Aturan-aturan Terkait Sektor Perkebunan Kelapa Sawit (1) Perizinan Berusaha

  • UNDANG-UNDANG

 

  • UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
    Pasal Terkait : 7-12; 26; 28, 29, 36, 37, 177

    Selengkapnya bisa diunduh di : UU 11/2020 tentang Cipta Kerja

  • UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
    Pasal terkait : Keseluruhan pasal kecuali yang telah diubah oleh peraturan perundang-undangan terbaru

    Catatan :

    Beberapa ketentuan di dalam UU ini telah diubah oleh ketentuan yang ada di UU Cipta Kerja, yaitu:

    Pasal 14; Pasal 15; Pasal 16; Pasal 17; Pasal 18; Pasal 24; Pasal 30; Pasal 31 (dihapus); Pasal 35; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 45 (dihapus); Pasal 47; Pasal 48; Pasal 49 (dihapus); Pasal 50 (dihapus); Pasal 58; Pasal 60; Pasal 67; Pasal 68 (dihapus); Pasal 70; Pasal 74; Pasal 75; Pasal 93; Pasal 95; Pasal 96; Pasal 97; Pasal 99; Pasal 103; Pasal 105 (dihapus); Pasal 109 (dihapus);

    Selengkapnya bisa diunduh di UU 39/2014 tentang Perkebunan

    • PERATURAN PEMERINTAH

  • PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
    Catatan : Peraturan turunan dari ketentuan Pasal 12 UU Cipta Kerja
  • PP No. 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di DaerahList Title
    catatan : Peraturan turunan dari ketentuan Pasal 176 dan Pasal 185 huruf b UU Cipta Kerja

    selengkapnya bisa diunduh di : PP 6/2021

  • PP No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian
    pasal : Terkait dengan perkebunan diatur dalam BAB II SUBSEKTOR PERKEBUNAN dan Pasal 234

    catatan : Peraturan turunan dari ketentuan Pasal 28 dan Pasal 185 huruf b UU Cipta Kerja

    selengkapnya bisa diunduh di : PP 26/2021

    • INSTRUKSI PRESIDEN & PERATURAN MENTERI

  • Inpres No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa SawitList Title
    selengkapnya bisa diunduh di : inpres 8/2018
  • Permentan No. 21/PERMENTAN/KB.410/6/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
    selengkapnya bisa diunduh di Permentan 21/2017
  • Permentan No. 36/PERMENTAN/OT.140/7/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Penilai Usaha PerkebunanList Title
    selengkapnya bisa diunduh di : Permentan 36/2009
  • Permentan No. 07/PERMENTAN/OT.140/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha PerkebunanList Title
    selengkapnya bisa diunduh di : Permentan 07/2009
  • Permentan No. 05/2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor PertanianList Title
    selengkapnya bisa diunduh di : Permentan 5/2019
  • Permentan No. 15/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor PertanianList Title
    selengkapnya bisa diunduh di : Permentan 15/2021
  • Permentan No. 19 Tahun 2020 tentang Penanganan Perizinan Berusaha Sektor Pertanian Yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)List Title
    Selengkapnya bisa diunduh di :

    Permentan 19/2020

  • Permentan No. 29/PERMENTAN/KB.410/5/2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha PerkebunanList Title
    selengkapnya bisa diunduh di : Permentan 29/2016
  • Permentan No. 45 Tahun 2019 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang PertanianList Title
    Selengkapnya bisa diunduh di : Permentan 45/2019

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Studi ini adalah studi kedua yang kami lakukan untuk melihat potensi penerimaan negara dari pajak sawit. Pada studi pertama, kami lakukan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Studi kedua kali ini kami laksanakan tahun 2021 untuk lingkup Jambi dengan pembaruan metode pengumpulan data. Kami lakukan observasi lapangan untuk validasi data, dan kami gunakan citra resolusi tinggi untuk analisis studi kasus. Tujuannya agar dihasilkan nilai perhitungan pajak yang paling mendekati.

Seperti kami sampaikan pada studi pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan oleh Pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan studi ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang hendak didalami. Pada titik ini, transparansi menjadi kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan.

Jambi adalah Provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sedihnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi masih rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Potret ini menunjukkan bahwa antara eksploitasi sumberdaya di Jambi tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya.

Kami menyadari, agar dapat membuat keputusan yang tepat dibutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akuntable. Maka, menyajikan informasi dasar (baseline) mengenai potret eksisting sawit di Jambi kami pikir penting untuk melihat potensi sektor sawit di Jambi secara utuh. Harapan kami ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data mau terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebi jakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah.

Baseline studi ini menyajikan enam informasi penting dan bersifat indikatif (dugaan). Enam baseline informasi tersebut terdiri atas: (1) tutupan dan status tanaman sawit, (2) produksi tandan buah segar, (3) penerimaan negara atas pajak sawit, (4) pengusahaan perkebunan sawit, (5) sawit dalam kawasan hutan, dan (6) sawit pada lahan gambut.

Atas hadirnya kembali studi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap yang telah berpartisipasi. Terima kasih kepada para penulis yang sudah berusaha dengan gigih dalam proses pengumpulan hingga pengolahan data. Khususnya terima kasih kepada Bapak Hariadi Kartodihardjo dari IPB University, Ibu Dwi Hastuti dari Univeristas Jambi dan Bapak Budi Arifandi dari Direktorat Jenderal Pajak, yang berkenan menjadi teman diskusi dan reviewer dalam proses penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada The Prakarsa yang bersedia memberikan dukungan pendanaan untuk studi ini. Terima kasih sedalam–dalamnya juga kepada teman–teman yang sudah mencurahkan waktu untuk membahas studi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Disadari sepenuhnya bahwa studi ini belum sempurna, oleh karena itu sangat penting adanya kritik maupun masukan untuk kemudian menjadi bagian penyempurnaan dari studi potensi penerimaan perpajakan pada seri selanjutnya.

Terima kasih dan selamat menikmati di setiap informasinya.

 

Selengkapnya buku ini dapat diunduh dan dibaca secara daring melalui link berikut : Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi 2021

Menuntut akuntabilitas

Menuntut akuntabilitas

Memperkuat akuntabilitas korporasi dan uji tuntas rantai pasok untuk melindungi hak asasi manusia dan menjaga lingkungan

Laporan ini didasarkan pada tinjauan cermat terhadap hubungan antara sepuluh perkebunan kelapa sawit kontroversial di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di dalamnya atau yang memperdagangkan, mengolah, atau membuat barang konsumsi dari produk mereka (lihat Gambar 1). Perkebunan-perkebunan yang diselidiki ini dinyatakan sebagai milik kelompok usaha Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood). Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditemukan meliputi penolakan/penyangkalan hakhak masyarakat adat, perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak lingkungan, penindasan, penganiayaan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa para pembela HAM. Terlepas dari pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang sangat serius, berjangka panjang dan terdokumentasi dengan baik ini, di lapangan, perusahaan-perusahaan hilir besar terus berinvestasi di, atau mengambil produk dari perkebunan-perkebunan ini, seringkali tanpa mencatat kerugian/kerusakan sosial yang perkebunan-perkebunan ini timbulkan atau tanpa menuntut tindakan perbaikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Menuntut-akuntabilitas-gambar-01

Perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki meliputi Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK. Pemodal dan investor terkemuka meliputi, Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan grup perbankan Asia. Sebagian besar perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil dan inisiatif-inisiatif keberlanjutan lainnya. Namun, terlepas dari fakta bahwa pelanggaran yang terungkap jelas-jelas bertentangan dengan standar RSPO, serta kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi’ yang dimiliki perusahaan, perdagangan dan investasi terus berlanjut tidak terkendali.

Laporan ini menyoroti berbagai tuntutan terhadap para pelaku rantai pasok dari masyarakat terdampak, termasuk seruan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan hilir untuk menyelidiki kasus-kasus bersangkutan dan menyelesaikan dampak HAM dan pengaduan-pengaduan yang belum terselesaikan. Tuntutan khusus masyarakat akan rencana aksi terikat waktu untuk memfasilitasi pengembalian lahan dan ganti rugi juga dibuat terhadap Sime Darby, Cargill Inc, Astra International Group/Jardine Matheson, AAK, Nestlé, PepsiCo; Wilmar dan Unilever. Masyarakat terdampak menekankan perlunya tindak lanjut khusus dan transparan serta pemantauan langkah-langkah perbaikan dan berbagai kesepakatan. Dalam beberapa kasus, perusahaan hilir diminta menangguhkan pembelian minyak sawit dari para pemasok merugikan, seperti PT Kurnia Luwuk Sejati.

Laporan ini juga menyajikan rekomendasi-rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi badan pembuat undang-undang pemerintah yang menyusun regulasi tata kelola korporat dan regulasi keberlanjutan untuk rantai pasok ‘yang berisiko terhadap hutan’. Ditekankan bahwa agar efektif, regulasi bisnis dan rantai pasok haruslah memastikan, antara lain:

  1. Persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi, menangani, dan memperbaiki dampakdampak dalam rantai pasok dan portofolionya
  2. Pembentukan mekanisme pemantauan, verifikasi dan penegakan yang kuat untuk mendukung kepatuhan
  3. Sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar undang-undang uji tuntas dan regulasi rantai pasok yang berlaku
  4. Akses penyelesaian hukum lewat pengadilan di negara tempat perusahaan berdomisili bagi para pemegang hak dan masyarakat yang terkena dampak negatif dari kegiatan, hubungan bisnis, dan investasi mereka.

 

Laporan selengkapnya DISINI

 

MacInnes, A (2021) First Resources: Hiding in the Shadows FPP, Moreton in Marsh https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20-%20Hiding%20in%20the%20Shadows%20report_1.pdf ;

 

TuK INDONESIA (2021) “Civil Society Coalition Demands That MUFG and Bank Danamon Be Held Accountable for Forest Destruction, Climate Crisis and Human Rights Violation in Indonesia” https://www.tuk.or.id/2021/04/civil-society-coalition-demands-that-mufg-and-bank-danamon-be-held-accountable-for-forest-destruction-climate-crisis-and-human-rights-violation-in-indonesia/?lang=en

 

Jong H N (2021) “Palm oil conflicts persist amid lack of resolution in Indonesian Borneo” Mongabay Series: Indonesian Palm Oil, 15 march, 2021 https://news.mongabay.com/2021/03/palm-oil-conflicts-lack-of-resolution-in-indonesian-borneo-west-kalimantan/

Mei, L et al (2021) Stepping Up: Protecting collective land rights through corporate due diligence: A guide for global businesses, investors and policy makers FPP, Moreton in Marsh: https://www.forestpeoples.org/en/en/stepping-up-demanding-accountability

 

RAN (2020) The need for Free, Prior and Informed Consent:  an evaluation of the policies and standard operating procedures of 10 major corporate groups involved in forest risk supply chains in SE Asia  https://www.ran.org/wp-content/uploads/2020/12/RAN_FPIC_2020_vF-2.pdf

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA

Data Terbaru Mengungkap 50 Bank dan Investor Terbesar Dunia Mendorong Deforestasi Melalui Investasi Besar dan Kebijakan yang Lemah

Investor ternama seperti BlackRock, Vanguard, State Street, PNB, EPF, GPIF, dan KWAP semuanya mendapatkan skor terendah

 

forests-siaran-pers

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA

 

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA. Jakarta, 9 Juni 2021 – 50 bank dan investor terbesar di dunia mendorong deforestasi melalui investasi besar dan kebijakan yang lemah pada komoditas terkait dengan perusakan hutan hujan tropis, menurut penelitian baru oleh Forests & Finance –– sebuah koalisi riset yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil Amerika Serikat, Indonesia, Belanda, Brazil dan Malaysia. Penelitian ini menilai lembaga keuangan atas kinerjanya, termasuk bank internasional besar seperti Bank of America, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), dan investor utama seperti BlackRock, Vanguard, dan State Street, yang berada pada skor yang sangat rendah.

 

Desain terbaru pusat data Forests & Finance menunjukkan bahwa kebijakan lebih dari 50 lembaga keuangan ––menyumbang 128 miliar USD dalam bentuk kredit dan penjaminan untuk komoditas terkait dengan deforestasi sejak tahun 2016 s.d. 2020 dan 28,5 miliar USD dalam bentuk investasi per April 2021. Secara kolektif sangat lemah, dengan skor rata-rata 2,4 dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan untuk berbagai komoditas yang mendorong deforestasi (daging sapi, kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, kedelai dan kayu) tidak tunduk pada kriteria dasar sosial, lingkungan atau pemeriksaan tata kelola, apalagi memenuhi verifikasi standar klien yang sebenarnya. Data terbaru juga menambahkan fitur-fitur penilaian kebijakan yang diperluas pada 6 sektor yang berisiko terhadap hutan; data obligasi dan kepemilikan saham yang diperbarui; serta studi kasus tentang dampak sosial dan lingkungan dari keuangan yang tidak bertanggung jawab.

 

“Melindungi hutan tropis dunia benar-benar tidak pernah sepenting ini bagi seluruh kehidupan di bumi. Akan tetapi, lembaga keuangan malah menulis cek kosong kepada perusahaan yang mendorong perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga keuangan harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko ini dalam portofolio mereka, dan bukannya malah memberikan perusahaan-perusahaan ini hak untuk menghancurkan hutan.” ujar Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests & Finance.

 

“Blackrock, manajer aset terbesar di dunia, memberikan sejumlah besar modal kepada perusahaan yang mendorong deforestasi dan merongrong hak-hak Masyarakat Adat, hingga mencapai 2 miliar USD. Nilai tersebut meningkat 157% dibandingkan April tahun lalu, saat kehidupan para penjaga Bumi kian terancam dan penggundulan hutan terus meroket. Blackrock perlu mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pendanaan perusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pelanggaran hak Masyarakat Adat, terutama di bioma sensitif seperti Amazon,” kata Moira Birss, Direktur Iklim dan Keuangan Amazon Watch.

 

“Lima investor terbesar di perusahaan terkait deforestasi di Asia Tenggara, semuanya mendapat skor sangat rendah dalam penilaian kami”. Kata Meenakshi Raman, Presiden SAM. “Kami membutuhkan investor untuk mengambil tanggung jawab atas investasi mereka. Hal ini termasuk mendanai masa depan yang berkembang untuk Asia Tenggara, alih-alih menghancurkannya.”

 

“Perbankan Indonesia, meski masih mendapat skor sangat rendah, menunjukkan beberapa peningkatan dalam penilaian kami sejak 2018”. Ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. “Perbaikan positif ini adalah jalan yang tepat bagi bank-bank Indonesia. Hanya saja masih perlu untuk meningkatkan kebijakannya dan serius dalam penerapannya”. Lanjut Edi.

 

“Meski masih mendapat skor rendah pada kebijakannya, BNDES, investor terbesar komoditas berbasis lahan di Amerika Selatan, telah menurunkan eksposurnya pada perusahaan komoditas berisiko terhadap hutan yang beroperasi di Amerika Selatan selama setahun terakhir. Di sisi lain, lima investor teratas lainnya ––BlackRock, Fidelity Investments, Vanguard dan GPIF–– malah meningkatkan eksposur mereka. Semua perusahaan ini mendapat nilai sangat rendah dan masih ada investasi signifikan yang mengalir ke penggundulan hutan Amazon, dengan sedikit upaya lembaga keuangan untuk menghentikannya”. Ungkap Marcel, Direktur Eksekutif Repórter Brasil.

 

Sebuah studi mengindikasikan bahwa perusakan ekosistem hutan berkorelasi dengan munculnya penyakit zoonosis baru seperti virus corona, ini berarti menghentikan deforestasi sangat penting untuk mencegah terjadinya pandemi di masa depan. Namun, pada tahun 2020 saja 12,2 juta hektar hutan tropis hilang. Dari penilaian ini ditemukan bahwa lembaga keuangan telah meningkatkan investasi mereka untuk penggundulan hutan pada periode yang sama. Dibandingkan tahun 2020. Total nilai investasi pada perusahaan komoditas berbasis hutan telah meningkat dari 37,2 miliar USD pada April 2020 menjadi 45,7 miliar USD pada April 2021.

 

Penilaian tersebut juga menganalisis kebijakan umum dari sekitar 50 bank dan investor terbesar di dunia berdasarkan 35 kriteria Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG), serta menggabungkannya dengan data yang dihitung dengan menggunakan informasi pembiayaan dan investasi yang tersedia di database Forest & Finance (periode Januari 2016 – April 2020 untuk data kredit, dan April 2021 untuk data investasi). Setiap bank atau investor diberi peringkat berdasarkan kebijakan mereka serta jumlah pembiayaan pembiayaan komoditas yang berisiko terhadap hutan untuk menghitung keseluruhan skor lembaga keuangan tersebut.

 

###

Catatan untuk redaksi:

  • Forests & Finance merupakan koalisi organisasi yang terdiri dari Rainforest Action Network, TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US.
  • Untuk mengetahui lebih lanjut tentang data terbaru Forest & Finance dan bagaimana menggunakan platform ini untuk mengidentifikasi tren keuangan, mengungkapkan transaksi dan membandingkan bank dan investor, silahkan bergabung dengan kami dalam Webinar Multinasional: Peluncuran Data Forests And Finance 2021. Webinar ini akan dilaksanakan pada: Rabu, 9 Juni 2021 | 15.00–16.30 WIB | via Zoom (dengan ID Webinar 942 5815 1688 atau klik ly/forestfinanceid untuk registrasi). Webinar ini rencananya akan dihadiri:
  1. Fiona Armintasari, Peneliti Responsi Bank
  2. Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests and Finance
  3. Ward Warmerdam, Peneliti Profundo
  4. Edi Sutrsino, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  5. Bapak Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK*
  6. Ibu Tria Mutiari Meilan, BRI Sustainable Finance Team*

Kontak media:

Linda Rosalina:  [email protected]/+62 812-1942-7257

Perkebunan Sawit di Kalimantan Hasilkan Sejumlah Besar Emisi Karbon Dioksida

Perkebunan Sawit di Kalimantan Hasilkan Sejumlah Besar Emisi Karbon Dioksida

 

Perkebunan Sawit dan pengembangan produksi kelapa sawit di pulau Kalimantan telah mengakibatkan kerusakan hutan dan pelepasan emisi karbon dioksida secara besar-besaran, demikian hasil studi di bawah pimpinan para peneliti dari Universitas Stanford dan Universitas Yale.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change ini menunjukkan bahwa pengundulan hutan untuk pengembangan kelapa sawit di Kalimantan, Indonesia, menjadi sumber emisi karbon dioksida global yang signifikan.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan menyumbang lebih dari 558 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfir di tahun 2020 — jumlah yang lebih besar dari keseluruhan emisi bahan bakar fosil di Kanada belakangan ini.

Indonesia merupakan penghasil utama minyak kelapa sawit, yang secara bersamaan menempati 30 persen penggunaan minyak nabati di seluruh dunia, dan yang juga bisa digunakan untuk biodiesel. Sebagian besar pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikerjakan di pulau Kalimantan, yang luas areanya hampir menyamai luas penggabungan Kalifornia dan Florida di Amerika Serikat.

Di tahun 2010, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sudah melepas lebih dari 140 juta metrik ton karbon dioksida — jumlah yang setara dengan emisi tahuan dari 28 juta unit mobil.

Sebagai rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara terbesar di dunia yang menyumbang gas rumah kaca akibat dari hilangnya hutan-hutan kaya karbon dan lahan gambut. Sejak tahun 1990, pengembangan perkebunan kelapa sawit telah membabat hutan seluas 16.000 kilometer persegi di Kalimantan — kira-kira sama luasnya dengan Hawaii. Hal ini mengakibatkan hilangnya 60 persen dari total hutan di Kalimantan pada waktu itu, catat para penulis studi.

“Meskipun masih berlangsung perdebatan dalam hal penjadwalan jenis dan penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sektor ini justru berkembang pesat selama 20 tahun terakhir,” kata pemimpin proyek Lisa M. Curran, seorang profesor antropologi ekologi di Stanford dan rekan senior di Institut Lingkungan Stanford Woods. Dengan menggabungkan pengukuran lapangan dengan analisis citra satelit beresolusi tinggi, studi ini mengevaluasi lahan-lahan yang ditargetkan untuk menjadi perkebunan serta mendokumentasikan emisi karbonnya ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Para peneliti studi membuat peta komprehensif pertama dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berlangsung dari tahun 1990 hingga 2010. Dengan menggunakan teknologi klasifikasi mutakhir, yang dikembangkan oleh rekan penulis studi Gregory Asner dari Departemen Ekologi Global Institut Carnegie, para peneliti menghitung jenis-jenis lahan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, sekaligus emisi karbon dan penyerapan dari perkebunan kelapa sawit.

“Sebuah terobosan besar terjadi saat kami mampu membedakan bukan hanya lahan hutan dan non-hutan, tetapi juga hutan yang ditebangi, beserta mosaik berbagai ladang, pohon karet, kebun buah-buahan dan hutan sekunder dewasa yang digunakan petani kecil untuk mata pencaharian mereka,” kata Kimberly Carlson, seorang mahasiswa doktor Yale dan penulis utama dalam studi ini. “Dengan informasi ini, kami mampu mengembangkan pembukuan karbon yang kuat dalam rangka mengukur emisi karbon dari pengembangan kelapa sawit.”

Tim peneliti mengumpulkan catatan-catatan kontrak sewa lahan kelapa sawit selama wawancara dengan lembaga-lembaga pemerintah lokal dan regional. Catatan-catatan ini mengidentifikasi lokasi yang telah menerima persetujuan dan dialokasikan kepada perusahaan kelapa sawit. Total kontrak sewa yang sudah dialokasikan membentang sekitar 120.000 kilometer persegi, luas yang sedikit lebih kecil dari Yunani. Sebagian besar kontrak sewa lahan dalam studi ini menempati lebih dari 100 kilometer persegi, luas yang sedikit lebih besar dari Manhattan.

Dengan menggunakan kontak sewa ini, yang dikombinasi dengan peta-peta lahannya, tim riset mengestimasi pembukaan lahan di masa depan dan emisi karbon dari perkebunan. Delapan puluh persen kontrak sewa lahan tetap tidak ditanami di tahun 2010. Jika lahan-lahan kontak ini dikembangkan, maka lebih dari sepertiga dataran rendah di Kalimantan akan ditanami kelapa sawit di tahun 2020.

Meskipun ini merupakan jumlah yang sangat besar, informasi yang akurat tentang kontrak sewa lahan ini tidak tersedia bagi masyarakat, bahkan di saat kontrak sewa sudah dihibahkan. Rata-rata warga di Kalimatan kurang peduli pada pengembangan perkebunan lokal kelapa sawit, yang bisa menimbulkan dampak dramatis bagi kehidupan warga serta lingkungan, kata Curran.

“Kontrak sewa lahan perkebunan ini merupakan sebuah ‘eksperimen berskala besar’ yang belum pernah dilakukan sebelumnya terhadap konversi hutan dengan monokultur kelapa eksotis,” kata Curran. “Kita mungkin melihat titik kritis dalam konversi hutan di mana fungsi-fungsi biofisik yang penting telah terganggu, meninggalkan kawasan yang semakin rentan terhadap kekeringan, kebakaran dan banjir.”

Digabung dengan hasil sebelumnya dari studi tingkat kabupaten yang lebih rinci, yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti menekankan bahwa produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan – suatu tujuan nasional dari industri minyak sawit Indonesia — akan memerlukan evaluasi ulang terhadap pemberian kontrak sewa lahan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di atas lahan hutan.

Studi bertajuk “Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan Oil Palm Plantations” ini didukung oleh NASA Land Cover/Land-Use Change Program, John D. dan Yayasan Catherine T. MacArthur, Institut Santa Fe dan National Science Foundation.

Kredit: Universitas Stanford
Jurnal: Kimberly M. Carlson, Lisa M. Curran, Gregory P. Asner, Alice McDonald Pittman, Simon N. Trigg, J. Marion Adeney. Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1702

Keterbukaan Rantai Pasok Keuangan Perusahaan Sawit

5 Bank Terbesar Pendanaan Sawit di Indonesia

 

 

penulis: Novri Auliansyah

Akhir-akhir ini ketika dampak dari perubahan iklim sudah sangat terasa di berbagai negara[1], isu berkelanjutan dan perubahan iklim menjadi perhatian yang sangat serius bagi masyarakat dunia. Negara-negara di Eropa yang menaruh perhatian sangat besar terhadap isu-isu lingkungan, pada tahun lalu akhirnya sepakat  untuk memboikot sawit dari Indonesia[2]. 28 negara Uni Eropa memasukan sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan karena industri sawit yang massif telah mengakibatkan deforestasi alias perusakan hutan. Mereka menganggap pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca tidak dapat dinetralisir, sehingga mereka mengambil kesimpulan sawit bukan industri berkelanjutan dan tidak layak digunakan untuk biodiesel.Ancaman boikot yang digaungkan oleh negara-negara Eropa tentu saja membuat pemerintah Indonesia ketar-ketir. Pasalnya, bagi pemerintah Indonesia, industri sawit yang nilai eksport Crude Palm Oil (CPO) beserta turunannya tahun lalu sebesar  36,17 juta ton, tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu primadona untuk mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan meningkatkan ekonomi nasional.Badan Pusat Statistik (BPS), satu-satunya badan statistik di Indonesia, dalam publikasinya yang berjudul Statistik Kelapa Sawit Indonesia, diterbitkan awal 2019, melaporkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merupakan yang terbesar ketiga, yaitu 12,81%[3], dan kontibusi subsektor perkebunan yang didalamnya termasuk sawit, sebesar 3,30 persen terhadap total PDB (25,75 persen terhadap sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan).Harapan agar dengan adanya rencana boikot, pemerintah menjadi lebih aktif untuk mengontrol  para pelaku bisnis sawit mengembangkan industri yang berkelanjutan, tanpa konflik, dan membangun sebuah sistem rantai pasok yang transparan dan dapat ditelusuri, malah bagai panggang jauh dari api. Alih-alih memperbaiki sistem, Pemerintah Indonesia malah berkelit bahwa apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa adalah kampanye hitam terhadap sawit Indonesia. Lebih–lebih lagi, pemerintah berencana untuk melakukan banding, walaupun fakta laporan di lapangan membenarkan alasan-alasan pemboikotan negara-negara Eropa.

Padahal, jika pemerintah mau bersedia memperbaiki transparansi di industri sawit, publik dapat menelusuri rantai pasok kelapa sawit yang diekspor. publik dapat melacak dan memastikan bahwa produksi hasil sawit Indonesia didapatkan dan diproduksi dengan cara legal di daerah yang terbebas dari konflik sosial maupun lingkungan. Langkah ini akan menjadi modal penting pemerintah untuk membantah tudingan-tudingan miring produksi sawit Indonesia.

Keterbukaan informasi rantai pasok juga akan memudahkan kita untuk mengetahui siapa saja Investor dan Lembaga Keuangan yang menjadi penyandang dana pelaku industi sawit di Indonesia.

Keterbukaan dalam pendanaan merupakan salah satu hal penting untuk diketahui publik agar publik yang menyimpan uang di Lembaga jasa keuangan (LJK) mengetahui kemana uang mereka diinvestasikan dan dipinjamkan. Apakah uang mereka diinvestasikan ke pelaku bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan atau malah sebaliknya, diinvestasikan kepada pelaku-pelaku yang melakukan pengrusakkan hutan dan melakukan penyerobotan lahan warga sehingga mengakibatkan konflik.

Berdasarkan data TuK INDONESIA (2018), tercatat ada lima bank teratas yang memberikan layanan keuangan bagi pelaku industri sawit di Indonesia dari tahun 2014 sampai 2018. Penyandang dana terbesar pertama adalah Bank Mandiri, disulsul Bank Negara Indonesia (BNI), lalu Malayan Banking, CIMB dan Oversea Chinese Banking Corporation.

Data di atas, menunjukan dari lima bank tersebut, dua terbesar diantaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sisanya bank asing. Berdasarkan investigasi yang dilakukan TuK INDONESIA setelah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019, ditemukan bahwa bank-bank dari Indonesia ikut menjadi penyandang dana terbesar korporasi yang terlibat  karhutla dengan nilai yang cukup fantastis, mencapai USD 3 miliar[4].

Bank Negara Indonesia (BNI) salah satu dari lima bank terbesar penyandang dana untuk sawit, masuk di posisi tiga teratas pemberi dana terbesar kepada perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan nilai mencapai USD 1.086 juta. Selain BNI, Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga menjadi BUMN yang ikut mendanai perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan angka yang lebih tinggi dibanding BNI, yaitu mencapai USD 1.722 juta. Ini artinya selain bank-bank dari negara asing, bank-bank BUMN negara kita ikut memfasilitasi perusahan untuk melakukan pembakaran hutan. Lebih parah lagi, beberapa diantara perusahaan-perusahaan tersebut, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah perusahaan yang telah ditetapkan tersangka dan pernah diproses hukum pada kasus karhutla 2015[5].

Selain karhutla, kasus konflik lahan juga jadi masalah serius untuk menjalankan bisnis perkebunan yang berkelanjutan, kasus Korindo misalnya. Pada 2016, pedagang besar minyak sawit, termasuk Musim Mas dan Wilmar mencabut perjanjian pasokannya dengan Korindo karena ditemukan bukti pembukaan wilayah hutan yang sangat luas di Papua, dimana hal ini melanggar kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi’ (No Deforestation, No Peat and No Exploitation / NDPE).[6] Ketika kebjikan ini dilaksanakan, maka Korindo tidak dapat lagi mengembangkan sebagian besar tanah yang sudah diakumulasinya dan menyebabkan devaluasi signifikan terhadap aset-aset yang dimilikinya. Hal ini tentunya menjadi risiko serius bagi penyandang dananya seperti Bank Negara Indonesia (BNI) yang pada Quarter 3 tahun 2017 memberikan pinjaman sebesar USD 190 juta kepada divisi agrikultur Korindo.

Lembaga-lembaga keuangan, dalam hal ini bank dan investor, seharusnya sudah menyadari bahwa dengan memberikan pendanaan kepada perusahaan-perusahaan bermasalah, sama seperti menjerumuskan diri pada jurang. Terlebih kepada perusahaan yang pernah diproses hukum, mereka telah merisikokan diri dari sisi reputasi, finansial, dan kepatuhan. Sebaliknya, jika mereka memberikan pendanaan secara hati-hati hanya kepada perusahaan-perusahaan ramah lingkungan, selain mengecilkan tingkat risiko, ini juga akan membantu LJK meningkatkan nilai merk dan reputasi mereka.

Jika informasi rantai pasok industri sawit termasuk pendanaan dapat dibuka dan diakses, sebenarnya bukan hanya publik yang menjadi nasabah Lembaga Keuangan yang diuntungkan, namun juga Lembaga Keuangan itu sendiri. Dengan adanya keterbukaan informasi, mereka bisa melacak track perusahaan yang akan mendapatkan pendanaan, dan mengetahui seberapa besar risikonya. Keterbukaan ini juga akan meningkatkan keadilan dan kepatuhan terhadap hukum.

Lembaga-lembaga terkait, baik otoritas keuangan, lembaga keuangan, maupun penegakan hukum bisa bekerja bersama-sama untuk menciptakan situasi tersebut. Indonesia membutuhkan supra power yang dapat mengkoordinasikan semua lembaga untuk mencapai industri sawit berkelanjutan.

 

Referensi:

[1] Termasuk kasus kebakaran di Australia, Banjir di Indonesia awal tahun 2020

[2]  Kelapa sawit, ancaman perang dagang RI-Uni Eropa dan enam hal lainnya
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47663602 akses 3 maret 2020.

[3] Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018 https://www.bps.go.id/publication/2019/11/22/1bc09b8c5de4dc77387c2a4b/statistik-kelapa-sawit-indonesia-2018.html akses 3 maret 2020.

[4] Bank-Bank BUMN terbukti mendanai perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan

https://www.tuk.or.id/2019/11/14/bank-bumn-terbukti-mendanai-perusahaan-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan/

[5] KLHK: Perusahaan Tersangka Karhutla Sudah Pernah Didenda 2015

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191001191719-20-435837/klhk-perusahaan-tersangka-karhutla-sudah-pernah-didenda-2015

[6] Rainforest Action Network, TuK-INDONESIA, Walhi, dan Profundo; Malapetaka Korindo, Perampasan Tanah dan Bank (2018).

Pernyataan Kota Kinabalu Tentang Industri Kelapa Sawit Dan Kebebasan Berekspresi

Pernyataan Kota Kinabalu Tentang Industri Kelapa Sawit Dan Kebebasan Berekspresi
7 Februari 2020

Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia

Kami, Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil dari negara-negara penghasil minyak sawit di Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara menuntut hak untuk mengekspos realitas yang kita hadapi di masyarakat kita tentang dampak dari industri kelapa sawit.

Kami telah berkumpul di sini , dari Peru, Ekuador, Kolombia, Guatemala, Sierra Leone, Liberia, Ghana, Kamerun, Malaysia, Indonesia dan Filipina, di Kota Kinabalu , Sabah, Malaysia untuk berbagi pengalaman kami dengan sektor minyak kelapa sawit dan dampaknya terhadap komunitas, wilayah, dan masyarakat kami. Bersama-sama, kami ingin mengeksplorasi potensi perubahan di negara kami dan industri secara internasional supaya produksi minyak kelapa sawit membawa pembangunan murni dan bukan eksploitasi, penggundulan hutan , perampasan tanah, dan kemiskinan .

Namun, sementara kami berkumpul di sini, kami bersaksi bahwa perwakilan dari industri kelapa sawit melabeli kami di media sebagai “entitas berbahaya” ‘[1] dan mengutuk upaya kami untuk mengekspos realitas kami sebagai ‘kampanye hitam’ . Kami, yang mewakili keadilan lingkungan, hak asasi manusia, perempuan, pemuda dan organisasi masyarakat adat, dengan tegas mengutuk pernyataan ini.

“Kami adalah warga negara dari negara kami dan kami memiliki hak onstitutional untuk berbicara dan mencari keadilan bagi masyarakat kami” kata Wisdom Adjawlo dari Youth Volunteers for the Environment Ghan . “Upaya untuk membatasi kegiatan kami dan memberangus suara kami bukan hanya penyalahgunaan hak untuk kebebasan berekspresi tetapi akan menghasilkan hasil yang lebih buruk untuk semua.”

‘Sejak kapan orang yang melindungi hutan tradisional, tanah dan lingkungan disebut ‘berbahaya’?” ungkap Andrew Aeria dari the Non-Timber Forest Products Exchange Program, Malaysia. “Penanaman sawit tanpa Free, Prior and Informed Consent dari masyarakat adat jelas merupakan bahaya bagi mereka, hutan mereka dan tanah mereka. Termasuk pestisida yang mereka gunakan di kebun itulah yang nyata berbahaya!”

“Perusahaan kelapa sawit menghancurkan hutan kami dan merampas tanah kami dengan keterlibatan instansi pemerintah” kata Miguel Guimar dari Suku Shipibo, Peru . “Kami telah mengupayakan keadilan melalui pengadilan setempat, dengan menuntut kepada pemerintah dan mengajukan pengaduan dengan RSPO . Namun, minyak sawit yang diproduksi oleh deforestasi atas tanah kami yang dicuri kini dijual ke pasar internasional oleh RSPO – oleh perusahaan anggota, bahkan setelah keluhan kami ditemukan valid.”

“Di Indonesia , deforestasi, pembukaan lahan gambut dan kebakaran hutan, banyak yang disebabkan oleh ekspansi sawit, telah membuat negara kami menjadi emitor terbesar keenam hijau gas rumah di seluruh dunia – itulah skala dampak yang terlihat. Masyarakat lokal tidak dapat menerima bahwa perusakan lingkungan ini terus berlanjut,” kata Triana Wardani dari organisasi massa perempuan Indonesia , SERUNI. “Ekspansi sawit berarti bahwa perempuan telah kehilangan kendali atas tanah dan sumber daya alam mereka, memaksa mereka dan keluarga mereka dalam kesulitan.”

“Perempuan adalah penjaga budaya dan tanah kami. Perempuan adat kami berbaris untuk mempertahankan tanah kami dan demi hak kami untuk mempertahankan cara hidup kami yang dihancurkan oleh berbagai ekspansi industri termasuk produksi minyak kelapa sawit” catat Hernan Payaguaje dari Suku Secoya di Amazon, Ekuador.

‘Di Kamerun , hilangnya akses terhadap tanah dan hutan yang diambil alih oleh pasukan perusahaan-perusahaan sawit membuat perempuan terpaksa menerima pekerjaan bergaji rendah di perkebunan, di mana mereka mengalami pelecehan seksual dan kekerasan. Pekerja perempuan bahkan tidak punya waktu untuk mengasuh anak. Bahasa lokal dan tradisi yang hilang, serta dengan mereka pengetahuan tentang bagaimana untuk hidup dalam kemakmuran” lapor Carrele Mawamba dari Green Development Advocates, Kamerun. “Kedatangan perkebunanmsawit telah membawa pelecehan seksual, perkawinan di bawah umur dan lebih buruk lagi”

“Di Guatemala, masyarakat adat Q’eqchi telah kehilangan banyak tanah dan sekarang menghadapi masalah polusi dan pengalihan aliran air dan sungai yang menghalangi mereka dari air minum” jelas Geisselle Sanchez Monge dari the local chapter of Action Aid. “Kami ingin bahwa hak masyarakat dihormati dan bahwa perusahaan menghormati hukum dan kewajiban mereka.

“Sawit menghancurkan seluruh tata cara hidup kami sebagai masyarakat adat,” ungkap Krissusandi Gunui dari Institute Dayakologi dari Kalimantan, Indonesia. “Tidak hanya mengambil tanah adat kami tetapi juga dasar identitas dan cara hidup kami. Seharusnya tidak ada ekspansi lebih lanjut selama minyak sawit masih berarti perampasan dan perampasan tanah”.

“Konflik pertanahan tersebar luas di Indonesia”, tegas Andi Muttaqien dari kelompok hak asasi manusia Indonesia ELSAM. “Konflik semakin memburuk sebagai dampak atas kelangkaan tanah meningkat. Banyak masyarakat sekarang terpaksa mencuri buah sawit brondolan dan bahkan reclaim kembali lahan-lahan kecil mereka di dalam perkebunan untuk menanam sayuran untuk dijual di pasar lokal.”

“Pekerja migran, yang merupakan andalan industri kelapa sawit di Malaysia, menghadapi masalah besar eksploitasi, pekerjaan informal tanpa kontrak atau dokumentasi, kondisi kehidupan di bawah standar dan bahkan kerja paksa ‘, kata Lanash Thanda dari Sabah Environmental Protection Association.

“Perusahaan harus menghormati hak-hak buruh . Memberikan pekerjaan yang layak dan upah yang layak adalah wajib untuk memastikan kualitas hidup bagi buruh dan keluarga mereka”, tambah perwakilan dari serikat pekerja OPPUK- SERBUNDO .

“Perusahaan tidak dikritik karena mengamankan investasi dari bank asing , menjual produk mereka ke pasar luar negeri, atau mengirim keuntungan mereka di luar negeri, tetapi LSM internasional difitnah karena bersolidaritas dengan kami”, kata Geofani dari Link – AR Borneo. “Pengembangan dan produksi biofuel sering berpotongan dengan masalah lingkungan, pembakaran hutan, dan hilangnya lahan, yang dibiayai secara internasional. Sebuah gerakan sistematis di lapangan menyasar kami, sehingga solidaritas internasional adalah suatu yang kami butuhkan. Kami menyambut upaya global untuk memperkuat suara kami”.

“Minyak kelapa sawit adalah komoditas global. Sampai mereka yang terkena dampak bisa mendapatkan keadilan secara nasional dan melalui pengadilan lokal, kita harus mencari jalan lain ke forum internasional untuk mendapatkan pemulihan. Kami menyambut fakta bahwa pembeli dan pabrik sekarang dapat menolak untuk menggunakan kelapa sawit yang berasal dari lahan perampasan , deforestasi dan eksploitasi’ kata Nikodemus Ale dari WALHI Kalimantan Barat .

“Semua hal seperti itu perlu diekspos dan ditangani oleh perusahaan dan tidak ditutup-tutupi,” kata Leili Khainur dari organisasi perempuan akar rumput Serumpun di Kalimantan Barat. “Satu-satunya kampanye hitam di sektor sawit berasal dari mereka yang berusaha menutup debat publik. Monokultur telah mengurangi pilihan ekonomi lokal. Fokus kami saat ini adalah pada pembangunan kembali keberagaman pilihan ekonomi lokal, terutama melalui kerja sama dengan wanita . Mereka adalah pendorong nyata pembangunan lokal – mereka menanam padi, menyadap karet, menanam sayuran , mengumpulkan hasil hutan dan meningkatkan generasi masa depan . ‘

Mendengarkan suara-suara komunitas lokal dan petani kecil akan meningkatkan industri global dan hasilnya bagi masyarakat lokal. “Untuk menghasilkan minyak kelapa sawit berkelanjutan, perusahaan dan pemerintah tidak hanya harus bergantung pada standar industri, tetapi mereka harus fokus pada pengembangan kapasitas petani lokal dan memastikan bahwa mereka tidak dikecualikan dari manfaat produksi minyak kelapa sawit oleh produsen skala besar yang kuat”, catatan Nurbaya Zulhakim dari Setara JAMBI dari Sumatra, Indonesia.

Kami juga mencatat bahwa situasinya tidak semuanya negatif , dan beberapa perusahaan berupaya untuk mengatasi masalah ini . Kami mencatat bahwa para RSPO dan beberapa perusahaan bersertifikat bekerja untuk korupsi alamat. Namun, ini adalah masalah sistemik dan sering diabaikan atau dihindari.

Namun demikian, “Standar RSPO masih sangat relevan untuk masyarakat kita dan petani kecil di Kolombia , yang kekurangan hukum nasional yang sesuai untuk sektor kelapa sawit”, ungkap Leonardo Gonsalez Perafan dari Indepaz , Kolombia . “Kami dapat menggunakan RSPO untuk mendorong perilaku yang lebih baik oleh perusahaan yang jika tidak melanggar hak-hak masyarakat . Hak untuk Free, Prior and Informed Consent sangat penting untuk melindungi masyarakat lain yang rentan.’
“Standar sukarela ini bukan satu-satunya solusi,” tambah Linda Rosalina dari TuK INDONESIA , yang melacak investasi di sektor minyak kelapa sawit . “Kita juga perlu nasional hukum reformasi untuk menegakkan hak-hak, memberikan akses terhadap keadilan dan mengatur pengembang dan investor. Terutama karena kebijakan dan peraturan dari pemerintah kita sering menguntungkan perusahaan daripada orang-orang kita”.

“Di Liberia , Undang-undang Hak atas Tanah yang baru menjanjikan keamanan lahan untuk masyarakat adat , yang merupakan langkah besar ke depan , tapi masalah tetap bagi masyarakat yang tinggal di jutaan hektare yang tanahnya telah dialokasikan untuk perusahaan selama 50 tahun atau lebih , lapor Sampson Williams dari Sustainable Development Institute. “Di mana hukum nasional yang lemah , kita perlu alternatif di tingkat internasional dan dalam konteks negara kosumen.”

Perwakilan dari beberapa perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia menyebut kami tidak ramah dan berbahaya karena mengungkap realitas yang kami hadapi di komunitas kami. Mereka ingin menyembunyikan dampak bisnis mereka pada komunitas lokal, lingkungan lokal, hutan kita, sungai, budaya, wilayah dan planet ini. Kami berdiri teguh dalam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat untuk mengekspos para realitas industri kelapa sawit global. Kami menyerukan kepada semua perusahaan kelapa sawit untuk menegakkan tugas mereka untuk menghormati batasan lingkungan dan hak asasi manusia , termasuk hak kami untuk kebebasan berekspresi. – Pernyataan Kota Kinabalu

Bersama-sama, kami mengingatkan pemerintah kami bahwa kewajiban pertama mereka adalah menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak-hak rakyat mereka. Mereka seharusnya peka terhadap nasib masyarakat lokal yang berjuang untuk bertahan dari dampak industri kelapa sawit, dan mereka tidak boleh terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia demi keuntungan minyak sawit. Kami meminta pemerintah untuk mendukung diberlakukannya perjanjian mengikat tentang bisnis dan hak asasi manusia yang sedang dibahas di PBB.

Kami tidak menentang minyak kelapa sawit, tetapi kami tidak menerima perusakan lingkungan yang gegabah dan penyalahgunaan hak asasi manusia yang menyertai produksi minyak sawit. Baik dilakukan industri minyak kelapa sawit global, konsumen atau pemerintah negara-negara penghasil dan pengimpor minyak sawit .

Alih-alih menyebut nama dan menyensor, kami menyambut diskusi tulus, dengan itikad baik dengan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit yang menganggap serius kewajiban lingkungan dan hak asasi manusia mereka.

Pernyataan Kota Kinabalu Tentang Industri Kelapa Sawit Dan Kebebasan Berekspresi.

Ditandatangani :
Green Development Advocates, Cameroon
Instituto de estudios para el desarrollo y la paz (Indepaz), Colombia
Alianza Ceibo, Ecuador
Young Volunteers for the Environment, Ghana
Action Aid, Guatemala
ELSAM, Indonesia
Link-AR Borneo, Indonesia
Setara JAMBI, Indonesia
Institut Dayakology, Indonesia
Sarumpun, Indonesia
TuK INDONESIA, Indonesia
Ecoton, Indonesia
Auriga, Indonesia
SERUNI, Indonesia
WALHI Kalimantan Brat, Indonesia
Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, Indonesia
Yayasan Pusaka, Indonesia
OPPUK INDONESIA – SERBUNDO, Indonesia
Sustainable Development Institute, Liberia
Sabah Environment Protection Association, Malaysia
Non-Timber Forest Products Exchange Programme, Malaysia
Federacion de Comunidades Nativas De Ucayali y Afluentes – FECONAU, Peru
National Movement for Justice and Development, Sierra Leone

Pernyataan Kota Kinabalu Tentang Industri Kelapa Sawit Dan Kebebasan Berekspresi.

Dengan dukungan dan solidaritas dari:
Both ENDS, the Netherlands
Forest Peoples Programme, the United Kingdom

Pernyataan Kota Kinabalu Tentang Industri Kelapa Sawit Dan Kebebasan Berekspresi.

Kuasa Taipan Sawit di Indonesia 2018

Kuasa Taipan Sawit di Indonesia 2018. Pada bulan Februari 2015, TuK meluncurkan laporan penelitian tentang para Taipan Sawit di Indonesia yang pertama. Hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Profundo ini membuka mata berbagai pihak tentang seberapa besarnya andil taipan dalam sektor perkebunan sawit. Penelitian ini juga menunjukkan berapa banyak bank tanah perkebunan yang belum dikembangkan yang ada dalam kendali mereka, serta yang terpenting, bagaimana para pendukung dana telah membantu realisasi konsentrasi kekuasaan ini.

Penelitian ini mendukung seruan LSM untuk adanya reformasi agrarian dan untuk sektor keuangan yang berkelanjutan. Hasil temuan ini juga memicu pembahasan tentang pentingnya mengembangkan industri hilir minyak sawit. Selain itu, masyarakat umum menjadi lebih sadar tentang konflik yang terjadi dalam sektor kelapa sawit dan bagaimana sektor keuangan pula yang bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi tersebut.

Tiga tahun telah berlalu sejak penerbitan publikasi tentang Taipan pertama. TuK merasa tepat waktunya untuk menilik kembali penelitian ini dan mengumpulkan informasi dan data terkini terkait permasalahan tersebut.
Mengingat hal ini, Profundo dan TuK INDONESIA melakukan pemutakhiran penelitian tentang kekuasaan para taipan di sektor kelapa sawit Indonesia. TuK INDONESIA, bersama mitra kolaborasinya, akan memanfaatkan hasil temuan penelitian (terkini). Hal ini untuk mengidentifikasi hubungan dengan para taipan dengan politically exposed persons (PEP) yang terlibat dalam pemilihan umum 2019.

Dalam laporan ini kita bisa mengetahui siapa saja para taipan yang mengendalikan 25 Group penguasa lahan sawit di Indonesia. Ini termasuk Group yang terlibat dalam kebakaran hutan 2019, dan dari mana sumber keuangan mereka.

Download kuasa taipan kelapa sawit di indonesia final

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019

“Merawat masa depan industri sawit dengan menyejahterakan buruh sawit: Catatan-catatan penting untuk perlindungan buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia.”

Setelah sebuah dokumentasi video yang berudul Sexy Killers merajai wacana internet di Indonesia pada pertengahan April 2019, masyarakat dicerahkan oleh fakta-fakta yang mencengangkan tentang industri Batubara yang sarat dengan pelbagai masalah. Mulai dari AMDAL yang dipalsukan, tata kelola limbah yang amburadul, distribusi yang sarat jejak karbon dan masalah lingkungan, sampai konflik tak berkesudahan antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Secara keseluruhan, film dokumentasi tersebut menunjukkan bahwa industri pertambangan Indonesia mengalami salah tata kelola yang menyebabkan korban jiwa, kerugian materiil maupun kerugian-kerugian immateriil, yang sebagian besar ditanggung oleh masyarakat. Dalam konteks yang sama, Koalisi Buruh Sawit Indonesia mencatat dengan baik bahwa perkebunan sawit juga hidup di atas tata kelola yang merugikan banyak pihak. Sejak lama dunia internasional mempermasalahkan urusan tata kelola lingkungan hidup, dan deforestasi akibat ekspansi industri sawit sebagai ancaman global. Industri sawit lebih tragis karena wacana ini selalu absen dari segala perdebatan tentang kondisi  manusia yang hidup dari industri ini, mereka adalah pekerja/buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, yang bergantung pada perkebunan sawit sekaligus yang dikorbankan.

Dalam catatan Transformasi Untuk Keadilan (TUK Indonesia) yang merupakan anggota dari Koalisi Buruh Sawit (KBS), pemerintah Indonesia sebagai administrator tata kelola negara tidak memiliki data yang pasti dan akurat tentang luas dari perkebunan sawit di Indonesia. Ada enam lembaga negara yang memiliki data yang berbeda, namun tidak satupun yang bisa dijadikan acuan. Konon lagi data jumlah buruh perkebunan sawit. Asumsi yang digunakan oleh lembaga negara adalah jumlah luas perkebunan dibagi dengan target kerja individu buruh sawit. Menurut presiden Jokowi, luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 13 juta hektar [1], bila dibagi dengan seorang buruh yang mampu mengerjakan 2 hektar (asumsi rata-rata), maka jumlah buruh sawit berdasarkan rasio beban kerja dengan total luas lahan adalah  7 juta buruh, ini belum termasuk keluarga mereka, dan belum termasuk buruh-buruh di pabrik kelapa sawit (PKS). Jumlah ini merupakan jumlah yang signifikan dalam konstalasi ketenagakerjaan Indonesia. Buruh sawit adalah kelompok buruh perkebunan terbesar dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Namun, dalam lembar fakta[2] yang dituang dari Focus Group Discussion, Koalisi Buruh sawit menemukan catatan-catatan pilu tentang kondisi pekerja perkebunan sawit, hal ini berbanding terbalik dengan prestasi industri sawit Indonesia yang berkontribusi sebesar 429 Triliun terhadap PDB Indonesia[3] pada tahun 2016 saja. Pada tahun 2017, Indutri sawit menjadi penyumbang PDB terbesar bagi Indonesia dengan rasio 11% dari total PDB.

Catatan-catatan buruh perkebunan sawit di Indonesia

Lembar Fakta Buruh Sawit 2018 yang dirilis oleh Koalisi Buruh Sawit* pada maret 2018, menyoroti dua masalah utama yang dialami oleh buruh sawit[4]: Pertama, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada buruh. Hal ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi terhadap buruh seperti: pemberian target kerja yang tidak manusiawi, diskriminasi terhadap buruh perempuan, adanya pekerja anak -dampak dari target yang tidak manusiawi- , penyelewengan status kerja dan praktek upah di bawah aturan yang melanggar UU Ketenagakerjaan No 13  tahun 2003, serta pemberangusan serikat pekerja dengan berbagai modus operandi (yang melanggar UU Kebebasan Berserikat No.21 tahun 2000). Koalisi Buruh Sawit mencatat, setidaknya lebih dari 10 kasus pemberangusan serikat pekerja dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan pada tahun 2018 saja. Perkara terbaru adalah pemecatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sawit di Sumatera Selatan kepada anggota serikat pekerja GSBI (Gabungan Buruh Serikat Indonesia), karena dianggap turut memprovokasi dengan mengirimkan surat kepada Presiden pada November lalu.[5] Lemahnya pengawasan dan penindakan hukum juga dapat dilihat dari kasus yang dialami oleh buruh-buruh pekerja perkebunan kelapa sawit di perkebunan Rajawali Corpora, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Ratusan buruh sawit dari Federasi Serikat Pekerja BUN Sawit Rajawali menggelar aksi demonstrasi di kota Kabupaten menuntut upah mereka yang belum dibayar oleh perusahaan, dan pembayaran atas penunggakan biaya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan [6]. Setelahnya, ada kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja, namun perusahaan tidak memenuhi kesepakatan, dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah.

Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Perkebunan Kelapa Sawit dapat dijejaki dari studi kebijakan yang dilakukan oleh tim riset internal TURC (UU No.7 tahun  1981, UU No.21 Tahun 2003, Permen No.9 Tahun 2005, UU No.23 Tahun 2014). TURC menemukan skema pengawasan dari kementrian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan yang cukup esensial. Pertama pengawas ketenagakerjaan yang ada di provinsi tidak punya pengetahuan teknis yang memadai tentang industri sawit, hal ini mempersulit pengawas untuk memahami konteks perkebunan sawit sehingga sulit menemukan pelanggaran di dalam perkebunan. Kedua, jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan dan luas wilayah pengawasan. Ketiga, mekanisme pengawasan (tempat dan perusahaan yang dituju) sudah ditentukan dalam program kerja tahunan, oleh sebab itu bila ada pengaduan dari buruh yang bersifat insidentil, harus melalui persetujuan birokrasi, dan disetujui oleh pihak yang berwenang untuk dilakukan monitoring. Hal ini membuat penindakan kasus seringkali terlambat bahkan sering terlupakan.

Masalah kedua lebih pelik, yaitu tidak ada aturan yang spesifik mengatur hak-hak buruh sawit secara adil. Indonesia hanya memiliki satu acuan umum dalam mengatur perlindungan  hak-hak pekerja, yaitu undang-undang ketenagakerjaan yaitu UU No. 13/2003 -dengan PP 78 sebagai aturan tambahan untuk skema pengupahan-. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, undang-undang ini gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena UU Ketenagakerjaan dibuat berdasarkan pada kondisi pekerja  sektor manufaktur. Sifat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit berbeda jauh dari pekerjaan di sektor manufaktur, hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Secara gamblang, pekerja di sektor perkebunan memiliki beban kerja yang jauh lebih berat daripada pekerja manufaktur. Selain itu, pekerja perkebunan secara sosiologis terisolasi dari dunia luar. Mereka hidup dalam pemukiman berbentuk kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan, dimana dalam riset yang dilakukan oleh TURC di tiga perkebunan besar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, perumahan yang disediakan tidak layak. Masalah-masalah dasar seperti sanitasi, air bersih yang cukup, saluran air, ruang-ruang bermain yang aman, sampai fasilitas kesehatan, tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan. Buruh kebun kelapa sawit juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengakses pendidikan, akses ke fasilitas kesehatan untuk penyakit berat, dan akses hiburan, karena lokasi mereka yang jauh di dalam perkebunan, diperparah dengan infrastruktur jalan yang sulit untuk ditembus.[7]

Dalam konteks ini, Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia, dianggap tidak mampu membaca kebutuhan buruh perkebunan kelapa sawit, bahkan cenderung mendiskriminasi buruh perkebunan sawit.

Kerja Prekariat yang Mendiskriminasi Perempuan

Hasil temuan Koalisi Buruh Sawit yang dituang dalam lembar fakta, sebagian besar dari jutaan pekerja sawit merupakan pekerja prekariat, atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL), dan sebagian besar BHL adalah perempuan[8]. Hal ini dikarenakan perempuan mendapat porsi pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan musiman seperti perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Perempuan juga dengan sistematis dibatasi hari kerjanya menjadi 20 hari dalam sebulan, hal ini untuk menyiasati aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan membayar pekerja yang bekerja 21 hari berturut-turut dengan upah minimum daerah, dan mengangkat mereka menjadi pekerja tetap. KBS menemukan hampir di semua perkebunan sawit di Indonesia para perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun, seperti temuan Sawit Watch di PT. Agro Kati Lama (anak perusahaan Sipef), yang menemukan ada 1200 pekerja perempuan yang berstatus Buruh Harian lepas.

Buruh sawit perempuan (yang memiliki peran ganda)adalah pekerja yang paling rentan terkena dampak buruk kesehatan, akibat perlengkapan K3 yang diperlukan sebagian besar tidak layak, bahkan di beberapa perkebunan, buruh perempuan harus membayar untuk mendapatkan perlengkapan K3 yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan. Celakanya, Pekerja BHL biasanya tidak mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga saat mereka sakit, mereka harus menggunakan dana sendiri atau utang, hal ini membuat pekerja perempuan rentan jatuh ke dalam kubangan utang yang membuat mereka tidak bisa lepas dari perkebunan. Ini merupakan modus perbudakan baru di perkebunan sawit.

Diplomasi Sawit, Diplomasi Buruh

Indonesia dan beberapa negara produsen sawit besar kini sedang meradang karena Uni-Eropa pada tahun 2018 mengeluarkan aturan yang melarang produk-produk minyak nabati yang berkontribusi pada deforestasi, memasuki Eropa dimulai dari tahun 2021. Keputusan ini diambil oleh parlemen Uni-Eropa untuk mencapai tujuan mereka dalam pengurangan gas rumah kaca dan menghentikan pemanasan global. Perkebunan Kelapa Sawit ditenggarai menjadi salah satu penyumbang utama deforestasi di negara-negara tropis sehingga dianggap berkontribusi besar pada pemanasan global. Aturan Renewable Energy Directive (RED II) ini [9] dianggap sebagai aturan diskriminatif yang menyudutkan industri sawit Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2018 secara agresif melakuan diplomasi ke berbagai pihak yang berpengaruh. Bahkan pada awal 2019, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Perdagangan, berencana menggugat Uni-Eropa ke WTO.[10]  Sayangnya, dalam dokumen RED II, maupun dalam dokumen-dokumen diplomasi pemerintah Indonesia, tidak ada satu poin-pun yang menyinggung tentang tata kelola buruh kelapa sawit. Dalam perspektif yang lebih luas, keenganan pemerintah memperbaiki kondisi buruh sawit Indonesia dapat dilihat dari belum diratifikasinya Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan, dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja di Perkebunan.  Strategi diplomasi Indonesia selalu menggunakan narasi Smallholders yang menurut utusan pemerintah Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan berhasil mengurangi kemiskinan secara signifikan di Indonesia.[11] Namun Pemerintah Indonesia menutup mata atas masalah-masalah perburuhan di perkebunan sawit. Buruh sawit tidak dianggap menjadi bagian strategis dari strategi diplomasi Indonesia. Koalisi Buruh Sawit menilai pemerintah Indonesia meremehkan peran jutaan buruh sawit dalam rantai industri sawit. Padahal dalam simulasi studi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor [12], peningkatan pada kesejahteraan Buruh Sawit berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan secara multiplier berpengaruh pada perbaikan kualitas hidup manusia Indonesia.

Peran Institusi Finansial

Salah satu entitas yang secara langsung berhubungan dengan industri sawit adalah entitas finansial. Entitas perbankan menjadi tumpuan dalam industri sawit sebab melalui skema pinjaman modal, perusahaan sawit bisa menjalankan aktivitas operasional  mereka. Dalam catatan Koalisi Buruh Sawit, melalui riset yang dilakukan oleh TUK Indonesia[13], Koalisi Buruh Sawit menemukan lembaga-lembaga finansial memainkan peran penting dalam tata kelola industri sawit. Namun dalam temuan TUK Indonesia, peran lembaga finansial saat ini justru tidak sejalan dengan kebijakan good governance and social responsibility dimana lembaga finansial memberikan kemudahan pinjaman modal kepada perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak buruhnya dengan pantas. Koalisi Buruh Sawit melihat lembaga keuangan sebagai investor dapat mengintervensi kebijakan perkebunan sawit melalui skema-skema peminjaman modal dan pembagian hasil, yang secara tidak langsung mampu mepengaruhi perbaikan buruh di level perusahaan.  KBS mendorong lembaga finansial untuk patuh kepada prinsip-prinsip Good governance and Social Responsibility dengan cara memberikan pinjaman hanya kepada perusahaan yang memenuhi hak-hak pekerjanya, dan lebih jauh lagi, mendorong perusahaan perkebunan sawit untuk mengadopsi skema-skema pengupahan yang berpihak pada buruh sawit.

Seruan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit pada Mayday 2019

Jutaan buruh perkebunan kelapa sawit hari-hari ini berjibaku dengan target-target harian, menerjang hawa terik dan badai hujan, oleh pekerjaan dari tangan-tangan mereka, kita dapat menikmati produk-produk turunan kelapa sawit. Hampir semua produk makanan dan kosmetik yang kita gunakan sehari-hari, memiliki produk dari sawit. Melalui hari buruh internasional 2019, Koalisi Buruh Sawit menuntut perbaikan tata kelola ketenagakerjaan di perkebunan sawit, dengan prinsip-prinsip kesejahteraan dan keadilan.

Tuntutan Koalisi Buruh Sawit:

  1. Menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi buruh sawit dengan membuat sebuah aturan khusus yang mengatur hak-hak pekerja sawit secara adil dan berorientasi pada kesejahteraan, bukan pada upah minimum semata.
  2. Menyerukan agar pemerintah mengawasi regulasi perburuhan di perkebunan sawit, dan secara tegas menindak perusahaan sawit yang terbukti merampas hak-hak buruh sawit, dan terbukti tidak menaati kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati antara serikat pekerja dan perusahaan.
  3. Mendesak pemerintah merevisi mekanisme pengawasan ketenagakerjaan khususnya pengawasan pada perkebunan sawit yang memiliki kriteria unik, dan jangkauan yang luas.
  4. Mendorong pemerintah Pemerintah Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja (K3) di Perkebunan.
  5. Menyerukan kepada institusi finansial agar mengadopsi dan mengimplementasi prinsip-prinsip Good Governance & social responsibility dengan tidak memberikan pinjaman kepada perusahaan sawit yang terbukti tidak memenuhi hak-hak buruhnya, dan lebih jauh lagi, menyerukan institusi finansial agar mendorong debitur sawit untuk mengadopsi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut sebagai syarat untuk bermitra.
  6. Mendesak perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia untuk mematuhi peraturan ketenagakerjaan RI, maupun aturan-aturan dari otoritas eksternal seperti RSPO, ISPO, FPIC, dll
  7. Mendesak Perusahaan untuk selalu mengikutsertakan serikat pekerja dalam perundingan pembuatan aturan-aturan ketenagakerjaan perusahaan melalui forum-forum resmi seperti bipartit atau tripartit. Mengecam semua tindakan ‘pemberangusan serikat’ dengan segala modus operandinya.

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019.

Minggu, 28 April 2019

 

Koalisi Buruh Sawit

 

 

[1]https://www.mongabay.co.id/2019/01/04/ketika-jokowi-minta-lahan-perhutanan-sosial-jangan-tanami-sawit/. Diakses pada 23 April 2019

[2] http://www.turc.or.id/lembar-fakta-perlindungan-buruh-sawit-indonesia-2018/. Diakses pada 22 April 2019

[3] https://www.aktual.com/dirjen-perkebunan-sawit-beri-sumbangan-terbesar-pdb/. Diakses pada 23 April 2019

[4] http://elsam.or.id/2018/04/lembar-fakta-perlindungan-buruh-sawit-indonesia-2018/ Diakses pada diakses pada 23 April 2019

[5] https://www.konfrontasi.com/content/ragam/protes-keras-pemecatan-buruh-sawit-pt-sms. Diakses pada 23 April 2019

[6] http://www.jurnalisia.net/2019/02/buruh-sawit-unjukrasa-ke-dprd-kotabaru.html?m=1. Diakses pada 23 April 2019

[7] https://nusantara.news/nasib-mengenaskan-buruh-sawit-sudah-bergaji-rendah-diancam-ular-kobra-pula/ . Diakses pada 23 April 2019

[8] http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/ Diakses 24 April 2019

[9] https://ec.europa.eu/jrc/en/jec/renewable-energy-recast-2030-red-ii . Diakses pada 23 April 2019

[10] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190418170923-4-67628/aturan-sawit-eropa-diskriminatif-ri-bersiap-gugat-ue-ke-wto . Diakses pada 23 April 2019

[11] https://www.sawitindonesia.com/di-vatikan-terungkap-fakta-sawit-entaskan-kemiskinan/ . Diakses pada 23 April 2019

[12] https://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55146/2012rjo.pdf;sequence=1 . Diakses pada 23 April 2019

[13] https://www.tuk.or.id/2018/11/12/malapetaka-korindo-perampasan-tanah-bank/ . Diakses pada 23 April 2019

Inpres Moratorium Sawit, Apa yang Dimoratorium ? – Press Release

Inpres Moratorium Sawit, Apa yang Dimoratorium ?

Inpres Moratorium Sawit 01

Inpres Moratorium Sawit 01

Inpres Moratorium Sawit 02

Inpres Moratorium Sawit 02

Jakarta, 9 Oktober 2018—Jikalahari dan TuK INDONESIA menilai Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang terbit pada 19 September 2018, tidak tegas mengatur soal penegakan hukum, evaluasi berlaku surut dan jangkauan pihak perlu diperluas.

Penegakan Hukum Dimoratorium?

Presiden Jokowi khusus memberi instruksi pada Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal “Langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data dan evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit”.
“Sampai kapan ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai? Dalam Inpres tidak disebutkan berapa hari, bulan atau tahun ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai dilakukan. Menko ditugaskan membentuk tim kerja dan melaporkan kepada Presiden enam bulan sekali. Lalu, kapan Menko akan membentuk tim?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“Bila ‘verifikasi data dan evaluasi sedang berjalan’ atau Tim Kerja sedang melakukan ‘verifikasi data dan evaluasi’, padahal terbukti sawit korporasi dan Cukong berada dalam Kawasan Hutan tanpa izin dari Menteri, penegakan hukum dapat dilakukan? Atau penegakan hukum dimoratorium sampai ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai?” kata Made Ali.
Fakta di Riau, DPRD Riau[1]  pada 2015 menemukan lebih dari 2 juta ha perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin (khususnya tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan). Dari total 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang memiliki izin pelepasan kawasan berjumlah 132 perusahaan atau 25,89%. Sisanya yaitu 378 perusahaan atau 74,12% tidak memiliki izin pelepasan kawasan. Jika ditinjau dari pernyataan mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, maka ada 2.494.484 hektar perkebunan sawit yang illegal atau mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Dari 513 korporasi menjual TBS kepada grup Wilmar, Surya Dumai (First Resources), Salim, Darmex Agro, Gandaerah, Sinarmas, Golden Asian Agri, Panca Eka, Musim Mas, Jardine Matheson, Astra, juga perusahaan asal Malaysia yaitu KLK dan Batu Kawan, Sime Darby (Malaysia). Di Riau, perusahaan asal Malaysia menguasai sekitar 136.535 ha lahan yang terafiliasi dengan grup Sime Darby-Minamas, Kuala Lumpur Kepong dan Batu Kawan, Anglo Eastern dan Wilmar (Robert Kuok asal Malaysia join bersama Martua Sitorus asal Indonesia, Wilmar punya 180 pemasok di Riau).
Pansus DPRD Riau menemukan dari 1,8 juta ha kawasan hutan tak berizin yang telah ditanami kelapa sawit oleh korporasi telah merugikan keuangan negara karena tak bayar pajak senilai Rp 34 Triliun pertahun. “Korporasi ini jelas-jelas melakukan tindak pidana kehutanan, perkebunan dan perpajakan, apalagi yang mau verifikasi dan evaluasi?” kata Made Ali.

Evaluasi Berlaku Surut?

Di Riau, Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan 2009-2014 menerbitkan SK Nomor 673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1.638.249 ha di Riau, dua bulan jelang masa jabatannya berakhir sebagai Menteri Kehutanan.
Temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau, SK 673 melepaskan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan untuk 104 korporasi sawit seluas 77 ribu ha yang dulunya beroperasi secara ilegal dalam kawasan hutan. Paska terbitnya SK ini, korporasi-korporasi tersebut menjadi legal karena fungsinya sudah berubah menjadi APL.
Temuan EoF[2] 55 dari 104 perusahaan tersebut terafiliasi dengan grup Wilmar, Panca Eka, Sarimas, Peputra Masterindo, First Resources, Panca Eka, Indofood, Bumitama Gunajaya Agro, Aek Natio, Adi Mulya, Provident Agro, Darmex, Borneo Pasific hingga PTPN. Areal 55 korporasi ini berada dalam kawasan hutan dengan fungsi HP, HPT dan HL seluas 19.308 ha dan sebagian besar sudah ditanami sawit berumur lebih dari 10 tahun.
SK 673 yang diterbitkan sebagai hadiah ulangtahun bagi Provinsi Riau pada 9 Agustus 2016 diserahkan langsung oleh Zulkifli kepada Annas Maamun, Gubernur Riau kala itu. Saat berpidato sempena  hari jadi Provinsi Riau, Zulkifli Hasan mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau.  Lalu, pernyataan tersebut dimanfaatkan oleh oknum Darmex Agro, Gulat Manurung dan Edison Marudut sawit dengan cara “menyuap” Annas Maamun agar “memutihkan” sawit mereka yang selama ini berada dalam kawasan hutan.
Pada 25 September 2014 Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap sebesar Rp 500 juta dan US$ 156.000 terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan terkait RTRWP Riau. Suap ini berasal dari Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau yang juga akademisi di Universitas Riau dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat. Annas juga menerima uang suap sebesar Rp 3 Milyar dari Surya Darmadi (pemilik grup Darmex/Duta Palma Grup).
Data KLHK, Zulkifli Hasan menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit total 2,2 juta.
“Beranikah KLHK mengembalikan izin tersebut menjadi kawasan hutan? Dalam Inpres ini dapat dimaknai evaluasi termasuk pelepasan kawasan hutan hingga periode rezim sebelumnya. Tinggal, beranikah Presiden Jokowi melawan Zulkifli Hasan dan Susilo Bambang Yudhoyono dan Korporasi sawit?” kata Made Ali.

Moratorium Kredit Korporasi Sawit

Inpres belum menyasar lembaga jasa keuangan yaitu perbankan berupa moratorium fasilitas pembiayaan dalam bentuk utang, penjaminan saham dan obligasi bagi korporasi yang hendak melakukan ekspansi kebun sawit. “Moratorium pemberian kredit ini juga berlaku pada lembaga pembiayaan nasional maupun internasional,” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA.
Temuan TuK Indonesia 25 dari 29 grup perusahaan sawit (4 diantaranya BUMN) dikendalikan oleh 29 taipan, yang setidaknya mengantongi 5,1 juta hektar lahan sawit.
Taipan-taipan itu: Bakrie Grup (Abu Rizal Bakri), Darmex Agro Grup (Surya Darmadi), Harita Grup (Lim Haryanyo Wijaya Sarwono), Jardine Mathheson (Henry Keswick, skotlandia), Musim Mas (Bachtiar Karim), Provident Agro (Edwin Soeryajaya dan Sandiaga Uno), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto).
Selain itu juga grup Sinarmas (Eka Tjipta Widjaya), Surya Dumai Grup/First Resources (Martias dan Ciliandra Fangiano), Wilmar Grup (Rebert Kuok, Khoon Hong Kuok dan Martua Sitorus), Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo Grup (George Santosa Tahija), Batu Kawan (Lee Oi Hian dan Lee Hau Hian, Malaysia), BW Plantation (Budiono Widodo), DSN Grup (Theodore Rachmat, Benny Subianto), Gozko Grup (Tjandra Mindharta Gozali), IOI grup (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana grup (Henry Maknawi), Sampoerna (Putera Sampoerna), Tanjung Lingga Grup (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi Sutanto, Stefanus Joko Mogoginta dan Budhi Istanto), Triputra Grup (Thedore Rachmat dan Benny Subianto).
Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada para taipan: HSBC, OCBC, CIMB, Mitsubishi UFJ Financial Grup, DBS, Sumitomo Grup, Bank Mandiri, United Overseas Bank, Mizuho Financial Grup, Commonwealth Bank Of Australia, Rabobank, BNI, BRI dan Citi Bank. Bank-bank itu berasal dari Indonesia, Amerika, Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, Belanda dan Perancis.
Laporan TuK dan Profundo pada November 2017 berjudul Maybank Penyandang Dana Sawit Terbesar menyebut pada periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3.9 miliar dalam bentuk pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit. Setara dengan sekitar 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Faktanya, pada tahun 2016 saja, Maybank menyediakan 60% dari semua pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih.
Pada 2016, jumlah total aset Maybank US$ 164 miliar dan menghasilkan laba sebesar US$ 1.6 miliar. 69% dari pendapatan Maybank pada tahun 2016 dihasilkan di Malaysia, 12% di Singapura, dan 11% di Indonesia. Operasi Maybank di Indonesia mendapatkan laba bersih terbesar pada tahun 2016, dengan peningkatan tahun-per-tahun sebesar 71%.
Melalui pemberian pinjaman, obligasi dan pelayanan Penjaminan Emisi Efek penerbitan saham, dan juga penanaman modal dalam bentuk obligasi dan saham, dari 20 perbankan yang berasal dari Amerika, Singapura, Inggris, Tiongkok, Norwegia dan Jepang memungkinkan Maybank menyediakan kredit ke dalam sektor minyak kelapa sawit. Selain mendanai lima perusahaan di atas, Maybank juga mendanai grup Wilmar, Harita, Salim, Sinarmas, Sime Darby, KLK, Batu Kawa, Jadine Mattheson yang punya anak-anak perusahaan di Riau.
TuK mencatat, investasi tak berkelanjutan negara-negara lain membahayakan keberlanjutan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kondisi keuangan dunia masih terus mendukung situasi ketidakberlanjutan, melalui pembiayaan sektor-sektor yang membahayakan dan merisikokan hutan, lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini perlu dan harus segera diubah. Uang bisa diibaratkan seperti peluru, dia punya daya rusak, daya bunuh, bila disalurkan membiayai kegiatan yang tidak berpihak pada keadilan.
Sinergi dengan KPK dan Otoritas Lembaga Jasa Keuangan
Dalam rangka evaluasi perizinan, dinilai penting Pemerintah untuk bersinergi dengan KPK yang sejauh ini telah sangat gencar melakukan upaya pencegahan korupsi di sektor sumberdaya alam melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.
Di Riau, KPK bersama Gubernur Riau pada Februari 2015 telah menyusun 19 Renaksi Pemda Riau (Gubernur dan Bupati/Walikota), salah satunya Penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan. KPK juga telah memverifikasi hasil temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau. Tiga tahun kemudian, KPK bersama Pemprov Riau menyusun Rencana Aksi Pencegahan Korupsi di Sektor Perkebunan.
“Empat hal tersebut: jangan ada moratorium penegakan hukum, perluas hingga moratorium kredit perbankan, perluas hingga evaluasi perizinan di era Zulkifli Hasan dan bekerjasama dengan KPK dan OJK, bila dilaksanakan tata kelola sawit dapat dibenahi dan pendapatan negara dari sektor sawit meningkat hingga sawit Indonesia yang bebas dari NDPE dapat diterima pasar internasional,” kata Rahmawati dari TuK Indonesia.
Jikalahari dan TuK INDONESIA merekomendasikan kepada:
Menko Perekonomian:

  1. Membentuk Tim Kerja sebelum Oktober berakhir dan memastikan tidak melakukan moratorium penegakan hukum atas tindak pidana kehutanan dan perkebunan
  2. Menetapkan waktu enam bulan “verifikasi data dan evaluasi” selesai dilakukan
  3. Dalam Tim Kerja melibatkan OJK dan Perbankan agar dapat menyasar moratorium kredit perbankan pada korporasi sawit yang berada dalam kawasan hutan dan membeli tandan buah segar atau sawit dari kawasan hutan atau melakukan NDPE.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:

  1. Segera menetapkan tersangka korporasi atau cukong yang berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri LHK sebagai wujud penegakan hukum tidak dimoratorium
  2. Mengevaluasi perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan oleh Menteri Zulkilfi Hasan.

Lembaga Keuangan:

  1. Khususnya perbankan – baik nasional maupun internasional, untuk dapat proaktif berhubungan dengan Menko Perekonomian dan seluruh kementerian terkait atas korporasi yang didanainya atau yang akan didanainya atau yang memiliki relasi perbankan dengannya guna mendapat data yang mutakhir atas kepatuhan terhadap hukum dan regulasi, khususnya yang terkait dengan Inpres Moratorium Sawit
  2. Melakukan moratorium pemberian fasilitas pembiayaan dalam bentuk utang, penjaminan saham dan obligasi bagi korporasi yang hendak melakukan ekspansi kebun sawit.
  3. Melakukan review atas atas fasilitas pembiayaan pada korporasi yang ditengarai memiliki masalah kepatuhan hukum terkait moratorium ini, agar terhindar dari paparan risiko finansial sebagai akibat ketidakpatuhan korporasi yang didanainya
  4. Mempertimbangkan pemberian insentif bagi korporasi yang patuh atas regulasi terkait moratorium dalam bentuk penilaian credit rating yang baik

KPK

  1. Melaporkan hasil evaluasi GNPSDA sektor Perkebunan kepada publik dan merekomendasikan hasilnya kepada Presiden Joko Widodo untuk disinergikan dengan Inpres 8 Tahun 2018.
  2. KPK segera memeriksa pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Provinsi Riau yang melibatkan terpidana Annas Maamun.

Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari, 0812-7531-1009
Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, 0813-1060-7266
Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari, 0812-6111-6340
[1] Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, IUPHHBK, dan HTR melakukan monev terhadap izin perusahaan yang ada di Riau pada 2014.
[2] Laporan hasil temuan Eyes on the Forest (EoF) https://www.eyesontheforest.or.id/reports/perusahaan-hti-beroperasi-dalam-kawasan-hutan-melalui-legalisasi-perubahan-fungsi-kawasan-hutan-april-2018 dan https://www.eyesontheforest.or.id/reports/legalisasi-perusahaan-sawit-melalui-perubahan-peruntukan-kawasan-hutan-menjadi-bukan-kawasan-hutan-di-provinsi-riau-2-maret-2018
3. Rilis 20181009- Inpres Moratorium Sawit, Apa yang di Moratorium