Diskusi Terbatas: Wacana Keberlanjutan dan Substansi Persyaratan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam Konteks Industri Kelapa Sawit (Putaran I)

ISPO IMenurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Peraturan Menteri Pertanian terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah keputusan peraturan tentang ISPO. Kedua berisi tentang pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Ketiga adalah dokumen persyaratan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia dan peraturan pendukungnya.
Peraturan tentang ISPO terdiri dari lima pasal tetapi pasal kelima lebih merupakan ketentuan penutup. Pasal 1 Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.
Pasal 2 Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebagai dasar dalam mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.
Pasal 3 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini.
Pasal 4 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dikenakan sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV.
Dari pendahuluan di atas, TuK INDONESIA memandang perlu untuk meletakan kembali persoalan industri sawit kontemporer dalam tujuh aspek yang terkait satu sama lain.
Ketujuh aspek tersebut adalah hak asasi manusia, hak atas tanah, hak atas pemulihan (remedies), hak atas pangan, hak atas FPIC/KBDD,  resolusi konflik,  dan sumber (legalitas) TBS (Tandan Buah Segar) sah.

  1. Hak Asasi Manusia
    Merupakan hal mendasar yang semestinya menjadi esensi dan semangat dalam segala cita-cita dan sasaran pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan hidup di Indonesia sesuai dengan semangat konstitusi Indonesia.
  1. Hak Atas Tanah
    Merupakan persoalan dan tunggakan masalah mendasar bagi kehidupan dan sumber mayoritas penduduk Indonesia yang masih dominan budaya agraris. Negara diberikan mandat oleh konstitusi untuk memanfaatkan bumi dan air dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    Bahkan, secara tegas Pasal 28G Konstitusi menyatakan (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi).
  1. Hak Atas Pemulihan
    Kasus pelanggaran hak dan perampasan tanah, penolakan sawit dibalas kekerasan dan penyiksaan, penggusuran paksa, kemitraan yang buruk dan keterlibatan aparat keamanan dan pengamanan swasta adalah sejumlah cerita dimana masyarakat korban belum diberikan dan mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Sebelum dibatalkan, Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan disiapkan untuk memenjarakan rakyat petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan hak mereka. Tetapi pada saat dicabut, hak mereka yang sudah terlanjur menjadi korban kriminalisasi tidak pernah dipulihkan dan tetap tidak mendapatkan hak mereka sebagai warga negara. Dalam perspektif HAM, semestinya semua aktifitas yang berdampak buruk dan melanggar hak masyarakat harus diupayakan langkah nyata untuk menghentikan, menyelesaikan persoalan dan tunggakan masalah masa lalu dan memperbaiki praktek yang ada serta mencegah terulangnya kembali praktek-praktek perkebunan kelapa sawit yang melanggar hak dan kehidupan masyarakat. Moratorium merupakan momentum yang baik untuk melaksanakan agenda pemulihan hak masyarakat korban di Indonesia.
  1. Hak Atas Pangan
    Merupakan wacana yang bergulir dalam ragam yang unik, tergantung dimana dan oleh siapa isu tersebut dibahas. Dalam sudut pandang pemerintah, gagasan, konsep dan implementasi hak atas pangan seringkali muncul hanya dalam perspektif ketahanan pangan saja. Di sisi lain, gerakan petani dan masyarakat adat menafsirkan memandang ketahanan pangan saja tidak cukup jika tidak disertai jaminan perlindungan atas kendali sumber dan alat produksi pangan terutama benih dan tanah oleh rakyat. Seharusnya kedua konsep tersebut dapat diletakkan sebagai dua pendekatan dari sisi yang berbeda dan saling mendukung satu sama lain. Idealnya, ketahanan pangan adalah kewajiban negara dan tanggung jawab sektor swasta sekaligus atas dampak proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat yang telah dan terlanjur menyerahkan seluruh tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit baik inti maupun plasma. Gagasan dan konsep ideal kedaulatan pangan, disisi lain, seharusnya diwujudkan oleh pemerintah dan Negara bagi wilayah-wilayah yang belum beralih menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan secara de facto telah dikuasai oleh rakyat secara turun-temurun.
  1. Hak Atas FPIC/KBDD
    Merupakan prinsip dan konsep hak masyarakat adat untuk menyatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap proyek pembangunan yang akan dan berpotensi berdampak terhadap tanah dan sumber penghidupan mereka melalui sistem dan perwakilan yang mereka tentukan sendiri tanpa paksaan. Dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit khususnya pembebasan lahan, masih banyak terjadi manipulasi informasi dan intimidasi, praktek pemaksaan dan premanisme, pecah belah tokoh adat dan adu domba sesama anggota masyarakat.
    Kualitas partisipasi dan pengambilan keputusan penting terkait dengan rencana mitigasi dan pengelolaan dampak perkebunan kelapa sawit tanpa disertai dengan AMDAL yang baik dan benar, kajian dampak lingkungan dan sosial serta kajian keberadaan nilai konservasi tinggi (NKT). Seharusnya ada salinan dan informasi atas semua dokumen-dokumen terkait dengan pelaksanaan dan penerapan peraturan dan undang-undang dalam bentuk dan bahasa yang dipahami dan dimengerti oleh masyarakat terkena dampak. Situasi semacam ini semakin rumit apabila pemerintah dan pelaku usaha perkebunan tidak mendorong proses pendataan dan penataan hak milik formal dan informal secara terbuka dan bertanggung jawab tanpa proses partisipatif yang benar dan faktual objektif seperti pemetaan partisipatif bersama masyarakat.
  1. Resolusi Konflik
    Adalah bagian yang krusial dan mendesak dalam mendorong industri sawit Indonesia yang berkelanjutan, bertanggung jawab, demokratis, dan berkeadilan. Kendala utama resolusi konflik di Indonesia bisa dijabarkan dalam beberapa perspektif yakni korupsi, kolusi dan tata kelola pemerintah buruk, budaya bisnis lemah dan buruk, budaya korupsi dan kolusi, benturan budaya dan pemaksaan sistem budidaya industri pertanian terhadap sistem lokal, dll.
    Dari sekian banyak persoalan dalam mendorong prinsip dan resolusi konflik yang berkeadilan, TuK INDONESIA memandang enam pertanyaan pokok yang harus digali dan dijawab secara kritis dalam konteks ISPO di Indonesia. Pertanyaan tersebut diantaranya:
  1. Apa saja masalah dan tantangan utama dalam mendorong resolusi konflik dalam perkebunan kelapa sawit?
  2. Apakah peraturan dan kelembagaan yang ada sudah efektif untuk penyelesaian kasus pertanahan dalam perkebunan kelapa sawit?
  3. Apakah mekanisme dan proses penyelesaian sengketa pertanahan dalam perkebunan kelapa sawit sudah efektif dan memuaskan?
  4. Apakah ISPO menyediakan mekanisme dan proses, mandat dan sumber daya yang dibutuhkan dalam resolusi konflik perkebunan kelapa sawit?
  5. Mengapa ISPO diperlukan dalam mendorong resolusi konflik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan?
  6. Bagaimana ISPO bisa meningkatkan kepercayaan dan tanggung jawab dalam mendorong resolusi konflik perkebunan kelapa sawit?
  1. Sumber (Legalitas) TBS yang Sah
    Merupakan wacana yang telah bergulir sejak lama akibat keluhan petani sawit. Sah atau tidaknya buah sawit yang diproses dan diolah oleh pabrik bisa dilacak mulai dari aspek peraturan perizinan berdasarkan Permentan 26/2007, Permentan 14/2009, dan Permentan apakah buah berasal dari lahan sengketa, kebun yang dipanen ditanam dipinggir sungai, atau berada dalam kawasan hutan, tumpang tindih dengan taman nasional, dan kawasan konservasi.
    Tetapi kemudian muncul pertanyaan dari pasar bagaimana melacak sumber buah yang sah dan mematuhi hukum dan kaidah lingkungan hidup? Bagaimana dengan petani sawit pemilik kebun mandiri atau swadaya yang tidak memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB)? Apakah proses dan sistem perkebunan yang ada sekarang ini telah menjamin keadilan dalam menentukan sumber buah tidak melanggar hak petani, masyarakat adat, buruh kebun, perempuan dan anak-anak? Mampukah ISPO menjawab persoalan tersebut? Jika tidak, apa prasyarat dan bagaimana pemerintah menegakkan ISPO?

Perdebatan publik dan wacana yang bergulir saat ini lebih banyak dan cenderung mengarah pada kelebihan dan kekurangan ISPO versus RSPO. TuK INDONESIA, melihat tarik-menarik dan arah perdebatan yang cenderung terpolarisasi oleh keinginan dan posisi, suka dan tidak suka, patut diletakan kembali dalam proporsi yang tepat dan sesuai dengan hak dan kepentingan rakyat Indonesia.
Sehingga tanpa mengabaikan kepentingan dan posisi para pihak terutama penguasa dan pengusaha, bahwa TuK INDONESIA memandang perlu meletakkan kembali persoalan industri sawit kontemporer dalam tujuh aspek yang telah dijelaskan satu persatu di atas. Dan untuk mendapatkan sejumlah aspek penting dan persoalan utama tentang wacana keberlanjutan industri sawit di Indonesia dalam perspektif keadilan sosial dan lingkungan dari tujuh aspek yang sudah disebutkan di atas, maka dibuatlah diskusi terbatas ini.
Diskusi terbatas ini (putaran pertama) dilaksanakan pada tanggal 6 September 2013 di ruangan pertemuan WALHI Eknas, dihadiri oleh YLBHI, ELSAM, Greenpeace, KPA, AMAN dan TuK INDONESIA serta dipandu oleh Untung Widyanto wartawan dari Harian Tempo sebagai moderator.
Dalam diskusi terbatas ini, dari ketujuh aspek atau analisis yang telah diuraikan di atas, ada 4 aspek atau analisis yang sudah dipaparkan oleh YLBHI terkait pemulihan/remedies, kemudian KPA mengenai hak atas tanah, dan ELSAM terkait hak asasi manusia serta AMAN soal FPIC.
Mengenai pemulihan atau remedies, banyak regulasi yang mengatur mekanisme konflik baik perundangan lingkungan hidup dan tata ruang. Pelaksanaan ISPO tidak terlepas dari perizinan yang harus ada partisipasi publik, juga harus ada akses terhadap keadilan oleh masyarakat yang juga harus diberikan, untuk ISPO sendiri belum melihat seperti apa mekanismenya. Mekanisme pemulihan terhadap korban juga dapat dengan menggunakan UU Tata Ruang,
Terkait dengan Hak Asasi Manusia, ternyata masih banyak perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, sekitar 15-20 konflik yang dilakukan oleh perusahaan. Memang tujuan ISPO adalah bukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, namun untuk menanggapi kontestasi adanya gerakan menggerogoti pasar kelapa sawit.
Sementara dalam perspektif hak atas tanah, bahwa yang terpenting adalah pemenuhan hak masyarakat atas tanah kemudian penyelesaian konflik karena dalam perkebunan persoalan terbesar adalah pemberian izin HGU.
Kebijakan ISPO ini juga tidak memberikan sumbangsih bagi penyelesaian konflik agraria struktural, sehingga sepanjang kebijakan atau peraturan itu tidak sesuai dengan reforma agraria sejati maka hanya akan membuat ketimpangan yang terjadi semakin tajam dan merugikan rakyat khususnya yang terkait dengan hak atas tanah.
Dari sisi FPIC bahwa ISPO ini hanya melihat dari konteks ganti rugi saja, melihat bahwa semua tanah tersebut adalah tanah negara.

Workshop Internasional: HAM dan Agribisnis di Asia Tenggara

Group photo of the international workshop on human rights and agribusiness in Southeast Asia. Credit: Organiser

Group photo of the international workshop on human rights and agribusiness in Southeast Asia. Credit: Organiser

Montien Hotel Bangkok, 7-9 Agustus 2013. Ini merupakan pertemuan tahunan putaran ketiga sejak Bali Declaration on Human Rights and Agribusiness in Southeast Asia disyahkan di Bali, 1 Desember 2011. Workshop kali ini diselenggarakan Komnas HAM Thailand sebagai tuan rumah dan didukung oleh Forest Peoples Programme dan Rights and Resources Initiative.
Peserta workshop ada 64 orang – perwakilan lembaga HAM dari Philippines, Indonesia, Thailand, Malaysia, Timor Leste dan Myanmar dan NGO pendukung. Workshop tersebut berhasil merumuskan rencana aksi agar penegakkan HAM bisa berjalan dengan baik oleh Negara pihak dan sektor agribisnis.
Pembukaan workshop dibuka oleh ketua Komnas HAM Thailand, Prof. Amara yang menekankan pentingnya memperkuat aspek 'remedy' dalam kerangka kerja PBB untuk sektor agribisnis. Pelapor Khusus PBB untuk persoalan hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, Prof. James Anaya memberikan sambutan dan dukungan positif atas upaya pertemuan. Prof. James Anaya menyampaikan catatan beliau perihal tidak ada mekanisme yang memadai dan bertanggung jawab untuk konsultasi dengan masyarakat adat sebelum pembangunan agribisnis, dan bangga dengan peserta workshop atas usaha mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka dibawah hukum internasional.
Pada kesempatan sesi pembukaan, utusan dari Perwakilan Thailan untuk Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights/AICHR) bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkuat kerangka kerja hak asasi manusia melalui mekanisme hak asasi manusia ASEAN.
Kemudian untusan anggota Forum Tetap PBB untuk Persoalan Masyarakat Adat (UNPFii), Raja Devasish Roy menyambut hangat Outcome Statement from Alta yang dibuat oleh masyarakat adat dalam persiapan menuju Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB yang dikenal sebagai Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (World Conference on Indigenous Peoples). Dalam pemaparan materi beliau menyampaikan peran penting lembaga keuangan internasional menghargai hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk memberikan atau tidak memberikan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan atas segala tindakan yang mungkin berdampak buruk terhadap hak-hak mereka, dan negara harus menegakkan pengawasan hak asasi manusia oleh korporasi.
Peserta forum workshop menyambut baik Resolusi Dewan HAM untuk membentuk satu kelompok kerja untuk menyusun sebuah Deklarasi PBB tentang hak-hak petani dan masyarakat lainnya yang berkerja di wilayah-wilayah pedesaan.
Pada kesempat itu juga utusan dari UN Global Compact, Adrienne Gardaz memaparkan satu inisiatif baru tentang Pertanian Berkelanjutan yang mencari jawaban atas masalah global tentang bagaimana cara mendamaikan agribisnis dengan ketahanan pangan dan penghormatan bagi hak asasi manusia. Global Compact mendorong perusahaan melaporkan secara terbuka niat mereka untuk mempertahankan prinsip hak asasi manusia dalam perkembangan pelaksanaan usaha mereka. Inisiatif Global Compact adalah sukarela dan tidak mengantikan peraturan Negara dan penegakan hukum.
Pertemuan juga menyambut baik pernyataan oleh Presiden Bank Dunia, Dr Jim Yong Kim yang mengakui pentingnya peran tanah dalam pembangunan berkelanjutan, mengakui bahaya dari pembebasan lahan besar-besaran dan menjanjikan Kelompok Bank Dunia mendukung Pedoman Sukarela tentang Tata Kelola Penguasaan Bertanggung Jawab Tanah, Perikanan dan Kehutanan dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional (Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests in the Context of National Food Security).
Selama workshop, peserta mengulas dan menilai kecenderungan terkini diwilayah Asia Tenggara sebagaimana diringkas dalam sebuah laporan baru Agribusiness, Large-Scale Land Acquisitions and Human Rights in Southeast Asia. Laporan ini menjunjukan ada perbedaan nasional yang penting, tetapi tekanan atas lahan semakin meningkat diseluruh diwilayah ASEAN akibat perluasan usaha industri pertanian terjadi dimana-mana, tetapi upaya reformasi hukum dan tata kelola masih belum ada atau kurang memadai untuk memastikan eskspansi berlangsung dengan cara-cara yang menghargai dan melindungi hak asasi manusia, dan memberikan pemulihan apabila hak-hak tersebut dilanggar. Penelitian tersebut menunjukan bahwa ada masalah tidak ada jaminan kepemilikan tanah terjamin, tata kelola lahan yang aman dan perlindungan hak asasi manusia, ekspansi agribisnis besar-besaran menyebabkan masalah bahaya sosial dan lingkungan.
Sementara itu para utusan dari lembaga hak asasi manusia (National Human Rights Institutions) beberapa Negara ASEAN termasuk Timor Leste, pola pembangungan skala besar termasuk agribisnis tetapi juga tambang, minyak, gas, pembangkit listrik tenaga air dan pola pembangunan jalan, menyebabkan konflik semakin meluas. Aspek positif sisi yang menonjol adalah bahwa lembaga pemerintah semakin sadar akan banyak masalah tersebut tetapi upaya untuk perubahan dan mediasi konflik dilakukan melalui komisi yang dibanjiri membludaknya jumlah dan skala konflik. Jelaslah bahwa begitu penting menyeimbangkan tujuan pembangunan ekonomi tetapi penting untuk segera dilakukan adalah reformasi hukum dan kebijakan serta implementasi disemua negara untuk melindungi hak asasi manusia dari potensi dampak negatif agribisnis dan investasi lainnya.
Pertemuan juga mencatat dengan keprihatinan mendalam terkait beberapa laporan banyak negara aparat militer dan keamanan negara juga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan langsung didalam perusahaan mengambil tanah-tanah dari masyarakat lokal dan masyarakat adat tanpa persetujuan mereka. Selain itu peserta juga mendengarkan laporan bagaimana investasi tanah lintas perbatasan negara agribisnis dan perusahaan lainnya menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela, sehingga mendesak diperlukan adanya koordinasi antar-pemerintah regional, kolaborasi antara lembaga hak asasi manusia nasional (NHRI) dan NGO untuk mengangkat masalah ini.
Satu penilaian terhadap kinerja hak asasi manusia perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit kendati banyak kemajuan dicapai dalam menyusun standar sukarela yang mewajibkan penghormatan bagi hak asasi manusia tetapi dalam praktek banyak perusahaan masih melakukan pembebasan lahan tanpa mematuhi FPIC dan tidak menghormati hak hukum atau hak adat mereka. Ini kemudian memicu konflik tanah dan pelanggaran hak asasi manusia. Studi-studi kasus tersebut menunjukan kekurangan pada kerangka kerja peraturan Negara yang membiarkan proses-proses tersebut sehingga sulit bagi perusahaan berusaha menjalankan peraturan dengan baik.
Peserta juga membahas catatan penting mengenai kondisi buruk yang menimpa pekerja perkebunan diseluruh Asia Tenggara, khususnya para pekerja migran yang kerapkali diupah murah, kadang-kadang berkerja dalam kondisi yang menyedihkan dan banting tulang tetapi hak-hak mereka tidak dilindungi dengan memadai,khususnya apabila mereka ilegal atau tanpa status warga negara.
Dengan pertimbangan persoalan diatas, peserta forum mengusung satu rencana aksi sampai tahun depan. Rencana aksi tersebut termasuk:
Sesuai dengan Paris Principles, peserta workshop mendesak semua negara Asia Tenggara untuk membentuk Komisi Hak Asasi Manusia independen di negara masing-masing dengan anggaran dan mandat yang memadai untuk memantau dan menegakkan pernghormatan hak asasi manusia di negara masing-masing, seusai dengan kesepakatan internasional, secara khusus saat ini Singapura, Brunei Darussalam, Laos, Vietnam dan Kamboja belum ada.
Memperhatikan mandat Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN saat ini sedang dikaji-ulang dan direvisi tahun depan, peserta mendesak agar cakupan kerja diperluas dengan memasukan pemantauan kecukupan tindakan/upaya nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, pekerja, perempuan dan anak-anak dari bahaya pembebasan lahan besar-besaran.
Peserta kembali menyampaikan desakan kepada Negara untuk membentuk kerangka kerja yang efektif yang menjamin hak masyarakat atas tanah, wilayah dan sumber daya serta mewajibkan agribisnis untuk menghormati hak-hak tersebut sesuai dengan standar hukum hak asasi manusia internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Pedoman Sukarela tentang Tata Kelola Bertanggung Jawab Tanah, Perikanan dan Kehutanan dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional (Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests in the Context of National Food Security).
Peserta menyambut positif upaya oleh kalangan swasta untuk menghapus perdagangan komoditas yang dihasilkan dengan merusak (Tropical Forest Alliance) minyak sawit dan bubur dan serta kertas hingga tahun 2020, peserta mendesak rantai pasok dapat dilacak seluruhnya yang didalamnya perlindungan lingkungan sesuai dengan perlindungan komprehensif hak asasi manusia.
Pesrta juga menambahkan perlu mencari dan mendorong sistem produksi alternatif didasarkan pada jaminan hak sehingga masyarakat lokal, masyarakat adat dan petani dapat mengendalikan sumber produksi lahan dengan beragam jenis pemanfaatan.
Mencatat investasi dan pola pembangunan lahan lintas batas skala besar dan cepat dapat menambah beban lembaga nasional dan lokal untuk memastikan langkah-langkah untuk mengatur dan mengendalikan investasi-investasi sejenis dan menggalakan kerjasama erat antara lembaga hak asasi manusia dan kelompok masyarakat sipil untuk memantau kegiatan-kegiatan serupa untuk memastikan mereka memperhatikan norma hak asasi manusia internasional.
Upaya-upaya bersama diperlukan dari semua pihak untuk menyusun uji tuntas yang memadai bagi perusahaan dan investor serta bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan hak asasi mnanusia, menjalankan penilaian dampak hak asasi manusia dan menerapkan rencana untuk memastikan penghormatan hak asasi manusia dalam agribisnis yang mereka dukung, tanam modal dan sumber asal dari mana mereka memperoleh produk.
Peserta workshop juga mendesak aksi terkoordinasi antara perusahaan dan pemerintah untuk menghentikan eksploitasi pekerja, khususnya pekerja migran, perempuan dan anak-anak dalam perkebunan skala besar, dan pemerintah membuat upaya-upaya tegas untuk menghapus semua bentuk kerja paksa dan praktek perbudakan agribisnis di Asia Tenggara.
Oleh
TuK INDONESIA/Norman Jiwan