Serial Info Taipan HTI: Risiko Para Penyandang Dana Sektor Pulp and Paper di Indonesia

TuK INDONESIA melakukan Studi di 8 perusahaan pulp & paper, penelitian ini menunjukan perusahaan-perusahan tersebut terlibat dalam beberapa masalah ESG (Environmental, Social, and Governance). Struktur perusahaan di persusahaan-perusahaan ini juga berpotensi dirancang untuk memfasilitasi basic emotion and profit shifting (BEPS) dan transfer mispricing sebagai strategi penghindaran pajak.

Perusahaan-perusahaan tersebut menerima setidaknya 18 miliar dolar AS dalam bentuk utang dan layanan penjaminan emisi pada periode 2013 hingga Juni 2018. Hampir 80% dari kredit ini berasal dari lembaga keuangan berbasis di Asia Timur, dan 15% berasal dari lembaga keuangan Indonesia. Penyandang dana terbesar perusahaan pulp & paper yang aktif di Indonesia, yaitu lembaga keuangan dari Asia Timur dan Asia Tenggara – memiliki kebijakan mitigasi risiko ESG terburuk, masing-masing mencetak skor rata-rata 16% dan 5%. Lembaga keuangan dari China menyediakan 41% dari pembiayaan untuk 8 perusahaan pulp & paper, tetapi memiliki skor penilaian kebijakan rata-rata hanya 1%. Lembaga keuangan Jepang memberikan 26% dari kredit kepada perusahaan pulp & paper, tetapi mencetak skor rata-rata 28%.

Lembaga keuangan Indonesia memberikan 16% dari kredit kepada perusahaan pulp & paper yang dipilih, tetapi hanya mencetak rata-rata 4% dalam penilaian kebijakan.

Download serial info taipan Pulp and Paper

Tinjauan Atas Reformasi Keuangan Berkelanjutan di Indonesia

Laporan ini menampilkan tinjauan atas implementasi reformasi keuangan berkelanjutan yang digawangi oleh OJK melalui analisis terhadap lima bank yang menjadi penyandang dana utama sektor perkebunan dan kehutanan Indonesia. Laporan ini juga mengidentifikasi bahwa regulasi OJK telah dilemahkan karena adanya celah kesenjangan yang memungkinkan bank terus mengaburkan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) utama para nasabahnya, dan hal ini kemudian menjadi risiko bagi bank yang mendanai mereka; dan pada akhirnya: sistem keuangan Indonesia. Pedoman teknis yang diterbitkan bagi bank mengenai implementasi regulasi keuangan berkelanjutan masih jauh dari harapan. Pedoman itu antara lain masih menyebutkan kegiatan bisnis yang berdampak negatif bagi lingkungan dan sosial sebagai bisnis yang berkelanjutan.

Kegiatan yang disebut-sebut berkelanjutan dalam pedoman ini antara lain: konstruksi pembangkit listrik bio-energi dan kegiatan pembalakan hutan untuk perkebunan. Tanpa adanya standar minimum dan definisi keberlanjutan yang lebih baik, kegiatan-kegiatan bisnis yang mendorong terjadinya deforestasi besarbesaran dan konflik lahan masih dapat dianggap sebagai bisnis yang berkelanjutan; padahal, berdasarkan definisi atau standar mana pun, hal tersebut tidaklah berkelanjutan.

OJK memiliki mandat untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan, memastikan kestabilan kondisi keuangan Indonesia dan melindungi kepentingan konsumen serta masyarakat luas. OJK harus terus meningkatkan upayanya dalam menjalankan mandat tersebut dengan cara memperketat regulasi secara signifikan, menerbitkan pedoman teknis yang sudah diperbaiki, dan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran oleh lembaga jasa keuangan. Perbaikan terhadap standar pengungkapan keberlanjutan, proses manajemen risiko LST, dan koordinasi kebijakan yang lebih baik dalam tata kelola sumber daya alam serta penegakan hukum akan membantu melindungi masyarakat dan wilayah alam Indonesia dari bisnis yang tidak bertanggung jawab. Secara bersama-sama, upaya tersebut dapat memperkuat integritas dan kepercayaan dunia terhadap sektor ekonomi utama Indonesia. Pada akhirnya pendapatan negara dapat dioptimalkan dan kebijakan pembangunan ekonomi inklusif dapat dicapai dengan terus menjaga kualitas lingkungan negeri ini bagi generasi masa depan.

Download ringkasan

Download full laporan

Kuasa Taipan Sawit di Indonesia 2018

Kuasa Taipan Sawit di Indonesia 2018. Pada bulan Februari 2015, TuK meluncurkan laporan penelitian tentang para Taipan Sawit di Indonesia yang pertama. Hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Profundo ini membuka mata berbagai pihak tentang seberapa besarnya andil taipan dalam sektor perkebunan sawit. Penelitian ini juga menunjukkan berapa banyak bank tanah perkebunan yang belum dikembangkan yang ada dalam kendali mereka, serta yang terpenting, bagaimana para pendukung dana telah membantu realisasi konsentrasi kekuasaan ini.

Penelitian ini mendukung seruan LSM untuk adanya reformasi agrarian dan untuk sektor keuangan yang berkelanjutan. Hasil temuan ini juga memicu pembahasan tentang pentingnya mengembangkan industri hilir minyak sawit. Selain itu, masyarakat umum menjadi lebih sadar tentang konflik yang terjadi dalam sektor kelapa sawit dan bagaimana sektor keuangan pula yang bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi tersebut.

Tiga tahun telah berlalu sejak penerbitan publikasi tentang Taipan pertama. TuK merasa tepat waktunya untuk menilik kembali penelitian ini dan mengumpulkan informasi dan data terkini terkait permasalahan tersebut.
Mengingat hal ini, Profundo dan TuK INDONESIA melakukan pemutakhiran penelitian tentang kekuasaan para taipan di sektor kelapa sawit Indonesia. TuK INDONESIA, bersama mitra kolaborasinya, akan memanfaatkan hasil temuan penelitian (terkini). Hal ini untuk mengidentifikasi hubungan dengan para taipan dengan politically exposed persons (PEP) yang terlibat dalam pemilihan umum 2019.

Dalam laporan ini kita bisa mengetahui siapa saja para taipan yang mengendalikan 25 Group penguasa lahan sawit di Indonesia. Ini termasuk Group yang terlibat dalam kebakaran hutan 2019, dan dari mana sumber keuangan mereka.

Download kuasa taipan kelapa sawit di indonesia final

MENUJU KEUANGAN BERKELANJUTAN? TINJAUAN KRITIS ATAS LAPORAN KEBERLANJUTAN BNI 2017

Bank BNI merupakan salah satu bank yang sejak beberapa tahun lampau dikenal sebagai bankyang menunjukkan minatnya pada keuangan berkelanjutan. Tahun2017, BNI menjadi salah satu dari delapan bank yang didaulat menjadi penggerak awal dari keuangan berkelanjutan di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan. Tidak mengherankan apabila laporan keberlanjutan yang dibuat untuk tahun 2017, terbit pada bulan Juni 2018, kemudian menggunakan judul “Menuju Keuangan Berkelanjutan.” Dokumen—yang ditulis oleh Jalal untuk Transformasi untuk Keadilan Indonesia—ini hendak memaparkan apakah BNI memang mengarahkan dirinya pada keuangan berkelanjutan secara bersungguh-sungguh atau sekadar komunikasi perusahaan untuk mengesankan demikian.
TuK INDONESIA  melakukan tinjauan kritis atas laporan keberlanjutan BNI, untuk menganalisis bagaimana implementasi keuangan berkelanjutan BNI yang ditunjukkan dalam laporan keberlanjutan BNI tahun 2017 sesuai dengan standar pelaporan GRI dan persyaratan dalam POJK Keuangan Berkelanjutan.
Unduh Laporan: Menuju Keuangan Berkelanjutan

MALAPETAKA: KORINDO, PERAMPASAN TANAH & BANK

Laporan ini menyajikan bukti kuat tentang sifat merusak dan buas yang ada dalam operasi pembalakan dan sawit Korindo. Laporan ini juga menguak oportunisme kejam yang menargetkan kerentanan yang ada dalam sistem tata kelola dan masyarakat terpencil di Indonesia sehingga menimbulkan dampak menghancurkan terhadap masyarakat dan ekosistem tempatnya beroperasi. Setelah ditelusuri lebih dalam, klaim perusahaan bahwa dirinya terdepan dalam keberlanjutan dan pernyataan bersikeras bahwa pihaknya mematuhi semua peraturan perundangan ternyata tidak sesuai. Tinjauan terhadap operasi grup ini di Maluku Utara dan standar tata kelola korporat yang lebih luas menunjukkan adanya pola pelanggaran legal dan etik yang serius.

Kasus ini pada akhirnya memberikan kesempatan bagi pihak berwenang Indonesia untuk meninjau kembali dan mencabut izin perusahaan yang operasinya terang-terangan mengabaikan hukum, serta menuntut pertanggungjawaban dari direksi serta pihak lain yang memfasilitasi. Hal ini juga merupakan langkah mematuhi Keputusan Presiden yang baru-baru ini diterbitkan yang dirancang untuk menghentikan perusahaan seperti Korindo agar tidak meraup keuntungan dari tanah yang diperoleh secara ilegal. Laporan ini juga membeberkan praktik sembrono yang dilakukan penyandang dana Korindo, terutama BNI, yang tetap menyuntikkan aliran dana bagi perusahaan yang terbukti tidak taat peraturan dan operasinya melanggar hukum dan kode etik dasar. Pada saat memulai perubahan menuju prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, BNI seharusnya tidak memberikan layanan keuangan bagi Korindo atau perusahaan serupa lainnya. Sayangnya, Korindo bukanlah satu-satunya contoh kasus, tetapi kasus ini menunjukkan ciri-ciri model usaha yang masih terus dibiayai dan meluas ke kawasan hutan tropis terpencil sekalipun. Operasi yang demikian secara terus-menerus mengabaikan hak yang dilindungi UUD dan mata pencaharian pemilik tanah adat dengan merugikan masyarakat lokal, hutan mereka, dan juga masyarakat luas.

Laporan dalam Bahasa Indonesia: TuK-RAN_Malapetaka..

Laporan dalam Bahasa Inggris: https://www.ran.org/wp-content/uploads/2018/11/RAN_Perilous_FINAL.pdf
Lainnya: https://www.ran.org/wp-content/uploads/2018/11/BrokenPromises_FINAL_en_web.pdf

Forests and Finance Newsletter – Edisi Keempat

Rekan-rekan yang terhormat, 
Selamat berjumpa kembali dengan buletin Forests and Finance. Kuartal ini adalah waktu yang sangat sibuk buat kami, dan siapapun yang bekerja dalam bidang keuangan berkelanjutan di Indonesia. Tentu perhatian kita semua diarahkan kepada POJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan, yang akhirnya diluncurkan pada 20 Juli 2017. Warisan para komisioner OJK periode 2012-2017 itu pertama-tama perlu kita sambut gembira, lalu selanjutnya kita masih perlu mencari ruang untuk penyempurnaannya. Setelah POJK keluar, TuK INDONESIA yang kebetulan menerima kehadiran dua pakar keuangan berkelanjutan global itu, yaitu Myriam Vander Stichele dari SOMO dan Jan Willem van Gelder dari Profundo, mengatur dua acara agar mereka bisa berbicara kepada publik di Indonesia. Laporannya bisa dibaca di buletin ini.
Untuk mendukung POJK tersebut, itu pula TuK INDONESIA menerbitkan dalam versi Bahasa edisi Indonesia dari sebuah buklet sangat terkenal yang ditulis oleh Jan Willem van Gelder. Buklet yang aslinya berjudul “The Do’s and Don’ts of Sustainable Banking”, kini dalam versi Bahasa Indonesia menjadi “Perbankan Berkelanjutan: Apa yang Perlu Dilakukan dan yang Sebaiknya Dihindari”. Bank-bank yang hendak menapaki jalan menuju perbankan berkelanjutan, serta pemangku kepentingannya, diharapkan bisa mendapatkan manfaat dari buklet ini. Selain itu, ada juga berita soal terbitnya dokumen dari Environmental Paper Network, “In the Red: An Assessment of Bank Policies for Financing Pulp and Paper”.
Dari Eropa kita mendapatkan berita soal High-Level Expert Group (HLEG) on Sustainable Finance yang sedang mencari masukan dari para pemangku kepentingan. Artikelnya ditulis langsung oleh Myriam Vander Stichele yang adalah juga anggota HLEG tersebut. Sementara, dari Kanada kita mendapatkan berita bahwa HLEG yang sama juga dibentuk. Kedua berita itu menggambarkan bahwa, di seluruh penjuru dunia, isu tentang keuangan berkelanjutan ini terus menguat.
Newsletter edisi keempat Sept 2017

Forests and Finance Newsletter – Edisi Ketiga

Rekan-rekan yang terhormat, 
Tanggal 7 dan 8 Juli, kepala negara dari negara-negara G20 akan melakukan pertemuan antar kepala negara di Hamburg. Ini adalah pertemuan penting untuk negara-negara G20 untuk mengambil langkah tegas menuju arsitektur keuangan dunia yang lebih berkelanjutan. Dalan newsletter ini anda dapat membaca beberapa rekomendasi kami untuk Presiden Jokowi, dan tentang rekomendasi-rekomendasi yang lebih komprehensif dari C20, imbangan dari G20 dari masyarakat sipil.
Di bulan Juni kami juga memperbaharui Forest and Finance database dengan data terkini, yang menunjukkan bahwa pembiayaan untuk negara yang berisiko di sektor kehutanan terus tumbuh. Disamping itu, masyarakat meminta bank-bank untuk menghentikan pembiayaan ke perusahaan-perusahaan yang merampas tanah dan menghancurkan habitat alami mereka.
Penyandang dana terbesar dari komoditas-komoditas sector kehutanan masih belum menerapkan berbagai kebijakan dan proses yang solid untuk mengurangi berbagai risiko merugikan yang berhubungan dengan pembiayaan dari komoditas-komoditas sektor kehutanan, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, kebakaran, dan konflik masyarakat.
Salam lestari 
Newsletter edisi ketiga Juli 2017

Forest and Finance Newsletter – Edisi Kedua

Selamat bertemu kembali dengan Forests and Finance Newsletter edisi Maret 2017. Ada banyak kabar dan perkembangan menarik yang bisa dibaca pada edisi kali ini. Tulisan Jalal membuka newsletter ini dengan mendukung pernyataan Simon Zadek bahwa tahun 2016 lalu adalah Tahun Keuangan Berkelanjutan. Berbagai peristiwa di level global maupun regional memang menunjukkan hal itu. Demikian juga dengan penerbitan berbagai dokumen yang sangat penting.
Julian Muller dari Profundo menuliskan sebuah artikel bertajuk Pendekatan Regulasi untuk Keberlanjutan dalam Perbankan Komersial. Di situ dia mengungkapkan bahwa walaupun perbankan berkelanjutan didominasi oleh inisiatif yang voluntari, namun pendekatan mandatori berupa hukum juga sangatlah penting. Untuk keberhasilannya, Indonesia bisa belajar dari sesama negara yang memiliki kepedulian pada bidang ini, seperti Bangladesh. Roadmap Keuangan Berkelanjutan OJK memang adalah kemajuan yang sangat penting, namun ruang perbaikannya masih bisa ditemukan, seperti yang juga dibahas dalam artikel lainnya yang juga kami sajikan.
Keuangan berkelanjutan, kita tahu, bukan saja tentang bagaimana lembaga keuangan membiayai investasi dengan manajemen risiko yang lebih baik, namun juga tentang bagaimana bisa berinvestasi di bidang-bidang yang memajukan keberlanjutan. Kali ini, kami menyajikan juga tulisan Rahmawati Retno Winarni dan Jalal tentang ragam pembiayaan yang mungkin untuk restorasi gambut. Restorasi gambut, kita semua tahu, sangatlah penting bagi masa depan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, bila kita tidak ingin kebakaran hutan dan lahan menjadi semakin parah.
Desakan bagi Sime Darby untuk memperbaiki praktik bisnisnya juga bisa dibaca di sini. Pertama dalam tulisan Norman Jiwan, yang memaparkan studi kasus Sime Darby dan masyarakat Kerunang dan Entapang. Kedua, secara umum ada pula tuntutan agar Sime Darby menyelesaikan konflik lahannya sebelum salah satu anak perusahaannya masuk ke bursa saham. Kasus ketenagakerjaan di grup Wilmar juga dilaporkan di sini. Kabar dari korporasi lainnya berasal dari HSBC yang baru saja mengeluarkan kebijakan No Deforestation-nya. Tentu, kebijakan itu baik, serta perlu didukung dan diawasi pelaksanaannya.
Tulisan dari Vera Falinda tentang situasi mutakhir petani sawit di Kabupaten Kampar dan Siak, Provinsi Riau, juga mengisi newsletter kali ini. Tulisan itu menjadi artikel penutup, sebelum kami melaporkan tentang lokakarya kampanye perbankan berkelanjutan. Seluruhnya kami sajikan untuk memberikan gambaran mutakhir isu-isu perbankan berkelanjutan di negeri kita. Semoga seluruh pemangku kepentingan bisa mendapatkan manfaat, lalu turut serta memerbaiki situasi yang sedang kita hadapi ini.
Salam lestari
Newsletter edisi kedua Maret 2017

Kajian terhadap RUU Kelapa Sawit

Kajian ini berusaha memperkirakan dampak yang mungkin timbul akibat RUU Perkelapasawitan (selanjutnya disebut dengan RUU). Regulatory Impact Assessment (RIA) digunakan dalam studi ini, baik dari perspektif ilmu ekonomi (ekonomika) dan ilmu hukum. Pemodelan teori permainan (game theory), analisis ekonomika kriminalitas (economics of crime) dan analisis ekonomika kelembagaan diterapkan untuk analisis RIA dari perspektif ekonomika. Content analysis dengan menggunakan indikator ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, ideology), diterapkan untuk RIA dalam perspektif ilmu hukum.
 
Sub-sektor kelapa sawit adalah sub-sektor yang memiliki kontribusi tertinggi terhadap PDB dan sebagai penyumbang terbesar devisa di sektor perkebunan. Sub-sektor kelapa sawit juga merupakan penyumbang pajak dan PNBP tertinggi dibandingkan sub-sektor perkebunan lainnya. Produkvitas lahan kelapa sawit cenderung lebih produktif dibandingkan tanaman perkebunan lain seperti kopi, kakao, dan karet. Kontribusi sub-sektor kelapa sawit terhadap perekonomian Indonesia tidaklah diragukan lagi. Namun demikian perkembangan sub-sektor ini menghadapi permasalahan terkait dengan: a) alih lahan; b) kebakaran hutan dan lahan; c) konflik pertanahan; dan d) tumpang tindih lahan perkebunan dengan usaha lain.
 
Naskah Akademik RUU menilai bahwa kinerja perkelapasawitan di Indonesia masih berada di bawah Malaysia. Malaysia memiliki produktivitas perkebunan kelapa sawit yang lebih tinggi daripada Indonesia. Industri produk turunan minyak kelapa sawit di Malaysia telah berkembang dengan baik, namun industri serupa belum berkembang optimal di Indonesia. Naskah Akademik RUU juga menengarai bahwa UU 39/2014 tentang perkebunan, tidak cukup detail dan komprehensif dalam mendukung pengembangan perkelapasawitan. Atas dasar pertimbangan itulah diajukan RUU untuk menjawab berbagai masalah di bidang perkelapasawitan.
Kajian terhadap RUU Kepala Sawit

Industri Ekstraktif dan Sektor Keuangan: Menengok Masa Lampau, Menatap Masa Depan

Foto oleh Hijauku.com


Industri ekstraktif didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda.  Ada yang memasukkan segala ekstraksi (pengambilan) sumberdaya alam sebagai bagian dari industri ini; ada pula yang sekadar memasukkan pengambilan material dari dalam Bumi.  Pendapat yang belakangan ini lebih banyak dianut.  Konsekuensinya, industri ekstraktif dipandang mencakup minyak dan gas serta pertambangan saja.  Extractive Industries Transparency Initiative, sebuah inisiatif paling terkemuka di bidang ini, juga hanya memasukkan migas dan tambang sebagai bagian dari industri ekstraktif. Demikian juga ketika World Bank Group mendefinisikannya dalam Extractive Industries Review.
Dampak industri ekstraktif sendiri sudah sangat diketahui.  Sejak dekade 1990an, dunia dipenuhi dengan berbagai studi kasus dan analisis yang lebih luas tentang industri ini.  Kulminasinya adalah pada Extractive Industries Review, yang diselenggarakan pada tahun 2004.  Laporan kegiatan tersebut, Striking a Better Balance, menunjukkan bahwa industri migas dan tambang hingga periode tersebut telah menimbulkan ketimpangan dalam risiko dan manfaat.  Risiko terbesar ditanggung oleh mereka yang berada di tempat di mana sumberdaya alam diambil (masyarakat dan negara), sementara manfaat terbesar dinikmati oleh mereka yang mengambilnya (perusahaan dan investor).
Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
20180118 – Winarni, Jalal_Industri Ekstraktif dan Sektor Keuangan