SIARAN PERS: Omnibus Law Melanggengkan Kuasa Korporasi, Membunuh Ekonomi Kerakyatan

Jakarta, 4 Mei 2020, Setelah puluhan tahun tata kelola dan penegakan hukum yang lemah, ditambah dengan pertumbuhan cepat sektor kehutanan dan perkebunan Indonesia mengakibatkan persoalan ekonomi yang berakar. Pemerintah berencana mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah kondisi wabah Covid-19 yang menyebabkan perekonomian Indonesia babak belur. RUU ini seolah-olah menafikan adanya persoalan ekonomi yang mencakup kerugian pendapatan pemerintah akibat kepemilikan tanah dan sumber daya yang terkonsentrasi secara ekstrem oleh segelintir taipan dengan koneksi politik. 

“RUU Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena jelas-jelas memberikan jalan mulus untuk terjadinya liberalisasi agraria. Padahal kita tahu, Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) secara tegas menyatakan bahwa tanah juga memiliki fungsi sosial agar tidak 100 persen dikomodifikasi,” ungkap Bayu Eka Yulian, Peneliti Pusat Studi Agraria IPB. Kapital besar dalam melancarkan bisnisnya akan memerlukan tiga variabel yaitu (1) lahan murah; (2) tenaga kerja murah; dan (3) faktor supra ekonomi (politik/kebijakan). “RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyediakan semuanya itu. Seperangkat kebijakan disiapkan untuk memfasilitasi investasi kapital besar terutama yang terkait land based business, misalnya melalui kebijakan HGU yang didukung dengan kelembagaan Badan Bank Tanah. Kedua instrumen ini yaitu HGU dan Badan Bank Tanah adalah kombinasi yang sempurna sebagai penyedia lahan mudah dan “murah” bagi kapital untuk melipatgandakan  kapitalnya. RUU Cipta Kerja ini, sebenarnya adalah RUU Cipta Investasi, karena semua energi dalam RUU tersebut diarahkan untuk mempermudah investasi. Lalu masyarakat desa-desa sekitar HGU menjadi tenaga kerjanya (buruh)”, tambah Bayu. 

Saat ini hutan di Indonesia ditebangi untuk komoditas seperti kelapa sawit, pulp atau bubur kertas, kertas oleh perusahaan multinasional yang menyediakan permintaan pasar untuk produk-produk tersebut, didukung dengan pembiayaan untuk kerusakan mengalir dari bank besar di seluruh dunia. Laporan Rainforest Action Network mengungkap bagaimana masing-masing merek dan bank saling terkait dan bagaimana perusahaan kehutanan dan agribisnis diketahui secara aktif menyebabkan, atau berkontribusi pada, deforestasi dan pelanggaran HAM di Indonesia. Baik perusahaan merek-merek global, produsen serta perbankan bertanggung jawab dan bergantung pada peran satu sama lainnya dalam lingkaran kehancuran ini.

Menurut Awan Santosa, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, “Sistem ekonomi Indonesia yang nyatanya hanya memperkuat pemberian lahan untuk korporasi, justru rentan menghadapi krisis ekonomi global seperti saat ini. Padahal negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola produksi dan aset strategis nasional penting, peranan swasta hanya dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak sesuai dengan amanat konstitusi kita. Namun jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka akan kembali pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindas pemerintah dan korporasi asing.”

Sumbangan ekonomi dari sektor kehutanan dan agribisnis juga semakin diperkecil oleh efek jangka panjang drainase lahan gambut, yang menyebabkan subsidensi tanah, kebakaran lahan dan asap lintas negara. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sebesar 5 milyar USD pada 2019 dan 16 miliar USD pada 2015 akibat kebakaran hutan, jauh sebelum terjadinya wabah, namun masalah ini ditambah kondisi pandemi rupanya tidak cukup memberikan pelajaran kepada pemerintah bahwa sistem ekonomi yang berjalan selama ini sangat rentan untuk terus dilanjutkan. 

Herwin Nasution Ketua Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) menjelaskan bahwa korporasi kerap mengambil kesempatan situasi wabah ini untuk cuci tangan. Seperti London Sumatra, anak korporasi Indofood yang memberhentikan ratusan buruh kelapa sawit dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan buruh harian lepas serta menolak memberikan pesangon atas dasar status kerjanya. Buruh yang tidak diberhentikan kerja bahkan harus bekerja lebih keras dengan target yang lebih tinggi serta penambahan tugas dan luasan areal kerja. Buruh-buruh ini bekerja dalam tekanan rasa takut; takut terpapar dan takut lapar akibat kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tidak kunjung memberikan alat pencegahan dan fasilitas kebersihan yang memadai di tengah situasi wabah Covid-19. Mereka tidak diberikan masker, tidak disediakan tempat cuci tangan di tempat kerja, tidak ada aturan terkait pembatasan sosial, tidak ada pemberitahuan dan arahan kesehatan dan keselamatan kerja dalam kondisi wabah dari perusahaan.

“Omnibus Law penuh dengan kepentingan investasi, mengandalkan korporasi besar untuk menjawab persoalan kesejahteraan buruh. Apabila RUU ini disahkan, akan meminimalisir perlindungan buruh dan berakibat fatal bagi buruh kelapa sawit sebagai salah satu golongan buruh yang telah menopang ekonomi Indonesia selama satu abad. Ini terbukti ketika krisis seperti wabah Covid-19 melanda, buruh yang pertama menjadi korban,” Herwin menambahkan.

Dalam situasi wabah seperti ini terbukti bahwa korporasi tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya dengan banyaknya buruh yang mengalami PHK atau dirumahkan tanpa gaji. Banyak dari mereka kehilangan mata pencahariannya di kota dan terpaksa harus kembali ke kampung halamannya. Ironisnya ketika mereka kembali ke kampung, mereka harus dihadapi dengan masalah yang sama, sektor pertanian yang merupakan penggerak utama perekonomian kampungnya kini telah menjadi cerita masa lalu, tiada ada lagi lahan yang tersedia karena sudah dikuasai perusahaan yang berada dibawah kendali aktor-aktor politik daerah maupun nasional.

“Kian terpuruknya ekonomi saat wabah melanda membuktikan sistem ekonomi Indonesia tidak kuat menghadapi krisis. Pemberian lahan seluas-luasnya dalam jangka panjang kepada korporasi, sama dengan mematikan desa dan membuat daya lenting rakyat semakin kecil,” ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. Demand dan pasar adalah penentu bisnis hari ini. Kedepan, apabila Covid-19 berakhir tuntutan akan penegakan prinsip investasi keberlanjutan diperkirakan semakin kuat. “Segala macam bentuk investasi tidak bisa lagi abai terhadap lingkungan dan sosial serta menerapkan model business as usual. Maka sepatutnya Indonesia memperhitungkan ulang apabila hendak memberikan dukungan dan kemudahan kepada investasi-investasi yang tidak menerapkan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan,” pungkas Edi.

***

Kontak narasumber:

  • Bayu Eka Yulian, Peneliti Pusat Studi Agraria IPB: ([email protected];  0811-535-444)
  • Awan Santosa, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM: ([email protected]; 0812-2885-9792)
  • Herwin Nasution, Ketua SERBUNDO/Direktur Eksekutif OPPUK: ([email protected]; 0822-6733-5183)
  • Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan INDONESIA: ([email protected]; 0877-1124-6094)
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *