Pos

Penundaan dan Penjadwalan Ulang: Diskusi “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor”

Penundaan dan Penjadwalan Ulang
Diskusi “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor”
Indonesia memiliki berbagai komoditas perkebunan yang potensial, yaitu kelapa sawit, cokelat, karet, teh, kopi, pala, tebu, dan lain sebagainya. Dari berbagai komoditas tersebut, kelapa sawit menjadi yang paling diandalkan. Produk-produk turunan kelapa sawit memberikan kontribusi ekspor yang sangat besar, sehingga kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang pemasukan terbesar bagi negara.
Namun, eksesnya adalah ekspansi kebun kelapa sawit terjadi secara besar-besaran di Indonesia. Termasuk di dalamnya konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Seringkali pembukaan kebun sawit tidak diikuti dengan perhatian kepada aspek lingkungan dan sosial, termasuk hak-hak masyarakat, sehingga industri ini dipenuhi dengan banyak masalah.
Ekspansi kebun kelapa sawit ini tidak dapat dipisahkan dari investasi sawit yang dibiayai oleh bank dan investor. Sebagai intermediasi keuangan, bank terpapar dampak tidak langsung dari bisnis dan praktik/usaha kliennya, maka dari itu bank perlu bersikap hati-hati dalam mengucurkan dana pinjaman dengan melakukan penilaian risiko lingkungan, sosial dan tata Kelola (environment, social, and governance—atau yang biasa disingkat dengan ESG).
Oleh karenanya, bank perlu sekali menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai penyandang dana dan pengelola resiko. Mereka perlu dengan benar melakukan pembiayaan yang bertanggung jawab kepada debitur yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan kebunnya. Dengan demikian selain keberlanjutan perusahaan yang dibiayai (debitur), keberlanjutan bank, dan keberlanjutan atas hak-hak sosial, lingkungan dan masyarakat juga dapat terpenuhi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menunujukkan komitmennya dalam mewujudkan keuangan berkelanjutan di Indonesia. Selain dengan menelurkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan bersama dengan KLHK, OJK juga menggerakkan Indonesia First Movers on Sustainable Banking. Yang mutakhir, komitmen juga ditunjukkan dalam penerbitan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik.
POJK tersebut dikeluarkan sebagai peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh pelaku sektor jasa keuangan dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. POJK ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan untuk menegakkan keberlanjutan di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank. Meskipun regulasi tersebut belum sempurna, OJK sebagai regulator diharapkan dapat mengarahkan bank dan investor menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan di dalam proses dan praktik pendanaan atau investasi.
TuK INDONESIA sedianya akan mengadakan diskusi dengan topik “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor” pada 28 November 2017 di Bali, di antara deretan side event RT15 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO adalah sebuah asosiasi yang membuat dan menegakkan standar internasional dalam mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, sehingga roundtable yang mereka adakan selalu dihadiri oleh para pemangku kepentingan industri kelapa sawit, mulai dari perusahaan, bank, NGO lokal dan internasional, pemerintah, serta petani sawit dan masyarakat. Sehingga, RT15 RSPO adalah peluang yang baik untuk mendiskusikan peran OJK, bank dan investor dalam pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Sayangnya, acara ini urung dilaksanakan. Meningkatnya status bahaya karena erupsi Gunung Agung membuat ditutupnya Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sebagai titik jalur udara utama keluar dan masuk ke Bali. Para narasumber dan peserta yang telah menyatakan konfirmasi kehadirannya dalam acara tersebut tidak dapat hadir di Bali. Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Bapak Edi Setijawan selaku Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, dan narasumber lainnya yaitu ahli-ahli dalam isu keuangan berkelanjutan, serta bank, yang akan mendiskusikan peran regulator dan pembiaya industri kelapa sawit Indonesia.
TuK INDONESIA akan berupaya mewujudkan diskusi ini dalam waktu dekat. Terutama, untuk menekankan pembagian peran dan kerjasama antara OJK, bank dan investor di dalam pembangunan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Bagaimanapun, transisi menuju keberlanjutan dalam industri ini tidak cukup hanya dilakukan dari sisi pelaku–perusahaan perkebunan dan manufakturnya; tapi juga perlu didukung oleh bank dan investor sebagai penyandang dana, OJK sebagai regulator, ISPO sebagai inisiatif nasional, serta RSPO sebagai inisiatif internasional dalam industri ini.
 

[SUARA PEMBARUAN] Menelusuri Jejak Taipan Kelapa Sawit di Indonesia

Perkebunan kelapa sawit. [Istimewa]

Perkebunan kelapa sawit. [Istimewa]

Sabtu, 28 Februari 2015 | 2:33
Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.
Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.
“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta.
Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih mereka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan, 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahun,” tuturnya.
Berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatera sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.
“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.
Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Uang Ilegal
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp 2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta.
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp 45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. [Ant/N-6]

Link:
http://sp.beritasatu.com/home/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia/79651

[ANTARA News] Menelusuri jejak taipan kelapa sawit di Indonesia

Sabtu, 28 Februari 2015 00:48 WIB | 6.124 Views

Oleh Benardy Ferdiansyah

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya.”

Jakarta (ANTARA News) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.

Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.

“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta, Kamis (12/2).

Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang akan berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih merrka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan bahwa sebanyak 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya,” tuturnya.
Kemudian, berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatra sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.


“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.

Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta, Kamis (12/2).
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.

(T.B020/B/D007/D007)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © ANTARA 2015

Link:
http://www.antaranews.com/berita/482508/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia

TUK: Bank dan Investor Mudahkan Taipan Berinvestasi Besar

Jakarta, (Antara Sumbar) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. “Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat sehingga bisa digunakan oleh taipan tersebut untuk berinvestasi dan mengembangkan perusahaan mereka,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” katanya.
Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. “Artinya, mereka sudah menarik dan akan terus menarik modal dengan melakukan emisi saham untuk investor institusi dan pribadi.
Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank. Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.
TUK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bergerak pada isu lingkungan, SDA, dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia pembangunan.
TUK Indonesia melakukan advokasi untuk pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan integritas manusia. (*/sun)
Sumber: ANTARA Sumbar, 21 Februari 2015.