Inpres Moratorium Sawit, Apa yang Dimoratorium ? – Press Release

Inpres Moratorium Sawit, Apa yang Dimoratorium ?

Inpres Moratorium Sawit 01

Inpres Moratorium Sawit 01

Inpres Moratorium Sawit 02

Inpres Moratorium Sawit 02

Jakarta, 9 Oktober 2018—Jikalahari dan TuK INDONESIA menilai Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang terbit pada 19 September 2018, tidak tegas mengatur soal penegakan hukum, evaluasi berlaku surut dan jangkauan pihak perlu diperluas.

Penegakan Hukum Dimoratorium?

Presiden Jokowi khusus memberi instruksi pada Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal “Langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data dan evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit”.
“Sampai kapan ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai? Dalam Inpres tidak disebutkan berapa hari, bulan atau tahun ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai dilakukan. Menko ditugaskan membentuk tim kerja dan melaporkan kepada Presiden enam bulan sekali. Lalu, kapan Menko akan membentuk tim?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“Bila ‘verifikasi data dan evaluasi sedang berjalan’ atau Tim Kerja sedang melakukan ‘verifikasi data dan evaluasi’, padahal terbukti sawit korporasi dan Cukong berada dalam Kawasan Hutan tanpa izin dari Menteri, penegakan hukum dapat dilakukan? Atau penegakan hukum dimoratorium sampai ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai?” kata Made Ali.
Fakta di Riau, DPRD Riau[1]  pada 2015 menemukan lebih dari 2 juta ha perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin (khususnya tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan). Dari total 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang memiliki izin pelepasan kawasan berjumlah 132 perusahaan atau 25,89%. Sisanya yaitu 378 perusahaan atau 74,12% tidak memiliki izin pelepasan kawasan. Jika ditinjau dari pernyataan mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, maka ada 2.494.484 hektar perkebunan sawit yang illegal atau mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Dari 513 korporasi menjual TBS kepada grup Wilmar, Surya Dumai (First Resources), Salim, Darmex Agro, Gandaerah, Sinarmas, Golden Asian Agri, Panca Eka, Musim Mas, Jardine Matheson, Astra, juga perusahaan asal Malaysia yaitu KLK dan Batu Kawan, Sime Darby (Malaysia). Di Riau, perusahaan asal Malaysia menguasai sekitar 136.535 ha lahan yang terafiliasi dengan grup Sime Darby-Minamas, Kuala Lumpur Kepong dan Batu Kawan, Anglo Eastern dan Wilmar (Robert Kuok asal Malaysia join bersama Martua Sitorus asal Indonesia, Wilmar punya 180 pemasok di Riau).
Pansus DPRD Riau menemukan dari 1,8 juta ha kawasan hutan tak berizin yang telah ditanami kelapa sawit oleh korporasi telah merugikan keuangan negara karena tak bayar pajak senilai Rp 34 Triliun pertahun. “Korporasi ini jelas-jelas melakukan tindak pidana kehutanan, perkebunan dan perpajakan, apalagi yang mau verifikasi dan evaluasi?” kata Made Ali.

Evaluasi Berlaku Surut?

Di Riau, Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan 2009-2014 menerbitkan SK Nomor 673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1.638.249 ha di Riau, dua bulan jelang masa jabatannya berakhir sebagai Menteri Kehutanan.
Temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau, SK 673 melepaskan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan untuk 104 korporasi sawit seluas 77 ribu ha yang dulunya beroperasi secara ilegal dalam kawasan hutan. Paska terbitnya SK ini, korporasi-korporasi tersebut menjadi legal karena fungsinya sudah berubah menjadi APL.
Temuan EoF[2] 55 dari 104 perusahaan tersebut terafiliasi dengan grup Wilmar, Panca Eka, Sarimas, Peputra Masterindo, First Resources, Panca Eka, Indofood, Bumitama Gunajaya Agro, Aek Natio, Adi Mulya, Provident Agro, Darmex, Borneo Pasific hingga PTPN. Areal 55 korporasi ini berada dalam kawasan hutan dengan fungsi HP, HPT dan HL seluas 19.308 ha dan sebagian besar sudah ditanami sawit berumur lebih dari 10 tahun.
SK 673 yang diterbitkan sebagai hadiah ulangtahun bagi Provinsi Riau pada 9 Agustus 2016 diserahkan langsung oleh Zulkifli kepada Annas Maamun, Gubernur Riau kala itu. Saat berpidato sempena  hari jadi Provinsi Riau, Zulkifli Hasan mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau.  Lalu, pernyataan tersebut dimanfaatkan oleh oknum Darmex Agro, Gulat Manurung dan Edison Marudut sawit dengan cara “menyuap” Annas Maamun agar “memutihkan” sawit mereka yang selama ini berada dalam kawasan hutan.
Pada 25 September 2014 Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap sebesar Rp 500 juta dan US$ 156.000 terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan terkait RTRWP Riau. Suap ini berasal dari Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau yang juga akademisi di Universitas Riau dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat. Annas juga menerima uang suap sebesar Rp 3 Milyar dari Surya Darmadi (pemilik grup Darmex/Duta Palma Grup).
Data KLHK, Zulkifli Hasan menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit total 2,2 juta.
“Beranikah KLHK mengembalikan izin tersebut menjadi kawasan hutan? Dalam Inpres ini dapat dimaknai evaluasi termasuk pelepasan kawasan hutan hingga periode rezim sebelumnya. Tinggal, beranikah Presiden Jokowi melawan Zulkifli Hasan dan Susilo Bambang Yudhoyono dan Korporasi sawit?” kata Made Ali.

Moratorium Kredit Korporasi Sawit

Inpres belum menyasar lembaga jasa keuangan yaitu perbankan berupa moratorium fasilitas pembiayaan dalam bentuk utang, penjaminan saham dan obligasi bagi korporasi yang hendak melakukan ekspansi kebun sawit. “Moratorium pemberian kredit ini juga berlaku pada lembaga pembiayaan nasional maupun internasional,” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif Tuk INDONESIA.
Temuan TuK Indonesia 25 dari 29 grup perusahaan sawit (4 diantaranya BUMN) dikendalikan oleh 29 taipan, yang setidaknya mengantongi 5,1 juta hektar lahan sawit.
Taipan-taipan itu: Bakrie Grup (Abu Rizal Bakri), Darmex Agro Grup (Surya Darmadi), Harita Grup (Lim Haryanyo Wijaya Sarwono), Jardine Mathheson (Henry Keswick, skotlandia), Musim Mas (Bachtiar Karim), Provident Agro (Edwin Soeryajaya dan Sandiaga Uno), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto).
Selain itu juga grup Sinarmas (Eka Tjipta Widjaya), Surya Dumai Grup/First Resources (Martias dan Ciliandra Fangiano), Wilmar Grup (Rebert Kuok, Khoon Hong Kuok dan Martua Sitorus), Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo Grup (George Santosa Tahija), Batu Kawan (Lee Oi Hian dan Lee Hau Hian, Malaysia), BW Plantation (Budiono Widodo), DSN Grup (Theodore Rachmat, Benny Subianto), Gozko Grup (Tjandra Mindharta Gozali), IOI grup (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana grup (Henry Maknawi), Sampoerna (Putera Sampoerna), Tanjung Lingga Grup (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi Sutanto, Stefanus Joko Mogoginta dan Budhi Istanto), Triputra Grup (Thedore Rachmat dan Benny Subianto).
Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada para taipan: HSBC, OCBC, CIMB, Mitsubishi UFJ Financial Grup, DBS, Sumitomo Grup, Bank Mandiri, United Overseas Bank, Mizuho Financial Grup, Commonwealth Bank Of Australia, Rabobank, BNI, BRI dan Citi Bank. Bank-bank itu berasal dari Indonesia, Amerika, Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, Belanda dan Perancis.
Laporan TuK dan Profundo pada November 2017 berjudul Maybank Penyandang Dana Sawit Terbesar menyebut pada periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3.9 miliar dalam bentuk pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit. Setara dengan sekitar 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Faktanya, pada tahun 2016 saja, Maybank menyediakan 60% dari semua pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih.
Pada 2016, jumlah total aset Maybank US$ 164 miliar dan menghasilkan laba sebesar US$ 1.6 miliar. 69% dari pendapatan Maybank pada tahun 2016 dihasilkan di Malaysia, 12% di Singapura, dan 11% di Indonesia. Operasi Maybank di Indonesia mendapatkan laba bersih terbesar pada tahun 2016, dengan peningkatan tahun-per-tahun sebesar 71%.
Melalui pemberian pinjaman, obligasi dan pelayanan Penjaminan Emisi Efek penerbitan saham, dan juga penanaman modal dalam bentuk obligasi dan saham, dari 20 perbankan yang berasal dari Amerika, Singapura, Inggris, Tiongkok, Norwegia dan Jepang memungkinkan Maybank menyediakan kredit ke dalam sektor minyak kelapa sawit. Selain mendanai lima perusahaan di atas, Maybank juga mendanai grup Wilmar, Harita, Salim, Sinarmas, Sime Darby, KLK, Batu Kawa, Jadine Mattheson yang punya anak-anak perusahaan di Riau.
TuK mencatat, investasi tak berkelanjutan negara-negara lain membahayakan keberlanjutan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kondisi keuangan dunia masih terus mendukung situasi ketidakberlanjutan, melalui pembiayaan sektor-sektor yang membahayakan dan merisikokan hutan, lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini perlu dan harus segera diubah. Uang bisa diibaratkan seperti peluru, dia punya daya rusak, daya bunuh, bila disalurkan membiayai kegiatan yang tidak berpihak pada keadilan.
Sinergi dengan KPK dan Otoritas Lembaga Jasa Keuangan
Dalam rangka evaluasi perizinan, dinilai penting Pemerintah untuk bersinergi dengan KPK yang sejauh ini telah sangat gencar melakukan upaya pencegahan korupsi di sektor sumberdaya alam melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.
Di Riau, KPK bersama Gubernur Riau pada Februari 2015 telah menyusun 19 Renaksi Pemda Riau (Gubernur dan Bupati/Walikota), salah satunya Penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan. KPK juga telah memverifikasi hasil temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau. Tiga tahun kemudian, KPK bersama Pemprov Riau menyusun Rencana Aksi Pencegahan Korupsi di Sektor Perkebunan.
“Empat hal tersebut: jangan ada moratorium penegakan hukum, perluas hingga moratorium kredit perbankan, perluas hingga evaluasi perizinan di era Zulkifli Hasan dan bekerjasama dengan KPK dan OJK, bila dilaksanakan tata kelola sawit dapat dibenahi dan pendapatan negara dari sektor sawit meningkat hingga sawit Indonesia yang bebas dari NDPE dapat diterima pasar internasional,” kata Rahmawati dari TuK Indonesia.
Jikalahari dan TuK INDONESIA merekomendasikan kepada:
Menko Perekonomian:

  1. Membentuk Tim Kerja sebelum Oktober berakhir dan memastikan tidak melakukan moratorium penegakan hukum atas tindak pidana kehutanan dan perkebunan
  2. Menetapkan waktu enam bulan “verifikasi data dan evaluasi” selesai dilakukan
  3. Dalam Tim Kerja melibatkan OJK dan Perbankan agar dapat menyasar moratorium kredit perbankan pada korporasi sawit yang berada dalam kawasan hutan dan membeli tandan buah segar atau sawit dari kawasan hutan atau melakukan NDPE.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:

  1. Segera menetapkan tersangka korporasi atau cukong yang berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri LHK sebagai wujud penegakan hukum tidak dimoratorium
  2. Mengevaluasi perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan oleh Menteri Zulkilfi Hasan.

Lembaga Keuangan:

  1. Khususnya perbankan – baik nasional maupun internasional, untuk dapat proaktif berhubungan dengan Menko Perekonomian dan seluruh kementerian terkait atas korporasi yang didanainya atau yang akan didanainya atau yang memiliki relasi perbankan dengannya guna mendapat data yang mutakhir atas kepatuhan terhadap hukum dan regulasi, khususnya yang terkait dengan Inpres Moratorium Sawit
  2. Melakukan moratorium pemberian fasilitas pembiayaan dalam bentuk utang, penjaminan saham dan obligasi bagi korporasi yang hendak melakukan ekspansi kebun sawit.
  3. Melakukan review atas atas fasilitas pembiayaan pada korporasi yang ditengarai memiliki masalah kepatuhan hukum terkait moratorium ini, agar terhindar dari paparan risiko finansial sebagai akibat ketidakpatuhan korporasi yang didanainya
  4. Mempertimbangkan pemberian insentif bagi korporasi yang patuh atas regulasi terkait moratorium dalam bentuk penilaian credit rating yang baik

KPK

  1. Melaporkan hasil evaluasi GNPSDA sektor Perkebunan kepada publik dan merekomendasikan hasilnya kepada Presiden Joko Widodo untuk disinergikan dengan Inpres 8 Tahun 2018.
  2. KPK segera memeriksa pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Provinsi Riau yang melibatkan terpidana Annas Maamun.

Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari, 0812-7531-1009
Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, 0813-1060-7266
Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari, 0812-6111-6340
[1] Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, IUPHHBK, dan HTR melakukan monev terhadap izin perusahaan yang ada di Riau pada 2014.
[2] Laporan hasil temuan Eyes on the Forest (EoF) https://www.eyesontheforest.or.id/reports/perusahaan-hti-beroperasi-dalam-kawasan-hutan-melalui-legalisasi-perubahan-fungsi-kawasan-hutan-april-2018 dan https://www.eyesontheforest.or.id/reports/legalisasi-perusahaan-sawit-melalui-perubahan-peruntukan-kawasan-hutan-menjadi-bukan-kawasan-hutan-di-provinsi-riau-2-maret-2018
3. Rilis 20181009- Inpres Moratorium Sawit, Apa yang di Moratorium

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *