Pos

Press Release: Sime Darby Unsustainable, Buyers dan Financiers Harus Menghentikan Hubungan Bisnisnya.

Jakarta, 21 Maret 2019 – Masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat menyampaikan keberatan atas dijualnya PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) oleh Sime Darby Plantation, perusahaan asal Malaysia.

PT MAS, anak perusahaan milik Sime Darby plantation telah ingkar janji dan melanggar Undang-Undang serta Peraturan Indonesia, hukum internasional, standar tata kelola terbaik sukarela internasional RSPO, dan Panduan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sime Darby Plantation merampas tanah masyarakat adat Dayak Hibun di dusun Kerunang dan Entapang dengan menjadikan tanah masyarakat adat sebagai wilayah hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT MAS. PT MAS melanggar janji awal penyuluhan tahun 1995 bahwa perusahaan hanya meminjam tanah masyarakat untuk membangun perkebunan kelapa sawit selama 25 tahun. Namun tanpa pengetahuan dan persetujuan masyarakat PT MAS menjadikan tanah masyarakat sebagai hak guna usaha (HGU).

“Sime Darby dan manajemen PT MAS jangan lari dari tanggung jawab menyelesaikan konflik tanah yang telah berlarut-larut sejak tahun 1999. Pemerintah Indonesia tidak boleh mengizinkan dan mengesahkan penjualan PT MAS, sampai konflik tanah dengan masyarakat diselesaikan sepenuhnya. Tanah hak adat yang dirampas PT MAS seluas 1.462 hektar harus dikembalikan kepada masyarakat Kerunang dan Entapang,” kata Redatus Musa, perwakilan masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang – Entapang.

Sime Darby Plantations, perusahaan sawit Malaysia terbesar di dunia adalah pendiri dan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Penjualan PT MAS merupakan tindakan arogan, ilegal dan sewenang-wenang sebab Sime Darby tanpa niat baik mengabaikan musyawarah serta menafikan mufakat dengan masyarakat adat Dayak Hibun sebelum menjual PT MAS.

Bahkan dalam norma produksi dan tata kelola industri minyak sawit global, tindakan penjualan PT MAS oleh Sime Darby Group tidak sesuai dengan semangat dan komitmen Kode Etik keanggotaan RSPO. Tindakan penjualan PT MAS tidak transparan, melanggar asas kepatutan dan kepatuhan norma-norma hukum internasional dan hak asasi manusia.

“Tindakan Sime Darby menjual PT MAS menunjukan ada yang salah dengan sertifikasi RSPO karna gagal memberikan penghormatan, perlindungan dan pemulihan hak asasi manusia sebagaimana disyaratkan RSPO. Sejak 2012 RSPO telah memberikan sertifikat minyak sawit berkelanjutan kepada 10 pabrik dan perkebunan kelapa sawitt anak perusahaan Sime Darby meskipun konflik akibat perampasan hak tanah akibat HGU di PT MAS tidak pernah diselesaikan. Ini jelas melanggar RSPO etika kepatutan dan kepantasan, kepatuhan hukum, HAM dan FPIC serta kewajiban pemulihan dampak HAM oleh perusahaan multi-nasional negara-negara anggota OECD. Resolusi Majelis Umum RSPO November 2018 melarang Anggotanya menjual anak perusahaan, pabrik dan perkebunan yang sedang berkonflik,” kata Norman Jiwan mantan Executive Board RSPO.

Pihak penyandang dana serta pembeli minyak sawit Sime Darby juga perlu mengambil sikap dalam menyikapi konflik ini. Sejak 2012-2018, Sime Darby mendapatkan dukungan pendanaan dari lembaga keuangan antara lain Maybank, HSBC, Standard Chartered, Deutsche Bank, Credit Suisse dan Lembaga Dana Pensiun Norwegia. Beberapa pembeli minyak sawit seperti Cargill, Musim Mas, Unilever, dan Wilmar International yang menerapkan komitmen RSPO dan kebijakan No Deforestation, No Peat dan No Exploitation (NDPE) juga memasok minyak sawit dari Sime Darby.

“Kepada para penyandang dana, bank, investor dan pemegang saham serta pembeli minyak sawit Sime Darby Group segera menghentikan hubungan bisnis dengan Sime Darby Group. Sudah sepantasnya hubungan bisnis dihentikan sebab sejak 2012 Sime Darby gagal menyelesaikan konflik tanah dengan masyarakat Kerunang dan Entapang sesuai Prinsip dan Kriteria RSPO. Bahkan RSPO terbukti gagal mendorong Sime Darby memulihkan hak tanah adat masyarakat,” kata Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

Marcus Colchester dari Forest Peoples Program memengatakan sebagai sebuah organisasi hak asasi manusia internasional dan anggota RSPO, FPP sangat kecewa bahwa Sime Darby telah mengabaikan Resolusi yang dikeluarkan RSPO pada bulan November 2018 yang meminta para anggota tidak menjual anak perusahaan yang sedang menjadi subjek pengaduan RSPO. Tindakan Sime Darby akan dilihat oleh anggota RSPO lainnya sebagai sebuah ungkapan niat tidak baik. Masyarakat Dayak Hibun telah dirampas hak adat atas tanah-tanah mereka oleh PT MAS tanpa keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan mereka. Tindakan penjualan PT MAS ini merupakan sebuah pelanggaran salah satu dari ketentuan standar RSPO yang dirancang untuk menghindari perampasan lahan dan konflik tanah. Masyarakat Dayak Hibun meminta dikembalikannya tanah mereka sesuai dengan hak mereka didalam hukum internasional dan perjanjian hak asasi manusia yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Sayangnya Panel Pengaduan RSPO sangat lamban selama beberapa tahun tetakhir menindaklanjuti pengaduan ini sampai akibatnya kasus ini dilaporkan ke OECD. Saat ini ketika OECD mulai menggagas beberapa pertemuan untuk memulai proses resolusi konflik, Sime Darby malah memutuskan menjual PT MAS.

Dengan adanya konflik lahan atas perampasan hak tanah adat akibat izin HGU di PT MAS, masyarakat adat Dayak Hibun dari Kerunang dan Entapang pemilik dan ahli waris mendesak Pemerintah, OECD-National Contact Point Swiss (Swiss NCP), RSPO, bank, investor, pemegang saham, dan pembeli minyak sawit agar Sime Darby segera mengembalikan tanah adat masyarakat.

“Kami juga mengingatkan kepada perusahaan yang mengakuisisi PT Mitra Austral Sejahtera bahwa sampai saat ini tanah HGU PT MAS masih bersengketa dan masih menyisakan banyak permasalahan,” tutup Redatus Musa.

Contact Person:

Mubarok – TuK INDONESIA (0813-1109-8787)

 

 

Sertifikasi RSPO diberikan kepada Sime Darby antara 2012-2018

No. Pabrik dan Perkebunan Tahun
Inti Plasma
1 PT. Bina Sains Cemerlang 2012  
2 PT Sajang Heulang 2013
3 PT Paripurna Swakarsa 2012
4 PT Swadaya Andhika 2012
5 PT Laguna Mandiri 2012
6 PT Tamaco Graha Krida 2012 2015
7 PT Bahari Gembira Ria 2012
8 PT Perkasa Subur Sakti 2013
9 PT Sandika Nata Palma 2014
10 PT Guthrie Pecconina Indonesia 2012 2016

 

Peninjauan Kembali Dikabulkan: Masyarakat Adat Menang Melawan Korporasi Perkebunan

Konflik atau Mufakat?Pernyataan Pers: Public Interest Lawyers Network (PILNET)
[Jakarta, 5 Oktober 2015] Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Japin dan Vitalis Andi, dua orang masyarakat Adat Dayak di Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat (putusan.mahkamahagung.go.id). Majelis Hakim Peninjauan Kembali juga membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 dan merehabilitasi nama para Terpidana dan memulihkan hak-hak para Terpidana dalam kedudukan, harkat dan martabatnya.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang terdiri dari Dr. Salman Luthan, S.H., M.H; Dr. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., dan Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M., mempertimbangkan bahwa dalam perkara yang diajukan Japin dan Vitalis Andi terdapat keadaan baru (Novum), yakni Putusan MK No: 55/PUU-VIII/2011. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membatalkan Pasal yang menjadi dasar Japind dan Vitalis Andi dipidana.
Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 21 dan 47 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) batal demi hukum dan tidak berlaku lagi. Hal ini disebabkan karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang undang bersifat deklaratoir dan tidak mengenal putusan yang bersifat condemnatoir. Meski bersifat deklaratoir, akan tetapi putusan tersebut secara konstitutif mengubah hukum yang berlaku. Terlebih Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan yang dijadikan dasar untuk menghukum Japin dan Vitalis Andi tersebut inkonstitusional dan karenanya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan, hal ini telah menimbulkan keadaan baru, dimana perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan pidana, tak lagi menjadi perbuatan pidana. Jika pembatalan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi terjadi ketika persidangan di Pengadilan Negeri Ketapang, maka hasil pemeriksaan pengadilan tentu akan memutus Terdakwa bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Sehingga, dengan munculnya keadaan baru ini, dapat menjadi pertimbangan dalam memutus permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Japin dan Vitalis Andi. Karena hal ini merupakan keadaan baru yang keluar (diputuskan) paska adanya putusan Kasasi Mahkamah Agung perkara Nomor 2292/K/Pid.Sus/2011.
Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) sebagai Kuasa Hukum Japin dan Vitalis Andi mengapresiasi putusan Majelis Hakim PK, karena telah memeriksa dengan seksama perkara tersebut dan memberikan keadilan bagi Japin dan Vitalis Andi. Putusan ini menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan pemidanaan yang diatur di dalam UU Perkebunan merupakan pasal represif yang hanya menyasar masyarakat petani. Pasal pemidanaan ini kerap digunakan untuk membungkam perjuangan-perjuangan masyarakat yang lahannya digusur atau dirampas pihak perusahaan perkebunan.
Kasus yang menimpa Japin dan Vitalis Andi berawal ketika masyarakat hukum Adat Dayak Silat Hulu berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Bangun Nusa Mandiri (PT. BNM), anak perusahaan Sinar Mas Group. Konflik bermula pada April 2008, PT. Bangun Nusa Mandiri (PT. BNM) melakukan penggusuran dan perusakan wilayah adat Silat Hulu seluas 350 ha. Areal yang digusur adalah areal perladangan, kebun karet, kebun buah-buahan dan dua buah kuburan. Atas penggusuran dan perusakan ini, masyarakat Adat Dayak Silat Hulu melakukan perlawanan dan menyita alat berat milik PT. BNM. Perusahaan pun melawan dan melaporkan masyarakat ke Polisi. Selanjutnya Vitalis Andi dan Japin diproses hukum karena dianggap melakukan tindak pidana mengganggu jalannya usaha perkebunan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 21 jo. Pasal 47 UU Perkebunan.
Japin dan Vitalis Andi selanjutnya ditangkap, diadili dan dinyatakan bersalah melakukan perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan, dan dipidana 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Ketapang, dengan perkara nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP. Mengikuti putusan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Pontianak (Perkara Nomor: 73/PID/2011/PT.PTK) dan Mahkamah Agung (Perkara Nomor: 2292 K/Pid.Sus/2011) melanjutkan dan memiliki pendapat yang sama dengan Pengadilan Negeri Ketapang, yaitu menyatakan Japin dan Vitalis Andi bersalah, serta tetap menghukum keduanya.
Sebagai upaya untuk melawan ketidakadilan, Japin dan Vitalis Andi, bersama-sama dengan korban kriminalisasi lainnya dari Sumatera Utara dan Blitar, mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, pada 9 September 2011, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010, telah membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Pasal 21 UU Perkebunan menyatakan:
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 47 UU Perkebunan menyatakan:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”;
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”;
Berbekal putusan MK tersebut, Vitalis Andi dan Japin mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 yang hasilnya berpihak kepada korban kriminalisasi ini.

Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

 

Hormat kami,

Public Interest Lawyer Network (PILNET)
 

Andi Muttaqien

Koordinator

Kontak: 08121996984
 
Catatan moderator:
Studi kasus dan konteks kriminalisasi ada di halaman 210 dalam publikasi “Konflik Atau Mufakat? dapat diakses di tautan/link berikut ini:
http://www.tuk.or.id/file/conflict-or-consentbahasaindonesiaversion2lowres.pdf

TuK Nilai Banyak Perusahaan Sawit Beroperasi Tanpa HGU

BANGGAI – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK) menilai, banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan Indonesia Timur tanpa adanya hak guna usaha (HGU).
Sehingga mereka meminta pemerintah dan penegak untuk mengkaji ulang izin usaha dan izin lokasi.
“Semakin ke ujung, semakin banyak yang beroperasi tanpa HGU. Maka sudah saatnya menteri agraria memiliki komitmen yang kuat menyelesaikan masalah ini. KPK, PPATK, dan Pajak juga perlu melakukan konsolidasi sehingga kesemrawutan bisa terurai,” ujar Direktur Advokasi Tuk Indonesia, Edisutrisno,
Selain tidak ada HGU, katanya, sebagaimana dilansir Bisnis, Senin (23/3/2015), sejumlah perusahaan tersebut tidak memberikan laporan kepada Dinas Perkebunan setempat terkait lahan inti dan lahan plasma yang sudah digarap, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah.
Dijelaskannya, dari 48 perusahaan perkebunan yang beroperasi di Sulteng, sebagian besar tidak memberikan laporan penggunaan lahan inti dan plasma.
Sumber: Info Sawit

[Tempo.co] Peraturan Izin Perkebunan Digugat di MA

JUM’AT, 27 JUNI 2014 | 20:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Gabungan lembaga swadaya masyarakat yang menamakan diri Tim Advokasi Keadilan Berkebun berencana mengajukan gugatan pembatalan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan ke Mahkamah Agung, hari ini, Jumat, 27 Juni 2014. Menurut Tim, peraturan tersebut mengakibatkan masyarakat di 13 provinsi terlibat sengketa lahan dengan perusahaan pemegang Izin Usaha Perkebunan. Ini yang terjadi dengan warga dari Sanggau, Kalimantan Barat; Seluma Barat, Bengkulu; Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan; Merauke, Papua; dan Lamandau, Kalimantan Tengah. (Baca: Menteri Pertanian Bisa Cabut Izin Perkebunan)

“Atas persetujuan masyarakat (di daerah-daerah tersebut), kami menjadi tim advokasi untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung,” kata staf program Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqien, yang bergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Berkebun, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 26 Juni 2014.

Menurut Andi, Peraturan Mentan Nomor 98 tahun 2013 secara substansi memudahkan dan menguntungkan investor menanamkan modal di sektor perkebunan. Sebagai contoh, terdapat pada pasal 15 yang menyebutkan perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP dengan luas 250 hektar atau lebih wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luas paling kurang 20 persen dari total lahan yang dikelola perusahaan tersebut. (Baca: Gubernur Aceh Cabut Izin Perusahaan Sawit)
Namun pembangunan kebun masyarakat tersebut harus berada di luar lahan yang digarap perusahaan perkebunan. Walhasil, pembukaan lahan kebun masyarakat malah membebani masyarakat sekitar perusahaan dan pemerintah daerah. “Hal ini malah membuat masalah konflik lahan baru, tanah milik masyarakat terancam diserobot oleh perusahaan,” kata Andi.
Masalah lain, dalam Pasal 18 menyebutkan perusahaan perkebunan pemegang IUP di provinsi Papua dan Papua Barat diberikan izin untuk membuka lahan perkebunan didua kali lebih luas dibanding provinsi lain. Menurut Andi, sudah ada lima warga adat di Merauke, Papua yang didampingi Tim Advokasi Keadilan Berkebun. Kelima warga adat tersebut khawatir rencana perusahaan perkebunan memanfaatkan pasal 18 Permentan 98 tahun 2013 berpotensi menimbulkan konflik. “Bukan hanya konflik antara warga dengan perusahaan tapi antar warga sendiri,” kata Andi.
Edi Sutrisno dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menambahkan, perusahaan swasta, BUMN, atau pun koperasi diberikan keistimewaan yakni tak ada pembatasan areal izin perkebunan. Edi menganggap keputusan tersebut mampu menimbulkan masalah, sebab pemerintah seakan membebaskan perusahaan asing melakukan ekspansi lahan perkebunan di Indonesia.

Masalah lain, kebebasan terhadap perusahaan swasta berdampak pada koperasi masyarakat. Alasannya, dengan hak yang sama, koperasi diharuskan bersaing langsung dengan perusahaan swasta tanpa diberikan keiistimewaan oleh pemerintah. “Jadi memungkinkan monopoli dan konglomerasi korporasi,” kata dia.
Menteri Pertanian Suswono belum bisa menanggapi rencana gugatan tersebut. Panggilan telepon dan pesan singkat Tempo belum mendapatkan respons dari Suswono.
INDRA WIJAYA

Link:

http://www.tempo.co/read/news/2014/06/27/078588600/Peraturan-Izin-Perkebunan-Digugat-di-MA

Liputan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Sawit”

IMG_0101-300x200

Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas


Solidaritas Perempuan melakukan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Kelapa Sawit” selama 3 hari (27 – 29 November) di Hotel Puri Yuma-Denpasar, Bali. Bersama 27 perempuan dari 5 wilayah yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sumbawa, Poso dan Sulawesi Tengah, berbagi pengalaman, pengetahuan, inisiatif serta strategi perempuan dalam mengelola sumber daya hutan, mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya, serta melawan ketidakadilan yang dialaminya, akibat kehadiran proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit.
Temu perempuan ini juga menghadirkan 3 narasumber yang memiliki pengetahuan dan expert pada isu perlindungan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan (Mia Siscawati – Sayogjo Institute), perkebunan kelapa sawit (Norman Jiwan – Transformasi Untuk Keadilan), perubahan iklim dan pendanaan iklim (Titi Soentoro – AKSI!).
Dalam materinya Titi Soentoro menyampaikan Perkembangan Kebijakan, Proyek dan Pendanaan Iklim dalam Konteks Hutan dan Perlindungan Perempuan. Komitment pembiayaan iklim di Indonesia saat ini mencapai $ 4,4 milyar, yang berasal dari Bank Dunia, JICA, USAID, dan lain-lain. Kucuran dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek iklim di Indonesia, seperti geothermal, FIP dan REDD. Selain itu, ada juga Green Climate Fund, yang berkomitment untuk mengeluarkan dana US$ 800 milyar/tahun untuk adaptasi dan mitigasi di Negara berkembang. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana perempuan memperoleh manfaat dari proyek-proyek tersebut?. Proyek iklim ini kenyataannya merugikan masyarakat Indonesia, khususnya perempuan yang tinggal di sekitar hutan, karena tujuan proyek iklim ini bukan lagi untuk menjaga lingkungan, namun hanya untuk bisnis semata.
Persoalan perempuan juga terjadi di perkebunan kelapa sawit juga disampaikan Norman Jiwan, dimana luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sebanyak 11,5 juta Ha di seluruh indonesia (Data Sawit Watch, tahun 2011), namun ironisnya 60 – 70 % perkebunan sawit yang berada di indonesia dimiliki oleh negara luar seperti Malaysia dan Singapura. Perkebunan kelapa sawit skala besar tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dengan adanya industri ekstraktif ini, masyarakat khususnya perempuan rentan mengalami pelanggaran HAM, pelecehan seksual, bekerja tanpa diupah,eksploitasi tenaga kerja perempuan, karena itulah selain dibutuhkan perlindungan, perempuan juga membutuhkan penghargaan dan penghormatan bagi hak azasi mereka.
Sementara Mia Siscawati dari Sajogjo Institute menyampaikan bahwa perempuan dari dulu telah memiliki peran signifikan dalam pengelolaan hutan. Pengalaman dari berbagai daerah dan dunia, memperlihatkan bagaimana perempuan memperjuangkan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan dalam mempertahankan tanah mereka dan lingkungan mereka yang dirampas oleh perusahaan. Eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam yang terjadi sejak kolonial sampai abad 21, akan semakin meningkat dengan ada mega proyek MP3EI yang semakin memudahkan eksploitasi sember daya alam Indonesia oleh perusahaan asing.
Peserta kemudian turut menyampaikan persoalan dan pengalamannya dalam sesi ini, seperti perempuan di Lore Peore, yang berbagi tentang informasi mengenai HGU perkebunan ubi di wilayah mereka. Bagaimana hutan yang selama ini mereka kelola beralih fungsi menjadi perkebunan ubi dengan masa HGU yang terus diperbaharui, namun tanpa memberikan informasi dan melakukan proses persetujuan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya perempuan.

Pembahasan dan berbagai pengalaman perempuan telah membuktikan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan berlapis dengan adanya proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit, dimana perempuan tidak dapat lagi mengakses dan mengelola sumber daya hutannya.
(Liputan oleh Margaretha Winda FK)
Link:
http://www.solidaritasperempuan.org/liputan-temu-dan-konsultasi-perempuan-komunitas/