Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.

Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.

Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.

Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.

Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.

Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.

 

Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal

Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal

 

Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.

 

Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.

 

“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA. 

 

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”

 

“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi. 

 

Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.

 

Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah. 

 

***

 

Narahubung:

Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257

Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458

Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091

Chinese Banks’ Forest-Risk Financing

Forest-Risk – Financial flows and client risks

 

Forest-Risk

Chinese Banks’ Forest-Risk Financing

About this report

This report has been commissioned by Rainforest Action Network. It is supported by TuK Indonesia, BankTrack, China Environmental Paper Network, and Jikalahari.

 

About Forests & Finance

 

Forests & Finance is an initiative by a coalition of campaign and research organisations including Rainforest Action Network, TuK Indonesia, Profundo, Repórter Brasil, Amazon Watch, BankTrack and Sahabat Alam Malaysia. Collectively, they seek to achieve improved financial sector transparency, policies, systems and regulations, that ultimately prevent financial institutions from supporting the kind of environmental and social abuses that are all too common in the operations of many forest-risk sector clients.

 

About Profundo

With profound research and advice, Profundo aims to make a practical contribution to a sustainable world and social justice. Quality comes first, aiming at the needs of our clients. Thematically we focus on commodity chains, the financial sector and corporate social responsibility. More information on Profundo can be found at www.profundo.nl.

 

Authorship

This report was researched and written by Ward Warmerdam with contributions from Wen Bo, Sergio Bafoni and Merel van der Mark. Correct citation of this document: Warmerdam, W. (2021, March), Chinese forest-risk financing – Financial flows and clients risks, Amsterdam, The Netherlands: Profundo. Front page cover photograph by Jan Kronies – Unsplash.

 

Acknowledgements

The author would like to thank Wen Bo, Sergio Baffoni, Tom Picken, Steph Dowlen, Merel van der Mark for their input and support.

 

Disclaimer

Profundo observes the greatest possible care in collecting information and drafting publications but cannot guarantee that this report is complete. Profundo assumes no responsibility for errors in the sources used, nor for changes after the date of publication. The report is provided for informational purposes and is not to be read as providing endorsements, representations or warranties of any kind whatsoever

Read Detail And Download Report HERE

Refers To : http://forestsandfinance.org/

 

PEMBIAYAAN MUFG BERISIKO TERHADAP HUTAN

LAPORAN RESMI PEMBIAYAAN MUFG BERISIKO TERHADAP HUTAN

Mitsubishi UFJ Financial (MUFG) adalah salah satu penyandang dana bagi perusahaanperusahaan terkemuka di dunia yang turut memicu perusakan hutan hujan tropis melalui produksi dan perdagangan komoditas seperti minyak sawit, bubur kertas & kertas. Sejak 2016, MUFG menyediakan hampir USD 3 Miliar pembiayaan yang berisiko terhadap hutan bagi produksi dan perdagangan komoditas terkait deforestasi di Asia Tenggara, Brasil, dan sebagian Afrika. Sektor ini adalah kontributor utama bagi terjadinya perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati melalui perubahan penggunaan lahan yang terkait dengan pelanggaran HAM dan korupsi. Mengatasinya harus menjadi komponen utama dari rencana aksi iklim MUFG dan komitmen yang lebih luas bagi keberlanjutan.

Lebih dari 60% pembiayaan MUFG yang berisiko terhadap hutan disalurkan ke Asia Tenggara, terutama pada sektor minyak sawit, bubur kertas & kertas. MUFG adalah penyandang dana terbesar sektor minyak sawit yang berkantor pusat di luar Asia Tenggara (lihat Bagan 1). Memperluas kehadirannya di kawasan ini melalui akuisisi termutakhirnya pada bank terbesar keenam di Indonesia, yaitu PT Bank Danamon Tbk (IDX: BDMN). MUFG terpapar risiko Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST) tingkat tinggi yang terkait dengan nasabahnya di sektor ini.

Risiko LST yang terdokumentasi dengan baik ini termasuk deforestasi yang meluas, penyuapan, pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan pelanggaran terhadap hak atas tanah.

Beberapa nasabah MUFG, selama beberapa tahun terlibat dalam bencana kebakaran besar di Indonesia, dan diperkirakan telah menyebabkan puluhan ribu kematian dini di seluruh wilayah yang terdampak oleh kebakaran ini serta mengakibatkan kerugian dan kerusakan ekonomi hingga puluhan miliar dolar. Kebakaran ini, yang kemudian dipicu oleh kerusakan gambut yang kaya karbon, telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Pada tahun 2019, kebakaran di Indonesia menghasilkan lebih banyak emisi CO2 daripada kebakaran Amazon dan pada tahun 2015 kebakaran kembali terjadi dengan dampak yang lebih parah, mengeluarkan gas rumah kaca lebih banyak daripada emisi yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian Jepang per tahun.

Download Laporan

PETA BUTA BANK HIJAU

Sejumlah bank disorot karena mengucurkan dana kepada grup usaha yang mengancam kelestarian lingkungan. Sejumlah organisasi non-pemerintah menyorot lima bank besar.

Aisha Shaidra
Edisi : 12 September 2020

FORUM Koordinasi Keuangan Berkelanjutan semestinya diagendakan tiap tahun. Baru dua kali diselenggarakan, forum itu tak ada lagi sejak November 2017.

Wadah ini disediakan sebagai forum resmi lembaga pemerintahan, lembaga jasa keuangan, juga organisasi non-pemerintah yang berkecimpung di bidang lingkungan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. “Forum itu dibangun agar kebijakan terkoordinasi,” kata Edi Setijawan, Direktur Bidang Keuangan Berkelanjutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamis, 10 September lalu.

Di antara peserta forum, ada delapan bank nasional yang menguasai 46 persen aset perbankan Indonesia. Kedelapan bank tersebut adalah Bank Artha Graha Internasional, Bank Rakyat Indonesia, Bank Rakyat Indonesia Syariah, Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Negara Indonesia, serta Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten. Mereka tergabung dalam kelompok “The First Movers on Sustainable Banking”. Seiring dengan berjalannya waktu, First Movers bertransformasi menjadi Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang kini beranggotakan 13 bank.

Menurut Edi, pada 2018 sempat ada pertemuan untuk bertukar informasi tentang kebijakan serta kondisi di lapangan. Pertemuan tersebut melibatkan pemerintah, OJK, industri jasa keuangan, asosiasi, dan akademikus. Tapi pertemuan tak sampai berlanjut pada penyelenggaraan Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan (FKKB) lagi.

Edi tak tahu mengapa forum itu terhenti. Padahal forum seperti FKKB diperlukan karena tahap awal dalam peta jalan keuangan berkelanjutan telah selesai tahun lalu. Sejak akhir 2019 hingga pertengahan 2020, sejumlah bank sebenarnya mulai mengumpulkan laporan rencana kerja serta laporan berkelanjutan kepada OJK dan publik.

Seiring dengan masuknya laporan perbankan ke OJK tersebut, lima organisasi non-pemerintah menerbitkan laporan yang menyoroti peran sektor keuangan terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Laporan yang disusun Rainforest Action Network, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Jikalahari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Profundo itu mengevaluasi lima tahun peta jalan keuangan berkelanjutan yang dirilis OJK pada 2014 dan berakhir pada 2019.

Laporan memuat lima kasus pembiayaan bank bagi nasabah yang beroperasi di industri kehutanan dan perkebunan pada 2015-2019. Total sebanyak US$ 12 miliar—Rp 178,4 triliun dalam kurs saat ini—dikucurkan ke sejumlah grup usaha. Angka tersebut didasari evaluasi laporan keberlanjutan bank dan standar operasi nasabah, juga profil hubungan mereka dengan klien. Lima kasus yang ditinjau meliputi BNI dengan Grup Korindo, BCA dengan Grup Salim, BRI dengan Grup Sinar Mas, Bank Mandiri dengan Astra Agro Lestari, dan Maybank dengan Triputra.

Hasil studi menyebut BRI, Maybank, dan BNI sebagai tiga bank penyuntik dana individual terbesar. BRI mengguyurkan US$ 1,72 juta ke Provident Agro Group, Rajawali Group, Sampoerna Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group. Sedangkan BNI mengucurkan US$ 1,057 juta ke Rajawali Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group. BNI juga menjadi sumber pembiayaan Korindo dengan kredit sebesar US$ 190 juta pada 2017.

Selain itu, temuan pada 2016-April 2020 menunjukkan keterkaitan kuat sejumlah bank dengan korporasi yang terlibat dalam pembakaran hutan. Tiga di antaranya adalah BRI, BNI, dan Mandiri, yang merupakan pionir keuangan berkelanjutan. “Korporasi tidak akan bekerja kalau tidak ada pendanaan,” ujar Direktur Eksekutif TuK Indonesia Edi Sutrisno dalam diskusi “Bank Negara Pendana Karhutla Indonesia” pada Rabu, 2 September lalu.

Dalam wawancara pada Jumat, 11 September lalu, Edi mengatakan lembaga jasa keuangan sebenarnya memiliki peran besar dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan lewat pembiayaan berkelanjutan. Menurut dia, perusakan dan pembakaran hutan yang dilakukan korporasi dalam beberapa tahun terakhir bertolak belakang dengan prinsip keuangan berkelanjutan.

Situs Forestandfinance.org mengungkap aliran dana ke sektor-sektor komoditas yang memicu deforestasi dan degradasi lahan di Asia Tenggara, Afrika Tengah, Afrika Barat, serta Brasil. Menurut situs tersebut, BRI, BNI, serta raksasa keuangan asal Jepang, Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group, mendanai industri yang “berisiko terhadap hutan”. Sebuah grup usaha di Indonesia yang bergerak dalam bisnis pulp dan sawit tercatat sebagai penerima pinjaman senilai US$ 19 miliar dalam lima tahun terakhir.

Tempo menghubungi sejumlah kreditor untuk mengkonfirmasi penggunaan dana tersebut. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto sempat membalas pesan Tempo. “Minta waktu jawabnya, ya,” ucap Aestika pada Selasa, 8 September lalu. Setelah itu, panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirim tak lagi direspons. Demikian halnya dengan pesan dan panggilan telepon kepada Bank Mandiri.

Adapun Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana menyebutkan pihaknya memberikan pembiayaan kepada debitor dengan menganut prinsip kehati-hatian dan harus sesuai dengan aturan eksternal serta kebijakan internal bank, seperti kepatuhan terhadap prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola. “Apabila ditemukan pelanggaran, BNI akan melakukan verifikasi untuk meminimalkan pemberian kredit yang tidak patuh pada peraturan yang berlaku,” katanya.

Edi Setijawan dari OJK yakin pelan-pelan perbankan bisa mengetatkan aturan mengenai pendanaan bank terhadap korporasi yang berpotensi merusak lingkungan. “Harus dilihat kasus per kasus. Perlahan mereka sudah melakukan perbaikan. Ada kemungkinan mereka mulai mengerem untuk meninjau kembali. Bank-bank enggak mau ambil risiko,” tuturnya.

Menurut guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, bank harus menjamin pembiayaan yang dikucurkan tak digunakan perusahaan untuk usaha yang bisa merusak lingkungan dan tatanan sosial. Meski bank telah melaporkan pembiayaan berkelanjutannya kepada OJK, sanksi bagi mereka yang kedapatan mengucurkan kredit ke perusahaan bermasalah masih lemah. “Hanya sanksi teguran dan administrasi,” ujar Hariadi.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

 

sumber: majalah.tempo.co/read/laporan-utama/161412/apa-itu-pembiayaan-berkelanjutan-dan-mengapa-bank-harus-peduli

Keterbukaan Rantai Pasok Keuangan Perusahaan Sawit

5 Bank Terbesar Pendanaan Sawit di Indonesia

 

 

penulis: Novri Auliansyah

Akhir-akhir ini ketika dampak dari perubahan iklim sudah sangat terasa di berbagai negara[1], isu berkelanjutan dan perubahan iklim menjadi perhatian yang sangat serius bagi masyarakat dunia. Negara-negara di Eropa yang menaruh perhatian sangat besar terhadap isu-isu lingkungan, pada tahun lalu akhirnya sepakat  untuk memboikot sawit dari Indonesia[2]. 28 negara Uni Eropa memasukan sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan karena industri sawit yang massif telah mengakibatkan deforestasi alias perusakan hutan. Mereka menganggap pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca tidak dapat dinetralisir, sehingga mereka mengambil kesimpulan sawit bukan industri berkelanjutan dan tidak layak digunakan untuk biodiesel.Ancaman boikot yang digaungkan oleh negara-negara Eropa tentu saja membuat pemerintah Indonesia ketar-ketir. Pasalnya, bagi pemerintah Indonesia, industri sawit yang nilai eksport Crude Palm Oil (CPO) beserta turunannya tahun lalu sebesar  36,17 juta ton, tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu primadona untuk mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan meningkatkan ekonomi nasional.Badan Pusat Statistik (BPS), satu-satunya badan statistik di Indonesia, dalam publikasinya yang berjudul Statistik Kelapa Sawit Indonesia, diterbitkan awal 2019, melaporkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merupakan yang terbesar ketiga, yaitu 12,81%[3], dan kontibusi subsektor perkebunan yang didalamnya termasuk sawit, sebesar 3,30 persen terhadap total PDB (25,75 persen terhadap sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan).Harapan agar dengan adanya rencana boikot, pemerintah menjadi lebih aktif untuk mengontrol  para pelaku bisnis sawit mengembangkan industri yang berkelanjutan, tanpa konflik, dan membangun sebuah sistem rantai pasok yang transparan dan dapat ditelusuri, malah bagai panggang jauh dari api. Alih-alih memperbaiki sistem, Pemerintah Indonesia malah berkelit bahwa apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa adalah kampanye hitam terhadap sawit Indonesia. Lebih–lebih lagi, pemerintah berencana untuk melakukan banding, walaupun fakta laporan di lapangan membenarkan alasan-alasan pemboikotan negara-negara Eropa.

Padahal, jika pemerintah mau bersedia memperbaiki transparansi di industri sawit, publik dapat menelusuri rantai pasok kelapa sawit yang diekspor. publik dapat melacak dan memastikan bahwa produksi hasil sawit Indonesia didapatkan dan diproduksi dengan cara legal di daerah yang terbebas dari konflik sosial maupun lingkungan. Langkah ini akan menjadi modal penting pemerintah untuk membantah tudingan-tudingan miring produksi sawit Indonesia.

Keterbukaan informasi rantai pasok juga akan memudahkan kita untuk mengetahui siapa saja Investor dan Lembaga Keuangan yang menjadi penyandang dana pelaku industi sawit di Indonesia.

Keterbukaan dalam pendanaan merupakan salah satu hal penting untuk diketahui publik agar publik yang menyimpan uang di Lembaga jasa keuangan (LJK) mengetahui kemana uang mereka diinvestasikan dan dipinjamkan. Apakah uang mereka diinvestasikan ke pelaku bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan atau malah sebaliknya, diinvestasikan kepada pelaku-pelaku yang melakukan pengrusakkan hutan dan melakukan penyerobotan lahan warga sehingga mengakibatkan konflik.

Berdasarkan data TuK INDONESIA (2018), tercatat ada lima bank teratas yang memberikan layanan keuangan bagi pelaku industri sawit di Indonesia dari tahun 2014 sampai 2018. Penyandang dana terbesar pertama adalah Bank Mandiri, disulsul Bank Negara Indonesia (BNI), lalu Malayan Banking, CIMB dan Oversea Chinese Banking Corporation.

Data di atas, menunjukan dari lima bank tersebut, dua terbesar diantaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sisanya bank asing. Berdasarkan investigasi yang dilakukan TuK INDONESIA setelah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019, ditemukan bahwa bank-bank dari Indonesia ikut menjadi penyandang dana terbesar korporasi yang terlibat  karhutla dengan nilai yang cukup fantastis, mencapai USD 3 miliar[4].

Bank Negara Indonesia (BNI) salah satu dari lima bank terbesar penyandang dana untuk sawit, masuk di posisi tiga teratas pemberi dana terbesar kepada perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan nilai mencapai USD 1.086 juta. Selain BNI, Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga menjadi BUMN yang ikut mendanai perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan angka yang lebih tinggi dibanding BNI, yaitu mencapai USD 1.722 juta. Ini artinya selain bank-bank dari negara asing, bank-bank BUMN negara kita ikut memfasilitasi perusahan untuk melakukan pembakaran hutan. Lebih parah lagi, beberapa diantara perusahaan-perusahaan tersebut, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah perusahaan yang telah ditetapkan tersangka dan pernah diproses hukum pada kasus karhutla 2015[5].

Selain karhutla, kasus konflik lahan juga jadi masalah serius untuk menjalankan bisnis perkebunan yang berkelanjutan, kasus Korindo misalnya. Pada 2016, pedagang besar minyak sawit, termasuk Musim Mas dan Wilmar mencabut perjanjian pasokannya dengan Korindo karena ditemukan bukti pembukaan wilayah hutan yang sangat luas di Papua, dimana hal ini melanggar kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi’ (No Deforestation, No Peat and No Exploitation / NDPE).[6] Ketika kebjikan ini dilaksanakan, maka Korindo tidak dapat lagi mengembangkan sebagian besar tanah yang sudah diakumulasinya dan menyebabkan devaluasi signifikan terhadap aset-aset yang dimilikinya. Hal ini tentunya menjadi risiko serius bagi penyandang dananya seperti Bank Negara Indonesia (BNI) yang pada Quarter 3 tahun 2017 memberikan pinjaman sebesar USD 190 juta kepada divisi agrikultur Korindo.

Lembaga-lembaga keuangan, dalam hal ini bank dan investor, seharusnya sudah menyadari bahwa dengan memberikan pendanaan kepada perusahaan-perusahaan bermasalah, sama seperti menjerumuskan diri pada jurang. Terlebih kepada perusahaan yang pernah diproses hukum, mereka telah merisikokan diri dari sisi reputasi, finansial, dan kepatuhan. Sebaliknya, jika mereka memberikan pendanaan secara hati-hati hanya kepada perusahaan-perusahaan ramah lingkungan, selain mengecilkan tingkat risiko, ini juga akan membantu LJK meningkatkan nilai merk dan reputasi mereka.

Jika informasi rantai pasok industri sawit termasuk pendanaan dapat dibuka dan diakses, sebenarnya bukan hanya publik yang menjadi nasabah Lembaga Keuangan yang diuntungkan, namun juga Lembaga Keuangan itu sendiri. Dengan adanya keterbukaan informasi, mereka bisa melacak track perusahaan yang akan mendapatkan pendanaan, dan mengetahui seberapa besar risikonya. Keterbukaan ini juga akan meningkatkan keadilan dan kepatuhan terhadap hukum.

Lembaga-lembaga terkait, baik otoritas keuangan, lembaga keuangan, maupun penegakan hukum bisa bekerja bersama-sama untuk menciptakan situasi tersebut. Indonesia membutuhkan supra power yang dapat mengkoordinasikan semua lembaga untuk mencapai industri sawit berkelanjutan.

 

Referensi:

[1] Termasuk kasus kebakaran di Australia, Banjir di Indonesia awal tahun 2020

[2]  Kelapa sawit, ancaman perang dagang RI-Uni Eropa dan enam hal lainnya
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47663602 akses 3 maret 2020.

[3] Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018 https://www.bps.go.id/publication/2019/11/22/1bc09b8c5de4dc77387c2a4b/statistik-kelapa-sawit-indonesia-2018.html akses 3 maret 2020.

[4] Bank-Bank BUMN terbukti mendanai perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan

https://www.tuk.or.id/2019/11/14/bank-bumn-terbukti-mendanai-perusahaan-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan/

[5] KLHK: Perusahaan Tersangka Karhutla Sudah Pernah Didenda 2015

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191001191719-20-435837/klhk-perusahaan-tersangka-karhutla-sudah-pernah-didenda-2015

[6] Rainforest Action Network, TuK-INDONESIA, Walhi, dan Profundo; Malapetaka Korindo, Perampasan Tanah dan Bank (2018).

Menghentikan Lelucon Ekonomi Bertajuk Trickle Down Effect

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Kebijakan Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan INDONESIA
 
“Teori pertumbuhan ekonomi ternyata gagal menjalankan fungsi trickle down effect. Yang terjadi adalah muncrat ke atas.  Bagaimana pembangunan yang berkeadilan sosial dalam posisi globalisme dan liberalisme yang didengungkan oleh IMF?”  Demikian pertanyaan yang diterima Transformasi untuk Keadilan Indonesia untuk acara FGD Menakar Kesiapan Indonesia Laksanakan Annual Meeting IMF tanggal 12 Maret 2018.
Mungkin tak banyak orang yang ingat bahwa trickle down effect adalah sebuah istilah yang diciptakan bukan oleh ekonom.  Will Rogers, orang yang menciptakannya adalah seorang pelawak dan satiris.  Dia menyatakan “money was all appropriated for the top in the hopes it would trickle down to the needy” ketika mencemooh upaya Presiden Herbert Hoover dalam memulihkan Amerika Serikat dari Era Depresi.  Jadi, kalau Rogers tahun bahwa cemoohan itu malah menjadi dogma ekonomi selama beberapa dekade, pastilah dia terbahak-bahak di alam kubur.
 
Otokritik IMF
Pada akhir September 2017 Christine Lagarde di Geneva mengakui bahwa IMF telah menganggap enteng dampak dari globalisasi, dan menyerukan bahwa mulai 2018 negara-negara G20 perlu memfokuskan upaya untuk meningkatkan pendidikan, pelatihan, dan penciptaan peluang kerja untuk mereka yang terpinggirkan lantaran pergeseran dalam ketenagakerjaan global dan disrupsi teknologi yang masif.
Yang membuat pergeseran itu, tentu saja, adalah Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.  Gerakan Populisme Kanan yang tiba-tiba mendapatkan momentum di Eropa dan AS itu telah membuat IMF berpikir ulang soal globalisasi.  Jadi, bukan lantaran ekonom-ekonom serius seperti Joseph Stiglitz, Paul Krugman, dan Thomas Piketty telah lama berteriak dengan segudang bukti bahwa globalisasi itu punya sisi gelap dan harus dikoreksi; melainkan karena badut-badut kini berkuasa di Inggris dan AS, dengan potensi ancaman akan menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Lebih dari setahun sebelum pengakuan Lagarde itu, sebuah artikel ditulis oleh Jonathan D. Ostry, Prakash Loungani, dan Davide Furceri.  Yang pertama disebut itu adalah deputi direktur IMF.  Judul artikelnya, Neoliberalism: Oversold?  Artikel yang terbit di jurnal Finance and Development edisi Juni 2016 sontak mengundang banyak komentar lantaran isinya yang berupa otokritik yang ekstra-tajam.
IMF adalah pendukung utama Neoliberalisme sejak awal.  Mempertanyakan fakta tersebut, menurut jurnalis ekonomi majalah Forbes, Ben Geier, sama dengan mempertanyakan apakah Paus itu beragama Katolik. IMF terus menerus menyuarakan perdagangan bebas, penghilangan restriksi bagi perputaran modal, dan pengkerdilan kewenangan pemerintah di manapun mereka beroperasi.  Tetapi, apa yang ditulis oleh Ostry, dkk itu jelas menunjukkan perubahan setidaknya di level pemikiran, sehingga ada peluang kebijakan IMF—yang jauh lebih sulit digeser daripada pemikiran (sebagian?) ekonomnya.
Brexit dan Trump adalah fenomena baru, yang mungkin bisa dianggap—menggunakan istilah Nassim Nicholas Taleb—sebagai black swan.  Mungkin juga krisis ekonomi 2008 menjadi permulaan kesadaran.  Tetapi, yang jelas, kritik-kritik yang semakin gencar datang dari data tak terbantah bahwa ketimpangan ekonomi—yang menjadi dampak globalisasi dan (neo)liberalisme—malahan menghambat pertumbuhan ekonomi.  Dan ini mengembalikan perbincangan kepada trickle down effect.  Kalau yang kaya terus mendapatkan proporsi keuntungan ekonomi yang lebih besar, ternyata pertumbuhan ekonomi malah melambat.  Demikian menurut penelitian IMF sendiri.
Laporan bertajuk Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective (Dabla-Norris, dkk., 2015) menunjukkan hal tersebut dengan tegas. Kesimpulan paling pentingnya adalah “Our analysis suggests that the income distribution itself matters for growth as well. Specifically, if the income share of the top 20 percent (the rich) increases, then GDP growth actually declines over the medium term, suggesting that the benefits do not trickle down. In contrast, an increase in the income share of the bottom 20 percent (the poor) is associated with higher GDP growth. The poor and the middle class matter the most for growth via a number of interrelated economic, social, and political channels.
Maka jelaslah bahwa tricke down effect adalah benar-benar lelucon ekonomi.  Dia tak punya dasar ilmiah.  Kalau memang pertumbuhan ekonomi yang hendak dikejar, investasi seharusnya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan mereka yang miskin, bukan mereka yang sudah tajir.  Dan, lantaran ide ini belumlah lama dan belum tersebar merata, maka kebijakan negara-negara juga belum memanfaatkannya.  Di IMF sendiri, pemikiran ini sangat baru, sehingga kita belum melihat pergantian kebijakan IMF sebagaimana yang arahnya ditunjukkan oleh analisis internal mereka sendiri.  Tetapi, sangat jelas bahwa trajektori kebijakan pembangunan harus diubah.
 
OECD dan WEF versus Kesenjangan
Kegelisahan para ekonom IMF itu juga dirasakan oleh rekan-rekannya di OECD.  Dalam laporan In It Together: Why Less Inequality Benefits All (OECD, 2015) disebutkan “Beyond its impact on social cohesion, growing inequality is harmful for long-term economic growth.  The rise of income inequality between 1985 and 2005, for example, is estimated to have knocked 4.7 percentage points off cumulative growth between 1990 and 2010, on average across OECD countries for which long time series are available.  The key driver is the growing gap between lower-income households – the bottom 40% of the distribution – and the rest of the population.
Laporan OECD sendiri menggarisbawahi pentingnya empat kebijakan yang diperlukan untuk mengikis kesenjangan ekonomi—lebih komprehensif daripada yang disebutkan Lagarde.  Pertama, peningkatan peran perempuan dalam ekonomi; kedua, peningkatan kuantitas dan kualitas pekerjaan, terutama yang dapat mengatasi pergeseran ketenagakerjaan global yang terus terjadi; ketiga, peningkatan akses pendidikan berkualitas dan pelatihan, terutama untuk mereka yang berasal dari golongan ekonomi tidak mampu; serta, terakhir, penciptaan sistem pajak dan transfer untuk redistribusi yang efisien.
Perhatian utama OECD terhadap kohesi sosial yang terkikis akibat ketimpangan sangatlah tepat, walau apabila belajar dari sejarah, maka pernyataan itu masih kelewat enteng.  Dalam The Great Leveller karya mutakhir sejarawan Universitas Stanford, Walter Scheidel, yang terbit awal 2017, dibuktikan bahwa kesenjangan yang semakin parah itu ujungnya adalah peperangan, revolusi, dan keruntuhan negara.  Ketika salah satu atau lebih dari ketiga hal itu terjadi, kesenjangan ekonomi akan terkikis secara cepat.  Tambahannya adalah bencana alam, termasuk pandemi, yang kekuatannya dalam mengikis kesenjangan juga dahsyat.
Karenanya, ketika OECD menyatakan bahwa cara mengikis kesenjangan adalah melalui sistem perpajakan dan redistribusi yang adil, tentu itu adalah jalan yang sesungguhnya jauh lebih baik dibandingkan bila harus berhadapan dengan four horsemen a la Scheidel itu.  Walaupun ada individu-individu seperti Richard Branson, Warren Buffet, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg yang sangat dermawan, dunia tak bisa berharap pada kedermawanan para filantropis untuk mengikis kesenjangan. Pilihan menjadi negara kesejahteraan adalah yang paling masuk akal, walaupun ekonom seperti Thomas Piketty juga bicara soal revolusi komunis—seperti halnya Scheidel—dan pengenaan pajak yang sangat tinggi (confiscatory taxes) terhadap mereka yang kaya.
World Economic Forum (WEF) meminjam analisis Scheidel itu ketika mengumumkan bahwa mereka menyatakan Agenda in Focus: Fixing Inequality di tahun lalu.  WEF juga meminjam data dan analisis dari laporan kesenjangan dari Oxfam yang bertajuk An Economy for the 99%, serta Doughnut Economics karya Kate Raworth.  Jadi, di sepanjang 2017 beragam publikasi tentang dampak negatif kesenjangan serta ide-ide untuk mengatasinya semakin banyak.  Bukan cuma institusi Bretton Woods saja yang telah melancarkan otokritik kepada globalisme ekstrem dan Neoliberalisme saja, melainkan juga OECD dan WEF.
 
Siapkah Indonesia?
Karenanya, kita kemudian perlu bermawas diri, menanyakan apakah kebijakan pembangunan yang sekarang berjalan memang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok-kelompok miskin? Kita tahu kita membutuhkan pembangunan infrastruktur secara massif untuk mengejar ketinggalan beberapa dekade.  Tapi kita harus memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun itu memang membawa manfaat yang lebih besar kepada kelompok miskin; dan bukannya lebih menguntungkan 20% orang terkaya, para pemodal, dan korporasi besar.  Karena membawa keuntungan kepada mereka yang kaya, seperti yang ditemukan di berbagai analisis di atas, membahayakan kohesi sosial hingga titik ekstrem, dan tak bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Yang juga penting diingat, infrastruktur sendiri adalah ‘jawaban mudah’, namun sesungguhnya tidak secara langsung menjawab rekomendasi OECD: penguatan peran perempuan, peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja, peningkatan akses pendidikan berkualitas dan pelatihan; serta redistribusi yang efektif melalui pajak dan transfer.  Jadi, perhatian sangatlah penting kita arahkan juga kepada keempat resep itu yang tampaknya masih punya ruang yang besar untuk diperbaiki di Indonesia.
Dan, lebih penting lagi untuk diingat, semua yang dilakukan itu bermuara pada pencapaian tujuan SDGs di tahun 2030, di mana hanya 12 tahun dari sekarang kita berjanji untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan, serta 14 Tujuan lainnya (termasuk mengikis ketimpangan!), lewat kemitraan. Indonesia, sebagai tuan rumah pertemuan, sudah seharusnya mengingatkan bahwa setiap rupiah atau dolar atau mata uang apapun yang hendak dicurahkan mulai sekarang adalah hanya yang sesuai dengan Tujuan-tujuan tersebut.  Pertemuan tahunan World Bank dan IMF sudah seharusnya menjadi pertemuan keuangan berkelanjutan, yang mengatur bagaimana pembiayaan untuk SDGs (dan Kesepakatan Paris) bisa terwujud sehingga bisa dicapai tujuan masing-masing pada tenggat waktunya.
Andrew Jackson, presiden ke-7 AS pernah menyatakan “We should measure the health of our society not at its apex, but at its base.” Tampaknya Jackson jauh lebih bijak daripada Hoover yang kebijakan ekonominya menjadi bahan tertawaan Rogers itu.  Kalimat itu pula yang digunakan sebagai pembuka laporan IMF tentang ketimpangan, Cause and Consequences of Income Inequality.  Maka, Indonesia, sebagai tuan rumah, perlu untuk mengingatkan IMF atas laporan mereka sendiri yang dibuka dengan kalimat sekuat itu; sambil mengoreksi diri bila ternyata pembangunan kita belum cukup membawa manfaat untuk mereka yang masih ada di dalam kubangan kemiskinan.
Jadi, siap atau tidaknya kita sebagai tuan rumah sesungguhnya utamanya bukan soal apakah Bali cukup keren ketika para tamu itu berdatangan; tetapi lebih kepada soal apakah kita benar-benar bersedia untuk memerangi ketimpangan dan kemiskinan di dalam negeri dan di level global.

Bisnis dan HAM: Quo Vadis? Beberapa Catatan dari Lokakarya Regional Bisnis dan HAM

Jalal
 
Diskusi Bisnis dan HAM di Kawasan ASEAN
Saya diundang untuk menjadi moderator dalam lokakarya regional (ASEAN) tentang bisnis dan HAM, tanggal 5-6 Februari 2018. Sesi di mana saya menjadi moderatornya adalah sesi pertama di hari kedua, bertajuk Moving Forward on ASEAN Regional Strategy on CSR and Human Rights. Narasumbernya, Thomas Thomas dari ASEAN CSR Network, Y. W. Junardy dari Indonesia Global Compact Network, serta Golda Benjamin dari Business & Human Rights Resource Centre.
Thomas menyampaikan soal strategi regional, mulai dari ide pembuatannya hingga situasi terakhir, termasuk undangan untuk terus memberikan masukan untuk penyempurnaannya.  Dokumen yang dinyatakan sebagai strategi regional itu sendiri dicetak dan dibagikan ke seluruh peserta yang hadir.  Ada 10 butir isinya, mulai dari Introduction hingga Ensuring Success, yang ditaruh dalam 4 halaman.  Sebuah dokumen yang sangat singkat.
Junardy kemudian menyampaikan tanggapan atas paparan tersebut.  Kalau Thomas menyampaikan secara lisan tanpa bahan presentasi, Junardy menyiapkan 29 halaman presentasi Powerpoint, yang mulai dengan penjelasan apa itu HAM, bagaimana peran bisnis di dalamnya, isu-isu bisnis dan HAM yang terpenting, serta berbagai contoh kasus, sebelum masuk ke bagian bisnis dan HAM di ASEAN yang memberi masukan kepada strategi regional.
Siapapun yang mengenal Junardy akan tahu bahwa ia datang dari kelompok yang progresif di antara bisnis.  Saya sendiri berpikir bahwa kelompok progresif itu sendiri bukanlah arus utama—tampaknya yang progresif memang selalu bukan arus utama—di dalam bisnis di Indonesia.  Apa yang dipaparkan Junardy pasti tidak menggambarkan apa yang dilakukan oleh majoritas bisnis di Indonesia.  Perusahaan-perusahaan di negeri ini sebagian besarnya, saya sangat yakin, mendengar kaitan antaran HAM dan bisnis saja belum pernah, apalagi memiliki kebijakan dan menerapkannya dalam seluruh proses bisnis mereka.  Oleh karena itu, saya meminta Benjamin, dengan latar belakang LSM-nya, untuk bicara secara lebih terbuka soal bagaimana LSM melihat situasi bisnis dan HAM.  “Brutal honesty, please,” demikian yang saya nyatakan.
Benjamin kemudian menyampaikan pemikirannya yang juga tanpa bantuan Powerpoint. Ia menyampaikan bagaimana organisasinya bekerja menekuni data tentang bisnis dan HAM di kawasan ASEAN, dan menyampaikan pernyataan sangat berimbang mengenai berbagai masalah yang ditimbulkan oleh bisnis di kawasan ini, juga kemajuan-kemajuan yang dilihatnya selama beberapa tahun terakhir.  Dia juga menggarisbawahi bahwa organisasi masyarakat sipil, termasuk LSM, memainkan peran yang sangat penting di dalamnya.  Jadi, permintaan saya untuk menyampaikan kejujuran brutal ternyata tidak membuat dia hanya bicara soal berbagai masalah, melainkan juga kemajuan yang telah diperoleh.  Ini adalah hal yang sangat menyenangkan buat saya.
Hal itu juga berarti bahwa antara kelompok bisnis dengan organisasi masyarakat sipil kini telah mencapai kondisi hubungan yang lebih sehat.  Tidak lagi hanya hubungan adversarial seperti yang ditunjukkan hingga datu-dua dekade lampau.  Tetapi  saya mendapati bahwa ada perbedaan yang mendasar di antara keduanya.  Junardy menyampaikan undangan untuk beralih dari pendekatan naming and shaming ke knowing and showing, agar semakin banyak bisnis yang bisa dilihatkan di dalam gerakan ini.  Benjamin mengambil posisi yang berbeda.  Buat dia, sangat jelas bahwa kemajuan patut didorong dan diakui, namun perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM tentu harus diungkap ke publik.  Hal ini bukan sekadar soal strategi, melainkan juga transparensi dan akuntabilitas.
Saya sendiri cenderung lebih setuju pada pendekatan Benjamin.  Dalam seluruh isu, termasuk HAM, saya selalu menyatakan bahwa strategi kita dalam berhubungan dengan perusahaan selalu tergantung dari macam apa perusahaan yang kita hadapi.  Dengan perusahaan hebat, yang memang memiliki kinerja terpuji, kita tak boleh pelit pujian.  Kita perlu memberi mereka penghargaan yang pantas, sehingga seluruh pemangku kepentingan sadar atas apa yang mereka telah capai, dan bisa mencontohnya.  Kepada perusahaan yang di masa lalu membuat kesalahan namun secara sungguh-sungguh berusaha memerbaiki kinerjanya—kerap saya sebut sebagai perusahaan tobat—maka kita juga harus bersungguh-sungguh membantu mereka memerbaiki diri.  Kepada perusahaan yang terus menerus melakukan tindakan yang merugikan masyarakat dan lingkungan, yang saya sebut sebagai perusahaan jahat, strategi naming and shaming tetap perlu dilakukan.
Mungkin yang perlu menjadi perhatian memang adalah bagaimana membedakan secara tegas ketiga jenis itu.  Saya kerap melihat kasus bahwa perusahaan yang sesungguhnya memiliki kinerja jauh di atas rerata masih menjadi korban prasangka negatif karena, misalnya, status kepemilikan asingnya.  Sementara, perusahaan-perusahaan yang sebetulnya berada pada posisi hendak memerbaiki diri merasa kesulitan mendapatkan bantuan yang mumpuni.  Juga, kerap sekali perusahaan yang sesungguhnya jahat malahan lolos begitu saja dari berbagai bentuk hukuman legal maupun sosial.  Kalau kita hendak melihat perusahaan benar-benar berubah, termasuk dalam isu-isu terkait HAM, seharusnya tindakan yang tepat kepada perusahaan yang tepat bisa kita tunjukkan dengan konsisten.
 
Belajar Ulang
Ketika saya diminta untuk menjadi moderator sesi itu, sekitar seminggu sebelum acara, saya sadar sepenuhnya bahwa saya sudah cukup lama tidak mengikuti perkembangan wacana ini, kecuali yang terkait dengan kasus-kasus pelanggarannya.  Sejalan dengan kapasitas saya di Social Investment Indonesia dan TuK Indonesia, saya harus selalu mengikuti kasus-kasus itu.  Biasanya lewat pemberitaan di level global dan nasional.  Jadi, di akhir minggu sebelum bertugas—walau saya tahu tugas menjadi moderator itu tak akan memerlukan saya menjadi pakar betulan dalam isu ini—maka saya membaca kembali buku Just Business: Multinational Corporations and Human Rights (Ruggie, 2013) dan Human Rights in the New Global Economy: Corporate Social Responsibility? (Walker-Said dan Kelly, ed., 2015).  Saya punya sekitar 10 buku dalam tema tersebut, tapi membaca kembali dua yang itu rasanya lebih dari cukup.
Kalau kedua buku itu untuk mengembalikan ingatan saya soal wacana teoretis/konseptual, saya juga merasa memerlukan diri untuk membaca ulang dokumen Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study (HRRC, 2013) dan Baseline Study on the Nexus between Corporate Social Responsibility & Human Rights: An Overview of Policies & Practices in ASEAN (AICHR, 2014).  Selain, tentu saja, Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework (UNHR, 2011).  Dokumen-dokumen tersebut lebih pada tataran implementasi.
Membaca beberapa buku dan dokumen itu menyadarkan saya pada kompleksitas isu ini.  Alih-alih merasa menjadi lebih pandai, saya sejujurnya merasa jauh dari memadai pengetahuannya.  Dan masukan-masukan yang dilontarkan oleh para narasumber penanggap serta peserta—ada empat peserta yang seluruhnya memberikan tanggapan kritis dan konstruktif atas dokumen empat halaman yang disampaikan oleh Thomas—membuat saya bertambah sadar soal keterbatasan diri.  Mungkin ada beberapa keterbatasan yang paling menonjol saya rasakan.  Saya tuliskan di sini untuk bisa kita jadikan renungan bersama.
 
Beberapa Renungan
Pertama, saya tak tahu status pasti dari dokumen 4 halaman tersebut.  Tetapi, jelas bahwa dokumen itu masih bisa berubah lantaran Thomas terus mengundang masukan.  Dalam pemahaman saya, yang kerap membantu perusahaan membuat strategi, komponen strategi itu ada 3: hendak ke mana tujuan kita, ada di mana kita sekarang, dan bagaimana kita hendak mencapai tujuan itu.  Sejujurnya, saya belum melihat kejelasan soal tujuan itu.  Apa yang tertera pada bagian Purpose, menurut hemat saya, tak cukup kuat.  Saya misalnya lebih suka tujuan yang tegas seperti “Tak ada pelanggaran HAM oleh bisnis di ASEAN pada tahun 2025” atau “Pemenuhan seluruh butir UN Guiding Principles on Business and Human Rights di ASEAN pada tahun 2025” sebagai pernyataan tujuan.
Kedua, tentang di mana kita sekarang, saya kira kalau dokumen HRRC (2013) dan AICHR (2014) bisa diringkas dengan baik, akan bisa menyediakan kejelasan yang diperlukan.  Dokumen HRRC yang tebalnya 497 halaman itu sangatlah komprehensif, walaupun di dalamnya diakui berbagai keterbatasannya.  Dokumen AICHR jauh lebih ringkas, hanya 24 halaman, dengan derajat abstraksi yang lebih tinggi. Tetapi, dari dua dokumen itu saja, saya kira kondisi mutakhir bisnis dan HAM di ASEAN bisa dijelaskan dengan sangat memadai.  Sebuah dokumen strategi yang tak memuat baseline, buat saya, sangatlah membingungkan.
Ketiga, pengertian CSR.  Saya kira sangat jelas bahwa dokumen strategi itu sangat diilhami oleh ISO 26000.  Bagian Understanding CSR bisa dilihat, dan jejak-jejak ISO 26000 tampak jelas di situ.  Namun, tidak sepenuhnya juga dokumen standar internasional itu diambil.  Definisi CSR yang diajukan dipotong dari definisi tanggung jawab sosial (SR) yang lebih komprehensif di dalam ISO 26000.  Dan sejujurnya saya tak paham mengapa perlu dipotong.  Bahkan, tujuan pembangunan berkelanjutan saja sebagai tujuan (C)SR—yang menjadi semakin relevan dengan diberlakukannya SDGs sejak 1 Januari 2016—tidak dicantumkan di situ!  Dalam prinsip, urutannya pun diubah; sementara subjek intinya mencantumkan anti-diskriminasi dan anti-korupsi, yang di dalam ISO 26000 sesungguhnya masuk ke dalam cakupan subjek inti HAM (anti-diskriminasi) dan praktik operasi yang adil (anti-korupsi) sebagai isu, bukan subjek inti.
Keempat, buat saya sangat penting untuk menekankan bahwa konsep SR itu mencakup tanggung jawab yang diatur di dalam regulasi juga yang tidak (belum) dicakup di dalam regulasi.  Slide ketiga presentasi Junardy, misalnya, masih menyatakan bahwa SR sesungguhnya hanya mencakup yang di luar kepatuhan pada regulasi.  Ia mengutip pendirian Ashleigh Owens dari EY, yang memang masih banyak dianut oleh banyak orang.  Namun, kembali pada ISO 26000, SR sesungguhnya juga memasukkan tanggung jawab yang diregulasi, yang sangat jelas dinyatakan di dalam salah satu prinsipnya.  Oleh karena itu, misalnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia yang hendak menyatakan dirinya bertanggung jawab sosial, wajib memenuhi seluruh regulasi, termasuk UU HAM yang telah dikeluarkan pemerintah.  Pengertian bahwa CSR adalah voluntari sesungguhnya adalah patuh pada regulasi dan melampauinya, bukan sekadar melakukan hal-hal yang ada di luar regulasi.  Kalau hal ini tak ditegaskan, saya khawatir diskusi tentang CSR dan HAM ini akan mengulang-ulang isu yang sama.
Kelima, pernyataan ‘human rights are an important component of CSR’—yang tercantum dalam dokumen regional strategy—saya kira akan membuat banyak pihak menjadi bingung atau bahkan menolaknya.  Saya berusaha untuk mendamaikan apa yang berkecamuk di benak saya dengan cara melihat bahwa persoalan yang sama juga kerap muncul ketika membincangkan kaitan antara CSR dengan pengelolaan lingkungan dan pengembangan masyarakat.  Banyak yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan adalah bagian dari CSR, tapi itu tidaklah tepat, lantaran pengelolaan lingkungan tak cuma dilakukan oleh perusahaan.  Kalau dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan oleh perusahaan adalah bagian dari CSR itu barulah tepat.  Demikian juga pengembangan masyarakat oleh perusahaan adalah bagian dari CSR.
Dalam soal bisnis dan HAM, urusannya selangkah lebih rumit.  Dokumen UN Guiding Principles menyatakan bahwa bisnis dan HAM itu punya tiga pilar, yaitu kewajiban negara untuk melindungi, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati, dan akses terhadap remedi.  Jadi, kalau HAM memang tidak tepat betul dinyatakan sebagai bagian dari CSR, bisnis dan HAM juga tak langsung bisa dinyatakan begitu.  Pilar pertama jelas bukan bagian dari CSR, karena adalah urusan negara (mungkin bisa dinyatakan sebagai SR-nya negara).  Pilar keduanya jelas bagian dari CSR.  Namun, pilar ketiga, khususnya di butir 29, yaitu soal bagaimana perusahaan menyediakan mekanisme penyelesaian keluhan (grievance mechanism), juga adalah bagian dari CSR.  Jadi, mendudukkan secara tepat hubungan antara HAM dan CSR memang bukan urusan yang sederhana.
Terakhir, saya juga tak paham mengapa, dalam bagian References, ISO 26000 dimasukkan ‘hanya’ sebagai bagian dari ‘other globally-recognised standrads and principles’.  Hal ini sangatlah aneh mengingat dalam sejarah yang saya baca di buku Ruggie (2013), jelas-jelas perjuangan memasukkan isu-isu HAM dalam ISO 26000 adalah keberhasilan yang gilang gemilang.  Bayangkan, dalam ISO 26000 HAM itu adalah prinsip sekaligus subjek inti.  Bahkan, pada Sabtu 10 Februari, saya bertemu dengan Hans Kroder—salah satu pakar dari Belanda yang terlibat dalam penyusunan ISO 26000—dalam acara diskusi perkambangan mutakhir standar internasional itu, dan dia menyatakan bahwa pengaruh John Ruggie dalam penyusunan standar itu membuat uji tuntas (due diligence) yang diambil dari pendekatan HAM masuk ke dalam seluruh subjek inti.  Artinya, logika HAM betul-betul menghunjam ke dalam jantung ISO 26000. Lalu mengapa dokumen ini tampak hanya sebagai ‘other’?
Begitulah curcol saya sebagai hasil dari memoderasi sesi tersebut.  Semoga ini menjadi semacam pengingat bahwa saya masih harus belajar lebih banyak soal bisnis dan HAM, sekaligus undangan bagi pembaca untuk berbagi pemikiran dan kerja nyata agar HAM benar-benar bisa tegak di dalam dunia usaha, di Indonesia, ASEAN, dan di level global.
 
 
 

Edward Freeman dan Narasi Baru Bisnis Abad ke-21

Bulan Juli tahun ini adalah bulan yang sangat menyenangkan bagi saya yang sudah bertungkus lumus dalam dunia dunia CSR dan manajemen pemangku kepentingan.  Di bulan itu, saya mendapat sebuah buku baru berjudul Stakeholder Management – Business and Society 360 yang disunting oleh David Wasieleski dan James Weber.  Pembuka buku itu adalah bab yang ditulis oleh pembangun utama teori pemangku kepentingan, R. Edward Freeman.  Judulnya, Five Challenges to Stakeholder Theory: A Report on Research in Progress.
Itu adalah salah satu bab paling kuat yang sangat penting bagi pengembangan teori pemangku kepentingan lebih lanjut.  Sejak keluarnya Strategic Management: A Stakeholder Approach di tahun 1984—ketika Freeman baru berusia 33 tahun—yang mengguncang kemapanan teori pemegang saham (shareholder theory), Freeman tak pernah berhenti menyajikan pukulan-pukulan kelas beratnya kepada teori yang akhirnya benar-benar runtuh itu.  Terkadang lewat petunjuk praktis macam buku Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (Freeman, Harrison, dan Wicks, 2007), atau melalui kerja teoretis besar seperti dalam Stakeholder Theory: The State of the Art (Freeman, Harrison, Wicks, Parmar, dan de Colle, 2010). Kini, hanya mereka yang keras kepala tak keruan saja yang masih percaya bahwa hanya kepada pemilik modal sajalah perusahaan bertanggung jawab.
Tapi, bulan Juli itu ternyata bukanlah puncak keberuntungan buat saya.  Di bulan ini, Oktober 2017, Universitas Virgina, tempat Freeman mengajar, merayakan ulang tahunnya yang ke-200.  Dan, betapa beruntungnya Indonesia, karena perayaan ulang tahun serentak di berbagai negeri itu, menugaskan Freeman untuk datang ke Indonesia!  Maka, pada tanggal 8 Oktober 2017, bertempat di hotel J.W. Marriott, kita yang berada di Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan kuliah Freeman secara langsung.  Saya bergegas mendaftarkan diri beberapa hari lalu, hanya beberapa menit setelah mendapat informasi tentang acara penting itu.
Kuliah singkat Freeman diberi judul Responsible Capitalism: Business for the 21st Century.  Setelah selesai kuliah itu, saya mendapati bahwa apa yang disampaikan itu adalah ringkasan dari apa yang sudah disampaikannya dalam Verizon Lecture in Business Ethics di Universitas Bentley pada tanggal 1 November 2016.  Publikasi atas kuliah di universitas tersebut bisa diunduh secara bebas.  Judulnya, The New Story of Business: Towards a More Responsible Capitalism.  Judul artikel yang sama ternyata kemudian muncul sebagai publikasi di jurnal Business and Society Review, Vol. 122/3 2017 yang baru saja terbit September lalu.  Jadi, apa yang disampaikan Freeman kepada publik Indonesia adalah di antara pemikiran terbarunya.
Perbincangan saya dengan Freeman, bersama Sita Supomo, sebelum acara dimulai mengungkap sesuatu yang menarik.  Ternyata Freeman pernah bolak-balik ke Indonesia pada dekade 1990an karena mengajar di kampus IPMI.  Selama tujuh tahun ia mengajar di sana.  Jadi, Freeman bilang bahwa dia kembali ke Indonesia, setelah dua puluh tahun lebih tidak bertandang, adalah peristiwa yang sangat menggembirakan dirinya.  Ketika saya tanyakan soal di mana saja dia kini mengajar, jawabannya sangat menarik: di manapun etika dipandang sebagai panduan yang serius.  Itu juga yang membuat dia betah mengajar di Universitas Virginia, yang memegang teguh etika—bukan saja di Darden School of Business, melainkan di semua fakultasnya—sejak awal berdirinya.
Narasi Lama yang Perlu Dibongkar
Freeman membuka kuliahnya dengan menyatakan bahwa tokoh terpenting yang membuatnya menyadari pentingnya etika adalah Thomas Jefferson.  Kalimat terkenalnya, “That all men are created equal,” yang menjadi paragraf kedua deklarasi kemerdekaan AS, menurut Freeman adalah revolusi etika yang pertama.  Lalu, dia menyatakan bahwa sebuah revolusi etika kini sedang terjadi, yaitu revolusi etika yang terutama mengenai bisnis dan Kapitalisme.  Kali ini bukan soal kebebasan, melainkan soal kolaborasi dalem menciptakan dan membagikan manfaat perusahaan.  Dia kemudian menyatakan bahwa “standard story of business needs to change.
Apa saja narasi bisnis yang perlu diubah itu?  Ada lima, menurut Freeman. “The first claim is that business is primarily about making money and profits for shareholders.”  Freeman kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya bisnis itu bertujuan lebih luas, yaitu untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, dan memecahkan masalah yang mereka hadapi.  Sebagai insentifnya, perusahaan kemudian mendapatkan keuntungan.  Jadi, alih-alih menjadi tujuan, sesungguhnya keuntungan hanyalah hasil sampingan dari keberhasilan melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
The second claim is that the only constituency that matters is shareholders.”  Ini adalah sebuah kesalahan yang sangat parah, menurut Freeman.  Bisnis seharusnya melihat bahwa seluruh pemangku kepentingan itu sama pentingnya.  Bahkan, pemilik modal sesungguhnya adalah pemangku kepentingan yang menerima hasil residual, setelah seluruh kewajiban perusahaan kepada pemangku kepentingan lainnya terpenuhi.
The third claim … is that we live in a world of limitless physical resources, and that market forces will always determine which resources are economically feasible to use.”  Jelas, kita sesungguhnya hidup dalam dunia yang sumberdayanya terbatas.  Juga, walaupun pasar dapat mengalokasikan berbagai sumberdaya dengan efisien, namun pasar tidaklah sempurna, dan bukan satu-satunya pengalokasi sumberdaya.  Freeman menyatakan bahwa regulasi pemerintah sangat diperlukan untuk mengalokasikan sumberdaya, terutama untuk layanan dasar.
Kemudian, Freeman menyatakan “The fourth claim, that we see played out in the popular press all the time, is about what motivates business people.”  Tekanan-tekanan  itu juga yang membuat para pebisnis dan masyarakat luas kerap memaklumi bila mereka yang berada dalam perusahaan itu melanggar aturan, berbohong, atau curang.  Padahal, tak ada alasan sama sekali untuk memaklumi hal tersebut, mengingat bahwa sesungguhnya sektor lainnya juga mengalami berbagai tekanan, dan lolos dari tekanan dengan cara-cara negatif seperti itu tak bisa dibenarkan.
The fifth claim … says that business and capitalism work because people and companies are self-interested, competitive, and greedy.” Gambaran negatif tentang manusia itu, menurut Freeman, telah membuat seluruh narasi bisnis menjadi buruk.  Padahal, sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak sekali fakta, banyak di antara pebisnis yang tidak menunjukkan karakter seperti itu sama sekali.  Ada banyak bukti bahwa pebisnis juga mengakomodasi kepentingan banyak pihak lain, mengutamakan kolaborasi, dan sama sekali tidak serakah.
Oleh karenanya, Freeman kemudian menyatakan bahwa narasi baru bagi bisnis abad 21 seharusnya bercirikan motivasi untuk menciptakan dan membagi nilai untuk masyarakat luas, bertanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan, mengakui peran pengatur sumberdaya ekonomi yang lain, menjunjung tinggi etika, dan disandarkan pada nilai-nilai positif manusia.  Secara tegas Freeman menyatakan bahwa buku-buku teks bisnis yang masih menggunakan dan mengajarkan narasi lama itu seharusnya ditinggalkan dan diganti sepenuhnya dengan narasi baru.  Oleh karenanya, Freeman kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang narasi baru seperti apa yang perlu dibangun.
Pemikiran di Balik Narasi Baru
Untuk memerbaiki narasi lama menjadi narasi baru, Freeman memfokuskan diri pada enam butir pemikiran.  Yang pertama, “the unit of analysis is stakeholder relationships.” Hubungan dengan pemangku kepentigan adalah kunci dari suksesnya seluruh bisnis yang ada.  Dengan menyatakan bahwa hubungan itu sebagai unit analisis, yang hendak ditekankan oleh Freeman adalah sifat jangka panjang.  Tentu saja, seluruh bisnis yang ingin meraih sukses harus memastikan bahwa pemangku kepentingannya terpuaskan oleh tata cara perusahaan mengelola isu-isu yang menjadi perhatian mereka.  Freeman juga menyatakan bahwa kalau ada ukuran tunggal yang bisa meramalkan keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang, maka itu adalah hubungan antara perusahaan dengan pekerjanya, bukan keuntungan di masa lalu.  Kalau pekerja menunjukkan kepuasan, angka retensinya tinggi, maka peluang keberhasilan perusahaan itu akan tinggi.
Pemikian kedua adalah keyakinan bahwa “stakeholders are interdependent.” Interdepensi antar-pemangku kepentingan, menurut Freeman, adalah hal yang lebih penting untuk disadari oleh perusahaan dibandingkan dengan sekadar ada pemangku kepentingan lain yang perlu diperhatikan (bahkan lebih penting daripada) pemilik modal.  Perusahaan-perusahaan yang menjalankan CSR strategis—di dalam artikelnya, Freeman mengutip model creating shared value yang dihasilkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer setelah meneliti tata cara Nestle berbisnis—adalah mereka yang menyadari soal jejaring pemangku kepentingan ini.  Mengapa?  Karena CSR yang strategis hanya mungkin diwujudkan bila itu terutama dilaksanakan di sepanjang rantai nilainya.  Dan di sepanjang rantai nilai itu pula jejaring pemangku kepentingan terbentuk.
Pemikiran ketiga adalah yang paling menarik perhatian saya.  Freeman menyatakan bahwa “tradeoffs are managerial failures of creative imagination.”  Ketika kita memikirkan tentang keberlanjutan, maka kerap kali kita berpikir soal membuat keputusan yang akan menurunkan keuntungan perusahaan.  Ada banyak CEO yang rela melakukan hal ini, demi meraih kinerja yang lebih baik dalam jangka panjang.  Bahkan, di artikelnya, Freeman menunjukkan kisah nyata soal seorang CEO perusahaan bahan-bahan kimiawi yang bersedia untuk menutup pabriknya yang tua, lantaran proses produksi yang terlampau kotor.  Ketika keputusan sudah diambil, beberapa minggu kemudian para insinyur yang pekerjaannya terancam kembali dengan rencana brilian untuk memenuhi tujuan lingkungan sekaligus mempertahankan operasi pabrik.  Ketika sang CEO bertanya berapa ongkosnya—sekali lagi, dia bersedia mengeluarkan tambahan modal—para insinyur itu secara malu-malu menyatakan bahwa itu bukan saja tak membutuhkan tambahan modal, bahkan akan menurunkan biaya secara keseluruhan.  Mereka malu, lantaran sebelumnya ngotot menyatakan tidak mungkin kinerja lingkungan pabrik itu ditingkatkan.  Menurut Freeman, imajinasi kreatif adalah sumberdaya terbarukan yang paling penting namun kerap diabaikan oleh perusahaan.  Trade-off, menurut Freeman hanyalah pertanda kemalasan bahkan kegagalan berimajinasi.
Purpose, values, and ethics must be embedded in organizations” adalah pemikiran keempat.  Purpose, atau tujuan mulia yang bukan sekadar pencarian keuntungan dinyatakan Freeman harus menjadi fokus bagi perusahaan di abad 21 ini.  Dan, dalam mencapai yang mulia tersebut diperlukan nilai-nilai dan etika sebagai pembimbingnya.  Yang menarik adalah bahwa ada banyak tujuan mulia yang bisa dipilih oleh perusahaan sesuai dengan bisnis intinya.  Novo Nordisk kini menyatakan ingin membantu dunia mengenyahkan diabetes. Whole Foods dibuat untuk memberikan semakin banyak pilihan sumber pangan yang sehat.  Ketika perusahaan memikirkan ulang apa yang selama ini mereka lakukan, dan keluar dari pemikiran sempit sekadar mencari keuntungan, mereka akan dapat melakukan reformulasi tujuan mereka.
Pemikiran kelima adalah “business exists in the physical world.”  Ini memiliki arti bahwa ada batas-batas alam yang sudah semestinya dihormati oleh bisnis.  Kalau batas-batas itu dilanggar, maka keberlanjutan tidak akan bisa diperoleh.  Namun, menurut Freeman, itu hanyalah separuh cerita.  Separuh cerita berikutnya adalah bagaimana perusahaan bisa melihat berbagai peluang di antara keterbatasan sumberdaya itu.  Perusahaan yang bisa melihat sebanyak mungkin peluang adalah yang paling mungkin bertahan.  Di dalam pengelolaan sampah ada peluang bisnis yang besar, sebagaimana yang ditemukan oleh mereka yang menekuni ekonomi sirkular.  Di dalam keterbatasan energi fosil—juga kesadaran akan dampaknya terhadap perubahan iklim—ada peluang untuk mewujudkan bisnis energi terbarukan.  Dalam kata-kata Freeman yang termuat di dalam artikelnya, “Adopting some kind of green values, and integrating respect for the environment into our purpose and values, can be a powerful elixir for creativity.”
People are complicated” merupakan pemikiran pamungkas Freeman untuk membentuk narasi barunya.  Hal ini bukan saja merupakan penyangkalan atas model sederhana manusia serakah yang dianggap menjadi dasar bergeraknya perusahaan dan Kapitalisme.  Bagi Freeman, manusia jauh lebih kompleks daripada itu.  Mengutip perkembangan-perkembangan mutakhir dari munculnya fenomena bisnis sosial dan investasi berdampak positif (impact investing), jelas para pebisnis bukan saja sedang memperbaiki dirinya, melainkan sedang meredefinisikan kemanusiaan.  Dengan redefinisi itu juga bisnis kini dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah tua yang bahkan dahulu kerap disebabkan oleh bisnis—seperti kemiskinan, penyakit, kurangnya modal, dan sebagainya.
Sebagai penutup kuliahnya, Freeman menyimpulkan bahwa apa yang sedang terjadi adalah apa yang dia sebut sebagai responsible disruption.  Disrupsi memang terus terjadi dalam bisnis, namun yang akan menjadi penentu keberhasilan bisnis adalah apakah yang dipilih adalah bentuk-bentuk disrupsi yang bertanggung jawab (sosial), yang menjadikan bisnis sebagai pemecah permasalahan yang dihadapi masyarakat banyak, bukan sekadar bisnis yang menjadi budak kepentingan pencarian keuntungan bagi pemilik modalnya.
Diskusi lebih lanjut
Ada empat orang yang memberikan komentar dan bertanya kepada Freeman setelah kuliahnya ditutup. Saya tidak akan meringkas satu demi satu pertanyaan dan jawaban yang diberikan kepada khalayak, melainkan menuliskan pesan-pesan paling penting yang diutarakan oleh Freeman pada sesi tersebut.
Dia menyatakan keyakinan bahwa pergeseran menuju apa yang dideskripsikannya itu sedang terjadi di seluruh dunia, dan hal itu tidak tergantung dari apakah pemerintah itu melakukan sesuatu yang mendukung atau menentangnya.  Freeman memberi contoh bahwa ketika Presiden Donald Trump mengumumkan negaranya menarik diri dari Kesepakatan Paris, perusahaan-perusahaan progresif—bersama-sama dengan pemerintah negara bagian dan kota, juga kelompok-kelompok masyarakat sipil—langsung menyatakan bahwa mereka tetap berkomitmen untuk menjalankan Kesepakatan itu.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia—dan diperantarai utamanya oleh perusahaan—beserta banyak hal lainnya telah membuat dunia menjadi berada dalam kondisi VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous).  Menurut Freeman, satu-satunya respons yang masuk akal dari perusahaan adalah menjadikan dirinya sebagai institution of hope, institusi yang memberi harapan bagi masyarakat luas, bukan yang malahan  menambah berat permasalahan yang mereka hadapi.  Dia kemudian menegaskan “We are in demand to great companies that solve world’s toughest problems.”
Banyak di antara pebisnis yang tidak mau beranjak memperbaiki perusahaannya menjadi institusi yang membawa harapan lantaran berdalih bahwa mereka harus menghasilkan uang untuk keluarganya. Namun, Freeman menegaskan bahwa pertimbangan yang seperti itu adalah dangkal.  Ia menyatakan “If you worry about the future of your family, worry about purpose and ethics, not just money.”  Mengapa?  Karena dalam dunia di mana tujuan mulia dan etika diabaikan, maka uang tidak akan bisa bermanfaat banyak.  Kemudian, Freeman menyatakan bahwa dalam bisnis juga sangat penting untuk memertimbangkan dengan siapa kita mau bekerja membangun perusahaan.  Pilihan mitra akan sangat menentukan perusahaan seperti apa yang bakal dikembangkan.
Freeman kemudian meneruskan, bahwa bagi siapapun yang ingin mengajukan kritik terhadap tata cara bisnis yang ketinggalan zaman—yaitu bisnis dalam narasi lama—maka cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menciptakan bisnis baru yang membuktikan bahwa bisnis berlandaskan kebaikan adalah mungkin, dan bahkan lebih sukses.  Dia melihat bahwa mereka yang kerap mengikuti jalan ini adalah para milenial.  Mereka cenderung tertarik pada menciptakan bisnis yang baik, dan darinya bisa mendapatkan keuntungan.  Hal ini karena mereka masih memiliki kebebasan berpikir, dipenuhi ide-ide baru sesuai semangat zamannya, dan karenanya mereka jualah yang paling mungkin menciptakan berbagai responsible disruption.
Kalau hendak mencari buktinya, Freeman menyarankan untuk rajin-rajin membuka websiteperusahaan-perusahaan baru yang terkemuka.  Di situ akan jelas terlihat bahwa sebagian besar isinya adalah tentang tujuan mulia berbisnis.  “They only talk about money when they talk to analysts,” demikian yang diamati Freeman. Yang mereka bicarakan juga adalah tentang nilai secara keseluruhan—bukan sekadar nilai finansial.  Freeman mengajak peserta kuliah untuk membayangkan bahwa nilai sebuah telepon selular bukanlah sekadar harganya, melainkan fungsi yang mungkin dijalankan oleh benda tersebut, dan yang benar-benar dipergunakan oleh pemiliknya.  Telepon selular pintar sekarang sudah bisa menjalankan fungsi sebuah studio.
Menutup sesi diskusi, Freeman kembali menegaskan bahwa ukuran yang paling bisa memprediksikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang adalah employee engagement, yang bisa dilihat dari turnover pekerja.  Semakin betah para pekerja, itu menandakan mereka berbahagia bekerja di perusahaan tersebut, dan pekerja yang bahagia adalah pekerja yang produktif. Kemudian, ia juga menyebutkan ukuran kedua yang juga bisa meramalkan kinerja itu, yaitu involvement of founders.  Menurut dia, kalau para pendiri perusahaan tetap mengelola perusahaan, tidak buru-buru menjualnya untuk mendapatkan keuntungan, itu juga merupakan pertanda perusahaan memang dikelola dengan manajemen yang baik dan gairah yang tinggi.
Demikian seluruh pesan yang disampaikan oleh sang mahaguru manajemen strategis yang lewat karya-karyanya berhasil melengserkan dan mengganti teori pemegang saham (shareholder theory) sebagai panduan berbisnis.  Ketika saya tanyakan apakah ada buku yang sedang ditulisnya, yang akan semakin mengokohkan teori pemangku kepentingan, dia tersenyum dan menyatakan bahwa dia sedang menyelesaikan sebuah buku—ditulis bersama Bidhan Parmar dan Kirsten Martin—yang akan selesai di penghujung tahun ini.  Judul tentatifnya The New Story of Business: Responsible Capitalism.  Giliran saya yang tersenyum membayangkan akan segera membacanya di tahun depan.  Saya percaya, dunia CSR dan manajemen pemangku kepentingan akan semakin menarik di masa mendatang.
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan TuK INDONESIA

Jalan Panjang dan Berliku Keuangan Berkelanjutan

 
Penantian panjang sejak diterbitkannya Roadmap Keuangan Berkelanjutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada bulan Desember 2014, kami kira, telah berakhir.  Betapa menyenangkannya mendapatkan undangan untuk hadir dalam peresmian Bali Center for Sustainable Finance (BCSF) sekaligus peluncuran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan  Keuangan Berkelanjutan (POJK-KB).  Undangan  yang diterima setelah libur Idul Fitri itu seakan menjadi hadiah Lebaran bagi kami yang telah cukup lama memerjuangkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Namun, apa mau dikata, ketika kami hadir pada acara yang diselenggarakan di kampus Universitas Udayana, Denpasar, 12 Juli 2017 itu, yang pertama kali kami terima adalah perubahan susunan acara.  Peluncuran POJK-KB hilang dari susunan acara yang baru.  Susunan acara lainnya tidak berubah, namun fisilitator dan para pembicara diskusi panel yang sedianya menjadi penutup seluruh rangkaian acara hari itu juga berganti.
Ketika acara demi acara kami ikuti, benar saja, hingga akhir tak ada pengumuman tentang POJK-KB itu.  Kami tak bisa masuk ke konferensi pers yang memang hanya diperkenankan diikuti oleh jurnalis undangan.  Kami mendengar kabar bahwa materi konferensi pers sendiri memang akan memuat tentang POJK-KB, tapi karena akses yang terbatas, kami tak bisa menerima kepastian pada waktu tersebut.
Keniscayaan, Tapi Terus Tertunda
Sesungguhnya, keuangan berkelanjutan merupakan keniscayaan zaman.  Bumi sudah berada dalam kondisi yang sedemikian mengkhawatirkan.  Batas-batas keberlanjutan sudah banyak yang terlampaui, sehingga cara kita membangun segera harus diperbaiki secara radikal.  Dari cara membangun yang destruktif menjadi restoratif dan regeneratif.
Konsekuensi dari keharusan itu adalah perubahan dari pangkalnya, yaitu pembiayaan.  Kalau kita terus membayari beragam aktivitas ekonomi yang destruktif, maka kondisi Bumi akan semakin mengkhawatirkan. Dalam perubahan iklim misalnya, kalau kita terus membayari business as usual, jelas kita tak bisa mencapai target peningkatan suhu maksimum 2 derajat Celsius, apalagi 1,5 derajat.
Oleh karena itu, ide dasar dari keuangan berkelanjutan adalah untuk memastikan bahwa Bumi menjadi tempat yang layak huni, dan keadilan sosial serta ekonomi bisa diwujudkan, dengan cara hanya membayari aktivitas ekonomi yang kompatibel dengan tujuan tersebut.  Konsekuensi dari tujuan tersebut adalah bahwa semua keputusan pembiayaan disandarkan tidak saja pada kelayakan keuangan seperti biasanya, melainkan juga kelayakan ekonomi secara luas, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Ketika ukuran ekonomi, sosial, dan lingkungan—juga tata kelola—dipergunakan untuk menimbang keputusan pembiayaan maka akan timbul daftar aktivitas ekonomi yang bisa dibiayai, bisa dibiayai dengan modfifikasi, atau tidak bisa dibiayai sama sekali.  Secara umum, aktivitas yang jelas-jelas mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) serta Kesepakatan Paris lah yang bisa dibiayai.  Sementara yang bertentangan dengan keduanya haruslah dihentikan pembiayaannya.  Tentu, penghentiannya membutuhkan periode transisi untuk menghindari guncangan ekonomi.
Kalau kita simak Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibuat, ketegasan seperti itu belum tampak.  Namun, Indonesia harus memulainya dari titik tertentu.  Sehingga munculnya POJK-KB memang ditunggu-tunggu oleh seluruh pemangku kepentingan.  Kita semua sudah mendengarkan janji OJK untuk meluncurkan regulasi itu sejak tahun 2015, muncul kembali di tengah dan akhir 2016, namun semuanya berakhir dengan ketiadaan kemajuan.  Ancer-ancer waktu yang diberikan selalu meleset, hingga muncul kabar yang tampaknya lebih pasti di bulan Juni, yang bertepatan dengan Ramadan 2017.
Akhirnya para pemangku kepentingan melihat draft POJK-KB yang dijanjikan.  Draft yang diedarkan itu dipandang secara berbeda-beda oleh pemangku kepentingan yang berbeda.  Dari perbankan terdengar selentingan bahwa mereka berpikir substansinya terlampau berat.  Namun bagi organisasi masyarakat sipil yang progresif, kesannya lain sama sekali: ada terlampau banyak hal yang luput dari pengaturan.  Kewajiban membuat berbagai kebijakan sektoral (mis. migas, tambang, perkebunan, kehutanan) maupun tematik (HAM, ketenagakerjaan, lingkungan) tidak ada.  Padahal, penilaian pertama dari keuangan berkelanjutan yang selama ini dikenal adalah terhadap ada-tidaknya kebijakan bank terlebih dahulu.
Namun, terlepas dari pro-kontra substansi draft tersebut, prospek bahwa kita akan segera memiliki POJK-KB tetaplah merupakan kabar yang menyenangkan.  Apalagi, ketika undangan dari OJK datang setelah Idul Fitri, dengan susunan acara yang jelas-jelas menyebutkan peluncuran POJK-KB, kegembiraan jelas dirasakan banyak pihak, termasuk kami.  Ketika kemudian susunan acara berubah, dan peluncuran POJK-KB itu hilang dari daftar, kegembiraan itu sirna.  Ternyata penantian panjang kami belum berakhir.
Pentingnya Pusat Keuangan Berkelanjutan
Dalam kekecewaan lantaran harapan yang belum terkabul, peresmian BCSF dan diskusi panelnya menjadi perhatian berikutnya.  Dari acara tersebut kami mendapati bahwa sesungguhnya dalam pendirian BCSF OJK masih akan menyelesaikan penilaian awal terlebih dahulu.  Apa yang bakal benar-benar dikerjakan di situ akan ditentukan oleh hail dari penilaian tersebut.
Secara umum memang dinyatakan oleh Pimpinan OJK, Gubernur Bali, maupun para panelis diskusi bahwa BCSF akan menjadi pusat penelitian tentang keuangan berkelanjutan dilakukan oleh jejaring peneliti dari berbagai universitas.  BCSF adalah hub.  Selain itu, BCSF akan menjadi tempat peningkatan kapasitas bagi para bankir dalam mengaplikasikan keuangan berkelanjutan.  Dalam hal ini, BCSF adalah sebuah training center.
Sejujurnya, kami masih kerap mendapati pertanyaan sangat mendasar dari kalangan akademisi soal apa yang dimaksud dengan keuangan berkelanjutan.  Termasuk dari mereka yang bertungkus lumus dalam urusan keuangan atau ekonomi secara umum.  Kalau kita lihat latar belakang akademisi di Indonesia, hingga kini jumlah akademisi yang memiliki pendidikan formal di bidang ini masih hampir nol.  Orang seperti Dr. Aidy Halimanjaya dari Pusat Studi SDGs di Universitas Padjajaran—yang kepakarannya dalam keuangan perubahan iklim sudah diakui di level internasional—bisa dihitung dengan jari.
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan juga, lantaran keuangan berkelanjutan sendiri memang bergerak sangat cepat dari pinggiran di awal 2000an menjadi pusat segala perhatian dalam 15 tahun saja.  Universitas-universitas terbaik di dunia—di antaranya Harvard dan Columbia di Amerika Serikat—memang sudah menyediakan sarana pendidikan untuk isu ini, namun di tempat lain masih sangat sulit ditemui.  Kalau Indonesia bergerak lewat BCSF, ini termasuk salah satu yang awal.
Tentu saja, tugas pertama dari pada akademisi adalah mendidik dirinya sendiri dalam keuangan berkelanjutan.  Buku-buku dasarnya harus dikuasai, demikian juga dengan artikel-artikel jurnal terkemuka yang menyediakan perkembangan mutakhir. Perpustakaannya harus dibuat selengkap mungkin, dengan buku-buku dan jurnal, agar akselerasi pengetahuan memang terjadi.  Penelitian di Indonesia harus digenjot dengan cepat, sehingga terkumpul body of knowledge keuangan berkelanjutan yang khas Indonesia, dan benar-benar bisa dimanfaatkan.
Dalam masa yang sama, para akademisi itu perlu untuk membuat berbagai mata kuliah yang relevan, dan membimbing mahasiswa untuk membuat skripsi, tesis, dan disertasi yang mendorong kemajuan pengetahuan dalam bidang ini juga.  Buktinya tentu saja adalah meningkatnya jumlah publikasi ilmiah yang datang lewat perantaraan BCSF.  Dengan demikian, tugas untuk meningkatkan kapasitas para bankir yang disematkan kepada mereka juga bisa dilakukan secara kontekstual Indonesia.
(Tetap) Menanti Kabar Baik
Bagi kami, masih ada satu hal lagi yang sangat mengganjal ketika mendengar bagaimana BCSF itu hendak difungsikan.  Tak ada satupun pihak yang menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil.  Padahal, kita semua tahu, bahwa hanya apabila kelompok masyarakat sipil juga menguasai keuangan berkelanjutan maka akan tercipta kekuatan penyeimbang dan pendukung bagi kemajuan keuangan berkelanjutan.  Kalau ada yang bisa dinyatakan sebagai kekecewaan kami yang kedua, itu adalah tak masuknya agenda meningkatkan kapasitas masyarakat sipil Indonesia di dalam kenduri di Bali itu.
Di level global, keuangan berkelanjutan menjadi agenda masyarakat sipil yang sangat kokoh.  Dalam Pertemuan Puncak Civil20 di Hamburg pada minggu ketiga Juni 2017, keuangan berkelanjutan menjadi topik yang sangat ditekankan, dan menjadi salah satu dari tujuh rekomendasi yang diberikan kepada Kanselir Angela Merkel untuk digodok lebih lanjut dalam Pertemuan Puncak G20.  Jelas, masyarakat sipil di Indonesia butuh peningkatan kapasitas juga agar bisa lebih banyak berkontribusi dalam keuangan berkelanjutan di dalam negeri maupun di kancah internasional.
Presiden Joko Widodo sendiri telah menyinggung keuangan berkelanjutan dalam pidatonya di Pertemuan Puncak G20.  Tentu, Indonesia kemudian akan dinilai oleh negara-negara G20 lainnya, apakah memang pidato itu serius diwujudkan, atau sekadar basa-basi tingkat dewa.  BCSF memegang peranan penting dalam pembuktian itu.  Tapi, tanpa POJK-KB, rasanya sulit untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa kita serius.  Batalnya peluncuran POJK-KB, kami percaya, bukan sekadar membuat kecewa segelintir orang, namun juga jadi perhatian pihak-pihak di luar Indonesia—apalagi perwakilan berbagai negara sahabat juga hadir dalam acara tersebut.
Semoga, pernyataan Dr. Muliaman Hadad bahwa POJK-KB itu segera diluncurkan—sebagaimana yang dikutip oleh Koran Tempo dan Kompas pada tangal 13 Juli 2017, sehari setelah acara—memang berarti dalam bilangan hari saja.  Kami masih menahan nafas hingga sekarang, khawatir bahwa penantian ini ternyata masih butuh waktu lebih lama lagi.  Padahal, komisioner OJK periode ini hanya bertugas hingga beberapa hari ke depan.  Kalau tengat waktunya terlampaui, konon prosesnya harus dimulai dari awal lagi.  Jadi, selain merasakan kekecewaan, kami juga merasa sesak nafas, lantaran kombinasi harapan dan kekhawatiran.  Semoga sesak nafas ini bisa segera berakhir dengan kabar baik dari OJK.
Penulis:

  • Rahmawati Retno Winarni – Executive Director, TuK Indonesia
  • Jalal – Reader on Corporate Governance and Political Ecology, Thamrin School

Sumber: Indonesiana.tempo.co