Konferensi Pers: Keterlibatan Bank dalam Pembiayaan Tambang yang Merusak Lingkungan dan Melanggar HAM

 

Hasil temuan terbaru kami di dalam dataset Forests & Finance mengungkapkan besarnya dana investasi dan kredit yang disalurkan kepada 24 perusahaan tambang yang beroperasi di tiga wilayah hutan tropis terbesar di dunia. Kegiatan pertambangan untuk industri membawa berbagai dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan di seluruh dunia serta menjadi pendorong deforestasi yang cukup signifikan di kawasan tropis. Temuan kunci kami menunjukkan bahwa bank dan investor mengucurkan kredit sebesar 37,7 miliar dolar AS selama tahun 2016-2021, di mana 43% di antaranya (16 miliar dolar AS) digelontorkan pada perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain itu, investor telah memiliki aset lebih dari 61 miliar dolar AS dalam bentuk saham dan obligasi di perusahaan tambang yang menjadi objek penelitian ini.
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mengundang rekan–rekan jurnalis kiranya berkenan bergabung dan meliput konferensi pers terkait “Keterlibatan Bank dalam Pembiayaan Tambang yang Merusak Lingkungan dan Melanggar HAM”. Konferensi pers ini akan dilaksanakan pada:

Hari/tanggal: Rabu, 20 April 2022

Pukul: 13.00–14.30 WIB

Media: Via Zoom, ID: 818 7553 2558, pass: miningdata, https://us02web.zoom.us/j/81875532558?pwd=ZWh4V3czOFBHQXoxMDJXOXl5TGl2QT09

Bersama para panelis:
  1. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  2. Hadi Jatmiko, Kadiv Kampanye WALHI Eknas
  3. Andriansyah Manu, Direktur Celebes Bergerak
Dan, penanggap:
Bhima Yudhistira, Direktur Celios

DISKUSI PUBLIK; Mendulang Cuan, Merisikokan Hutan?

Publikasi dan Analisis Data Terbaru Laman forestsandfinance.org

Koalisi Forests and Finance, yaitu: Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia (SAM) dan Friends of the Earth AS selama ini menyoroti peran lembaga jasa keuangan (LJK) terkait deforestasi hutan tropis. Koalisi ini beserta jaringan kerjanya berusaha untuk mendorong munculnya kebijakan dan sistem pada LJK yang lebih baik yang mencegah LJK ikut mendanai bisnis yang melibatkan pelanggaran lingkungan dan sosial dari nasabah/calon nasabah mereka.

Data terbaru yang tersaji dalam laman forestsandfinance.orgi menunjukkan, skor kebijakan rata- rata 50 lembaga keuangan terbesar yang mendanai sektor yang merisikokan hutan tropis secara global hanyalah 2,3 dari 10. Padahal, secara kolektif lembaga-lembaga ini menyumbang USD 128 miliar dalam bentuk kredit dan penjaminan (2016-2020) dan USD 28 miliar melalui kepemilikan saham dan obligasi, per April 2021. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan yang merisikokan hutan tidak melalui proses penapisan sosial dan lingkungan “di atas meja”, lebih-lebih verifikasi lapangan atas standar nasabah yang dibiayainya. Maka menjadi hal yang lazim ketika LJK tidak dapat mengidentifikasi, menilai, atau mengelola risiko LST dalam portofolio mereka. Situasinya seperti ini: Jelaslah bahwa korporasi membutuhkan pembiayaan dari LJK; namun di sisi lain; LJK hampir tidak pernah menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong berhentinya deforestasi hutan tropis.

Ketika hampir semua sektor usaha terdampak oleh Covid dan mem-PHK karyawannya, sektor kehutanan dan perkebunan seperti tidak terdampak oleh hal ini; mereka kemudian muncul sebagai industri yang dapat menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi. Sektor bisnis “darling”-nya pemulihan ekonomi ini padahal telah lama mempertaruhkan kelestarian hutan. Sektor-sektor ini bisa lebih kuat posisisinya untuk melawan peraturan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (LST/ESG) yang lebih baik, atau mendorong deregulasi dengan alasan perlunya pemulihan ekonomi. Narasi yang sama telah mendorong munculnya deregulasi di bawah Omnibus Law.

registrasi : bit.ly/TUKINDONESIA

Seminar Nasional “Meneropong Tahun 2022: Peran Negara dan Tata Kelola SDA untuk Kesejahteraan Warga di Banggai, Sulawesi Tengah”

Memahami pentingnya SDA berkelanjutan dalam mendukung dan menopang sektor SDA untuk kemakmuran rakyat Indonesia khususnya di Banggai, akan diulas dalam Seminar Nasional bertajuk Meneropong Tahun 2022: Peran Negara dan Tata Kelola SDA untuk Kesejahteraan Warga di Banggai, Sulawesi Tengah, pada Kamis, 17 Februari 2022 di Hotel Swiss Bellin Luwuk, pkl 8-13 WITA.

Bersama:
1. Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua KPK RI
2. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
3. Dr. Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB
4. Taufik Bidullah, M.Si, Rektor Untika Luwuk

*Live streaming YouTube: Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Salam,
IPB – Untika – TuK INDONESIA

TuK Indonesia Identifikasi Beragam Tantangan Kebijakan Taksonomi Hijau

*Dapatkan resolusi infografis yang lebih baik pada tautan berikut ini : Infografis Taksonomi Hijau 

(dikutip dari hukumonline.com)

Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Pemerintah terus menggulirkan beragam kebijakan terkait pembangunan berkelanjutan, salah satunya Taksonomi Hijau (edisi 1.0). Dalam dokumen tersebut Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, berharap Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan insentif dan disinsentif dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk OJK.

Dokumen ini juga sebagai pedoman untuk keterbukaan informasi, manajemen risiko dan pengembangan produk dan/atau jasa keuangan berkelanjutan yang inovatif bagi sektor jasa keuangan (SJK) dan emiten. “Pengembangan Taksonomi Hijau Indonesia diharapkan dapat memberikan gambaran atas klasifikasi suatu sektor/subsektor yang telah dikategorikan hijau dengan mengadopsi prinsip berbasis ilmiah. Ini bertujuan untuk menghindari adanya praktik greenwashing,” kata Wimboh dalam dokumen Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0.

Wimboh menyadari implementasi kebijakan ini akan menghadapi tantangan, antara lain berkaitan dengan kebutuhan pemahaman dan pendekatan yang beragam dalam penentuan ambang batas kriteria hijau. Dia menyebut Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 ini sebagai living document. Sehingga akan mengalami perubahan bila ada tambahan atau pengurangan sektor ekonomi yang memenuhi kriteria hijau yang disebabkan penambahan kegiatan usaha baru, perubahan standar dan kebijakan, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.

Dalam dokumen itu disebutkan Taksonomi Hijau sangat penting karena dapat memberikan pemahaman lebih baik dan memudahkan SJK dalam mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan portofolio produk dan/atau jasa keuangan. Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Edi Sutrisno, mengapresiasi peluncuran Taksonomi Hijau oleh OJK dan melihat ada tantangan serta peluang dalam pelaksanaannya ke depan. Kebijakan ini diharapkan menjadi acuan dalam menyusun kebijakan isentif dan disinsentif dari berbagai lembaga terutama OJK. Dia melihat kebijakan ini terkait dengan langkah pemerintah belum lama ini yang mengklaim telah mencabut ribuan izin mulai dari sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.

Menurut Ed, Taksonomi Hijau menganut 4 prinsip meliputi investasi bertanggung jawab; strategi bisnis berkelanjutan; risiko sosial dan lingkungan hidup; dan tata kelola. Pencabutan izin lahan sektor kehutanan sebesar 3,1 juta hektar pada tahun lalu sebagai bagian dari prinsip tata kelola dalam Taksonomi Hijau. “Ini tantangan bagi Taksonomi Hijau jika dihubungkan dengan pencabutan izin,” kata Edi Sutrisno dalam diskusi secara daring, Kamis (20/1/2022) kemarin.

Edi mencatat pemerintah telah mencabut sedikitnya 192 izin di sektor kehutanan, paling banyak terkait izin pelepasan kawasan hutan. Ketika izin pelepasan kawasan hutan, muncul pertanyaan bagaimana dengan HGU di atas kawasan tersebut apakah ikut batal atau bisa lanjut. Dari berbagai perusahaan yang izinnya dicabut itu selama ini menerima penyaluran dana dari bank sebesar 26,6 miliar Dollar AS. Dari total kredit yang dikucurkan itu 30 persen berasal dari bank lokal. Selain itu, sebanyak 1,25 miliar Dollar AS dikucurkan oleh investor kepada grup perusahaan yang izinnya dicabut itu.

Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Menurutnya, Taksonomi Hijau dibutuhkan salah satunya untuk monitoring secara berkala penyaluran kredit dan investasi di sektor hijau. Taksonomi Hijau ini mentargetkan SJK, investor, dan pemerintah agar memiliki pemahaman yang baik tentang kebijakan ini. Tantangan lainnya yakni sinergi antar lembaga dan transparansi. Misalnya, ketika lembaga jasa keuangan dan investor tidak mengetahui pencabutan izin yang dilakukan pemerintah, dan perusahaan yang dicabut izinnya itu terus mendapat pembiayaan. Hal tersebut berisiko besar bukan hanya untuk sektor keuangan, tapi juga sektor lainnya.

Tantangan berikutnya terkait rencana pembangunan daerah dimana sektor jasa keuangan hampir tidak pernah dilibatkan. Edi mengatakan sektor jasa keuangan perlu dilibatkan agar paham daya dukung lingkungan di wilayah tersebut sebelum ada investasi hijau yang masuk.

Dalam implementasi Taksonomi Hijau, Edi merekomendasikan OJK melakukan pengawasan, koordinasi, dan perencanaan strategis. Taksonomi Hijau tak bisa lepas dari Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan dan beberapa regulasi terkait lainnya. OJK bisa membangun koordinasi antar kementerian dan lembaga untuk menggulirkan kebijakan ini.

Dia melihat OJK belum menetapkan target dari Taksonomi Hijau ini, untuk saat ini fokusnya masih pada tahap sosialisasi. TuK Indonesia akan memantau dan melakukan tinjauan terhadap laporan keberlanjutan sektor jasa keuangan terutama perbankan.

Taksonomi Hijau ini berkaitan dengan komitmen pemerintah menurunkan tingkat emisi dan peta jalan yang disusun OJK. Kendati Ketua OJK menyebut Taksonomi Hijau sifatnya voluntary atau sukarela, tapi sebenarnya ada beberapa prinsip yang sifatnya legally binding atau mengikat karena selama ini telah diatur seperti dalam Peraturan OJK dan peraturan pemerintah lainnya. Misalnya, ISPO yang menekankan keberlanjutan di sektor kelapa sawit.

 

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.

Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.

Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.

Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.

Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.

Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.

 

Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal

Kontribusi Sawit untuk Penerimaan Negara dan Pendapatan Daerah di Provinsi Jambi Belum Optimal

 

Bogor dan Jambi, 31 Agustus 2021. Potensi pajak PBB dan PPN dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi diperkirakan mencapai 3 triliun rupiah pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan target perolehan pajak PBB dan PPN Provinsi Jambi untuk seluruh sektor. Bahkan, jauh lebih tinggi dari nilai realisasinya untuk seluruh sektor. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.

 

Hari ini, TuK INDONESIA dan WALHI Jambi meluncurkan laporan berjudul Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi. Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.

 

“Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah”, ungkap Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA. 

 

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Rudiansyah, tim riset, mengungkapkan “Sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.”

 

“Hasil pemantauan kami selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi. Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan,” ungkap Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi. 

 

Menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi sangat penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. “Kami berharap laporan ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah”, pungkas Linda.

 

Selain itu juga institusi pajak dan badan pengelolaan keuangan daerah harus bisa menyajikan data potensi pajak di sektor perkebunan sawit yang bersinergi dengan institusi pengelolaan teknis perkebunan sawit, agar target dan realisasi pendapatan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa berkontribusi besar terhadap pembangunan daerah. 

 

***

 

Narahubung:

Linda Rosalina, Pengkampanye TuK INDONESIA, [email protected], 081219427257

Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi, WALHI Jambi, [email protected], 082180304458

Rudiansyah, tim riset, [email protected], 081366699091

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA

Masyarakat Sipil Menuntut Bank Danamon Ikut Bertanggung Jawab terhadap Krisis Iklim

Aksi mengirimkan kado dan karangan bunga menuntut Bank Danamon untuk berhenti mendanai perusahaan yang merusak hutan, menyebabkan krisis iklim dan melanggar HAM

 

Jakarta, 25 Agustus 2021. Masyarakat sipil menuntut peran progresif perbankan agar lebih bertanggung jawab dan berperan aktif dalam menghentikan krisis iklim. Aksi ini menindaklanjuti laporan terbaru Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang memberikan “peringatan untuk kemanusiaan” (code red for humanity). Laporan tersebut memprediksi bahwa bumi akan mengalami kenaikan suhu rata-rata yang melampaui batas aman lebih cepat dari yang diperkirakan. Ironisnya dalam lima tahun sejak Perjanjian Paris, 60 bank terbesar di dunia telah mendanai bahan bakar fosil hingga $3,8 triliun. Pendanaan yang tidak terkendali untuk ekstraksi bahan bakar fosil dan infrastruktur ini telah memicu krisis iklim dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang. 

 

“Krisis iklim sudah kita alami, kerugian akibat bencana tidak terhindari, kita perlu peran progresif dunia perbankan sebagai pemberi dana perusahaan ekstraktif dan perusahaan agribisnis yang berisiko terhadap hutan agar segera menyelaraskan kebijakan pendanaannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dan Perjanjian Iklim Paris,” ungkap Linda Rosalina, Juru Kampanye Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA yang menjadi pencetus petisi #StopDanaMonster di situs petisi daring change.org.

 

Lebih lanjut Linda mengusulkan, “Sudah seharusnya bank-bank besar bertransformasi dari pembiayaan konvensional ke pembiayaan berkelanjutan. Sebab saat ini, bank-bank sudah tidak bisa lagi menghindari tanggung jawab atas ketidak hati-hatian pembiayaan mereka. Bank Danamon sebagai anak perusahaan dari bank terbesar di Jepang MUFG, memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menjadi bank yang lebih bertanggung jawab dan memainkan peran integral dengan berkomitmen untuk menjaga tegakan hutan, menghormati HAM, dan segera mewajibkan seluruh perusahaan yang dibiayainya untuk menjunjung tinggi dan menegakkan standar lingkungan dan sosial melalui perjanjian kontrak, serta menghentikan hubungan dengan pihak-pihak yang merusak masa depan kita.”

 

Dalam kebijakan pengamanan perbankan terkait Lingkungan, Sosial, Tata Kelola (LST) harus mensyaratkan kepatuhan terhadap standar ‘Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut dan Nol Eksploitasi’ (NDPE), serta menetapkan penghormatan terhadap hak tenurial masyarakat lokal dan Masyarakat Adat, hak ketenagakerjaan ILO, namun selama ini, Bank Danamon tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap praktik terbaik NDPE. Bank Danamon sampai saat ini juga tidak mengungkapkan risiko LST dan rencana mitigasinya dan bahkan tercatat memberikan Pinjaman Korporasi dan Fasilitas Kredit Bergulir kepada Sinar Mas Grup (SMG), grup korporasi dengan berbagai catatan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, yang melibatkan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan.

 

Komitmen lembaga jasa keuangan, dalam hal ini lembaga perbankan, terhadap pembiayaan berkelanjutan akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakat sudah mulai sadar dan mengalami dampak krisis iklim, mereka juga mulai menyadari adanya risiko investasi dalam mempertimbangkan dan memilih produk jasa keuangan mana yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan keberlanjutan. “Lewat platform petisi change.org, hampir seribu orang telah meminta Bank Danamon untuk menghentikan pendanaan bagi perusahaan perusak lingkungan. Ini artinya banyak masyarakat yang peduli hutan Indonesia. Seharusnya upaya ini di apresiasi dan didengarkan oleh Bank Danamon”, ungkap Elok Faiqotul Mutia, Associate Campaign Manager Change.org

 

Melalui aksi pemberian kado dan karangan bunga perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, masyarakat sipil berharap Bank Danamon bisa memperkuat slogannya untuk menumbuhkan prinsip kehati-hatian, terutama dalam hal memilih mitra bisnis dan grup usaha yang didanai untuk berkolaborasi. Karena sesuai dengan slogan perayaan ulang tahun Bank Danamon yang ke-65 tahun, yakni “Tumbuh melalui Kolaborasi”, sudah selayaknya Bank Danamon juga memiliki pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap komitmen pembiayaan berkelanjutan, yakni dengan cara menghentikan pendanaan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar HAM.

 

###

 

Narahubung:

Pengkampanye TuK Indonesia: Linda Rosalina ([email protected] / 081219427257)

Associate Campaign Manager Change.org: Elok Faiqotul Mutia (085211042626)

 

Untuk mengetahui jumlah tanda tangan petisi #StopDanaMonster bisa klik di sini (https://www.change.org/p/bank-danamon-stop-kasih-pendanaan-yang-merusak-lingkungan)

Menuntut akuntabilitas

Menuntut akuntabilitas

Memperkuat akuntabilitas korporasi dan uji tuntas rantai pasok untuk melindungi hak asasi manusia dan menjaga lingkungan

Laporan ini didasarkan pada tinjauan cermat terhadap hubungan antara sepuluh perkebunan kelapa sawit kontroversial di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di dalamnya atau yang memperdagangkan, mengolah, atau membuat barang konsumsi dari produk mereka (lihat Gambar 1). Perkebunan-perkebunan yang diselidiki ini dinyatakan sebagai milik kelompok usaha Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood). Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditemukan meliputi penolakan/penyangkalan hakhak masyarakat adat, perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak lingkungan, penindasan, penganiayaan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa para pembela HAM. Terlepas dari pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang sangat serius, berjangka panjang dan terdokumentasi dengan baik ini, di lapangan, perusahaan-perusahaan hilir besar terus berinvestasi di, atau mengambil produk dari perkebunan-perkebunan ini, seringkali tanpa mencatat kerugian/kerusakan sosial yang perkebunan-perkebunan ini timbulkan atau tanpa menuntut tindakan perbaikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Menuntut-akuntabilitas-gambar-01

Perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki meliputi Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK. Pemodal dan investor terkemuka meliputi, Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan grup perbankan Asia. Sebagian besar perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil dan inisiatif-inisiatif keberlanjutan lainnya. Namun, terlepas dari fakta bahwa pelanggaran yang terungkap jelas-jelas bertentangan dengan standar RSPO, serta kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi’ yang dimiliki perusahaan, perdagangan dan investasi terus berlanjut tidak terkendali.

Laporan ini menyoroti berbagai tuntutan terhadap para pelaku rantai pasok dari masyarakat terdampak, termasuk seruan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan hilir untuk menyelidiki kasus-kasus bersangkutan dan menyelesaikan dampak HAM dan pengaduan-pengaduan yang belum terselesaikan. Tuntutan khusus masyarakat akan rencana aksi terikat waktu untuk memfasilitasi pengembalian lahan dan ganti rugi juga dibuat terhadap Sime Darby, Cargill Inc, Astra International Group/Jardine Matheson, AAK, Nestlé, PepsiCo; Wilmar dan Unilever. Masyarakat terdampak menekankan perlunya tindak lanjut khusus dan transparan serta pemantauan langkah-langkah perbaikan dan berbagai kesepakatan. Dalam beberapa kasus, perusahaan hilir diminta menangguhkan pembelian minyak sawit dari para pemasok merugikan, seperti PT Kurnia Luwuk Sejati.

Laporan ini juga menyajikan rekomendasi-rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi badan pembuat undang-undang pemerintah yang menyusun regulasi tata kelola korporat dan regulasi keberlanjutan untuk rantai pasok ‘yang berisiko terhadap hutan’. Ditekankan bahwa agar efektif, regulasi bisnis dan rantai pasok haruslah memastikan, antara lain:

  1. Persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi, menangani, dan memperbaiki dampakdampak dalam rantai pasok dan portofolionya
  2. Pembentukan mekanisme pemantauan, verifikasi dan penegakan yang kuat untuk mendukung kepatuhan
  3. Sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar undang-undang uji tuntas dan regulasi rantai pasok yang berlaku
  4. Akses penyelesaian hukum lewat pengadilan di negara tempat perusahaan berdomisili bagi para pemegang hak dan masyarakat yang terkena dampak negatif dari kegiatan, hubungan bisnis, dan investasi mereka.

 

Laporan selengkapnya DISINI

 

MacInnes, A (2021) First Resources: Hiding in the Shadows FPP, Moreton in Marsh https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20-%20Hiding%20in%20the%20Shadows%20report_1.pdf ;

 

TuK INDONESIA (2021) “Civil Society Coalition Demands That MUFG and Bank Danamon Be Held Accountable for Forest Destruction, Climate Crisis and Human Rights Violation in Indonesia” https://www.tuk.or.id/2021/04/civil-society-coalition-demands-that-mufg-and-bank-danamon-be-held-accountable-for-forest-destruction-climate-crisis-and-human-rights-violation-in-indonesia/?lang=en

 

Jong H N (2021) “Palm oil conflicts persist amid lack of resolution in Indonesian Borneo” Mongabay Series: Indonesian Palm Oil, 15 march, 2021 https://news.mongabay.com/2021/03/palm-oil-conflicts-lack-of-resolution-in-indonesian-borneo-west-kalimantan/

Mei, L et al (2021) Stepping Up: Protecting collective land rights through corporate due diligence: A guide for global businesses, investors and policy makers FPP, Moreton in Marsh: https://www.forestpeoples.org/en/en/stepping-up-demanding-accountability

 

RAN (2020) The need for Free, Prior and Informed Consent:  an evaluation of the policies and standard operating procedures of 10 major corporate groups involved in forest risk supply chains in SE Asia  https://www.ran.org/wp-content/uploads/2020/12/RAN_FPIC_2020_vF-2.pdf

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA

Data Terbaru Mengungkap 50 Bank dan Investor Terbesar Dunia Mendorong Deforestasi Melalui Investasi Besar dan Kebijakan yang Lemah

Investor ternama seperti BlackRock, Vanguard, State Street, PNB, EPF, GPIF, dan KWAP semuanya mendapatkan skor terendah

 

forests-siaran-pers

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA

 

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA. Jakarta, 9 Juni 2021 – 50 bank dan investor terbesar di dunia mendorong deforestasi melalui investasi besar dan kebijakan yang lemah pada komoditas terkait dengan perusakan hutan hujan tropis, menurut penelitian baru oleh Forests & Finance –– sebuah koalisi riset yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil Amerika Serikat, Indonesia, Belanda, Brazil dan Malaysia. Penelitian ini menilai lembaga keuangan atas kinerjanya, termasuk bank internasional besar seperti Bank of America, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), dan investor utama seperti BlackRock, Vanguard, dan State Street, yang berada pada skor yang sangat rendah.

 

Desain terbaru pusat data Forests & Finance menunjukkan bahwa kebijakan lebih dari 50 lembaga keuangan ––menyumbang 128 miliar USD dalam bentuk kredit dan penjaminan untuk komoditas terkait dengan deforestasi sejak tahun 2016 s.d. 2020 dan 28,5 miliar USD dalam bentuk investasi per April 2021. Secara kolektif sangat lemah, dengan skor rata-rata 2,4 dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan untuk berbagai komoditas yang mendorong deforestasi (daging sapi, kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, kedelai dan kayu) tidak tunduk pada kriteria dasar sosial, lingkungan atau pemeriksaan tata kelola, apalagi memenuhi verifikasi standar klien yang sebenarnya. Data terbaru juga menambahkan fitur-fitur penilaian kebijakan yang diperluas pada 6 sektor yang berisiko terhadap hutan; data obligasi dan kepemilikan saham yang diperbarui; serta studi kasus tentang dampak sosial dan lingkungan dari keuangan yang tidak bertanggung jawab.

 

“Melindungi hutan tropis dunia benar-benar tidak pernah sepenting ini bagi seluruh kehidupan di bumi. Akan tetapi, lembaga keuangan malah menulis cek kosong kepada perusahaan yang mendorong perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga keuangan harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko ini dalam portofolio mereka, dan bukannya malah memberikan perusahaan-perusahaan ini hak untuk menghancurkan hutan.” ujar Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests & Finance.

 

“Blackrock, manajer aset terbesar di dunia, memberikan sejumlah besar modal kepada perusahaan yang mendorong deforestasi dan merongrong hak-hak Masyarakat Adat, hingga mencapai 2 miliar USD. Nilai tersebut meningkat 157% dibandingkan April tahun lalu, saat kehidupan para penjaga Bumi kian terancam dan penggundulan hutan terus meroket. Blackrock perlu mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pendanaan perusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pelanggaran hak Masyarakat Adat, terutama di bioma sensitif seperti Amazon,” kata Moira Birss, Direktur Iklim dan Keuangan Amazon Watch.

 

“Lima investor terbesar di perusahaan terkait deforestasi di Asia Tenggara, semuanya mendapat skor sangat rendah dalam penilaian kami”. Kata Meenakshi Raman, Presiden SAM. “Kami membutuhkan investor untuk mengambil tanggung jawab atas investasi mereka. Hal ini termasuk mendanai masa depan yang berkembang untuk Asia Tenggara, alih-alih menghancurkannya.”

 

“Perbankan Indonesia, meski masih mendapat skor sangat rendah, menunjukkan beberapa peningkatan dalam penilaian kami sejak 2018”. Ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. “Perbaikan positif ini adalah jalan yang tepat bagi bank-bank Indonesia. Hanya saja masih perlu untuk meningkatkan kebijakannya dan serius dalam penerapannya”. Lanjut Edi.

 

“Meski masih mendapat skor rendah pada kebijakannya, BNDES, investor terbesar komoditas berbasis lahan di Amerika Selatan, telah menurunkan eksposurnya pada perusahaan komoditas berisiko terhadap hutan yang beroperasi di Amerika Selatan selama setahun terakhir. Di sisi lain, lima investor teratas lainnya ––BlackRock, Fidelity Investments, Vanguard dan GPIF–– malah meningkatkan eksposur mereka. Semua perusahaan ini mendapat nilai sangat rendah dan masih ada investasi signifikan yang mengalir ke penggundulan hutan Amazon, dengan sedikit upaya lembaga keuangan untuk menghentikannya”. Ungkap Marcel, Direktur Eksekutif Repórter Brasil.

 

Sebuah studi mengindikasikan bahwa perusakan ekosistem hutan berkorelasi dengan munculnya penyakit zoonosis baru seperti virus corona, ini berarti menghentikan deforestasi sangat penting untuk mencegah terjadinya pandemi di masa depan. Namun, pada tahun 2020 saja 12,2 juta hektar hutan tropis hilang. Dari penilaian ini ditemukan bahwa lembaga keuangan telah meningkatkan investasi mereka untuk penggundulan hutan pada periode yang sama. Dibandingkan tahun 2020. Total nilai investasi pada perusahaan komoditas berbasis hutan telah meningkat dari 37,2 miliar USD pada April 2020 menjadi 45,7 miliar USD pada April 2021.

 

Penilaian tersebut juga menganalisis kebijakan umum dari sekitar 50 bank dan investor terbesar di dunia berdasarkan 35 kriteria Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG), serta menggabungkannya dengan data yang dihitung dengan menggunakan informasi pembiayaan dan investasi yang tersedia di database Forest & Finance (periode Januari 2016 – April 2020 untuk data kredit, dan April 2021 untuk data investasi). Setiap bank atau investor diberi peringkat berdasarkan kebijakan mereka serta jumlah pembiayaan pembiayaan komoditas yang berisiko terhadap hutan untuk menghitung keseluruhan skor lembaga keuangan tersebut.

 

###

Catatan untuk redaksi:

  • Forests & Finance merupakan koalisi organisasi yang terdiri dari Rainforest Action Network, TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US.
  • Untuk mengetahui lebih lanjut tentang data terbaru Forest & Finance dan bagaimana menggunakan platform ini untuk mengidentifikasi tren keuangan, mengungkapkan transaksi dan membandingkan bank dan investor, silahkan bergabung dengan kami dalam Webinar Multinasional: Peluncuran Data Forests And Finance 2021. Webinar ini akan dilaksanakan pada: Rabu, 9 Juni 2021 | 15.00–16.30 WIB | via Zoom (dengan ID Webinar 942 5815 1688 atau klik ly/forestfinanceid untuk registrasi). Webinar ini rencananya akan dihadiri:
  1. Fiona Armintasari, Peneliti Responsi Bank
  2. Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests and Finance
  3. Ward Warmerdam, Peneliti Profundo
  4. Edi Sutrsino, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  5. Bapak Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK*
  6. Ibu Tria Mutiari Meilan, BRI Sustainable Finance Team*

Kontak media:

Linda Rosalina:  [email protected]/+62 812-1942-7257

MUFG – Koalisi Masyarakat Sipil Menuntut Bank MUFG dan Danamon

Koalisi Masyarakat Sipil Menuntut Bank MUFG dan Danamon untuk Ikut Bertanggung Jawab terhadap Kerusakan Hutan, Krisis Iklim dan Pelanggaran HAM di Indonesia.

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg-2

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg-2

Bank Danamon jadi anak perusahaan MUFG yang mendapatkan pengecualian untuk mematuhi kebijakan minyak sawit dan kehutanan terbaru MUFG. Hal melemahkan kualitas Laporan Keberlanjutan Tahunan dan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan.

Koalisi masyarakat sipil hari ini melakukan aksi protes di depan kantor cabang Bank Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) di Jakarta. Koalisi menyerukan agar MUFG berhenti mendanai krisis iklim melalui kucuran dana yang diberikan untuk beberapa perusahaan-perusahaan tambang dan agribisnis besar di Indonesia.

Koalisi juga menuntut agar MUFG segera mengadopsi standar “Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi” (NDPE), dan menerapkannya pada semua pembiayaan yang dilakukan oleh MUFG maupun anak-anak perusahaannya. Termasuk nasabahnya di Indonesia yang meliputi beberapa grup perusahaan terbesar yang memproduksi minyak sawit, bubur kertas & kertas, seperti Grup Sinar Mas (SMG), Royal Golden Eagle (RGE), Grup Salim dan Grup Jardine Matheson. – Jakarta, 5 April 2021

“MUFG dengan cepat mengembangkan bisnisnya di Indonesia dan baru-baru ini mengakuisisi bank terbesar keenam di Indonesia yaitu Bank Danamon. Namun, anak perusahaan baru ini tidak diwajibkan untuk mematuhi kebijakan baru minyak sawit dan kehutanan milik MUFG. Hal ini menjadikan Bank Danamon sebagai anak emas yang mendapatkan pengecualian untuk mematuhi kebijakan MUFG hingga bisa memanfaatkan celah pada level regional untuk mengeksekusi transaksi di sektor-sektor yang terlarang dan berisiko”, ungkap Edi Sutrisno Direktur TuK INDONESIA.

Dengan tidak adanya komitmen yang jelas bagi praktik terbaik seperti “NDPE”, kebijakan MUFG seperti komitmen setengah hati. Bahkan di sektor kehutanan, masih menerima standar Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Hal ini menjadi sebuah standar yang lemah sebab masih mensertifikasi perusahaan perusak hutan alam, lahan gambut dan berkonflik dengan masyarakat. Terbukti sejak tahun 2016, MUFG telah memberikan pinjaman lebih dari USD 500 juta kepada Sinar Mas Group (SMG) sebagai salah satu grup perusahaan biang kerok kebakaran yang berulang di Indonesia.

SMG juga tercatat sebagai grup korporasi dengan dokumentasi pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan terburuk, yang melibatkan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan. MUFG juga menjadi salah satu bank yang masih mendanai Indofood, perusahaan makanan raksasa yang sudah bertahun-tahun terdokumentasi melakukan pelanggaran hak buruh kelapa sawit pada anak perusahaannya PT. London Sumatra dan sekarang menghadapi gugatan dari serikat buruh atas pemutusan hubungan kerja yang tidak adil.

Hingga saat ini masyarakat Kelompok Tani Sekato Jaya di Lubuk Mandarsah, Jambi yang tergabung dalam Kelompok Tani Sekato Jaya masih terus berjuang mempertahankan lumbung pangan mereka yang dirampas dan sempat dirusak oleh salah satu anak perusahaan SMG, yaitu PT. Wirakarya Sakti (WKS). “Kami hidup disini sangat memerlukan lahan karena demi kehidupan masa depan anak-anak kami. Kami ingin hidup tenang, damai, tenteram di sini. Dan saya minta tolong kepada PT. WKS mengertilah pada masyarakat yang susah. Tolong kembalikan lahan adat kami di Desa Lubuk Mandarsah ini”, ungkap Ibu Minarti, petani perempuan di Desa Lubuk Mandarsah yang menanam dan menjual pisang, singkong dan cabai untuk menghidupkan keluarganya.

MUFG juga secara aktif mendanai perusahaan yang dengan sengaja menggunakan api untuk membuka lahan yang seringkali secara ilegal. Setelah tahun 2015, ketika kebakaran melanda Indonesia dan membumihanguskan 2,6 juta Ha hutan dan lahan gambut, MUFG terus memberikan lebih dari USD 1,2 miliar kepada operasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas dan kertas yang menggunakan api untuk membuka hutan dan lahan gambut di Indonesia. Namun, hingga saat ini MUFG tidak memiliki kebijakan untuk mengevaluasi pembiayaan pada perusahaan pembakar hutan atau perusahaan yang pada operasional rantai pasoknya terlibat pembakaran hutan.

MUFG juga merupakan salah satu bankir bahan bakar fosil terbesar di dunia, dengan pembiayaan besar untuk pembangkit listrik batu bara, ekstraksi minyak, gas, dan tar sands, di Indonesia sendiri MUFG Securities Asia Limited telah memberikan pinjaman pada anak usaha PT. Adaro Energy Tbk (ADRO) yang saat ini tercatat menjadi perusahaan tambang batu bara terbesar yang beroperasi di Indonesia. Berdasarkan laporan Banking on Climate Chaos terbaru, MUFG bertanggung jawab atas pinjaman sebesar USD 148 miliar untuk industri bahan bakar fosil antara 2016-2020, menjadikannya bankir bahan bakar fosil terburuk di Asia dan mengunci kita pada ketergantungan bahan bakar fosil pada saat kita perlu segera beralih ke energi bersih.

“Sudah seharusnya bank-bank besar bertransformasi dari pembiayaan konvensional menjadi pembiayaan berkelanjutan. Sebab, saat ini bank tidak dapat lagi menghindari tanggung jawab atas pembiayaan sembrono mereka. Sebagai bank terbesar di Jepang, MUFG memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menjadi bank yang lebih bertanggung jawab dan memainkan peran integral dengan berkomitmen untuk menjaga tegakan hutan, menghormati HAM dan segera mewajibkan seluruh perusahaan yang didanai MUFG untuk menjunjung tinggi nilai-nilai dan komitmen MUFG, termasuk dengan menegakkan standar lingkungan dan sosial melalui perjanjian kontrak; dan menghentikan hubungan dengan pihak-pihak yang merusak masa depan berkelanjutan kita atau melanggar HAM. Perubahan positif oleh MUFG akan berdampak besar pada sektor keuangan lainnya,” tukas Edi.

Dr Bayu Eka Yulian, Sekretaris Pusat Studi Agraria IPB University menyebutkan. “Jika air mata yang terjadi di hilir, seperti hilangnya hutan penghidupan masyarakat dan kriminalisasi rakyat kecil adalah akibat, maka salah satu mata air di hulu yaitu modal (kapital) adalah sebab. Sehingga para aktor harus memikirkan kembali pendekatan keputusan investasi dan alokasi modal dengan menjadikan keberlanjutan sebagai filosofi investasi. OJK dengan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutannya harus menjadi dirigen yang tegas dalam mengorkestrasi gerakan keuangan berkelanjutan ini”.

 

Download Final Siaran Pers

###

Narahubung:
Direktur TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected]/ 0813-1584-9153)
Sekretaris PSA IPB University, Dr Bayu Eka Yulian ([email protected]/ 0811-535-444)

Kontak media:
TuK INDONESIA: Linda Rosalina ([email protected]/ 0812-1942-7257)

Rekam Jejak Pelanggaran HAM Perusahaan Raksasa Sinar Mas Group dan Perlawanan Masyarakat di Garis Depan, RAN 2020

Why are banks and investors still funding Indofood?

Bayar Utang dan Ekspansi Adaro Indonesia Terbitkan Global Bond, Kontan.co.id 2019

Banking on Climate Chaos Report, RAN 2021