Pos

Siaran Pers Bersama: Terus Menuai Konflik Agraria dan Lingkungan Hidup, Komitmen Astra Agro Lestari Dipertanyakan

Jakarta-Hingga saat ini, empat orang petani desa Polanto Jaya Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah masih harus menjalani proses persidangan di PN Mamuju Utara Sulawesi Barat, atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL). Konflik dengan masyarakat yang melibatkan keterlibatan group besar perusahaan perkebunan sawit ini bukanlah baru kali ini. Belum lama ini, salah satu anak perusahaan PT. Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, diduga kuat menggunakan militer untuk melaukan pembungkaman terhadap petani sawit di wilayah perusahaan, dengan pos-pos pengamanan militer yang berada di wilayah perusahaan.
Direktur WALHI Sulawesi Tengah, Abdul Haris menyatakan, “Astra Agro Lestari merupakan salah satu pelaku bisnis yang menguasai sumber-sumber agraria begitu besar di bumi Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dengan luasan HGU dan IUP mencapai 111.304 hektar dari total luas perkebunan sawit mencapai 713.217 hektar, Astra Agro Lestari menduduki posisi teratas yang menguasai industri perkebunan sawit di Sulawesi Tengah, disusul Smart dan Kencana Agri. Situasi inilah yang berkontribusi pada semakin krisisnya bumi Celebes. Semakin kuatnya kuku bisnis yang ditancapkan oleh AAL di sektor perkebunan sawit, berjalan beriringan dengan berbagai kasus dan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah”. “Ironinya, seluruh potret buruk pengelolaan Industri perkebunan sawit mendapat lagitimasi dari Negara, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah Daerah. Tidak mengherankan jika penguasan atas ruang di wilayah Sulawesi Tengah, hampir 30 persen dikuasai oleh Korporasi, sementara di sisi yang lain, ruang hidup dan wilayah kelola rakyat terus terancam dan semakin mengecil”, tambah Haris.
Kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. Mamuang terhadap petani Desa Polanto Jaya dan konflik agraria lainnya patut dipertanyakan, mengingat PT. Mamuang dan anak perusahaan AAL lainnya telah mengantongi sertifikat ISPO, yang konon memiliki ikatan yang bersifat legally binding, pada faktanya di lapangan, berbagai konflik dan kasus lingkungan hidup. ISPO tidak mampu menjawab konflik struktural agraria,  maka sudah sepatutnya ISPO harus turut bertanggungjawab atas kasus kriminalisasi dan berbagai konflik agraria yang terjadi di konsesi Astra Agro Lestari.
Astra Agro Lestari sedikitnya memiliki 413.138 hektar kebun sawit di Indonesia. Pada tahun 2013, AAL memiliki aset lebih kurang 15 triliun ini mendapatkan sebagian dananya dari beberapa Bank antara lain OCBC, Mizuho Financial Group, Sumitomo Group, Mitsubishi UFJ-Financial Group, Bank Pan Indonesia, DBS, Standard Chartered, HSBC, Commonwealth Bank of Australia dan Bank Mandiri. Karenanya, lembaga pendanaan ini juga perlu bertanggungjawab atas tindakan dan praktek AAL di lapangan yang diduga banyak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tegas Edi Sutrisno, Deputi Direktur Transformasi untuk Keadilan Indonesia.
Pemerintah terus menutup mata atas berbagai fakta pelanggaran HAM dan penghancuran lingkungan hidup yang terjadi di perkebunan sawit dalam seluruh cerita rantai pasoknya, termasuk yang berada di konsesi group-group besar perusahaan yang konon memiliki komitmen “sawit berkelanjutan”. “dari pada terus mengelak dari fakta-fakta ini dan membenarkan praktek buruk perusahaan, ketimbang berupaya membenahi tata kelola sumber daya alam di dalam negeri dan melindungi hak-hak petani, masyarakat adat/masyarakat lokal yang terus terancam oleh perkebunan kelapa sawit. Terlebih berupaya menegosiasikan persoalan HAM melalui perundingan perdagangan seperti Indonesia-EU CEPA. HAM tidak untuk dinegosiasikan, melainkan dipenuhi dan dilindungi oleh negara dari ancaman serangan pihak ketiga, dalam hal ini korporasi perkebunan besar kelapa sawit.
Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch menegaskan bahwa “konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat yang melibatkan group besar Astra Agro Lestari dan pendekatan keamanan yang digunakan, bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menjalankan agenda reforma agraria”. Karenanya, kami mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mereview HGU perusahaan yang terlantar, HGU yang didapatkan dengan cara melanggar hukum dan aturan dan atau HGU yang berkonflik dengan masyarakat, ujar Inda dalam penutup siaran pers ini.
 
Jakarta, 16 Januari 2018.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi
1.     Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah di 082191952025
2.     Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
3.     Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch di 0811448677
4.     Edi Sutrisno, Deputi Direktur TuK Indonesia di 087711246094
5.     Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi Publik WALHI di 081808131090

PRESS RELEASE: Laksanakan Reforma Agraria di Provinsi Bengkulu

Jakarta, 11 Desember 2017, Konflik Agraria menjadi catatan kelam yang hampir terjadi di seluruh Wilayah di Indonesia, salah satunya di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Konflik ini mengakibatkan masyarakat terancam kehilangan hak atas tanah dan perkebunannya, bahkan konflik ini sudah mengakibatkan 8 orang sempat mengalami kriminalisasi. Menurut Osian Pakpahan (Ketua Forum Petani Bersatu Seluma), PT. SIL beroperasi di kampung mereka tanpa sosialiasi dan secara tiba-tiba mengklaim lahan masyarakat sebagai lahan HGU-nya, bahkan pada 2011 perusahaan yang beraktivitas di sektor perkebunan kelapa sawit ini melakukan penggusuran lahan masyarakat dengan melibatkan tangan-tangan negara berseragam cokelat.
Enam tahun berselang, eskalasi konflik antara Masyarakat Desa Tumbuan, Lunjuk, Pagar Agung, Talang Prapat (Kecamatan Lubuk Sandi dan Kecamatan Seluma Barat), Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dengan PT. SIL semakin memanas. Menyikapi konflik ini, Walhi menegaskan bahwa sudah saatnya negara hadir melindungi masyarakat dan memulihkan haknya yang terancam oleh investasi perkebunan kelapa sawit. “Sudah saatnya negara hadir menyelesaikan konflik yang ada di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Peluang penyelesaian konflik ini bisa ditempuh dengan Program Tanah Objek Reforma Agraria yang disebutkan negara sebagai salah satu program prioritas untuk memulihkan hak masyarakat,” sebut Sawung, Pengkampanye Walhi Nasional.
Meike Inda Erlina, Pengkampanye Walhi Bengkulu menyebutkan bahwa pilihan penyelesaian konflik dengan skema TORA merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan negara. “Pemulihan hak masyarakat melalui skema TORA menjadi penting dalam penyelesaian konflik ini, terlebih dalam proses penerbitan izin ditemukan banyak kejanggalan karena ada indikasi praktik korupsi melalui penerbitan HGU. Selain itu, ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak PT SIL melalui praktik kriminalisasi dan perampasan hak-hak masyarakat.
Selain perusahaan dan pemerintah, lembaga keuangan merupakan pendorong besar dibalik konflik agraria yang terjadi. “Lembaga pembiayaan tidak bisa menutup mata atas keterlibatan konfik konsumennya. Lembaga pembiayaan harus bertanggung jawab atas dampak konflik yang membawa malapetaka akibat pembiayaan yang tidak akuntable atas perusahaan yang mereka berikan jasa keuangannya,” Vera Falinda, Program Officer TuK INDONESIA.
Narahubung :

  • Saung-WALHI Nasional (0815-6104-606)
  • Osian Pakpahan-FPB Seluma (0812-7847-2378)
  • Meike Inda Erlina-WALHI Bengkulu (0852-6807-0230)
  • Vera Falinda-TuK Indonesia (0821-7788-9183)

Siaran Pers: Warga Desa Tiberias: “Segera Selesaikan Konflik di Tanah Kami!”

Jakarta, 10 Desember 2017 – Meskipun program reforma agraria menjadi prioritas pemerintahan Joko Widodo, nyatanya konflik agraria masih banyak terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2016 sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya.
Salah satu konflik agraria yang masih terjadi hingga saat ini adalah konflik antara masyarakat Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara dengan PT. Malisya Sejahtera (PT. MS), perusahaan perkebunan kelapa. Konflik pecah ketika pada tahun 2015, Perusahaan datang dan mengklaim lokasi tersebut miliknya. Masyarakat harus menyerahkan hasil panennya kepada PT. MS, jika tidak maka masyarakat tidak diperbolehkan bercocok tanam di lokasi yang diklaim oleh perusahaan.
Mendapati hal seperti itu, masyarakat tentu melawan. Menurut masyarakat tanah tersebut merupakan tanah milik negara eks Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang sudah habis yang kemudian dikelola oleh masyarakat.
“HGU yang dimiliki oleh PT MS yang digunakan untuk mengklaim lahan itu tidak sah dan ilegal, Izin HGU-nya keluar pada tanggal 31 Oktober 2001, sedangkan perusahaannya baru resmi didirikan pada 28 Juni 2002. Ada kejanggalan dalam proses penerbitannya, tidak mungkin izin keluar terlebih dulu, baru perusahaannya ada. Secara administrasi dan hukum ini cacat.” Ujar Abner Patras, perwakilan dari Masyarakat Tiberias.
Sejak saat itu pihak perusahaan terus melakukan intimidasi kepada masyarakat. Bahkan pihak perusahaan melakukannya dengan melibatkan institusi negara seperti Polri dan TNI. Tidak hanya intimidasi, pihak perusahaan bahkan melakukan pengrusakan bangunan-bangunan milik masyarakat dan mengkriminalisasi masyarakat yang melawan.
Puncaknya pada 2 Mei 2017, ketika itu masyarakat melakukan protes terhadap pemanenan yang dilakukan oleh PT MS dan Aparat TNI AD. Tak lama kemudian datang ratusan personil polisi dari Polres Bolmong yang kemudian mengobrak-abrik perkampungan Desa Tiberias, melepaskan tembakan dengan peluru dan gas air mata.
“Saat itu suasana sangat mencekam, masyarakat banyak yang melarikan diri, bangunan-bangunan ada yang dibakar. Sekitar 40 orang ditangkap dan ditahan tanpa ada alasan yang jelas. Sebagian dari mereka kemudian ditahan dan ditetapkan sebagai Tersangka dengan tuduhan melakukan penyerobotoan lahan, pencurian dan/atau pemufakatan jahat.” Tambah Abner
Namun apa yang dituduhkan kepada masyarakat tidak terbukti. Pengadilan Negeri Bolaang Mongondow memutuskan masyarakat tidak bersalah, mereka divonis bebas pada 28 September 2017.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan wilayah kelolanya adalah dengan melakukan upaya litigasi ke Peradilan Tata Usaha Negara. Mereka menggugat Izin Usaha Perkebunan (IUP-B) dan kemudian juga menggugat HGU milik perusahaan.
“ Dalam Gugatan IUP-B kami menang, tapi dalam Gugatan HGU kami dikalahkan. Tentu ini menjadi tanda tanya besar, karena untuk mendapatkan HGU harus terlebih dulu mempunyai IUP yang sah. Kami mengajukan banding atas Putusan HGU tersebut.” Jelas Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif Walhi Suawesi Utara, salah satu pendamping masyarakat
“ Untuk itu kami meminta kepada semua pihak-pihak terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Pihak Kepolisian dan TNI untuk membantu dalam penyelesaian Konflik yang terjadi di Tiberias,” tutup Edi Sutrisno, Deputi Tranformasi untuk Keadilan Indonesia.
Kontak:
Theo Runtuwene (082196902223)
Abdul Wahid (081381464445)