Patut Diduga Turut Bertanggungjawab Dalam Kasus Kematian Marius Betera: PT Tunas Sawa Erma Harus Melakukan Pemulihan dan Pencegahan Terjadinya Pelanggaran HAM

Pada  tanggal  16  Mei  2020,  terjadi  kekerasan  dan  penganiayaan  yang  dilakukan  seorang anggota kepolisian Republik Indonesia yang berinisial Brigadir Polisi Melkianus Yowei (MY) terhadap warga sipil Orang Asli Papua (OAP) bernama Marius Betera (MB), hingga korban MB merasakan kesakitan dan meninggal dunia setelah   kejadian kekerasan. Kekerasan dan penganiayaan  yang  dilakukan  Brigadir  Polisi  MY  tersebut  terjadi  di  kantor  perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP (Plam Oil Plantation) Blok A atau sering disebut PT TSE POP A/ Camp 19, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. PT.  TSE  merupakan  salah  satu  anak  perusahaan  PT  Korindo  Group.  Perusahaan  Korindo Group   memiliki   bisnis   perkebunan   kelapa   sawit   skala   besar   melalui   6   (enam)   anak perusahaan dan dua perusahaan pembalakan hasil hutan kayu, serta satu perusahaan hutan tanaman   industri,   yang   beroperasi   di   wilayah   pemerintahan   Kabupaten   Merauke   dan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Peristiwa  kekerasan  dan  penganiayaan  terhadap  MB  berawal  ketika  korban  mendatangi kantor  PT  TSE  POP  A  guna  menanyakan  dan  melakukan  klarifikasi  terhadap  penggusuran kebun  pisang  milik  korban  yang  diduga  dilakukan  oleh  PT.  TSE  POP  A.  Kronologi  singkat diatas  sudah  dapat  menunujukan  adanya  2  (dua)  peristiwa  hukum  yang  terjadi,  yaitu  :  1. Melalui peristiwa hukum pengrusakan kebun pisang dan mengakibatkan MB kehilangan hak memanfaatkan   hasil   kebun   menunjukan   bukti   dugaan   Tindakan   Pidana   Pengrusakan sebagaimana   diatur   pada   pasal   406   ayat   (1)   KUHP   dan   2.   Melalui   peristiwa   Hukum penganiayaan  yang  berujung  matinya  Melianus  Batera  menunjukan  bukti  dugaan  Tindak Pidana Penganiyaan Berat sebagaimana diatur pada pasal 351 ayat (3) KUHP.

Terkait insiden tersebut, dalam rilisnya PT. Korindo Group menyatakan bahwa PT. Korindo Group akan melakukan langkah-langkah aktif dalam mengatur pemakaman korban; Bekerja sama dengan masyarakat dan pihak berwenang setempat untuk melakukan penyelidikan yang menyeluruh dan teliti untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi; Membentuk badan konsultatif multilateral di mana penduduk, pemerintah daerah, organisasi lokal, dan LSM akan berpartisipasi, serta bekerja sama dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan; membuka Saluran Penanganan Keluhan untuk kasus ini.1

Berkaitan dengan insiden meninggalnya korban MB, kami menilai bahwa secara jelas PT. TSE telah mengabaikan hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia yang menyatakan bahwa “perusahaan” harus menghormati hak asasi manusia, dan semaksimal mungkin harus menghindari melakukan tindakan-tindakan yang berdampak pada hak asasi manusia seperti dialami oleh korban MB. Sebagai perusahaan, PT. TSE terikat untuk mengacu dan menjadikan instrumen-instrumen

hak  asasi  manusia  internasional  yang  telah  diratifikasi  dan  berlaku  di  Indonesia.  Termasuk instrument-instrumen dan protokol hak asasi manusia yang dibentuk Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) khususnya Konvensi ILO 169 tentang Hak Masyarakat Hukum Adat, yang secara  jelas  menyatakan  perlindungan  atas  hak-hak  masyarakat  adat  atas  wilayah  dan sumber  daya  alam  yang  ada  di  wilayahnya.  Insiden  ini  menunjukkan  juga  PT.  TSE  tidak konsisten menjalankan kebijakannya untuk perlindungan terhadap hak asasi manusia.2

Prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia menyatakan bahwa tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia mewajibkan perusahaan untuk “menghindari menjadi penyebab atau berkontribusi pada dampak buruk akibat operasional bisnis mereka terhadap hak asasi manusia, dan harus berupaya untuk mencegah atau mengurangi dampak- dampak buruk yang terkait dengan kegiatan, produk atau jasa yang terjadi dalam hubungan bisnis mereka, meskipun perusahaan tidak berkontribusi langsung terhadap pelanggaran yang terjadi”, yang dalam hal ini kekerasan dan penganiayaan terhadap korban dilakukan seorang anggota polisi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dan berpegang pada pernyataan rencana-rencana yang disiapkan PT. Korindo Group, maka kami mendesak kepada:

  1. Korindo Group segera memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia. Perusahaan harus menerapkan kebijakan hak asasi manusia dalam seluruh organisasi perusahaannya, termasuk, namun tidak terbatas pada:
    • Menjalankan sungguh-sungguh komitmen kebijakan untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi hak asasi manusia;
    • Melakukan uji tuntas hak asasi manusia untuk mengenali, mencegah, mengurangi dan melaporkan bagaimana perusahaan menangani dampak-dampak kegiatan perusahaan terhadap hak asasi manusia-dalam hal ini di wilayah Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Provinsi Papua;
    • Melakukan pemulihan atas kerugian yang dialami masyarakat adat dan masyarakat setempat, serta buruh (termasuk buruh harian lepas) di wilayah
  1. Korindo Group segera membentuk forum/badan konsultatif multilateral, harus melibatkan dan bekerjasama dengan masyarakat adat setempat, ahli-ahli hukum dan hak asasi manusia, akademisi, pemimpin agama dan ahli lainnya, organisasi masyarakat adat, organisasi buruh dan organisasi masyarakat sipil, untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam melakukan penyelidikan secara bebas atas kasus yang terjadi guna mencegah kejadian serupa dimasa depan, termasuk dalam menyikapi keluhan atas konflik di wilayah beroperasinya PT. Korindo Group;
  2. Kapolda Papua dan Kapolres Boven Digoel untuk segera usut tuntas dugaan tindakan Tindakan Pidana Pengrusakan sebagaimana diatur pada pasal 406 ayat (1) KUHP dan dugaan Tindak Pidana Penganiayaan Berat sebagaimana diatur pada pasal 351 ayat (3) KUHP yang terjadi, termasuk memeriksa keberadaan dan aktifitas PT. Korindo Group dan anak perusahaan yang beroperasi di wilayah pemerintahan provinsi Papua;
  1. Korindo Group untuk wajib melaksanakan Konvensi ILO No. 169, masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari eksploitasi wilayah adat dan sumber daya alamnya, serta berhak untuk memperoleh ganti rugi apabila terjadi kerugian akibat eksploitasi atas wilayah dan sumber daya alamnya.

 

Papua/Jakarta, 30 Mei 2020

 

Hormat kami pendukung dan penandatangan surat keterangan pers:

  1. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke
  2. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  3. Greenpeace Indonesia
  4. TAPOL, UK
  5. PapuaItuKita
  6. Eksekutif Nasional Walhi
  7. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua
  8. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua
  9. LP3BH Manokwari
  10. Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  11. Lembaga Advokasi Peduli Perempuan (ElAdpper)
  12. Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)
  13. Rainforest Action Network (RAN)
  14. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
  15. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua

 

Narahubung:

  1. Anselmus Amo, MSC (Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke) : HP. 0812 8777 8974
  2. Emanuel Gobay (Direktur LBH Papua): HP. +62 821-9950-7613
  3. Tigor G Hutapea (Yayasan Pusaka Bentala Rakyat): HP 0812 8729 6684

 

1 Lihat: https://korindonews.com/pernyataan-korindo-group/?lang=id

2 Lihat: https://www.tse.co.id/policy/

Mengapa RUU Omnibus Law Harus Dibatalkan

Coba cek ada berapa frasa demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dalam 1981 halaman naskah akademik dan 1028 halaman RUU Cipta Kerja? Hasilnya sungguh fantastis, nihil! Sejak awal dengan begitu saya katakan Omnibus Law ini cacat ideologis. RUU ini dibuat tidak untuk menjalankan amanat konstitusi, demokrasi ekonomi[1]. Jadi, Omnibus Law membunuh ekonomi kerakyatan sejak dalam pikiran!

Olah karenanya sia-sia membahas pasal per pasal. Isinya sudah pasti bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Alih-alih mendorong demokratisasi ekonomi, Omnibus Law pasti akan mendorong korporatokrasi. Dan benar saja, isi Omnibus Law memberi solusi dominan bagi penciptaan lapangan kerja, investasi.

Lewat pintu manalagi investor menguasai SDA, buruh murah, pasar, dan infrastrutur selain investasi?[2] Sedangkan jebakan utang (debt-trap) sudah aman sejak jauh-jauh hari. Maka 1028 halaman Omnibus Law dipenuhi upaya bagaimana penyediaan lahan, peluang bisnis, serta pasar tenaga kerja yang fleksibel bagi kepentingan investor. Dan 7 juta pengangguran pun dijadikan alasan pembenar.

Maka kita pun perlu bertanya, investor yang mana? Sedangkan 97% lapangan kerja disediakan oleh ekonomi rakyat, yang sering disebut UMKM[3]. 87% lapangan kerja disediakan oleh Usaha Mikro, yang merupakan 98% dari pelaku usaha di Indonesia. Konsep UMKM lebih disukai untuk menjauhkan ekonomi dari kata rakyat. Mungkin dianggap berbahaya?[4].

Ekonomi rakyat menyumbang 60% produksi nasional (8200 trilyun), sekaligus 50% investasi nasional (400 trilyun). Meskipun yang tidak tercatat tentu jauh lebih besar. Maka kekuatannya untuk menciptakan lapangan kerja sudah barang tentu jauh lebih besar daripada investasi skala besar. Lalu mengapa Omnibus Law hanya menyediakan 24 pasal dalam 7 halaman dari total 1028 halaman keseluruhan?

Bahkan dalam masa krisis moneter 1997/1998 di saat segelintir oligarki usaha besar merampok APBN melalui BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan[5], ekonomi rakyat terbukti berdaya tahan tinggi dan berjasa besar. Tetap menjadi solusi lapangan kerja di saat banyak perusahaan besar kolaps dan para pekerjanya terkena PHK dan dirumahkan.

Dan kini pandemi Covid-19 diperkirakan menambah jumlah pengangguran antara 2,9 juta-10 juta orang. Mengharap investasi besar tentu saja tidak masuk akal. Di saat normal saja 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 270.000 tenaga kerja baru, apalagi disaat pandemi sekarang[6]. Terbukti lagi di kala krisis perspektif Omnibus Law berbahaya dan tidak dapat diandalkan.

Pandemi membuat ekonomi Indonesia di persimpangan jalan. Tetap melanggengkan korporatokrasi yang memusatkan penguasaan 68% tanah dan 50% kekayaan hanya pada 1% elit oligarki ataukah berputar haluan, kembali ke jalan ekonomi kerakyatan? Pengalaman krisis moneter dimana ekonomi rakyat menjadi penyelamat ekonomi nasional kiranya akan berulang.

Bukan saja itu. Pandemi menjadi momentum untuk menjalankan amanat konstitusi, meningkatan kontroll dan daulat rakyat atas perekonomian. Sepertihalnya konfederasi koperasi tani di Jepang yang menguasai hulu sampai hilir pertanian di Jepang. Begitupula 500.000 pekerja Singapura yang di Fairprice cooperative menguasai 58% pangsa ritel negaranya.

Demikian halnya koperasi petani di negara-negara Skandinavia yang memaksa konglomerat bertuekuk lutut dihadapan mereka. Pun serikat-serikat rakyat yang menguasai 80% keuangan dan perbankan di Jerman, serta para pelaku ekonomi rakyat Prancis yang memiliki bank terbesar kedua di negaranya.

Seperti pula 13 juta pekerja di Amerika yang sudah memiliki saham di tempat bekerjanya. Sama halnya dengan 80.000 pekerja di Mondragon, Spanyol yang mengendalikan koperasi produksi, bank, asuransi, ritel, bahkan memiliki Universitas sendiri di kota tersebut. Dan masih banyak praktek nyata ekonomi kerakyatan berskala nasional.

Apa yang terjadi di negara-negara tersebut dan bagaimana mencapainya sudah diletakkan dasar-dasarnya sejak 75 tahun lalu oleh para pendiri bangsa kita di dalam UUD 1945[7]. Pandemi ini mestinya menjadi momentum untuk melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan. Melalui penguatan ekonomi rakyat[8] niscaya di balik musibah pandemi ini ada berkah bagi bangsa Indonesia ke depan.

Dan kita bisa mulai dari batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sekarang!

 

Yogyakarta, 4 Mei 202

Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Keterangan:

[1] Cek Pasal 33 UUD 1945 masih utuh persis sama isinya sejak 1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ekkeluargaan”. Selama isinya masih utuh maka tafsirnya dapat merujuk pada bagian Penjelasan (meskipun sudah dihapus) yang berbunyi: “dalam pasal ini tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.

[2] Sejak era kolonial, orde baru, dan pasca reformasi skema ini terus saja dilanjutkan, yang oleh Sukarno duseh disebut sebagai ciri-ciri ekonomi yang berwatak kolonial

[3] Di Barat disebut Small Medium Enterprises (SME’s), karena tidak mewakili kondisi struktur pelaku ekonomi Indonesia maka ditambah istilah baru Usaha Mikro.

[4] UMKM lebih atomis parsial, sedangkan ekonomi rakyat cenderung kolektif dan memiliki potensi pengorganisasian. Jika ada ekonomi rakyat, maka ada pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, industri rakyat, yang biasanya beroposisi dengan oligarki perekonomian. Maka harus dipastikan ekonomi rakyat, sebagai tenaga penggerak ekonomi kerakyatan juga tetap terbunuh sejak dalam pikiran.

 

[5] Mode ini selalu berulang disaat krisis, banyak usaha besar yang memanfaatkan kesempatan, berakibat Indonesia berada dalam jebakan utang (debt-trap) yang semakin berkepanjangan.

[6] Jumlah investasi sebesar 800 trilyun baru mampu menyerap 1, 034 juta tenaga kerja baru, dan kemampuan penyerapannya cenderung menurun setiap tahun pasca revolusi industri 4.0

[7] Pasal 31 menjadi dasar bagi pembangunan manusia sebagai modalitas pertumbuhan berkualitas yang selain menciptakan lapangan kerja juga melestarikan lingkungan dan memeratakan perekonomian. Pasal 33 ayat (1) menjadi dasar bagi penguatan organisasi ekonomi rakyat dan koperasi. Pasal 33 ayat (2) dan (3) menjadi dasar bagi penguasaan negara atas kekayaan alam dan cabang produksi strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, serta peran negara dalam perekonomian, baik melalui kebijakan maupun kelembagaan BUMN, BUMD, dan BUMDes

[8] Pada masa pandemic konomi rakyat dan koperasi  tidak saja perlu bantuan/insentif, melainkan perlu dukungan pengembangan SDM, organisasi, teknologi, TI, jaringan, infrastruktur, dan koneksitas dengan perguruan tinggi. Baca tulisan saya “Pancasila di Tengah Corona”

Pancasila di Tengah Pandemi Corona

Banyak orang kehilangan pekerjaannya setelah corona.  Untuk itu telah disiapkan, diantaranya Kartu Pra-Kerja. Kalau tidak berubah, total dananya sekitar Rp 20 trilyun, untuk 5,6 juta peserta. Masing-masing akan memperoleh sekitar 3,55 juta, dengan 1 juta berupa pelatihan dan 2,4 juta berupa insentif, bantuan sosial, dan sejenisnya.

Pelatihannya jadi kontroversi, sampai-sampai salah satu staf-sus mengundurkan diri.  Cash transfer dianggap lebih tepat di tengah pandemi corona.

Dalam situasi sulit ini bantuan sosial dan insentif banyak manfaatnya. Namun, masalah ekstrim memerlukan solusi ekstrim pula. Seperti beberapa ini ini contohnya. Lingkungan kerja buruk, jam kerja panjang, dan upah murah yang menekan daya beli pasca revolusi industri melahirkan perusahaan ritel yang dimiliki pekerja Rochdale di Inggris pada tahun 1844.

Ini pula yang dilakukan setengah juta pekerja Singapura, ketika krisis minyak dan inflasi tinggi pada tahun 1970-an menghimpit kehidupan mereka. Krisis tersebut membuat mereka memiliki koperasi ritel yang kini menguasai lebih dari 58% pasar ritel disana.

Seperti juga kemiskinan parah yang diderita petani di Wayerbusch, Jerman pada tahun 1847 karena jerat lintah darat di desa mereka. Atas inisiasi Walikota Raiffeisen, lahir koperasi kredit yang dimiliki petani disana.

Demikian halnya, perempuan pengrajin miskin yang dihisap rentenir di Bangladesh pada tahun 1975. Atas kepeloporan professor ekonom Muhammad Yunus dan asisten mahasiswanya. lahir Grameen Bank, bank yang dimiliki oleh tak kurang 9 juta perempuan miskin yang tak punya modal sebelumnya,

Begitu pula kehancuran ekonomi pasca perang saudara di Spanyol tahun 1936-1939 telah melahirkan koperasi pekerja di salah satu kotanya, Mondragon, atas inisiatif Ariezmandietta dan murid-muridnya. Koperasi yang menjalankan usaha bank, asuransi, pabrik, ritel pangan, dan perguruan tinggi ini dimiliki kurang lebih 75.000 pekerjanya.

Dan masih banyak lagi cerita serupa. Kesulitan sosial ekonomi melahirkan visi besar, yang dengan persatuan dan militansi perjuangan terwujud menjadi nyata.

Dan kita berada dalam momentum serupa. Kita punya modalitas besar salah satunya dana trilyunan Kartu Pra-Kerja. Bantuan sosial tentu akan membantu pekerja melewati masa-masa sulit pandemi corona. Namun, apakah tatanan sosial-ekonomi akan berubah lebih baik bagi mereka sesudahnya? Setelah itu jutaan pekerja Indonesia akan punya apa?

Seperti juga rumus di awal tadi, untuk membantu yang tidak berpunya, maka mesti dibuat supaya menjadi berpunya. Untuk berpunya itu maka mesti bersatu.

Visi besar para pemimpin dan pekerja penerima Kartu Pra-Kerja kiranya akan menentukannya. Untuk itu, selain bantuan sosial diperlukan juga ”bantuan struktural” bagi pekerja terdampak corona. Bagaimana bisa?

Yah, bisakah dari total 20 trilyun atau setidaknya dari total 5,6 trilyun dana Kartu Pra-Kerja tersebut ada yang dialokasikan dalam bentuk saham (share) bagi pekerja penerimanya? Semisal dari total 3,55 juta yang akan diterima pekerja dialokasikan sebesar 300 ribu per pekerja saja maka akan terkumpul sebesar 1,68 trilyun. Dan akan ada sejarah baru, perusahaan yang dimiliki oleh 5,6 juta calon pekerja/pekerja Indonesia!.

Jika dikalkulasi berdasar jumlah pekerja korban PHK pasca corona sekitar 2 juta orang, maka dengan share semisal 300 ribu per pekerja tersebut pun akan tersedia 600 milyar. Selebihnya dana kartu pra-kerja dapat dialokasikan sesuai kebutuhan faktualnya.

Lalu perusahaan apa sebaiknya?

Soal ini bisa menggali masukan dari banyak pihak. Bisa jadi perusahaan yang produk atau jasanya sangat dibutuhkan selama pandemi corona dan sesudahnya, sepertihalnya perusahaan logistik, baik logistik medis (APD, masker, handsanitizer, ventilator, obat, dsb) maupun logistik pangan yang dapat dikerjasamakan dengan para petani dan pedagang pasar tradisional.

Bisa jadi perusahaan aplikasi belajar yang dibutuhkan pekerja, perusahaan pemasaran online, atau perusahaan ritel yang produknya dibutuhkan pekerja dan masyarakat pada umumnya.

Dan Ini mesti perusahaan sosial yang business core-nya membantu usaha-usaha ekonomi rakyat (UMKM) baik dari sisi produksi, packaging, pemasaran, inovasi, dan kebutuhan lainnya. Pun perusahaan yang membuat para pemegang kartu pra-kerja dapat menyalurkan seluruh bakat, potensi, dan skillnya, serta dapat ikut bekerja dan berjuang membesarkan perusahaannya.

Bagaimana manajemennya? Yah, pasti banyak di antara pemegang kartu pra-kerja yang punya talenta manajerial juga. Tentu perlu bekerjasama dengan kampus-kampus yang punya banyak ahli di bidang manajemen bisnis, koperasi, ketenagakerjaan, IT, agroindustry, dan berbagai bidang keilmuan lainnya.

Ditambah lagi banyak koperasi yang mestinya diajak bermitra usaha sesuai core bisnis dan kebutuhan yang ada. Dan pasti butuh dukungan dari banyak pegiat komunitas dan perusahaan sosial yang sudah ada.

Apakah perusahaan hanya boleh dimiliki pemegang kartu pra-kerja? Tentu saja tidak. Siapapun yang mempunyai visi dan keterlibatan nyata dalam memajukan ekonomi rakyat Indonesia bisa peran serta. Bisa petani, pengrajin, pedagang, tukang becak, driver ojol, kaum miskin kota, mahasiswa, dan pelaku ekonomi rakyat (UMKM) terdampak corona lainnya.

Sekira sebagian dari bantuan sosial bagi mereka bisa dialokasikan berupa bantuan politik-ekonomi juga, maka tinggal share senilai yang sama dengan pemegang kartu pra-kerja. Mereka sudah menjadi bagian dari pemilik perusahaan yang sama.

Demikian jika bisa maka kartu pra-kerja akan juga menjadi kartu pemilikan perusahaan bagi pekerja terdampak corona. Dengan begitu musibah ini bisa jadi berkah juga bagi mereka ke depannya. Kehilangan pekerjaan, tetapi mendapatkan perusahaan!

Seperti ditulis dimuka masalah ekstrim perlu solusi ekstrim pula. Tentu kemudian butuh perencanaan detail, kerja keras, dan konsistensi perjuangan semuanya.

Yah, mungkin saja ini juga maksud pesan Presiden bahwa kita harus bergotong royong menghadapi pandemi corona, yang kita diminta untuk berinisiatif menafsirkannya. Kalau itu benar, maka kelak kita ingat bahwa saat pandemi corona melanda dunia, Pancasila menunjukkan lagi kesaktiannya.

 

Yogyakarta, 22 April 2020

Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

SIARAN PERS: Omnibus Law Melanggengkan Kuasa Korporasi, Membunuh Ekonomi Kerakyatan

Jakarta, 4 Mei 2020, Setelah puluhan tahun tata kelola dan penegakan hukum yang lemah, ditambah dengan pertumbuhan cepat sektor kehutanan dan perkebunan Indonesia mengakibatkan persoalan ekonomi yang berakar. Pemerintah berencana mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah kondisi wabah Covid-19 yang menyebabkan perekonomian Indonesia babak belur. RUU ini seolah-olah menafikan adanya persoalan ekonomi yang mencakup kerugian pendapatan pemerintah akibat kepemilikan tanah dan sumber daya yang terkonsentrasi secara ekstrem oleh segelintir taipan dengan koneksi politik. 

“RUU Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena jelas-jelas memberikan jalan mulus untuk terjadinya liberalisasi agraria. Padahal kita tahu, Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) secara tegas menyatakan bahwa tanah juga memiliki fungsi sosial agar tidak 100 persen dikomodifikasi,” ungkap Bayu Eka Yulian, Peneliti Pusat Studi Agraria IPB. Kapital besar dalam melancarkan bisnisnya akan memerlukan tiga variabel yaitu (1) lahan murah; (2) tenaga kerja murah; dan (3) faktor supra ekonomi (politik/kebijakan). “RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyediakan semuanya itu. Seperangkat kebijakan disiapkan untuk memfasilitasi investasi kapital besar terutama yang terkait land based business, misalnya melalui kebijakan HGU yang didukung dengan kelembagaan Badan Bank Tanah. Kedua instrumen ini yaitu HGU dan Badan Bank Tanah adalah kombinasi yang sempurna sebagai penyedia lahan mudah dan “murah” bagi kapital untuk melipatgandakan  kapitalnya. RUU Cipta Kerja ini, sebenarnya adalah RUU Cipta Investasi, karena semua energi dalam RUU tersebut diarahkan untuk mempermudah investasi. Lalu masyarakat desa-desa sekitar HGU menjadi tenaga kerjanya (buruh)”, tambah Bayu. 

Saat ini hutan di Indonesia ditebangi untuk komoditas seperti kelapa sawit, pulp atau bubur kertas, kertas oleh perusahaan multinasional yang menyediakan permintaan pasar untuk produk-produk tersebut, didukung dengan pembiayaan untuk kerusakan mengalir dari bank besar di seluruh dunia. Laporan Rainforest Action Network mengungkap bagaimana masing-masing merek dan bank saling terkait dan bagaimana perusahaan kehutanan dan agribisnis diketahui secara aktif menyebabkan, atau berkontribusi pada, deforestasi dan pelanggaran HAM di Indonesia. Baik perusahaan merek-merek global, produsen serta perbankan bertanggung jawab dan bergantung pada peran satu sama lainnya dalam lingkaran kehancuran ini.

Menurut Awan Santosa, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, “Sistem ekonomi Indonesia yang nyatanya hanya memperkuat pemberian lahan untuk korporasi, justru rentan menghadapi krisis ekonomi global seperti saat ini. Padahal negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola produksi dan aset strategis nasional penting, peranan swasta hanya dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak sesuai dengan amanat konstitusi kita. Namun jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka akan kembali pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindas pemerintah dan korporasi asing.”

Sumbangan ekonomi dari sektor kehutanan dan agribisnis juga semakin diperkecil oleh efek jangka panjang drainase lahan gambut, yang menyebabkan subsidensi tanah, kebakaran lahan dan asap lintas negara. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sebesar 5 milyar USD pada 2019 dan 16 miliar USD pada 2015 akibat kebakaran hutan, jauh sebelum terjadinya wabah, namun masalah ini ditambah kondisi pandemi rupanya tidak cukup memberikan pelajaran kepada pemerintah bahwa sistem ekonomi yang berjalan selama ini sangat rentan untuk terus dilanjutkan. 

Herwin Nasution Ketua Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) menjelaskan bahwa korporasi kerap mengambil kesempatan situasi wabah ini untuk cuci tangan. Seperti London Sumatra, anak korporasi Indofood yang memberhentikan ratusan buruh kelapa sawit dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan buruh harian lepas serta menolak memberikan pesangon atas dasar status kerjanya. Buruh yang tidak diberhentikan kerja bahkan harus bekerja lebih keras dengan target yang lebih tinggi serta penambahan tugas dan luasan areal kerja. Buruh-buruh ini bekerja dalam tekanan rasa takut; takut terpapar dan takut lapar akibat kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tidak kunjung memberikan alat pencegahan dan fasilitas kebersihan yang memadai di tengah situasi wabah Covid-19. Mereka tidak diberikan masker, tidak disediakan tempat cuci tangan di tempat kerja, tidak ada aturan terkait pembatasan sosial, tidak ada pemberitahuan dan arahan kesehatan dan keselamatan kerja dalam kondisi wabah dari perusahaan.

“Omnibus Law penuh dengan kepentingan investasi, mengandalkan korporasi besar untuk menjawab persoalan kesejahteraan buruh. Apabila RUU ini disahkan, akan meminimalisir perlindungan buruh dan berakibat fatal bagi buruh kelapa sawit sebagai salah satu golongan buruh yang telah menopang ekonomi Indonesia selama satu abad. Ini terbukti ketika krisis seperti wabah Covid-19 melanda, buruh yang pertama menjadi korban,” Herwin menambahkan.

Dalam situasi wabah seperti ini terbukti bahwa korporasi tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya dengan banyaknya buruh yang mengalami PHK atau dirumahkan tanpa gaji. Banyak dari mereka kehilangan mata pencahariannya di kota dan terpaksa harus kembali ke kampung halamannya. Ironisnya ketika mereka kembali ke kampung, mereka harus dihadapi dengan masalah yang sama, sektor pertanian yang merupakan penggerak utama perekonomian kampungnya kini telah menjadi cerita masa lalu, tiada ada lagi lahan yang tersedia karena sudah dikuasai perusahaan yang berada dibawah kendali aktor-aktor politik daerah maupun nasional.

“Kian terpuruknya ekonomi saat wabah melanda membuktikan sistem ekonomi Indonesia tidak kuat menghadapi krisis. Pemberian lahan seluas-luasnya dalam jangka panjang kepada korporasi, sama dengan mematikan desa dan membuat daya lenting rakyat semakin kecil,” ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. Demand dan pasar adalah penentu bisnis hari ini. Kedepan, apabila Covid-19 berakhir tuntutan akan penegakan prinsip investasi keberlanjutan diperkirakan semakin kuat. “Segala macam bentuk investasi tidak bisa lagi abai terhadap lingkungan dan sosial serta menerapkan model business as usual. Maka sepatutnya Indonesia memperhitungkan ulang apabila hendak memberikan dukungan dan kemudahan kepada investasi-investasi yang tidak menerapkan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan,” pungkas Edi.

***

Kontak narasumber:

  • Bayu Eka Yulian, Peneliti Pusat Studi Agraria IPB: ([email protected];  0811-535-444)
  • Awan Santosa, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM: ([email protected]; 0812-2885-9792)
  • Herwin Nasution, Ketua SERBUNDO/Direktur Eksekutif OPPUK: ([email protected]; 0822-6733-5183)
  • Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan INDONESIA: ([email protected]; 0877-1124-6094)