan Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia, mengadukan permasalahan tersebut ke National Contact Point Switzerland, karena operasi Holcim tersebut berdampak buruk terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat setempat.
Pengaduan yang kami sampaikan merupakan pengaduan yang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises (OECD Guidelines for MNE’s). Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi.
Di Blitar, lahan seluas ± 724,23 Hektar yang dikelola ± 826 Kepala Keluarga ditanami jagung, ketela & semangka di Desa Ringinrejo, Blitar, Jawa Timur, Indonesia telah menjadi sumber penghidupan warga selama 19 (Sembilan belas) tahun lamanya, kini terancam digusur. Karena, lahan yang dikelola warga tersebut, sejak tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT. Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti (dijadikan hutan), karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen.
Penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang manipulatif. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 19 (sembilan belas) tahun lamanya, bahkan justru tawaran ganti rugi atau kompensasi dilakukan kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut. Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) dalam pemberian lahan kompensasi kepada Kementerian Kehutanan dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.  Lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan Indonesia. Yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Karena Karena berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). Karena, fakta di lapangan masih terdapat ±826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun.
2.  Melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Pihak PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) telah melakukan sosialisasi/musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi, namun musyawarah/sosialisasi tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo. Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga tersebut, PT. Holcim Indonesia Tbk. melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut.
3.  Persetujuan Atau Kesepakatan Bersama Dibuat Secara Tidak Transparan. Dalam proses negosiasi untuk membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan yang dilakukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia Permohonan Tanah di Desa Ringinrejo, dan sampai memiliki buah kesepakatan bersama (Pernyataan Bersama) yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Ringinrejo menerima pemberian lahan seluas 40Ha dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008. Namun ternyata dalam memperoleh tandatangan untuk pernyataan tersebut Panitia Permohonan Tanah tidak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan bagi warga Desa Ringinrejo tentang isi pernyataan tersebut.
Tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia; bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik. Serta bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.
Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim, dan dengan difasilitasi NCP, dapat dicapai putusan agar Holcim mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo; atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan yang final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Sehingga dampak kerugian yang dialami warga dapat dipulihkan sepenuhnya.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan
Jakarta-Geneva, 19 Maret 2015 

Hormat kami,

 

Kontak:

Andi Muttaqien          08121996984             (ELSAM, Jakarta-Indonesia)
Farhan Mahfudzi        081555859984          (Sitas Desa, Blitar-Indonesia)
Budi Tjahjono            +41227794010           (Frasiscans International, Geneva-Switzerland)

BIADAB – Penggunaan kekerasan didalam Menyelesaikan Konflik

Biadab. Itu kata yang pantas untuk menggambarkan peristiwa terhadap almarhum Indra Kailani, anggota Serikat Petani Tebo. Ormas tani yang memperjuangkan petani di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Kabupaten Tebo tanggal 27 Februari 2015. Pria yang baru berumur 23 tahun tewas dibunuh secara biadab oleh Unit reaksi cepat security PT. WKS.

Tanpa melepaskan motif sesungguhnya yang melatarbelakangi peristiwa, perlakuan terhadap korban merupakan cara-cara biadab yang mengingatkan cara-cara digunakan dalam peristiwa G 30 S/PKI. Perlakuan terhadap almarhum mengingatkan cara-cara kejahatan terhadap kejahatan didalam perang dunia dan kejahatan terhadap HAM.

Bayangkan. Perkelahian dimulai. Pada jam 14.00 wib saudara Indra (korban) menjemput saudara Nick Karim (Tim WALHI Jambi) dengan menggunakan sepeda motor GL Pro di simpang niam yang baru saja datang dari kota jambi. Sekitar jam 16.03 wib Indra (korban) bersama Nick Karim sampai pada pos kembar security di stop oleh tim URC (Unit Reaksi Cepat) PT. Wirakarya Sakti sebanyak 2 (dua) orang, lantas mereka bertanya (URC) terhadap korban dan Nick Karim “Mau Kemana”?, dijawab oleh Nick Karim mau kedalam, kemudian URC membentak Indra (Korban) dengan ucapan “Kau ini belagak nian!!!” (Kau ini sok banget), lantas Indra (Korban) menjawab “Apo Bang” (apa bang), pihak URC langsung memukul Indra (Korban) dari belakang disusul dengan 5 (lima) orang rekan-rekannya untuk memukul korban. Nick Karim berusaha untuk melerai namun upaya itu tidak berhasil karena jumlah URC terlalu banyak, kemudian Nick Karim meminta kepada salah satu Security yang berpakai dinas yang berada di pos untuk membantu menghentikan pemukulan terhadap korban, namun tidak ditanggapi oleh pihak Security tersebut.

Kemudian Nick Karim ditarik oleh Bapak-Bapak yang berada didekat lokasi pos untuk menghindar dan mencari bantuan ke desa Lubuk Mandarsah dusun Pelayang Tebat. Nick Karim tiba di dusun Pelayang Tebat sekitar pukul 16.28 wib meminta pertolongan kepada masyarakat bahwa Indra (korban) di pukuli oleh URC PT.Wirakarya Sakti, mendengar berita tersebut masyarakat sekitar 30 orang langsung menuju ke lokasi pos kembar sekitar jam 16.30 wib, sesampai masyarakat di pos kembar Indra (Korban) tidak berada disitu dan masyarakat langsung menanyakan kepada security (Zulkifli) yang ada di pos kembar “Apakah benar Indra (korban) di keroyok dan dibawak ke Districk 8?”, security tersebut menjawab “tidak tau, silahkan saja bertanya kepada anggota URC”, tim URC yang pada saat itu ada disamping pos security, pada saat masyarakat menanyakan kepada URC, tim URC tersebut sudah dilengkapi dengan senjata tajam (Parang dan Pisau) masyarakat tetap menanyakan keberadaan Indra (korban) “dimana posisi Indra (korban)?”, tim URC menjawab “tidak tau, disini juga tidak terjadi apa-apa”.

Akhirnya masyarakat bertanya kembali kepada security (Zulkifli) yang berada di pos dan security menjawab bahwa Indra (korban) sudah di bawak ke districk 8 menggunakan mobil patroli URC yang bermerek Ford. Karena kekesalan masyarakat terhadap Security, masyarakat langsung mengusir security dan URC dari pos, dilokasi pos masyarakat menemukan senjata tajam seperti parang dan pisau yang di persiapkan oleh tim security dan URC, setelah itu selesai masyarakat bubar dan kembali ke lahan.

Dari informasi yang berhasil didapatkan oleh teman-teman di lapangan, keadaan fisik korban masih berjalan ketika dimasukkan ke mobil perusahaan. Namun mukanya ditutup oleh pakaian dari korban.

Brita kemudian simpang siur. Issu pengeroyokan terhadap almarhum kemudian dibawa ke distrik 8. Namun dari informasi pihak perusahaan sendiri, mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan korban. bahkan mereka sendiri kehilangan jejak termasuk mobil.

Terhadap proses ini kemudian telah dilaporkan kepolisian terdekat.

Pada tanggal 28 Pebruari 2015 sekitar jam 09.00 wib kepala security (Akiet) PT. Wirakarya Sakti menelpon Rudi (WALHI Jambi) mengabarkan bahwa Indra (korban) sudah ditemukan sekitar 7 Km dari lokasi camp districk 8 dengan keadaan tidak bernyawa dan sekarang dalam proses evakuasi dari pihak kepolisian.

Rudi (WALHI Jambi) menelpon Kasat Reserse Polres Tebo untuk memastikan berita tersebut dan kasat menjawab, memang sudah ditemukan korban dengan ciri-ciri rambut keriting, memakain celana pendek dengan keadaan luka memar diseluruh tubuh, bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat, sekarang jenazah dibawa ke rumah sakit tebo untuk dilakukan visum dan otopsi. Setelah mendapatkan informasi dari kasat reserse polres tebo, Rudi (WALHI Jambi) langsung menuju ke rumah sakit untuk memastikan korban yang ditemukan, sesampai dirumah sakit langsung melihat korban dan benar adalah saudara Indra.

Dari rangkaian peristiwa maka terhadap peristiwa harus diletakkan pada pengungkapan kasusnya secara obyektif.

  1. Harus dicari motif utama mengapa URC begitu reaktif dan langsung memukul korban.

  2. Mengapa cara-cara biadab diperlakukan kepada korban. Ada persoalan apa sesungguhnya yang terjadi sehingga pelaku tanpa “babibu” langsung memukul korban.

Misteri kasus ini

Terhadap peristiwa ini, maka masih banyak misteri yang harus diungkapkan.

  1. Mengapa korban dibawa dari pos portal 803 ke distrik 8 ? Apakah distrik 8 tidak mengetahuai kedatangan korban ? Apakah korban “dihabisi” di distrik 8 atau diluar distrik 8 ?

  2. Mengapa mayat ditemukan 7 km dari distrik 8. Apakah ada upaya menghilangkan barang bukti sehingga menutupi kesalahan dan menutup-nutupi kasusnya.

  3. Mengapa korban ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tangan dan kaki terikat. Seluruh tubuh korban penuh dengan luka tusukan, kepala pecah, ada sayatan pisau di wajah korban ? Siapa yang tega melakukan perbuatan ini ? Sungguh biadab.

Melihat kejadian ini maka terhadap peristiwa ini tidak dapat dikategorikan didalam pengeroyokan sebagaimana dilihat di media massa. Menempatkan peristiwa ini sebagai pengeroyokan mengganggu nurani kemanusiaan.

  1. Pengeroyokan

Istilah pengeroyokan tidak terdapat di dalam literature ilmu hokum pidana. Peristiwa pengeroyokan lebih tepat dikategorikan didalam “kekerasan terhadap orang atau benda”. Didalam KUHP diatur didalam pasal 170 KUHP.

Khusus terhadap kekerasan yang menyebabkan matinya rang lain, maka diancam dengan 170 ayat 2 ke 2 KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara.

Dalam praktek selama ini, pasal ini diterapkan terhadap pengeroyokan yang bisa menyebabkan matinya orang lain.

Namun didalam melihat peristiwa yang dimaksudkan, maka perbuatan terhadap korban tidak tepat dikategorikan sebagai penerapan pasal 170 KUHP.

Rangkaian pemukulan diikuti dengan membawa pelaku, kemudian pelaku diperlakukan secara biadab yang ditandai dengan bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat dan ditemukan mayat jauh dari lokasi semula (pos portal) tidak dapat dikategorikan sebagai pengeroyokan.

  1. Penculikan “merampas kemerdekaan”

Pasal 333 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Terhadap peristiwa ini bisa dikategorikan perbuatan telah melakukan dengan “menculik korban” dari posportal 803 ke distrik atau setidak-tidaknya dibawa ketempat ditemukannya mayat.

Namun harus dibuktikan apakah penculikan dilakukan kemudian menyebabkan matinya orang lain dan proses ditemukan mayat dari korban.

  1. Pembunuhan berencana

Pembunuhan berencana diatur didalam pasal 340 KUHP. Pembunuhan berencana lebih tepat diterapkan kepada para pelaku dengan melihat fakta-fakta.

  1. Bahwa memang dipersiapkan rencana pembunuhan dengan baik. Ini dimulai dari Sekitar jam 16.03 wib Indra (korban) bersama Nick Karim sampai pada pos kembar security di stop oleh tim URC (Unit Reaksi Cepat) PT. Wirakarya Sakti sebanyak 2 (dua) orang, lantas mereka bertanya (URC) terhadap korban dan Nick Karim “Mau Kemana”?, dijawab oleh Nick Karim mau kedalam, kemudian URC membentak Indra (Korban) dengan ucapan “Kau ini belagak nian!!!” (Kau ini sok banget), lantas Indra (Korban) menjawab “Apo Bang” (apa bang), pihak URC langsung memukul Indra (Korban) dari belakang disusul dengan 5 (lima) orang rekan-rekannya untuk memukul korban

  2. Dengan melihat peristiwa pertama maka memang para pelaku “menjadikan target” terhadap Indra. Sehingga basa-basi di pos adalah rangkaian permulaan untuk “menghabisi” Indra.

  3. Membawa korban dari pos ke distrik atau tempat ditemukannya mayat adalah rangkaian selanjutnya dari rencana pembunuhan berencana.

  4. Berbagai luka-luka yang terdapat didalam diri korban adalah desain yang cukup direncanakan dengan baik.

  5. Akibat dengan keadaan luka memar diseluruh tubuh, bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat adalah tujuan dilakukannya pembunuhan berencana.

  6. membuang mayat dari pos portal 803 adalah rencana yang cukup dipersiapkan dengan baik dari pembunuhan rencana.

Peristiwa ini lebih tepat disebutkan dengan penculikan (merampas kemerdekaan), pembunuhan berencana. Sama sekali tidak bisa sesederhana “pengeroyokan”. Menempatkan peristiwa ini sebagai pengeroyokan mengganggu nurani kemanusiaan.

Melihat rangkaian kejadian dan akibat terhadap korban maka tidak dapat dibenarkan secara hokum. Cara-cara biadab ini harus diungkapkan dan dipertanggungjawabkan secara hokum. Siapapun yang terlibat harus diproses.

WALHI JAMBI, STT, API

contact person

Musri Nauli

Rudiansyah

Riva’i


Unduh versi pdf Rilis Indra

Industri CPO Tak Sumbang PAD, Gubernur Se-Sumatera Geram

Selasa, 24 Februari 2015 | 13:17 WIB
BENGKULU, KOMPAS.com – Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengeluhkan industri minyak sawit crude palm oil (CPO) tak memberikan kontribusi ke kas daerah.
“Kami gubernur se-Sumatera cukup kecewa karena perusahaan CPO tak memberikan kontribusi setetes pun bagi daerah, sementara jalan negara rusak akibat pengangkutan ratusan ton kelapa sawit,” kata Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah, Selasa (24/2/2015).
Dia menambahkan bahwa secara nasional hampir 23 persen hasil CPO Indonesia berasal dari Sumatera. Namun, cukup menyedihkan, kata dia, tak satu tetes pun produksi itu masuk ke kas daerah. Di Bengkulu sendiri, kata dia, dari 1,9 juta hektar luas provinsi itu, 600.000 hektar luas daerah telah dikuasai oleh perkebunan kelapa sawit.
“Regulasinya ada di pusat, dua kali saya menyurati Kementerian Keuangan agar aturan tersebut dibuat, namun ditolak, CPO wajib menyumbang ke kas daerah, masih mending tambang batubara mereka dikenai pajak dan royalti, kalau CPO tak ada aturannya, regulasinya harus diubah,” kritik gubernur.
Sebelumnya, semua gubernur di Pulau Sumatera berencana melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tidak adanya aturan hukum yang menegaskan penjualan minyak mentah kelapa sawit wajib berbagi dengan daerah.
Para gubernur ini berencana menggugat UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. UU itu antara lain mengatur masalah dana bagi hasil sumber daya alam. Namun, UU itu tak memasukkan sub-sektor perkebunan, termasuk minyak mentah sawit atau CPO.
Tautan: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/24/131736926/Industri.CPO.Tak.Sumbang.PAD.Gubernur.se-Sumatera.Geram?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Hapus UU Privatisasi Air, MK Tunjukan Pemerintah Simpangi UU SDA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10637#.VPAAdHWUfDE
Senin, 23 Februari 2015 | 09:59 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Padahal UU yang juga dikenal dengan sebutan UU Privatisasi Air itu dinyatakan berlaku oleh MK pada tahun 2004. Mengapa putusan MK berubah?
\”Meskipun pengujian UU SDA yang diputuskan di tahun 2015 menggunakan dasar konstitusional yang sama dengan pengujian di tahun 2004, hal tersebut tidak melanggar Pasal 60 UU MK karena sifat putusan 2004 yang konstitusional bersyarat tersebut,\” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
Berdasarkan Pasal 60 UU MK menyebutkan terhadap UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem) kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Namun putusan MK tahun 2004 sifatnya conditionally constitusional(konstitusional bersyarat).
\”Yaitu apabila UU SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka terhadap UU SDA tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali,\” ujar Bayu.
Putusan MK kali ini juga menunjukan pemerintah selama 10 tahun terakhir menyimpangi putusan MK tahun 2004 lalu. Secara jelas putusan MK tahun 2004 menyebutkan pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak utama.
\”Namun nyatanya selama 10 tahun terakhir, pemerintah selama ini telah menafsirkan pelaksanaan UU SDA secara berbeda bahkan menyimpangi putusan MK tentang UU SDA,\” ujar pengajar Universitas Jember itu.
Penyimpangan ini tergambar dalam PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang lebih condong kepada kepentingan swasta secara berlebihan
\”Dengan dibatalkannya UU SDA oleh MK, untuk mengisi kekosongan hukum sambil dibentuk UU SDA yang baru,\” cetus Bayu.
Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Untuk itu pemerintah sebaiknya segera menyusun UU SDA yang baru dengan benar-benar memperhatikan 6 pembatasan MK terkait pengusahaan air di Indonesia, yaitu:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;
3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD; 6. Apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
\”Putusan MK kali ini harus benar-benar diperhatikan oleh DPR sebagai pembentuk UU dan Pemerintah sebagai pelaksana UU, karena jika dilanggar kembali diyakini MK tidak segan akan membatalkannya kembali,\” cetus Bayu.
Putusan ini juga menunjukkan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan tidak disebar di MK dan MA melainkan sebaiknya diletakkan di satu atap yaitu di MK
\”Mengingat dalam putusan ini MK tidak secara langsung telah mempraktekkan menguji Peraturan pelaksana UU meskipun pintu masuknya adalah pengujian UU,\” cpungkas Bayu.
==================================
Nasakah Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dapat diunduh di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2131_85_PUU_2013-UU_SumberDayaAir-Dikabulkan-telahucap-18Feb2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf

Hapus UU Privatisasi Air, MK Tunjukan Pemerintah Simpangi UU SDA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10637#.VPAAdHWUfDE
Senin, 23 Februari 2015 | 09:59 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Padahal UU yang juga dikenal dengan sebutan UU Privatisasi Air itu dinyatakan berlaku oleh MK pada tahun 2004. Mengapa putusan MK berubah?
\”Meskipun pengujian UU SDA yang diputuskan di tahun 2015 menggunakan dasar konstitusional yang sama dengan pengujian di tahun 2004, hal tersebut tidak melanggar Pasal 60 UU MK karena sifat putusan 2004 yang konstitusional bersyarat tersebut,\” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
Berdasarkan Pasal 60 UU MK menyebutkan terhadap UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem) kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Namun putusan MK tahun 2004 sifatnya conditionally constitusional(konstitusional bersyarat).
\”Yaitu apabila UU SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka terhadap UU SDA tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali,\” ujar Bayu.
Putusan MK kali ini juga menunjukan pemerintah selama 10 tahun terakhir menyimpangi putusan MK tahun 2004 lalu. Secara jelas putusan MK tahun 2004 menyebutkan pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak utama.
\”Namun nyatanya selama 10 tahun terakhir, pemerintah selama ini telah menafsirkan pelaksanaan UU SDA secara berbeda bahkan menyimpangi putusan MK tentang UU SDA,\” ujar pengajar Universitas Jember itu.
Penyimpangan ini tergambar dalam PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang lebih condong kepada kepentingan swasta secara berlebihan
\”Dengan dibatalkannya UU SDA oleh MK, untuk mengisi kekosongan hukum sambil dibentuk UU SDA yang baru,\” cetus Bayu.
Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Untuk itu pemerintah sebaiknya segera menyusun UU SDA yang baru dengan benar-benar memperhatikan 6 pembatasan MK terkait pengusahaan air di Indonesia, yaitu:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;
3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD; 6. Apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
\”Putusan MK kali ini harus benar-benar diperhatikan oleh DPR sebagai pembentuk UU dan Pemerintah sebagai pelaksana UU, karena jika dilanggar kembali diyakini MK tidak segan akan membatalkannya kembali,\” cetus Bayu.
Putusan ini juga menunjukkan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan tidak disebar di MK dan MA melainkan sebaiknya diletakkan di satu atap yaitu di MK
\”Mengingat dalam putusan ini MK tidak secara langsung telah mempraktekkan menguji Peraturan pelaksana UU meskipun pintu masuknya adalah pengujian UU,\” cpungkas Bayu.
==================================
Nasakah Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dapat diunduh di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2131_85_PUU_2013-UU_SumberDayaAir-Dikabulkan-telahucap-18Feb2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf

[KOMPAS.com] Pengadilan Pajak Kembali Tolak Banding Grup Asian Agri

Jumat, 20 Februari 2015 | 08:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Pengadilan Pajak kembali menolak banding anak usaha Asian Agri. Kali ini hakim menolak banding PT Andalas Intiagro Lestari. Sebelumnya, lima perusahaan anak usaha Asian Agri Group yang mengajukan keberatan pajak juga harus gigit jari.
Dalam proses banding, Andalas Intiagro Lestari mengajukan delapan berkas keberatan pajak. Total nilai keberatan atas tagihan pajak yang diajukan Andalas Intiagro sekitar Rp 58,9 miliar.
Nah, perusahan itu menyatakan masih mempelajari putusan pengadilan. “Asian Agri akan tetap mencari keadilan, sebagaimana diatur dalam undang-undang” ujar Freddy Wijaya, General Manager Asian Agri Group, Kamis (19/2/2015).
Freddy menilai putusan banding kali ini tidak mencerminkan keadilan karena perusahaan tidak pernah didakwa, disidang, dan diberi hak untuk membela diri selama persidangan. “Perusahaan dikenakan denda serta diwajibkan membayar kekurangan pajak dengan penentuan angka final yang perhitungannya ditentukan tanpa adanya pemeriksaan pajak sesuai ketentuan yang ada” lanjutnya.
Dalam sidang putusan yang digelar Rabu (18/2/2015), hakim berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni antara hakim ketua Sigit Henryanto dan hakim anggota Nany Wartiningsih, dengan hakim anggota Entis Sutisna. 
Menurut Entis Sutisna, keberatan pajak yang diajukan bukan objek yang dapat ditangani Pengadilan Pajak. Karena surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan putusan peradilan sebelumnya di Mahkamah Agung. 
Merujuk pada Undang-undang Tata Usaha Negara No 5/1986 pasal 2 (e), Entis menilai ketetapan pajak yang diajukan banding adalah putusan tata usaha negara yang tak bisa diteruskan ke pengadilan manapun. Sedangkan, dua hakim lain berpendapat putusan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat diproses di Pengadilan Pajak sehingga langkah Direktorat Jenderal Pajak sudah benar dan hakim memproses keberatan pajak PT Andalas Intiagro Lestari. 
Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Catur Rini Widosari menyebut, selama ini Asian Agri Group khususnya Andalas Intiagro Lestari sudah memiliki itikad baik. “Mungkin melihat pengalaman perusahaan sebelumnya, sebelum diputus kekurangan pajak sudah dibayar seluruhnya oleh PT Andalas Intiagro Lestari” katanya.
Sebelumnya Asian Agri Group dinyatakan memiliki kekurangan pajak periode 2002-2005 senilai Rp 1,25 triliun oleh Mahkamah Agung (MA). Perusahaan milik taipan Soekanto Tanoto ini harus membayar kekurangan pajak plus denda Rp 2,5 triliun. 
Hingga kini masih ada delapan anak usaha Asian Agri dalam proses banding. Proses banding ini ditempuh oleh Asian Agri untuk menghindari denda. Sejauh ini dewi fortuna belum memihak Asian Agri dalam proses banding ini. (Jane Aprilyani)

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/20/085100526/Pengadilan.Pajak.Kembali.Tolak.Banding.Grup.Asian.Agri

=====================

Dirjen Pajak: Mudah-mudahan Asian Agri Kalah..

Senin, 17 Maret 2014 | 17:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany berharap pengadilan pajak memenangkan pemerintah dalam kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh korporasi milik Soekanto Tanoto, Asian Agri Group.
Menurut Fuad, saat ini Asian Agri telah menyepakati membayar denda pajak sebesar Rp 2,5 triliun. Pembayaran pertama sudah dilakukan sebesar lebih dariRp 700 miliar, demikian pula dengan cicilan pertama Rp 200 miliar. 
“Yang sama kami (dia sudah bayar) Rp 900an miliar. Dia juga tunggu pengadilan pajak. Kalau dia kalah, bayar. Mudah-mudahan kalah,” kata Fuad ditemui di Balaikota, Jakarta, Senin (17/3/2014).
Sementara itu, penasihat hukum Asian Agri Group, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, masalah pajak Asian Agri tidak semata-mata masalah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Masalah itu kini tengah diperkarakan di pengadilan pajak dan belum usai.
Ia pun mempertanyakan putusan kasasi MA No.2239K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012, lantaran di dalamnya Asian Agri disebut harus membayar denda sebesar dua kali pajak terutang, senilai Rp 2,5 triliun. Padahal, pengadilan pajak saja belum memutuskan berapa kurang bayar pajak oleh Asian Agri.
“Sampai hari ini berapa jumlah kurang bayar pajak Asian Agri belum diputuskan. Mahkamah Agung dalam putusannya menghukum Suwir Laut dan menghukum Asian Agri dua kali pajak terutang. Sementara, pajak terutangnya belum diputuskan pengadilan pajak,” kata Yusril, di Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Menyusul putusan MA, Yusril menegaskan, kliennya akan melakukan upaya hukum, demi mendapatkan keadilan. “Kepastian hukum sudah, denda dibayar. Bagaimana dengan keadilan? Menurut hukum tidak dapat orang dihukum tanpa diadili. Oleh karena itu badan hukum berhak menempuh upaya hukum biasa maupun luar biasa. Apa detilnya, kami bahas bersama,” kata dia.
Ia mengatakan, hak peninjauan kembali (PK) tidak bisa dihalang-halangi pihak manapun karena dilindungi undang-undang. Kendati demikian, pihaknya belum memutuskan langkah apa yang akan diambil paska eksekusi Putusan Kasasi MA tersebut.

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/17/1715465/Dirjen.Pajak.Mudah-mudahan.Asian.Agri.Kalah.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

=====================

Asian Agri Akhirnya Lunasi Denda Rp 2,5 Triliun

Selasa, 23 September 2014 | 20:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Asian Agri Group (AAG) melunasi denda Rp 2,5 triliun per 17 September 2014. Denda tersebut wajib dibayarkan oleh AAG berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2012 terkait perkara penyimpangan pajak yang dilakukan 14 perusahaan yang tergabung dengan AAG. 
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (23/9/2014) disebutkan bahwa pihak kejaksaan mengapresiasi pihak AAG yang membayar pada waktunya. 
Sebelumnya pada akhir Januari 2014, pihak Asian Agri menyatakan kesiapannya untuk dieksekusi pihak Kejaksaan dengan sistem pelunasan secara bertahap atau mencicil setiap bulan hingga tanggal 15 Oktober 2014. Akan tetapi, perusahaan milik Sukanto Tanoto itu melunasinya secara total pada 17 September 2014.
Pada akhir Januari 2014, pihak Kejaksaan dan pihak Asian Agri sepakat membayar terlebih dahulu sebesar Rp 719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan. 
Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Bank Mandiri dan tiap bulan dapat dicairkan.
Kami mempertimbangkan nasib puluhan ribu para pekerja serta petani plasma yang selama ini menggantungkan nasibnya pada 14 perusahaan yang tergabung di Asian Agri. Karena itulah Kejaksaan memberikan tenggang waktu pembayaran dan hal ini tentu saja dimungkinkan oleh perundang-undangan yang ada,” kata Datas Ginting, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/23/201126026/Asian.Agri.Akhirnya.Lunasi.Denda.Rp.2.5.Triliun?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

====================

[merdeka.com] Kejagung amankan aset 14 perusahaan kelapa sawit Asian Agri

Merdeka.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) dibantu Ditjen Pajak, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Pusat Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan mengamankan aset 14 perusahaan kelapa sawit yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG).
Hal itu dilakukan setelah perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto diputuskan harus membayar tunggakan pajak sebesar Rp 2,5 triliun kepada negara.
“Kita diberi jangka waktu setahun, karena waktunya lumayan panjang kita harus antisipasi (awasi aset AAG),” kata Jaksa Agung Basrief Arief, Jumat (7/6).
Pihaknya meminta BPN mengawasi lahan yang dimiliki 14 perusahaan Asian Agri Group supaya tidak dijual ke pihak lain.
“BPN mengawasi asetnya agar tak beralih ke pihak lain, status quo pemblokiran,” ujar dia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah mengeluarkan surat tagihan pajak terhadap perusahaan pengolahan sawit, Asian Agri.
Ada sekitar 48 persen dari total tagihan tersebut sehingga Ditjen pajak mencatat nominal tunggakan yang harus dilunasi sebesar Rp 1,8 triliun. Plus, karena ada denda dari kejaksaan, sehingga seluruh kewajiban pembayaran Asian Agri mencapai Rp 4,3 triliun.
“Dalam waktu sebulan Asian Agri harus segera dibayarkan. Kan itu belum termasuk denda dari Kejaksaan, kalau ditotalkan Asian Agri harus membayar Rp 4,3 triliun karena Kejaksaan sebesar Rp 2,5 triliun dan kita Rp 1,8 triliun,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany saat acara Silahturahmi Pimpinan Redaksi dengan Ditjen Pajak di Kantor Pusat Pajak, 
Jakarta, Rabu malam (5/6).
Mahkamah Agung (MA) menghukum Asian Agri, anak perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto. Perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut harus membayar denda Rp 2,5 triliun atas kasus penggelapan pajak.
Putusan perkara penggelapan pajak diputuskan sebagai corporate liability (pertanggungjawaban kolektif) yaitu Fucarious Liability (perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan pidana karyawannya).
Terkait respon perusahaan terhadap denda dari Ditjen Pajak, General Manager Asian Agri Freddy Widjaya menuturkan, perusahaan belum mengambil sikap. “Kita masih pikir-pikir dan pelajari petikan putusannya,” ujar Freddy saat berkunjung ke kantor redaksi merdeka.com beberapa waktu lalu.

[dan]

Link:

http://www.merdeka.com/peristiwa/kejagung-amankan-aset-14-perusahaan-kelapa-sawit-asian-agri.html