"Komposisi Pimpinan Terpilih KPK Mengkhawatirkan"

Jumat, 18 Desember 2015 | 07:58 WIB

Lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terpilih. Dari kiri ke kanan: Saut Sitomorang, Laode Muhamad Syarif, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, dan Agus Rahardjo.

Lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terpilih. Dari kiri ke kanan: Saut Sitomorang, Laode Muhamad Syarif, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, dan Agus Rahardjo.


JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, menilai, komposisi lima pimpinan terpilih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkhawatirkan.
Lima pimpinan terpilih itu adalah Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang.
“Komposisi pimpinan KPK yang terpilih mengkhawatirkan. Setidaknya bisa diukur lewat dua hal,” ujar Miko saat dihubungi, Kamis (17/12/2015).
Pertama, kata Miko, komitmen penguatan KPK oleh tiga dari lima pimpinan terpilih sejak awal menimbulkan keraguan. Mereka adalah Basaria, Alexander, dan Saut.
Basaria, kata Miko, menyatakan secara terbuka bahwa KPK cukup menjadi pusat pelaporan antikorupsi.
“Artinya, jika ada kasus korupsi, KPK melimpahkannya ke kepolisian dan kejaksaan,” kata Miko.
Kemudian, Alexander dikenal kerap melontarkan dissenting opinion dalam putusan.
Dalam beberapa putusannya, kata Miko, Alexander membebaskan terdakwa korupsi tanpa argumentasi yang cukup kuat.
Pimpinan lainnya, Saut, dianggap tidak memiliki kompetensi dan pengalaman pada bidang korupsi.
“Dia diragukan kompetensi dan pengalamannya di bidang korupsi,” kata Miko.
Miko mengatakan, seharusnya pemilihan pimpinan baru KPK dapat memberikan harapan baru terhadap penguatan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi.
Namun, kata Miko, yang terjadi justru sebaliknya, mengkhawatirkan.
“Nama-nama yang memiliki rekam jejak panjang dalam kerja pemberantasan korupsi malah tidak dipilih oleh Komisi III,” kata dia.
Oleh karena itu, ia menekankan, perlu adanya pengawasan dari publik dan internal KPK untuk mengawasi kinerja pimpinan baru.
“Pimpinan KPK harus berdiri di depan untuk mendukung penguatan KPK dan menolak pelemahan KPK,” kata Miko.
Anggota Komisi III DPR melakukan voting setelah upaya musyawarah mufakat tidak tercapai. Voting diikuti oleh 54 anggota komisi bidang hukum itu dari lintas fraksi.
Lima calon terpilih adalah Agus Rahardjo (53 suara), Basaria Panjaitan (51 suara), Alexander Marwata (46 suara), Laode Muhammad Syarif (37 suara), dan Saut Situmorang (37 suara) sebagai pimpinan KPK periode 2015-2019.
Kemudian, dilakukan voting lagi dan Agus Rahardjo terpilih menjadi ketua.
Agus mengantongi 44 suara, mengungguli empat pimpinan terpilih KPK lainnya.
Link: http://nasional.kompas.com/read/2015/12/18/07585511/.Komposisi.Pimpinan.Terpilih.KPK.Mengkhawatirkan.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
 
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
TEMPO.COJakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya memiliki lima pemimpin baru. Dalam voting yang digelar di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 17 Desember 2015, Agus Rahardjo terpilih menjadi Ketua KPK.
Dalam voting, mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini berhasil mengungguli Basaria Pandjaitan, satu-satunya perempuan yang lolos menjadi pemimpin KPK, dengan 44 suara.
Siapa sesungguhnya Agus Rahardjo? Lahir di Magetan, Agus selalu identik dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ini karena Agus ditunjuk menjadi ketua lembaga itu menggantikan Roestam Sjarief pada 2010 dan baru lepas tahun 2015, ketika Agus mau mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. LKPP dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007. Sebelum menjabat Kepala LKPP, lelaki 59 tahun ini pernah menjabat Direktur Sistem dan Prosedur Pendanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Karier Agus banyak dihabiskan sebagai pegawai negeri sipil dengan menjadi anggota staf perencanaan pembangunan di Bappenas. Lulusan Teknik Sipil ITS awalnya bercita-cita menjadi kontraktor, tapi nasib membawanya menjadi PNS.
Agus juga tercatat sebagai Ketua Umum DPP Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia. Namun ia memilih mundur pada 2010 karena kesibukannya di LKPP.
Sejak ikut tes calon pimpinan KPK, Agus sudah dikenali wartawan karena komentarnya yang fenomenal. Ia mengajak masyarakat meludahi koruptor. Dalam wawancaranya saat tes di gedung Sekretariat Negara, Agus mengaku kesal dengan koruptor yang berani melawan KPK.
Menurut Agus kala itu, banyak koruptor tertawa menghadapi KPK. “Ini memprihatinkan. Makanya perlu ada hukuman dari masyarakat, seperti di lingkungan sekitar tidak diajak bergaul. Diludahi juga bisa,” ucapnya.
Saat diuji kelayakan kemarin, ia menyatakan ingin menggugat ke Mahkamah Konstitusi kalau terpilih menjadi pemimpin komisi antirasuah. Gugatan itu terkait dengan putusan MK yang tidak membolehkan Dewan Perwakilan Rakyat mengetahui susunan anggaran pemerintah hingga tingkat satuan tiga. “Saya orang yang tidak setuju kalau DPR tidak boleh tahu satuan tiga. Seharusnya lebih detail. Semua orang tahu yang diajukan pemerintah detail sekali. Dibuka ke publik,” ujar Agus.
Menurut dia, dengan dibukanya anggaran sedetail mungkin ke publik, sisa lebih penghitungan anggaran yang terjadi setiap akhir tahun bisa dikurangi. Agus menilai, selama ini, penyerapan anggaran oleh pemerintah daerah, lembaga, atau kementerian yang lambat bukan lantaran takut diawasi KPK. “Ini sistem yang perlu kita ubah dan sempurnakan,” tuturnya.
Agus mencontohkan Amerika Serikat yang membuka detail anggarannya. Pemerintah negara itu bahkan mengajukan anggaran ke legislatif jauh-jauh hari. Pembahasan anggaran Amerika setiap tahun dimulai Oktober, tapi pada Februari sudah diajukan. Karena itu, legislatif dan publik bisa memelototi satu per satu anggaran yang diajukan.
Agus juga mendorong penerapan e-budgeting pada setiap pengadaan. Menurut dia, sudah ada contoh keberhasilan penerapan e-budgeting, di antaranya ditemukannya korupsi pengadaanuninterruptible power supply (UPS) di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Kenapa UPS tidak perlu, gara-gara diterapkan e-budgeting. Sekolah tidak begitu membutuhkan UPS,” katanya.
Hal lain dari Agus adalah kekayaannya. Pejabat eselon II ini ternyata hanya memiliki uang Rp 20 juta di empat rekeningnya. Sedangkan kekayaannya yang lain adalah sebidang tanah di Jonggol serta kaveling tanah di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, dan Citra Raya, Tangerang. Dia mengaku memperoleh kekayaan tersebut dengan cara menabung. Menabung dari gaji yang dimilikinya dan saat aktif sebagai pembicara di lembaga international di Paris pada 1995-1997.
Berikut adalah jejak karir dari Agus Rahardjo:
– Tahun 2006, menjabat Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (PPKPBJ) Kantor Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
– Tahun 2007 menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yakni salah satu dari 28 Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. PPKPBJ merupakan cikal bakal LKPP.
– Tahun 2010, Agus Rahardjo dilantik menjadi Kepala LKPP menggantikan Roestam Syarief yang memasuki masa pensiun. Pelantikan dilakukan Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Adapun Susunan Pejabat LKPP menjadi Kepala LKPP: Agus Rahardjo, Sekretaris Utama LKPP: Eiko Whismulyadi, Deputi Sumber Daya Manusia/Kepegawaian LKPP: Agus Prabowo, Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia LKPP: Bima Haria Wibisana
– Tahun 2011, tepatnya tanggal 6 Januari 2011, Agus Rahardjo bersama sejumlah pejabat antara lain Ketua KPK Busyro Muqqodas, kepala BPKP Mardiasmo dan Menhan Purnomo Yusgiantoro melakukan deklarasi anti korupsi.
– Tahun 2015, posisi Agus Rahardjo sebagai ketua LKPP, digantikan oleh Agus Prabowo. Sebelumnya, Agus Prabowo menjabat Deputi Sumber Daya Manusia/Kepegawaian LKPP. Saat itu Agus Rahardjo dikabarkan mendaftar sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
– Tahun 2015, tanggal 17 Desember 2015, Agus Rahardjo terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi untuk periode 2015-2019 bersama empat pimpinan KPK terpilih lainnya yakni Inspektur Jenderal Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, yang sebelumnya menjabat sebagai hakim Adhoc pengadilan tipikor, Laode Muhamad Syarif, dosen dari Universitas Hassanudin dan seorang konsultan Hukum, dan Saut Situmorang yang merupakan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN).
WDA | INDRI MAULIDAR | EGI | DESTRIANITA | EVAN PDAT
Link: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/17/063728646/siapa-agus-rahardjo-ketua-kpk-2015-2019/2
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Profil Singkat 5 Pimpinan KPK Terpilih

Ikhwanul Khabibi – detikNews
Jakarta – Komisi III DPR sudah memilih lima orang jadi pimpinan KPK. Tak ada pejabat internal atau pimpinan lama yang masuk dalam daftar. Bagaimana profil mereka?
Lewat voting yang diikuti oleh anggota Komisi III, Kamis (17/12/2015) malam, terpilih lima nama yang bakal menduduki kursi pimpinan KPK. Mereka mendapat perolehan suara terbanyak.
Berikut nama dan profil singkat para pimpinan KPK terpilih di DPR:
1. Agus Rahardjo (59 tahun)
Pendidikan terakhir:
S2 Manajemen dari Arthur D. Little Management Education Institute, AS
Pekerjaan terakhir:
Kepala Lembaga Kebijakan Barang dan Jasa Pemerintah
Catatan:
– Dipertanyakan panitia seleksi soal kepemilikan tanah di banyak tempat.
– Tidak memperbarui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara sejak 2012.
2. Alexander Marwata (48 tahun)
Pendidikan terakhir:
D-IV dari STAN Jakarta
Pekerjaan terakhir:
Hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Catatan:
– Pernah menjadi auditor ahli BPKP (1989-2011)
– 10 kali dissenting opinion dalam perkara korupsi termasuk menyatakan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah tidak terbukti korupsi.
3. Inspektur Jenderal (Pol.) Basaria Panjaitan (58 tahun)
Pendidikan terakhir:
Magister Hukum Ekonomi UI
Pekerjaan terakhir:
Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Politik
Catatan:
– Polwan pertama berpangkat inspektur jenderal
– Pernah menjadi penyidik utama di Bareskrim Polri (2008)
4. Laode Muhammad Syarif (50 tahun)
Pendidikan terakhir
Doktor hukum lingkungan hidup internasional dari Universitas of Sydney
Pekerjaan terakhir:
– Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
– Senior Adviser Partnership for Governance Reform in Indonesia.
Catatan:
– Kerap memerikan pelatihan pada proyek antikorupsi Indonesia yang didanai USAID.
5. Thony Saut Situmorang (56 tahun)
Pendidikan terakhir:
Doktor Manajemen SDM dari Universitas Persada Indonesia
Pekerjaan terakhir:
– Staf Ahli Kepala BIN
– Dosen Kajian Strategik Intelijen Pascasarjana UI
Catatan:
– Menjabat sebagai Direktur PT Indonesia Cipta Investama.
(Hbb/mad)

Siaran Pers: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global Keadilan Iklim

 
Waktunya Rakyat Diberi Kepercayaan Menyelamatkan Hutan dan Iklim Global
P_20151212_105529Jakarta-Di COP 21 Paris, perundingan perubahan iklim memasuki detik-detik terakhir untuk mencapai sebuah kesepakatan penting bagi masa depan bumi dan keselamatan manusia dari dampak perubahan iklim. Kita tentu berharap, perundingan ini akan membawa perubahan yang signifikan bagi penanganan perubahan iklim dan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berkeadilan, khususnya bagi masyarakat kelompok rentan seperti masyarakat adat-masyarakat lokal, petani, nelayan, perempuan dan anak-anak.
Di Jakarta, hari ini (12 Desember 2015), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global meluncurkan platform yang berjudul “Keadilan Iklim: Perbaikan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup yang melampui karbon”.
Merespon perundingan ini, Direktur WALHI Nasional, Abetnego Tarigan menekankan bahwa, “Selama ini penanganan perubahan iklim didominasi oleh perdebatan tentang karbon, sehingga inisiatif-insiatif masyarakat adat dan masyarakat lokal nyaris tidak terdengar. Padahal justru inisiatif seperti inilah yang pada faktanya lebih mampu menghadapi dan menangani krisis. Sektor swasta yang berbasiskan mekanisme pasar seperti carbon trading, justru mengalihkan solusi mengatasi perubahan iklim yang seharusnya mengubah cara-cara pembangunan global menjadi isu perdagangan, sehingga gagal mengatasi masalah perubahan iklim”.
Selama ini kearifan lokal masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim, belum diakui dapat berkontribusi besar bagi penanganan perubahan iklim, baik oleh pemerintah Indonesia maupun internasional.  Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar masyarakat adat/masyarakat lokal menjadi modal utama bagi rakyat untuk bisa terlibat secara aktif dalam penanganan perubahan iklim. “Hutan adat adalah harapan rakyat menjaga lingkungannya, harapan tidak diakui, maka rusaklah lingkungan” tegas Dahniar, Direktur Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat (HuMa).
Pidato Jokowi dalam sidang UNFCCC pada tanggal 30 November 2015 yang lalu, menyampaikan sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, kerentanan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak perubahan iklim. Karenanya, dibutuhkan sebuah kebijakan nasional yang dapat memastikan perlindungan terhadap kawasan yang rentan tersebut. Arimbi Heroepoetri, Direktur debtWATCH Indonesia menegaskan, “Jika Presiden betul-betul berkomitmen, maka usaha perlindungan dan pemeliharaan wilayah pesisir tidak bisa ditunda lagi. Dalam jangka pendek perlu dilakukan moratorium reklamasi pesisir serta mendorong adanya langkah-langkah perlindungan dan pemanfaatan berbasis hak yang berkelanjutan.”
Selanjutnya, Arimbi juga menekankan bahwa alokasi pendanaan Negara harus menaruh prioritas kepada penguatan daya lenting masyarakat melalui adaptasi, bukan malah menunggu bantuan dari luar negeri untuk memastikan keselamatan rakyat apalagi membebankan kebutuhan ini kepada dana utang.
 
Climate Rally dengan tema “dari Indonesia untuk Dunia” yang diselenggarakan oleh Koalisi yang selama ini memiliki perhatian dalam penyelamatan hutan dan iklim global, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan sosial yang disuarakan oleh seluruh masyarakat internasional yang memperjuangkan keadilan iklim demi generasi hari ini dan generasi yang akan datang. Ini merupakan bagian dari peran yang diambil oleh masyarakat sipil di Indonesia bagi upaya penyelamatan hutan dan iklim global, yang tentulah kami harapkan bagian dari komitmen Indonesia terhadap persoalan global perubahan iklim.
Dalam Climate Rally dan Climate Art ini, kami mengajak seluruh rakyat Indonesia bahu membahu menyelamatkan lingkungan hidup yang semakin kritis dan secara bersama-sama mengambil peran dalam upaya penanganan perubahan iklim. (selesai)
 
Jakarta, 12 Desember 2015.
WALHI-Debt Watch Indonesia-HuMa-Green Peace Indonesia-JKPP-PUSAKA-ICEL-AMAN-FWI-KpSHK-Qbar, LBH Semarang-Perkumpulan Bantaya-LBBT Pontianak-RMI-KoAGE-Walacea-IESR-TuK Indonesia
 
 
Contact Person:

  1. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI di 08159416297
  2. Dahniar, Direktur HuMa di 081341333080
  3. Arimbi Heroeputri, Direktur Debt Watch Indonesia di 0811848514

Kegiatan Expert Review dan Diskusi Terfokus, 7 Desember 2015

“Peranan Perbankan dan Skema Pembiayaan Kelapa Sawit Berkelanjutan pada Perkebunan Rakyat”
Dalam dua dekade terakhir, perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat signifikan. Sampai saat ini, total luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 11,4 juta hektar, setara dengan dua pertiga dari luas Pulau Jawa (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015).
Pesatnya perkembangan luas lahan perkebunan, tidak diirigi oleh pemerataan akses pengelolaan lahan. Banyak lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan, baik perusahaan nasional maupun perusahaan asing. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, menunjukan sebanyak 6,6 juta hektar lahan perkebunan atau sekitar 57,8% dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh perusahaan sedangkan sisanya 4,8 juta merupakan perkebunan rakyat (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015). Dan dari 4,8 juta hektar lahan yang dikelola oleh perkebunan rakyat, sekitar 75% merupakan lahan kemitraan antara perusahaan dengan rakyat atau lahan perkebunan plasma.
Jika di dalami lagi data penguasaan lahan oleh perusahaan, sekitar 3,1 juta hektar lahan dikuasai oleh 25 group perusahaan besar kelapa sawit seperti Astra Group, Sinar Mas Group, Wilmar Group, Salim Ivomas Group, dan lainnya (TuK, 2015). Tentu, hal ini merupakan efek dari mobilisasi investasi yang besar oleh 25 group perusahaan tersebut, yang di dukung oleh pembiayaan sektor keuangan seperti perbankan.
Bank Indonesia (BI) mencatat dalam sepuluh tahun terakhir terjadi kenaikan pembiayaan perbankan di sektor pertanian. Tahun 2005, total pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan di Indonesia mencapai Rp. 32 triliun, meningkat mencapai Rp. 231 triliun per Agustus 2015. Dimana sekitar 60% dari total kredit di sektor pertanian di serap oleh perkebunan kelapa sawit (Bank Indonesia, 2005 & 2015). Dan ini sebagian besar di nikmati oleh perusahaan – perusahaan kelapa sawit terutama 25 group perusahaan besar tersebut (TuK, 2015).
Selama ini, perbankan lebih cenderung melakukan penyaluran pembiayaan pada perusahaan karena bank mempertimbangkan aspek keuntungan dan risiko. Jika ini menjadi acuan, tentu saja bank memilih penyaluran pembiayaan untuk perusahaan dibandingkan perkebunan rakyat. Perbankan di Indonesia masih melihat besarnya risiko yang harus dihadapi ketika melakukan ekspansi pembiayaan pada perkebunan rakyat.
Tapi, hambatan ini sudah coba diatasi oleh pemerintah dengan mengeluarkan beberapa program seperti program kredit revitalisasi perkebunan, program kredit kemitraan dan program kredit usaha rakyat. Pemerintah bahkan sudah memberikan jaminan (guarantee) dan subsidi bunga terhadap program tersebut. Tapi, tetap saja ada kendala dalam penyaluran seperti skema pembiayaan yang masih rumit, informasi yang asymetris dan lainnya.
Selain masalah akses pembiayaan, standar pembiayaan perbankan juga masih lemah dalam hal keberlanjutan lingkungan dan aspek sosial. Sehingga, mobilisasi pembiayaan oleh perbankan menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungan dan sosial. Timbulnya masalah kebakaran lahan, konflik lahan, dan konflik sosial hampir di sebagian besar sentra perkebunan kelapa sawit, sedikit banyak merupakan ekses negatif dari ekspansi perbankan pada perkebunan kelapa sawit.
Hal – hal seperti ini tentu perlu mendapatkan perhatian serius oleh perbankan dan pemerintah. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan kelapa sawit sebagai sektor strategis. Dimana dalam Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) ke-XI yang baru saja selesai, pemerintah berkomitmen untuk merestrukturisasi industri kelapa sawit sebagai upaya untuk meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah memperbaiki tata kelola perkebunan rakyat. Dengan target, meningkatkan pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh rakyat melalui program kemitraan (inti-plasma) sedangkan perusahaan harus fokus pada program hilirisasi.
Arah kebijakan pemerintah ini tentu akan direspon positif oleh perbankan. Diprediksi akan terjadi perubahaan ekspansi perbankan terhadap perkebunan kelapa sawit yang nantinya di dukung oleh kebijakan pemerintah untuk perkebunan rakyat. Jika skema pembiayan masih memakai model lama tentu akan banyak lagi kendala yang akan dihadapi baik oleh perbankan, pemerintah dan perkebunan rakyat. Untuk itu, perlu sebuah terobosan dalam skema pembiayaan perbankan untuk perkebunan rakyat agar lebih efektif memberikan kontribusi baik bagi petani maupun bagi perbankan. Dan terpenting adalah skema ini harus memenuhi standar – standar pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan dan sosial.
Untuk itu, TuK INDONESIA sedang melakukan penelitian terkait “Peranan Perbankan dan Skema Pembiayaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan pada Perkebunan Rakyat”. Pada kesempatan ini, TuK INDONESIA akan mengadakan “Expert Review dan FGD Proposal Riset”.
 
Tujuan
Tujuan dari Kegiatan ini meliputi:

  1. Melakukan review terhadap proposal penelitian
  2. Melakukan diskusi kelompok terfokus (FGD)
  3. Memberikan masukan terhadap pengembangan proposal penelitian dan instrument penelitian

Hasil yang Diharapkan: 

  1. Tersampaikannya gagasan konsep proposal penelitian
  2. Terlaksanakannya diskusi terfokus terhadap konsep proposal penelitian penguatan kelembagaan pendanaan dan pemberdayaan petani
  3. Teridentifikasi masukan dan umpan balik usulan/gagasan perbaikan untuk penyempurnaan proposal penelitian dan instrumen penelitian

Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Hari/Tanggal : Senin 7 Desember 2015
Waktu           : 09.00 – 13.30
Tempat          : Ruang Mezzanine level, Hotel Aryaduta Jakarta  Jl. Prapatan 44-48, Jakarta 10110.
Pemapar dan pembahas:                             

  1. HS Dillon (pakar perkebunan)
  2. Direktur Departemen Pengembangan UMKM, Bank Indonesia (berhalangan)
  3. Otoritas Jasa Keuangan (berhalangan)
  4. Eko Listiyanto (Peneliti INDEF)
  5. Berly Martawardaya (FE – UI)

Tim peneliti:

1. Edi Ariyanto
2. Triyono Hadi
3. Wiko Saputra

 
Peserta/Lembaga Undangan 

No. Lembaga/Institusi
1. APKASINDO
2. Bina Desa
3. IDH, The Sustainable Trade Initiative
4. International Finance Corporation (IFC)
5. Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)
6. Otoritas Jasa Keuangan
7. Prakarsa
8. Roundtable on Sustainable Palm Oill
9. Sawit Watch
10. Serikat Petani Kelapa Sawit
11. SPI
12. WALHI

 
 
 

Problema UU Perkebunan Bagi Para Petani Dan Masyarakat Adat

Jakarta – Pasal kriminalisasi kembali mengancam para petani dan masyarakat yang hidup di sekitar lokasi perkebunan. Pasal20151126_Konferensi-Pers-UU-Perkebunan-740x431 itu dihidupkan kembali dalam Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d juncto Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sejatinya, Pasal yang mengatur mengenai penggunaan lahan secara tidak sah serta ketentuan mengenai sanksi pidananya tersebut merupakan replika dari Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan lama (UU No. 18 Tahun 2004), yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010.

Dimasukkannya kembali pasal kriminalisasi menambah daftar masalah yang muncul akibat disahkannya UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). DPR RI menyatakan UU Perkebunan ini dibentuk untuk menghindari potensi konflik lahan antara petani dengan perusahaan perkebunan. Tetapi, secara substansi apa yang dinyatakan oleh DPR berbeda dengan fakta yang muncul di lapangan. Misalnya saja ditetapkannya seorang petani asal Aceh Tamiang, M. Nur, sebagai tersangka oleh Polda Aceh ketika bersengketa dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Rapala dengan Pasal 55 huruf a jo. Pasal 107 huruf a UU Perkebunan.

Ketentuan lain yang dianggap bermasalah adalah Pasal 12 Ayat (1) UU Perkebunan yang berbunyi; “Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”. Pasal ini dianggap telah memberikan ketidaksetaraan posisi antara Masyarakat Hukum Adat dengan Pelaku Usaha Perkebunan (Perusahaan). Ketentuan untuk “melakukan musyawarah untuk memperoleh persetujuan tanah dan imbalannya” tidak memberikan pilihan kepada masyarakat selain menyerahkan tanahnya.

Apalagi dengan dipergunakannya istilah “imbalan” yang semakin memperlihatkan lemahnya posisi masyarakat jika dihadapkan dengan pihak perusahaan. Imbalan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti upah atau hadiah sebagai pembalas jasa, besarannya pun ditentukan oleh pihak pemberi. Hal ini tentunya bertentangan dengan jaminan kepastian hukum dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.

Menanggapi persoalan tersebut, menurut Hermansyah, Antropolog Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, dalam sebuah diskusi terfokus di Cikini (26/11), mengatakan bahwa pengakuan negara terhadap hak-hak secara konstitusi sudah diakui keberadaannya. Hanya memang, tambahnya, watak dari pembuat undang-undangnya tidak berubah. Menurutnya, selalu saja ketika mereka membuat undang-undang sumber daya alam, seperti perkebunan, kehutanan, dan lain-lainnya, selalu saja cara berpikir yang stereotip pengusaha lebih kental dibandingkan dengan keberadaan masyarakat lokal.

“Amanat konstitusi setelah diamandemen itu memberikan ruang kesetaraan yang sama antara pengusaha dengan masyarakat. Jangan dilupa, masyarakat adat di banyak tempat juga mengenal manajemen pengelolaan sumber daya alam dan kearifan lokal mereka,” paparnya

Menurut Hermansyah, terkait hukum pidana itu esensinya kalau kita mengacu pada pertumbuhan hukum pidana modern, adalah bentuk hukum yang sifatnya memberikan perlindungan dari berbagai macam kekuatan yang sewenang-wenang kepada masyarakat. Hukum Pidana itu identik dengan hukum perlindungan. Namun, tambahnya, saat ini esensi hukum pidana itu sudah berubah.

“Arah hukum pidana saat ini sudah di rubah sedemikian rupa, bukan lagi sebagai bentuk upaya memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan penguasa tetapi hukum pidana menjadi sebuah instrumen pemaksa masyarakat agar patuh terhadap peraturan”. paparnya

Sementara menurut Prof. Afrizal, sosiolog Universitas Andalas Padang, inti dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah terkait dengan persetujuan hak atas tanah. Dunia internasional memastikan bahwa tidak satu pun produk yang dihasilkan di suatu negara yang masuk ke pasar internasional yang produksinya melanggar hak-hak atas tanah. Hal itu tertuang dalam dokumen FAO (Food Agriculture Organization).

“Di situ jelas, tidak hanya hak-hak yang ditetapkan negara tetapi juga hak yang berbasis adat istiadat. Artinya jika pertanian di Indonesia dilakukan seperti itu maka akan terancam pemasarannya di pasar internasional.” ujar Sosiolog Universitas Andalas

Jika dalam pengadaan tanah (untuk perkebunan) timbul sengketa antara pemilik tanah dengan pengusaha kebun, sengketa ini adalah ranah perdata, bukan pidana (kriminalisasi). Hal itu semakin dipertegas oleh pendapat Ahli Masyarakat Hukum Adat dari Universitas Andalas, Kurnia Warman. Menurutnya, pasal-pasal di dalam UU No. 39 Tahun 2015 yang memuat ancaman pidana terkait dengan penguasaan tanah perkebunan yang berasal dari hak adat atau hak ulayat masyarakat hukum adat dapat dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap hubungan keperdataan. Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat sudah terang benderang baik di konstitusi, UUPA (UU No. 5/1960) maupun dalam berbagai Undang-Undang lainnya.

“Jika Pasal 55 merupakan replika dari Pasal 21 UU No. 18/2004, maka Pasal 55 ini dapat dikatakan cacat formil karena mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,” tutup Kurniawan

Permasalahan-permasalahan yang timbul dari UU Perkebunan sebagaimana diuraikan di atas, menjadi dasar bagi tiga petani kebun yaitu M. Nur, AJ. Dahlan, dan Theresia Yes mengajukan permohonan judicial review UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Agustus 2015. Permohonan pengujian UU Perkebunan Perkara Nomor 122/PUU-XIII/2015 menjadi harapan terakhir bagi para petani dan masyarakat adat untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari kesewenang-wenangan penguasa dan perusahaan. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “guardian of constiutional rights” mampu menjaga hak asasi masyarakat petani dan masyarakat adat sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga Negara. Mereka berharap Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang prosesnya tengah berjalan.[]

Penulis: Abdul Wahid