Ormas Bebas Didirikan Tanpa Surat Keterangan Terdaftar

Selasa, 23 Desember 2014 | 20:02 WIB
Organisasi Masyarakat (Ormas) yang tidak berbadan hukum dan ingin mendaftarkan diri kini dapat melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan Ormas yang bersangkutan tanpa perlu adanya surat keterangan terdaftar baik dari bupati/walikota, gubernur maupun menteri. Putusan dengan Nomor 82/PUU-XI/2013 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva di Ruang Sidang Pleno MK.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 5 UU ormas bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tujuan dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Hamdan membacakan permohonan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua Arief Hidayat, selain Pasal 16 ayat (3), MK juga menyatakan Pasal 17, Pasal 18 UU Ormas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena ketentuan mengenai pendaftaran Ormas yang dikaitkan dengan lingkup suatu Ormas harus dinyatakan inkonstitusioal pula. Ormas yang menghendaki untuk mendaftarkan suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat saja melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan Ormas yang bersangkutan tanpa memerlukan surat keterangan terdaftar baik dari bupati/walikota, gubernur maupun menteri. “Adapun tata cara pendaftaran Ormas tersebut dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang a quo,” urai Arief.

Sementara terkait tujuan ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU ormas, MK menilai Ormas harus diberikan kebebasan untuk menentukan tujuannya masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara dan UUD 1945, tanpa memaksakan untuk merumuskan tujuan secara kumulatif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU Ormas. Maka, lanjut Arief, agar tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 tersebut tidak melanggar hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 maka kata “dan” yang terdapat pada Pasal 5 huruf g UU 17/2013 harus ditambah dengan kata “/atau” agar tujuan tersebut dapat bersifat alternatif. “Dengan demikian, menurut Mahkamah, selain hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 tidak terlanggar, tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 juga dapat dipenuhi oleh Ormas.  Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Pasal 5  huruf g UU 17/2013 menjadi sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini,” jelas Arief.

Lingkup Ormas Inkonstitusional

Sedangkan terkait pengujian konstitusionalitas pembedaan Ormas yang lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU Ormas, Mahkamah menilai pembedaan lingkup Ormas tersebut dapat mengekang prinsip kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun nasional. Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu.

Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil permohonan Pemohon mengenai Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013 beralasan menurut hukum,” ujarnya.

Ancam Kreativitas

Sedangkan terkait posisi Pemerintah dalam melakukan pemberdayaan terhadap Ormas, MK yang diwakili oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan kemajuan dan kemunduran suatu Ormas adalah urusan internal yang menjadi kebebasan dan tanggung jawab Ormas yang bersangkutan. Apabila pada akhirnya Ormas tidak mampu meneruskan keberlangsungan organisasinya, maka hal demikian merupakan hal yang alamiah dan wajar. Walaupun demikian, lanjut Alim, tidak berarti bahwa negara tidak boleh memberi bantuan kepada Ormas baik berupa dana maupun dukungan lain untuk memajukan suatu Ormas. Pemberian bantuan yang demikian wajar saja, sepanjang Ormas yang bersangkutan memerlukannya dan secara sukarela menerimanya.

Alim menambahkan lain halnya jika kegiatan dan aktivitas Ormas terbukti mengancam keamanan dan ketertiban umum, mengganggu hak kebebasan orang lain, serta melanggar nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama, negara berkewajiban dalam fungsinya menjamin ketertiban umum dapat melakukan penegakan hukum, bahkan dapat menghentikan kegiatan suatu Ormas. “Menurut Mahkamah, campur tangan negara dalam pemberdayaan Ormas akan mengancam kreativitas masyarakat dalam mengekspresikan hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga dalil Pemohon mengenai Pasal 40 Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum,” tambahnya.

Sedangkan Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal 38 UU Ormas yang diajukan oleh Pemohon, MK menyatakan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut, lanjut Alim, Mahkamah tidak menemukan alasan yang diajukan Pemohon tentang adanya pertentangan antara norma dalam pasal-pasal a quo dengan UUD 1945, karena Pemohon hanya secara umum dan tidak menguraikan secara spesifik alasan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quokabur atau tidak jelas. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon beralasan hukum untuk sebagian,” tandas Alim. (Lulu Anjarsari)

Link:

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10470

[SELASAR POLITIK] 38 Koruptor Mendapat Pembebasan Bersyarat Selama Pemerintahan SBY

Jumat, 12 September 2014 | 05:00 WIB
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sedikitnya terdapat 38 terpidana korupsi mendapatkan pembebasan bersyarat selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka terdiri dari 31 terpidana kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan 7 terpidana Kejaksaan Agung.
“Berdasarkan data penelusuran ICW, selama era SBY (2004-2014) sedikitnya terdapat 38 terpidana korupsi yang telah menikmati pembebasan bersyarat,” demikian kutipan siaran pers ICW pada Ahad (7/9/2014) lalu.
Namun, jumlah riil penerima pembebasan bersyarat diperkirakan lebih besar dari yang berhasil dipantau oleh ICW.
Menurut ICW, pembebasan bersyarat yang paling kontroversial adalah yang diberikan kepada terpidana suap Bupati Buol, Hartati Murdaya. Pemberian pembebasan bersyarat untuk Hartati dinilai tidak memenuhi syarat dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
“Hal ini juga menunjukkan bahwa Menteri Hukum dan HAM tidak paham hukum atau bahkan dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum,” kata Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho seperti dikutip kompas.com.
Menurut ICW, selama ini Hartati Murdaya tidak pernah mendapatkan status justice collaborator, atau mendapat rekomendasi dari KPK. Karena itu, pembebasan bersyarat Hartati harus batal demi hukum.
Berikut ini adalah daftar lengkap koruptor penerima pembebasan bersyarat di masa pemerintahan Presiden SBY yang dirangkum oleh metrotvnews.com:
 
Mantan duta besar:
1. Rusdiharjo, Mantan Duta Besar RI untuk Malaysia terkait kasus Pungli di Kedubes RI di Malaysia.
 
Mantan menteri dan sekretaris menteri:
2. Rokhmin Dahuri, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, terkait kasus Dana non Budgeter Kelautan dan Perikanan.
3. Hari Sabarno, Mantan Menteri Dalam Negeri, terkait kasus pengadaan alat pemadam kebakaran.
4. Wafid Muharam, Mantan Sekretaris Kemenpora, terkait kasus suap Wisma Atlet.
 
Mantan gubernur dan Deputi Bank Indonesia:
5. Burhanudin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, terkait kasus aliran dana Bank Indonesia.
6. Aulia Pohan, mantan Deputi Bank Indonesia, Besan Presiden SBY, terkait kasus aliran dana Bank Indonesia.
7. Maman H Somantri, jabatan dan kasus yang sama.
8. Bun Bunan Hutapea
9. Aslim Tadjuddin
 
Mantan gubernur:
10. Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Timur, terkait kasus program lahan sawit 1 juta hektare di Kalimantan Timur.
11. Saleh Djasit, mantan Gubernur Riau, terkait kasus pengadaan mobil pemadaman kebakaran.
12. Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, terkait kasus pembelian helikopter Rusia.
13. Ismeth Abdullah, mantan Gubernur Kepulauan Riau, terkait kasus pengadaan mobil pemadaman kebakaran.
14. Danny Setiawan, mantan Gubernur Jawa Barat, terkait kasus pengadaan mobil pemadaman kebakaran.
 
Direktur BUMN dan swasta:
15. Eddie Widiono, Direktur PLN, terkait kasus proyek Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi PLN Disjaya, Tangerang, Banten.
16. Sukotjo S Bambang, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, terkait kasus Simulator SIM.
17. Mindo Rosalina Manulang, Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, terkait kasus Wisma Atlet.
18. Hartati Murdaya, Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya, terkait kasus Suap Bupati Buol, Sulawesi Tengah.
 
Mantan anggota DPR RI dan DPRD:
19. Yusuf Erwin Faishal, DPR RI, terkait kasus suap alih fungsi hutan Tanjung Api Api, Sumatra Selatan.
20. Abdul Hadi Djamal, DPR RI, terkait kasus suap dermaga Indonesia Timur.
21. Udju Djuhaeri, DPR RI, terkait kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.
22. Dudhie Makmun Murod, mantan Bendahara Fraksi PDIP, kasus pemilihan Deputi Bank Indonesia.
23. Panda Nababan, DPR non aktif,  kasus pemilihan Deputi Bank Indonesia.
24. Sunardi Ibrahim, mantan anggota DPRD Indragiri Hulu (Inhu), terkait kasus APBD Inhu 2005-2008.
25. Hamka Yandhu, Politisi Golkar, terkait kasus pemilihan Deputi Bank Indonesia.
26. Endin Akhmad Jalaludin Soefihara, DPR Fraksi PPP, terkait kasus pemilihan Deputi Bank Indonesia.
 
Mantan wali kota dan bupati:
27. Vonnie Panambunan, mantan Bupati Minahasa Utara, terkait kasus penunjukan langsung Bandara Kukar Samarinda.
28. Abdillah, mantan Wali Kota Medan, terkait kasus pengadaan mobil pemadaman kebakaran.
29. Baso Amiruddin Maula, Wali Kota Makassar, terkait kasus pengadaan mobil pemadaman kebakaran.
30. Sunaryo HW, mantan Wakil Wali Kota Cirebon, kasus APBD Cirebon 2004.
31. Djatmiko Royo Saputro, mantan Wali Kota Madiun, terkait kasus dana operasional DPRD Kota Madiun.
 
Lain-lain:
32. Artalyta Suryani, pengusaha, terkait kasus suap kepada Jaksa Urip Tri Gunawan.
33. Syarifudin, Hakim Niaga Pengadilan Jakarta Pusat (nonaktif), terkait kasus suap penanganan kepailitan PT Sycamping Indonesia.
34. Oentarto Sindung Mawardi, Mantan Dirjen Otonomi Daerah Depdagri, terkait kasus pengadaan mobil pemadaman kebakaran 2003-2004.
35. Sjahril Djohan, mantan penasehat ahli fungsional Direktorat IV Narkoba, terkait kasus suap PT Salma Arwana Lestari.
36. Sukro Nur Harjono, Kepala Desa Selopamioro Imogiri (nonaktif), terkait kasus dana rekonstruksi gempa.
37. Tri Waldiyana, Kepala Desa Dukuh Mancingan, Parangtritis, Kretek, Bantul, terkait kasus dana rekonstruksi gempa.
38. Mulyono, mantan Kepala Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasikagung, Jawa Tengah, terkait kasus dana retribusi TPI 2007-2009.
 
Bagaimana menurut Anda? Dengan data ini, apakah menurut Anda SBY berhasil mengurangi korupsi karena bisa jadi jika presidennya bukan SBY, akan terjadi lebih banyak pengurangan hukuman. Atau sebaliknya, menurut Anda, SBY terlalu banyak memberikan keringanan bagi koruptor?
(RS)
Tautan/link:
https://www.selasar.com/politik/38-koruptor-mendapat-pembebasan-bersyarat-selama-pemerintahan-sby
 

Liputan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Sawit”

IMG_0101-300x200

Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas


Solidaritas Perempuan melakukan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Kelapa Sawit” selama 3 hari (27 – 29 November) di Hotel Puri Yuma-Denpasar, Bali. Bersama 27 perempuan dari 5 wilayah yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sumbawa, Poso dan Sulawesi Tengah, berbagi pengalaman, pengetahuan, inisiatif serta strategi perempuan dalam mengelola sumber daya hutan, mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya, serta melawan ketidakadilan yang dialaminya, akibat kehadiran proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit.
Temu perempuan ini juga menghadirkan 3 narasumber yang memiliki pengetahuan dan expert pada isu perlindungan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan (Mia Siscawati – Sayogjo Institute), perkebunan kelapa sawit (Norman Jiwan – Transformasi Untuk Keadilan), perubahan iklim dan pendanaan iklim (Titi Soentoro – AKSI!).
Dalam materinya Titi Soentoro menyampaikan Perkembangan Kebijakan, Proyek dan Pendanaan Iklim dalam Konteks Hutan dan Perlindungan Perempuan. Komitment pembiayaan iklim di Indonesia saat ini mencapai $ 4,4 milyar, yang berasal dari Bank Dunia, JICA, USAID, dan lain-lain. Kucuran dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek iklim di Indonesia, seperti geothermal, FIP dan REDD. Selain itu, ada juga Green Climate Fund, yang berkomitment untuk mengeluarkan dana US$ 800 milyar/tahun untuk adaptasi dan mitigasi di Negara berkembang. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana perempuan memperoleh manfaat dari proyek-proyek tersebut?. Proyek iklim ini kenyataannya merugikan masyarakat Indonesia, khususnya perempuan yang tinggal di sekitar hutan, karena tujuan proyek iklim ini bukan lagi untuk menjaga lingkungan, namun hanya untuk bisnis semata.
Persoalan perempuan juga terjadi di perkebunan kelapa sawit juga disampaikan Norman Jiwan, dimana luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sebanyak 11,5 juta Ha di seluruh indonesia (Data Sawit Watch, tahun 2011), namun ironisnya 60 – 70 % perkebunan sawit yang berada di indonesia dimiliki oleh negara luar seperti Malaysia dan Singapura. Perkebunan kelapa sawit skala besar tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dengan adanya industri ekstraktif ini, masyarakat khususnya perempuan rentan mengalami pelanggaran HAM, pelecehan seksual, bekerja tanpa diupah,eksploitasi tenaga kerja perempuan, karena itulah selain dibutuhkan perlindungan, perempuan juga membutuhkan penghargaan dan penghormatan bagi hak azasi mereka.
Sementara Mia Siscawati dari Sajogjo Institute menyampaikan bahwa perempuan dari dulu telah memiliki peran signifikan dalam pengelolaan hutan. Pengalaman dari berbagai daerah dan dunia, memperlihatkan bagaimana perempuan memperjuangkan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan dalam mempertahankan tanah mereka dan lingkungan mereka yang dirampas oleh perusahaan. Eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam yang terjadi sejak kolonial sampai abad 21, akan semakin meningkat dengan ada mega proyek MP3EI yang semakin memudahkan eksploitasi sember daya alam Indonesia oleh perusahaan asing.
Peserta kemudian turut menyampaikan persoalan dan pengalamannya dalam sesi ini, seperti perempuan di Lore Peore, yang berbagi tentang informasi mengenai HGU perkebunan ubi di wilayah mereka. Bagaimana hutan yang selama ini mereka kelola beralih fungsi menjadi perkebunan ubi dengan masa HGU yang terus diperbaharui, namun tanpa memberikan informasi dan melakukan proses persetujuan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya perempuan.

Pembahasan dan berbagai pengalaman perempuan telah membuktikan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan berlapis dengan adanya proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit, dimana perempuan tidak dapat lagi mengakses dan mengelola sumber daya hutannya.
(Liputan oleh Margaretha Winda FK)
Link:
http://www.solidaritasperempuan.org/liputan-temu-dan-konsultasi-perempuan-komunitas/

Revisi UU Perbankan sudah rampung 95%

Oleh Dea Chadiza Syafina – Selasa, 12 November 2013 | 11:05 WIB

JAKARTA. Panitia Kerja revisi Undang-Undang No. 29 tahun 1999 tentang Perbankan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merampungkan 95% penyusunan revisi UU Perbankan pasal per pasal.
Anggota Komisi XI DPR fraksi PDI-Perjuangan Dolfie Othniel Fredric Palit mengungkapkan, meski draf revisi UU Perbankan telah rampung 95%, namun pembahasan mengenai revisi UU ini baru akan dilakukan pada tahun depan. Sebab, DPR periode saat ini berakhir pada Oktober 2014 mendatang.
“Jadi kalaupun dibahas, maksimum sebelum Oktober 2014,” ujar Dolfie saat dihubungi KONTAN, Selasa (12/11).
Dolfie menyebutkan, banyak yang di revisi pada UU Perbankan ini. Di antaranya adalah mengenai izin operasional bank asing, kantor bank asing, kepemilikan saham asing pada industri jasa keuangan perbankan.
“Untuk kantor bank asing, harus mengikuti ketentuan hukum di Indonesia. Mengenai kepemilikan akan dirumuskan secara normatif. Sedangkan aturan teknisnya oleh OJK (otoritas jasa keuangan),” ujar Dolfie.
Lebih lanjut Dolfie menjelaskan, untuk aturan mengenai kepemilikan saham asing di perbankan, mengacu pada PBI bernomor 14/8/ PBI/2012. Dalam peraturan BI itu disebutkan, batas maksimum kepemilikan saham bank untuk kategori badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank sebesar 40%, badan hukum bukan lembaga keuangan sebesar 30% dan kategori pemegang saham perorangan sebesar 20%.
Sementara itu, mengenai jumlah kepemilikan asing yang semula diperbolehkan dari 99%, akan diturunkan menjadi kurang dari 50%. Dengan begitu, posisi pemodal domestik diberi kesempatan kepemilikan yang lebih besa dan akan berada di atas pemodal asing.
Namun begitu, untuk besaran pastinya, pentahapannya akan diatur lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nantinya, lanjut Dolfie, rumusannya akan sangat teknis karena terkait pentahapan.
Sebelumnya, persoalan kepemilikan asing dalam saham mayoritas di sektor perbankan termasuk salah satu hal yang dipersoalkan dalam rencana revisi Undang-Undang No 29 tahun 1999 tentang Perbankan.
Terdapat tiga opsi yang sempat mencuat dalam pembahasan revisi UU Perbankan tersebut. Pertama, menurunkan jumlah kepemilikan asing yang semula diperbolehkan dari 99% menjadi hanya 49%. Sedangkan pemodal domestik diberi kesempatan kepemilikan sebesar 51%.
Opsi kedua adalah mengikuti sistem perbankan yang dianut negara lain. Politisi Golkar itu pun lantas mencontohkan China yang memperbolehkan sektor asing menguasai saham perbankan sebanyak 20%-30% saja.
Kemudian yang terakhir adalah wacana untuk menentukan jumlah kepemilikan saham asing dengan menyesuaikan kesehatan perbankan di Indonesia. Kata dia, dalam opsi ini DPR memberikan beberapa kriteria yang kemudian dirumuskan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada dasarnya kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia harus tetap dipelihara. Sebab, jika hanya mengandalkan pemodal dalam negeri hanya beberapa pengusaha saja yang bisa masuk.
Editor: Barratut Taqiyyah
Link:
http://keuangan.kontan.co.id/news/revisi-uu-perbankan-sudah-rampung-95