Bank BUMN Serampangan Modali Sawit

Bank BUMN Serampangan Modali Sawit Artikel ini telah tayang dBank BUMN Serampangan Modali Sawit

HAMPARAN rimba tak ada tempat berpijak lagi. Hutan mati, ditanam lagi. Pohon sawit tapi bukan pohon asli.

Kerusakan lingkungan momok yang menguap di ruang publik. Sekadar basa-basi. Narasi menyelamatkan lingkungan dibantah dengan getir geliat kerusakan. Sawit semakin menggerus hutan yang kini malah dibiayai bank milik negara.

Tiga bank pelat merah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencari untung dengan memposisikan diri sebagai kreditur cuan jumbo bagi perusahaan sawit. Cuan pinjaman yang menggerakkan perusahaan merusak lingkungan melalui industri sawit.

Bahkan nominal pinjamannya bukan cuan recehan. Bank Mandiri menggelontorkan US$ 4,5 miliar yang disusul Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang juga mengucurkan US$ 4,3 miliar. Lalu Bank Negara Indonesia (BNI) merogoh kocek US$ 2,5 miliar.

Pinjaman jumbo digunakan untuk menghidupkan industri sawit, namun mematikan dengung kelestarian lingkungan. Serampangan.

Merujuk data Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia pada 2021, para taipan menguasai 3,9 juta hektare sawit atau setara 26 persen total area perkebunan sawit di Indonesia. Luasnya nyaris sebanding dengan Sumatera Barat. Bahkan area kebun sawit melonjak dibandingkan 2017 lalu yang hanya berkisar 24 persen.

Luas lahan sawit yang dikuasai taipan bertambah sekitar 800 ribu hektare sejak 2013 dan 500 ribu hektare dari 2017. Penambahan luas lahan sawit gayung bersambut dengan sokongan pinjaman fantastis dari bank BUMN kepada para taipan.

“Kami menilai mengapa kebakaran hutan terus berlangsung? Kenapa krisis iklim terus terjadi? Mengapa perampasan lahan terus terjadi? Karena tidak pernah diberhentikan pembiayaannya oleh lembaga jasa keuangan,” kata Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina kepada apahabar.com.

“Bukan dampak tidak langsung, tapi dampak langsung (pinjaman bank BUMN terhadap kerusakan lingkungan),” ujar Linda menegaskan.

Kerusakan lingkungan semakin langgeng lantaran tak menjadi arus utama pertimbangan mengeruk cuan dari industri sawit. Bank BUMN memasang badan menjadi kreditur terbesar memberi pinjaman agar bisnis sawit berumur panjang.

Bank BUMN Rajai Kredit Jumbo untuk Taipan. Infografis: apahabar.com/Rully
Bank BUMN Rajai Kredit Jumbo untuk Taipan. Infografis: apahabar.com/Rully

“Indonesia terbesar dengan 46 persen (total pinjaman ke perusahaan sawit),” ujar Linda.

Bank milik pemerintah Indonesia seolah perkasa menumbangkan bank-bank luar negeri yang hanya mampu memberi pinjaman di bawah 10 persen. Jepang hanya mampu memberi pinjaman 9 persen dari total kredit perusahaan sawit. Lalu Malaysia, China, dan Singapura yang hanya terpaut 1 atau 2 persen di bawah Jepang.

Sejumlah perusahaan sawit mendapatkan pinjaman yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Nominalnya bervariasi semisal pada medio 2017-2020 tercatat US$ 5,9 miliar hingga 8,8 miliar. Puncak tertinggi nominal pinjaman terdapat pada 2021 yang mencapai US$ 15 miliar atau setara Rp215,17 triliun.

Perusahaan yang mengais kredit jumbo dalam medio 2017-2022 yakni Sinar Mas yang mendapatkan US$25,5 miliar. Disusul Royal Golden Eagle US$ 7,3 miliar dan Salim Group US$ 3,4 miliar.

Ironis. Bank BUMN hanya mampu merajai posisi kreditur perusahaan sawit. Sedangkan posisi sebagai investor yang juga membiayai sawit ditempati Malaysia dan Amerika Serikat. Bank milik negara hanya menjadi kreditur, bukan investor. Negeri ngeri.

Employees Provident Fund asal Malaysia merogoh kocek US$ 1,3 miliar atau sekitar 38 persen untuk memposisikan diri di puncak investor sawit. Kemudian Permodalan Nasional Berhad yang juga berasal dari negeri Jiran mengucurkan US$ 500 juta.

Malaysia dan AS jadi Investor Terbesar Sawit di Indonesia. Infografis: apahabar.com/Rully
Malaysia dan AS jadi Investor Terbesar Sawit di Indonesia. Infografis: apahabar.com/Rully

Lalu Vanguard dan Blackrock asal Amerika Serikat mengekor menjadi investor jumbo dalam industri sawit di Indonesia.

Sedangkan Indonesia harus gigit jari lantaran hanya mampu menjadi investor sawit dengan kalkulasi yang mungil, 4 persen atau setara US$ 88 juta. Investasi dikucurkan melalui Austindo Kencana Jaya. Nominal serupa juga diberikan perusahaan ‘Memimpin dengan Nurani’.

“Investor teratas justru bukan berasal dari Indonesia. Paling banyak di Malaysia dan Amerika Serikat,” jelasnya.

Linda melabeli geliat Indonesia dalam sengkarut bisnis sawit sebagai ironi. Sebab bank milik negara merajai posisi sebagai kreditur, namun begitu mungil posisinya sebagai investor.

Cuan yang dipinjamkan bank BUMN untuk sawit menyisakan dampak lingkungan yang destruktif. Sedangkan investor asal Malaysia dan Amerika Serikat mengecap untung lantaran menjadi investor jumbo.

Linda menilai bank BUMN aktif berkontribusi merusak lingkungan sekaligus menjadi beban sejarah lantaran cuan yang tak dinikmati sebesar-besarnya untuk kepentingan negeri.

“Kerusakan yang terjadi hari ini itu difasilitasi oleh kreditur atau bank-bank di Indonesia. Tapi keuntungan atas kerusakan yang sudah terjadi hari ini itu balik ke negara asalnya. Itu di Malaysia dan Amerika, bukan Indonesia,” ujar Linda.

Dia heran dengan sejumlah kemelut dalam bisnis sawit di Indonesia. Kerugian dari dampak lingkungan semakin parah dan membuat bumi Indonesia kering kerontang, lantas harap apa yang digantungkan bank BUMN untuk terus mengucurkan pinjaman ke perusahaan sawit.

Sedangkan Malaysia dan Amerika Serikat tak perlu repot mempertimbangkan kerusakan lingkungan. Pemegang saham mayoritas pun direbut mereka, Untung bagi siapa?

Bank BUMN Diduga berkontribusi Merusak Lingkungan. Infografis: apahabar.com/Rully
Bank BUMN Diduga berkontribusi Merusak Lingkungan. Infografis: apahabar.com/Rully

Beri pinjaman dan mendapati kerusakan lingkungan jangka panjang. Indonesia merugi. “Lembaga jasa keuangan harus berhenti mendanai perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan, yang menyebabkan krisis iklim,” ungkap Linda.

“Deforestasi yang besar, itu di-support oleh bank besar ini. Cuman keuntungan kerusakan itu justru ke Malaysia. Keuntungan pasti balik ke pemegang saham. Ini menurut kami situasi yang ironi,” kata dia menambahkan.

Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga sempat tertawa saat menjawab pertanyaan apahabar.com yang menyoroti keuntungan sawit tak dinikmati sepenuhnya oleh negara. Bank BUMN serampangan memberi pinjaman, tanpa memahami dampak kerusakan lingkungan yang dihasilkan perusahaan sawit.

Ia mencontohkan di Jambi terdapat potensi penerimaan negara dari sawit yang dikalkulasi dari pajak bumi dan bangunan beserta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pada tahun 2020 terdapat peluang Rp2,9 triliun. Namun saat dilakukan crosscheck, ternyata hanya dipatok target Rp2,1 triliun. Semakin tergerus lagi lantaran hanya terealisasi  Rp2 triliun.

“Kalau negara serius mengoptimalkan pungutan ke dua sektor ini, itu negara bisa menutupi target dari seluruh sektor, bahkan melebihi,” kata Linda.

Target capaian Rp2,9 triliun dikalkulasikan terletak pada 1,3 juta hektare pada izin lokasi, 248 hektare HGU (Hak Guna Usaha), dan 962 ribu hektare IUP untuk perusahaan perkebunan besar. Maka di Jambi terdapat 3 juta hektare yang diberikan untuk perkebunan.

Bank BUMN Diduga berkontribusi Merusak Lingkungan. Infografis: apahabar.com/Rully
Bank BUMN Diduga berkontribusi Merusak Lingkungan. Infografis: apahabar.com/Rully

Bank BUMN mesti menimbang ulang pemberian pinjaman ke perusahaan sawit. Sebab kerusakan lingkungan mengantarkan Indonesia lebih cepat menuju krisis iklim. Keserampangan bank BUMN mencairkan pinjaman pun disoroti TuK Indonesia.

Bank BUMN dituding hanya sekadar melakukan ceklis administrasi tanpa disertai verifikasi faktual dan mempertimbangan kerusakan lingkungan secara berkerlanjutan.

Kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan ditopang dengan kucuran pinjaman yang terus diberikan bank BUMN ke perusahaan sawit. Dengan kata lain, bank BUMN turut serta melibatkan diri sebagai aktor kerusakan lingkungan.

Bank milik negara yang tergolong first mover belum cukup berperan dalam sustainable finance. Terlebih wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dipertanyakan dalam mengawasi perbankan yang memberi pinjaman cuan jumbo ke perusahaan sawit.

Cap bank hijau pun tak dapat dipertanggungjawabkan lantaran komitmen geliat perbankan mengalirkan pinjaman ke perusahaan berisiko merusak lingkungan. Sustainable finance hanya sekadar angan-angan.

“Infrastruktur untuk menjalankan sustainable finance mendukung pembiayaan berkelanjutan industri ramah lingkungan dan ramah sosial sudah cukup, tapi praktiknya tidak begitu,” kata Linda.

“Buktinya mereka masih banyak mengalirkan uang ke sektor berisiko,” kata dia menambahkan.

Linda bercerita semula pimpinan perbankan sempat sesumbar tentang penghentian pembiayaan pada batubara. Basa-basi peduli lingkungan, namun ternyata kandas sekadar angan-angan.

Begitu pun kini dengan pemberian pinjaman jumbo bagi perusahaan sawit. Komitmen perbankan milik negara dipertanyakan, terutama akibat dampak dan kontribusi merusak lingkungan.

Maka tak berlebihan jika bank BUMN dicap hanya mengais untung dengan memberi pinjaman ke perusahaan sawit. Tetapi komitmen menjaga, melestarikan, hingga merawat lingkungan dari upaya eksploitasi sawit masih menggantung tanpa kejelasan.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo menerangkan cuan yang dipinjamkan bank BUMN ke perusahaan sawit digunakan untuk menghidupkan industri sawit, terutama melakukan ekspansi agar sawit semakin melejit. Tetapi kelestarian lingkungan semakin memprihatinkan.

Terlebih pemberian pinjaman dari bank BUMN juga menyisakan residu konflik agraria di tengah masyarakat. Uang pinjaman yang menggerakkan perusahaan melakukan ekspansi, berbenturan dengan masyarakat yang tertindas atas nama investasi.

Pria yang akrab disapa Rambo ini juga menilai belum ada lajur khusus untuk memberikan masukkan terhadap perbankan pelat merah agar pikir-pikir sebelum melanggengkan kerusakan lingkungan melalui pinjaman ke perusahaan sawit.

“Harusnya sebelum menggelontorkan dana harus memastikan apakah perusahaan tersebut membuat kerusakan lingkungan, membuat konflik dengan masyarakat,” kata Rambo kepada apahabar.com.

Rambo melihat celah semestinya perbankan pelat merah memiliki pengetahuan yang cukup dalam pemberian lajur penyelesaian residu sawit. Terutama dalam penanganan mekanisme konflik agraria yang merugikan masyarakat. Tanah diserobot, tak mengecap untung. Sawit mesti jalan terus.

“Saya membayangkan bank nasional sudah aware terhadap mekanisme konflik seperti bank dunia atau IFC. Sayangnya mekanisme soal transparansi itu hanya parsial,” ujar Rambo.

Dalam industri sawit, kata Rambo, isu tentang masyarakat menjadi pertimbangan yang minor dan dimarjinalkan. Terutama gaung tentang kerugian terhadap geliat sawit di lingkungan masyarakat. Keluh kesah masyarakat hanya menguap tanpa penyelesaian yang menguntungkan mereka. Suara minor, suara keras namun tak didengar.

apahabar.com berupaya menghubungi pimpinan hingga petugas humas Bank Mandiri, BRI, dan BNI untuk mengonfirmasi perihal pinjaman jumbo ke perusaaan sawit. Sebab pinjaman bank pelat merah berdampak pada semakin parahnya kerusakan lingkungan. Namun pesan, telepon, hingga surel yang disampaikan tim apahabar.com tak mendapatkan respon.

OJK Tak Berdaya

Kelapa Sawit-apahabar
Petani kelapa sawit. Foto: Antara

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dianggap tak berdaya berhadapan dengan para pemain sawit yang mendapatkan kucuran cuan jumbo dari bank milik negara. Label regulator belum cukup mampu membendung gelombang sawit yang merusak lingkungan.

Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina menginginkan OJK dapat memiliki peran berdaya serupa Gerakan Nasional Pengamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebab pembiayaan atau pinjaman yang dikucurkan untuk perusahaan sawit tergolong berisiko terhadap kerusakan lingkungan.

Mestinya OJK menyadari bahwa dirinya berdaya dan mampu menggandeng sejumlah kementerian dan lembaga dalam mengoptimalkan aspek lingkungan sebagai pertimbangan utama pembiayaan perbankan –terutama bank BUMN—yang dikucurkan ke perusahaan sawit.

“Untuk membiayai sektor berisiko ini OJK tidak bisa sendiri,” kata Linda.

TuK Indonesia membayangkan jika OJK optimal berperan dalam pembiayaan berisiko ke perusahaan sawit, maka gaung sustainable finance tak sekadar pepesan kosong. Sebab OJK berdaya memimpin orkestrasi dengan kementerian dan lembaga untuk memetakan roadmap sustainable finance.

“Mesti ada task force keuangan berkelanjutan yang multi-hub. Sekarang sudah ada task force, tapi untuk jasa keuangan, tidak melibatkan kementerian-lembaga apalagi civil society untuk masyarakat terdampak,” ujar Linda.

OJK didesak agar menguatkan diri agar orkestrasi pembiayaan sawit tak mengoyak kepentingan masyarakat. Maka regulasi mesti ditinjau ulang dan lebih mengarusutamakan kepentingan lingkungan dan masyarakat. Syarat longgar, mulus demi pinjam fulus.

Potensi memperketat syarat pinjaman dan evaluasi, kata Linda, mesti dilakukan OJK agar kepentingan lingkungan menjadi pertimbangan perbankan memberikan cuan ke perusahaan sawit.

Tak sekadar melakukan ceklis adminsitratif. Bahkan perbankan pelat merah mesti diwajibkan memetakan dampak kerusakan lingkungan dan konflik yang berpeluang muncul.

Pinjaman cuan bank BUMN diharap tak melahirkan kerusakan lingkungan dan kesengsaraan bagi masyarakat.

apahabar.com berikhtiar menghubungi Plt Kepala Grup Komunikasi Publik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sekar Putih Djarot beserta jajarannya. Pesan, telepon, dan surat yang dilayangkan tak berbuah jawaban. “Kami sedang mintakan arahan,” kata Analis Senior Humas OJK, Rizky Jati.

Celah regulasi yang longgar mestinya disiasati untuk proporsional dan berkeadilan. Terutama berkaitan dengan kepentingan publik dan lingkungan yang lestari. Gaung bank hijau tak dikikis dengan potensi kucuran pinjaman yang justru menghancurkan imej bank pelat merah.

Bahkan tindakan tegas dan terukurpun mesti dilekatkan sebelum bank pelat merah memberikan pinjaman ke perusahaan sawit. Termasuk bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mempublikasikan informasi perusahaan yang pantang diberikan pinjaman.

Sebab jika perusahaannya bermasalah dan berisiko mengoyak hutan rimba tanpa mempertimbangkan kelestarian, maka tak layak berumur panjang.

“Saya setuju pemerintah dan OJK memberikan daftar hitam. Seharusnya memang tidak bisa mencari permodalan, tapi buktinya sebaliknya,” ungkap Linda.

Linda bercerita bahwa setiap perusahaan mestinya mengikuti aturan tentang beneficial ownership atau penerima manfaat utama dalam kehadiran investasi. Sebab masyarakat dapat menuntut dan mencari pihak yang dimintai pertanggung jawaban tatkala investasi malah berbuah pahit.

Untuk itu OJK perlu mempertimbangkan kembali perannya dalam menyisir dan memilah regulasi agar berkeadilan. Terutama bank BUMN agar tak serampangan memberikan pinjaman tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan.

Bank pelat merah mesti ditagih komitmen dan pertanggung jawabannya dalam industri sawit yang justru merusak lingkungan. Sebab dalam sustainability report-nya tak memetakan review pembiayaan ke sektor berisiko seperti sawit.

“Semestinya mereka (bank) tahu dampak yang ditimbulkan perusahaan, tapi saya tidak tahu juga apakah bank itu tutup mata,” kata Linda.

“BUMN itu harus terbuka. Apalagi investasi yang dilakukan di tanah negara,” sambung dia.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima berpandangan normatif. Ia berharap Kementerian BUMN menerima masukkan yang merujuk pada data cuan jumbo bank BUMN yang dikucurkan ke perusahaan sawit. Sebab pinjaman bank BUMN telah ikut berkontribusi merusak lingkungan.

“Pokoknya kita mendorong semuanya ke arah yang lebih baik,” kata Aria kepada apahabar.com di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (*)

Reporter: Citra Dara Trisna dan Nandito Putra

Redaktur: Safarian Shah Zulkarnaen