Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023

Jakarta, Sabtu, 24 Juni 2023. TuK INDONESIA menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa Tahun 2023 sebagai forum pertemuan untuk merespon dan memutuskan situasi khusus yang dihadapi oraganisasi.

Dalam upaya menjawab dinamika organisasi dan meneruskan perjuangan transformasi berkeadilan, peran pemimpin dalam organisasi menjadi penting dalam menjalankan fungsi koordinasi dan manajerial, serta fungsi penting lainnya. Forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023 memutuskan dan menetapkan beberapa hal yang menjadi concern organisasi dan salah satunya adalah menetapkan Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA Periode 2023-2026. Linda Rosalina, S.E.,M.Si, dipilih dan ditetapkan dalam forum Rapat Anggota Luar Biasa TuK INDONESIA Tahun 2023.

Pernyataan Visi:

Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan sosial oleh negara dan aktor non- negara dalam bidang kebijakan, program dan kegiatan agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam.

“Terima kasih atas kesepakatannya untuk memilih saya bersama TuK INDONESIA sampai tahun 2026 nanti. Saya harap kita bisa bersama-sama memajukan TuK INDONESIA. Kedepan saya membayangkan TuK INDONESIA lebih membumi sebagai pionir isu keuangan berkelanjutan di Indonesia mengingat isu keuangan itu sangat kritis. Mari sama-sama kita membangun TuK INDONESIA”, Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Periode 2023-2026.

Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan

Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan

 

Laporan Evaluasi dan Pencabutan Izin - Mei

Laporan Evaluasi dan Pencabutan Izin – Mei

 

Laporan Kegagalan Inisiatif Pencabutan Izin dan Evaluasi Izin bagi Pemulihan Hak Rakyat dan Pemulihan Lingkungan

Di awal pemerintahan Jokowi pada priode pertama, alokasi 12,7 juta hektar lahan lewat program Perhutanan Sosial dan TORA adalah salah satu target Nawacita. Bahkan program ini terus berjalan hingga periode kedua. Namun, hingga saat ini capaian PS dan TORA baru sekitar 40%. Padahal banyak inisiatif yang coba dilakukan, misalnya saja Evaluasi dan Pencabutan izin yang dilakukan oleh pemerintah pada januari 2022 lalu. Hingga saat ini, tidak ada tindakan lanjutan untuk mengalokasikan eks-eks izin yang dicabut kepada rakyat sebagai upaya pencapaian target Nawacita tersebut. Walhi dan Koalisi menyatakan bahwa Inisiatif Evaluasi dan Pencabutan Izin yang dilakukan Rezim Jokowi telah gagal bagi pemulihan hak rakyat dan pemulihan lingkungan.

Pada 6 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengadakan Konferensi Pers terkait dengan pencabutan izin dan hak atas tanah. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menjelaskan alasan pencabutan ketiga jenis izin. Pertama, 2078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut karena tidak pernah mengirimkan rencana kerja. Kedua, 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 ha dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan. Ketiga, HGU Perkebunan seluas 34.448 Ha dicabut karena ditelantarkan.1 Inisiatif ini dinilai banyak pihak sebagai inisiatif yang cukup baik sebagai bentuk langkah korektif, walaupun minim informasi dapat diakses oleh publik. Salah satu SK pencabutan izin yang dapat diakses oleh publik adalah SK Menteri LHK No. 01 Tahun 2022 yang terbit pada tanggal 5 Januari 2022. SK tersebut menerangkan jenis izin konsesi Kawasan Hutan yang menjadi objek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan izin, diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Jenis Perizinan yang Dicabut :

  1. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami;
  2. PBPH atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu tanaman budi daya;
  3. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (antara lain pertambangan, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, kelistrikan);
  4. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, merupakan perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi menjadi bukan kawasan hutan serta tukar menukar kawasan hutan; dan
  5. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak/ Izin Pengusahaan Pariwisata Alam merupakan pemanfaatan berupa izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam pada Kawasan Konservasi

Selengkapnya dapat dibaca pada laporan berikut:

Unduh Berkas Laporan

Link terkait : Walhi

#TuKIndonesia
#walhi
#TORA
#nawacita
#AliansiMasyarakatAdatNusantara
#SawitWatch

Pawai Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023

Pawai Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyuarakan isu krisis iklim melalui propaganda bertuliskan “Bumiku Meleleh Dibalik Tawamu” untuk menunjukkan kerusakan lingkungan yang menguntungkan segelintir orang.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyuarakan isu krisis iklim melalui propaganda bertuliskan “Bumiku Meleleh Dibalik Tawamu” untuk menunjukkan kerusakan lingkungan yang menguntungkan segelintir orang.

JAKARTA. Minggu, 4 Juni 2023, kawasan Bundaran HI, Jakarta, menjadi lokasi berkumpulnya massa pawai dalam melaksanakan karnaval memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Karnaval ini diinisiasi sebagai ajakan kepada masyarakat untuk lebih peduli terhadap pentingnya menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup sebagai peri kehidupan. Selain itu, sebagai seruan dalam menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan terkait permasalahan krisis iklim yang terjadi di Indonesia.

Dokumentasi 4/6/2023. Rombongan massa pawai dari berbagai penggiat lingkungan.

Dokumentasi 4/6/2023. Rombongan massa pawai dari berbagai penggiat lingkungan.

Masa pawai terdiri dari berbagai penggiat lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Orang Muda untuk Aksi Lingkungan (KOMUNAL) dan WALHI. Dalam agenda tersebut, jalanan menjadi ruang untuk menyuarakan gagasan dan kepedulian terhadap lingkungan. Tentunya, untuk menciptakan lingkungan yang baik, bersih, dan nyaman bagi setiap penghuninya. Lebih dari itu, tuntutan ditujukan untuk mendesak pemimpin negara mewujudkan Indonesia yang adil secara ekologis. TuK INDONESIA yang turut bergabung dalam KOMUNAL menyampaikan bahwa untuk mencapai keadilan ekologis, di mana lingkungan menjadi ruang aman dan nyaman bagi seluruh generasi, penyandang dana harus ikut bertanggung jawab atas operasional kliennya yang banyak menyebabkan krisis.

Dalam konteks krisis iklim, penyandang dana merupakan aktor di level hulu yang memberikan bisnis ekstraktif kekuatan dan kemampuan untuk melakukan ekspansi dan produksi. Aktivitas bisnis ini telah menyebabkan banyak konflik dan kerusakan lingkungan yang mengganggu fungsi ekologis.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyerukan bahwa krisis iklim dan krisis demokrasi saling berkaitan karena praktik negara yang korup.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyerukan bahwa krisis iklim dan krisis demokrasi saling berkaitan karena praktik negara yang korup.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga awal Juni 2021 terjadi sebanyak 1.704 bencana, yang merupakan 99,1% dari total bencana. Hal ini didominasi oleh bencana hidrometeorologi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Tingginya frekuensi bencana menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Kerentanan ini tercermin dalam kenaikan peringkat Global Climate Risk Index (CRI) Indonesia selama dua dekade terakhir. Pada 2019, Global Climate Risk Index Indonesia berada di peringkat 14 dunia (Eckstein et. al 2020, 2021). Hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim. Menurut Kementerian Keuangan (2019), Indonesia diperkirakan akan mengalami kerugian ekonomi sebesar 1,4% dari nilai PDB 2019 pada tahun 2050.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa mengkritik pendanaan yang disalurkan untuk sektor-sektor meresikokan hutan.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa mengkritik pendanaan yang disalurkan untuk sektor-sektor meresikokan hutan.

Kompleksitas relasi manusia dengan lingkungan menjadi acuan bagi langkah-langkah pengendalian dampak krisis iklim dan upaya pemulihan fungsi-fungsi ekologis. Penyandang dana memiliki peranan vital dalam aktivitas produksi yang bersifat eksploitatif sebab bahkan dalam pendanaan iklim. Sejumlah uang justru banyak yang disalurkan pada sektor-sektor bisnis. Di mana banyak praktik-praktik aktivitas produksinya mengabaikan aspek keberlanjutan dan keadilan lingkungan hidup, sehingga memperburuk iklim. (TuK INDONESIA 2020, Responsibank 2022).

The TNFD shows that global corporations will not solve the biodiversity crisis 

TNFD_ for greenwashing & deeply flawed processes

Today 62 civil society organizations and networks – whose members include over 370 groups across 85+ countries on six continents – have sent an open letter to the Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD) highlighting that its final draft fails to address some of its worst flaws that will facilitate greenwashing. The letter was also signed by three winners of the Goldman Environmental prize. The letter is timed to align with the closing of the TNFD’s feedback process on tomorrow, 1 June, before it releases its final framework in September 2023. This is the latest in a series of CSO and rights holder open letters, press releases and statements raising concerns about the TNFD since May 2022. 

The TNFD is a taskforce solely made up of 40 global corporations, including several that have come under fire for their environmental and human rights practices. The TNFD is developing a framework on how companies should report on their biodiversity risks and impacts. While it is a voluntary initiative, many in its inner circle have advocated for the TNFD framework to be made mandatory and adopted into national law and even international frameworks. It is also backed by two UN agencies and receives government funding. The taskforce includes some of the world’s largest fossil fuel financiers and businesses persistently linked to deforestation or human rights harms. 

The open letter discusses a range of issues with the TNFD’s proposed framework and broader processes. It highlights that TNFD reports will not have to include information on where companies are facing allegations of harming biodiversity or environmental defenders. The data in reports will also be unverifiable and companies will not need to report their lobbying against new laws that help protect nature. The framework will not allow communities affected by biodiversity harms to even know the name of companies who are buying from, or financing, activities in their area. Finally, the letter highlights that the TNFD has failed to respond to academic research that re-pricing biodiversity risks is more likely to impact lower and middle-income countries, not richer countries. 

The open letter also reiterates concerns raised in October 2022 on “the role of UN agencies that have co-founded, backed or funded TNFD, as their involvement would seem to violate their duties and obligations to respect human rights and fair decision-making.” 

The open letter is available in English, Spanish, Portuguese, Bahasa Indonesia, French and Chinese

For further questions please contact Shona Hawkes adviser at Rainforest Action Network on +61 413 100 864 or at [email protected]

Quotes: 

“The TNFD doesn’t require financial institutions to say who or what they are financing or provide any detail about how their financed activities impact on biodiversity and the people who protect it – instead it lets them hide behind empty reports and masks their complicity in nature destruction.” – Hannah Greep, Banks and Nature Campaign Lead, BankTrack

 

“Who is the TNFD for? Certainly not the environmental defenders and everyday people who are standing up against abusive corporate practices. Many global corporations – including many who sit on the TNFD – have persistently ignored the actual change that the real leaders on biodiversity are calling for.” – Tarcísio Feitosa, Goldman Environmental Prize winner, Brazil 

 

“Scientific research has made clear that the biodiversity crisis will only be stemmed if we stop all new fossil fuels, reduce industrial livestock, and respect and center the leadership of Indigenous peoples, women’s organizations, peasants, and environmental defenders. And yet the TNFD – a purported solution to the crisis – doesn’t even recommend that a company disclose when it is facing complaints about its risks and impacts on biodiversity and the people who protect it. This is greenwashing par excellence.” – Moira Birss, Climate Finance Director, Amazon Watch

 

“Months ago NGOs described TNFD as the ‘next frontier in greenwashing’. Very little has changed.” – Cassie Dummett, Head of Forests Campaign, Global Witness 

 

“Nature has an intrinsic right to exist, to thrive. We need to celebrate, learn from and revere the natural world. The trees that give us the air we breath, the waters that sustain life, the insects that make the soil we rely on for food. The TNFD is a distraction. It speaks of disclosure rather than the actual changes we need. It says nothing about corporations needing to stop financing fossil fuels, to stop deforestation, to stop dangerous experiments like deep seabed mining. It does not include the knowledge and rights of Indigenous Peoples, women and communities at the forefront of biodiversity protection.” – Osprey Orielle Lake, Executive Director, Women’s Earth and Climate Action Network (WECAN)

“We are facing a major biodiversity crisis, where the very survival of much of life on earth stands at an urgent crossroads. What we need are transformative solutions, not corporate greenwashing.” – Merel van der Mark, coordinator of the Forests & Finance Coalition

“Under the TNFD’s proposed framework corporate ‘disclosures’ on biodiversity won’t cover if a company is facing allegations of environmental destruction, if it’s lobbying against new laws to protect nature or if it is dramatically scaling up how much land it’s using. Already we can see the TNFD’s work being championed in ways that distract from, and undermine, the real solutions to the biodiversity crisis. This includes calls that key to solving the crisis is ensuring that corporations face meaningful consequences under the law for harming lands, waters, forests and wildlife, and the people who protect them. We remain shocked that UN agencies have backed and funded a process that appears to so clearly contravene their own guidance and advice.” – Shona Hawkes, advisor, Rainforest Action Network.

 

Link reference :

#tukindonesia
#forestsandfinance
#tnfd
#biodiversitycrisis