Pos

Ratusan Warga Demo Tuntut Plasma Sawit PT Bangun Jaya Alam Permai

Jakarta, 10 Juli 2023. Terjadinya demo di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah antara warga dengan aparat kepolisan pada 7 Juli 2023 mengakibatkan sejumlah warga luka-luka. Bentrok antara warga dan aparat karena janji PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP) yang tidak ditepati. Perusahaan sawit yang berafiliasi dengan Best Agro International ini tidak kunjung melakukan realisasi pembangunan kebun plasma untuk warga.

Diolah dari laporan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2022, PT BJAP baru membangun kebun plasma seluas 79,59 Ha dengan status tanaman belum menghasilkan. Angka ini jauh dari target pembangunan plasma yang wajib bagi perusahaan.

Perusahaan ini sebelumnya merupakan eks PT Mitra Unggul Tama Perkasa yang berlokasi di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Mendapatkan izin lokasi pada 2006 seluas 10.000 Ha dan 2007 seluas 13.500 Ha. Selang beberapa bulan kemudian, pada 2007 perusahaan ini mendapatkan Izin Usaha Perkebunan seluas 14.750 Ha dari dua Izin Usaha Perkebunan (IUP) yakni IUP Nomor 525/319/EK/2007 dengan luas 13.500 ribu Ha dan IUP Nomor 525/320/EK/2007 dengan luas 1.250 Ha.

Sejak tahun 2008, PT BJAP baru mengantongi HGU seluas 1.240,41 Ha diatas lahan dengan IUP Nomor 525/319/EK/2007. Artinya, PT BJAP beroperasi secara legal hanya pada lahan seluas 1.240,41 Ha, dan PT BJAP beroperasi secara illegal diatas lahan seluas 13.509,59 Ha, ungkap Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

Berdasarkan penelusuran izin yang dilakukan TuK INDONESIA, penguasaan IUP dengan total luas 14.750 Ha, maka PT BJAP wajib membangun kebun masyarakat paling kurang 20% yaitu 2.950 Ha. Hal ini sesuai dengan kebijakan berikut: pertama, Permentan 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, pasal 11 ayat (1) yang berbunyi Perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budi daya (IUP-B), wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Kedua, Permentan 98/2013 perubahan dari Permentan 26/2007, pasal 15 ayat (1) berbunyi Perusahaan Perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 hektare atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20% dari luas areal IUP-B atau IUP. Ketiga, revisi UU 39/2014 tentang Perkebunan, pasal 58 yaitu Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

Hal lain, Linda juga menekankan kepada pemerintah untuk secara serius menelisik kepatuhan PT BJAP dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk objek seluas 14.750 Ha di Kabupaten Seruyan sebagaimana diatur dalam PMK 186/2019. “Bila Pemerintah hendak menargetkan optimalisasi penerimaan negara dari sektor perkebunan sawit, maka pastikan obyek dan subyek pajak dengan jelas. Oleh karena itu, selayaknya Pemerintah membuka diri dan memberikan akses yang cukup bagi masyarakat dalam memberikan informasi”, lanjut Linda.

Di Kabupaten Kotawaringin Barat, PT BJAP juga memiliki konsesi yang luas. Berdasarkan izin lokasi yang dimiliki, perusahan ini mendapatkan lahan seluas 25.500 Ha. Kemudian mendapatkan IUP pada 2005 seluas 9.500 Ha dan pada 2016 seluas 14.068,50 Ha. Perusahaan ini mendapatkan HGU sejak 1999 hingga 2008 dengan total luas 23.846,70 Ha. Dari total perizinan tersebut, tidak ada juga lahan untuk pembangunan plasma yang dialokasikan dan direalisasikan oleh PT BJAP.

Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng menyatakan bahwa PT BJAP secara terang benderang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di sektor perkebunan sawit. “Kami mengusulkan agar perusahaan ini dapat dilakukan pemberian sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan, perusahaan ini juga dapat dilakukan pencabutan izin oleh pemerintah daerah karena telah melakukan pelanggaran,” ungkap Bayu.

***

Kontak media:

  1. Kepala Dept Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, Abdul Haris (082191952025/[email protected])
  2. Manager Advokasi WALHI Kalimantan Tengah, Janang Firman Palanungkai (081351259183/[email protected])

Catatan:

  • Bila merujuk pada data tutupan sawit Disbun Kalteng (2020, 2022), realisasi plasma di Kalteng mencapai 14% yakni sekitar 200 ribu Ha. Setidaknya, terdapat 300 ribu Ha kebun masyarakat atau 20% dari total tutupan sawit Perusahaan Besar. Dengan demikian, masih terdapat Perkebunan Besar sawit di Kalteng belum memenuhi kewajibannya dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Tutupan Sawit di Kalimantan Tengah Tahun 2020 dan 2022. Sumber: Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2020, 2022)

  • WALHI Kalteng melakukan pemantauan lapangan dan menemukan bahwa PT BJAP melakukan kegiatan usaha perkebunan di atas kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan juga tumpang tindih dengan areal izin Kehutanan IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini termuat dalam surat keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) SK.531/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2021 tentang penetapan data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan dibidang Kehutanan. Selain itu PT BJAP juga berkonflik dengan masyarakat di sekitar izinnya. Berdasarkan hal tersebut WALHI Kalteng “mendesak para pihak khusus nya Pemerintah daerah untuk serius dalam melakukan tindakan hukum sanksi administrasi dan pidana kepada perusahaan dan Pemerintah pusat dalam hal ini KLHK untuk tidak memberikan “pemutihan” pelepasan kawasan hutan kepada perusahaan dan yang paling penting adalah mengembalikan dan memberikan pengelolaan kawasan hutan yang ada kepada masyarakat sekitar dalam hal resolusi konflik yang terjadi.”

Lampiran Peta: Tumpang susun PT BJAP dengan “Kawasan Hutan”

PT. Sawindo Cemerlang Ingkari Kesepakatan dengan Petani Batui

Masyarakat Batui yang sejak lama dirugikan dan diintimidasi PT Sawindo Cemerlang, hari ini, Kamis, 9 Maret 2023, melakukan penutupan akses jalan menuju pabrik perusahaan PT. Sawindo Cemerlang di Seseba, Desa Honbola, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk ekspresi petani yang kecewa atas ketidakjelasan manajemen PT. Sawindo Cemerlang dan tidak ditindaklanjutinya terkait berita acara kesepakatan di Pemda Banggai (4 Agustus 2022). Dalam aksi ini, lagi-lagi pihak oknum Polsek Batui dan beberapa TNI serta security perusahaan mendatangi warga yang sedang memperjuangkan haknya.

Sumber foto: SA

Peristiwa ini dilatarbelakangi atas konflik yang belum juga terselesaikan sejak tahun 2009 saat PT. Sawindo Cemerlang memiliki izin survei lokasi di atas tanah warga. Kemudian pada tahun 2014 terbit Sertifikat HGU Perusahaan di atas tanah masyarakat yang mempunyai alas hak SHM dan SKPT/SKT. Konflik ini mencuat di mana pada tahun 2017 melalui oknum polisi Perusahaan memaksa petani untuk menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama dan Surat Pengakuan Hutang (SPK-SPHu) yang isinya sangat memberatkan dan menindas petani. Bagi petani yang bertanda tangan dijanjikan akan dibayarkan dengan pola kemitraan, akan tetapi hingga sekarang petani dibayarkan tidak sesuai dengan hasil kebun mereka sehingga memaksa petani melakukan panen di lahannya sendiri. Disisi lain, bagi petani yang tidak bertanda tangan juga melakukan panen sendiri di tanahnya namun beberapa petani dikriminalisasi oleh oknum kepolisian.

Salah satunya kriminalisasi dan tuduhan terhadap petani adalah yang menimpa Demas Saampap yang dilakukan oleh Polres Banggai, dalam hal ini Kasat Reskrim Polres Banggai. Bahwa pada tanggal 25 Mei 2022 Polres Banggai menetapkan Demas Saampap sebagai tersangka dengan nomor ketetapan (S.TAP/57/V/2022) dan menangkap secara paksa atas tuduhan Pencurian Sawit. Padahal Demas melakukan aktivitas di lahannya sendiri yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) tahun 2014 dengan nomor (592.2/16/HBL/2014) dan Berita acara di tahun 2015.

Sumber foto: https://www.instagram.com/p/CohoDr9SiV-/

Bahwa dikarenakan Saudara Demas melakukan aktivitasnya di tanahnya sendiri yang diklaim pihak perusahaan sebagai bagian dari wilayah perkebunannya maka sesungguhnya kasus ini bukanlah merupakan sebuah tindak pidana, namun merupakan perkara perdata. Bahwa pada tanggal 27 Mei 2022 melalui rilis di beberapa media pemberitaan, Polres Banggai, melalui Kasat Reskrim Polres Banggai menuduh bahwa “Demas bukan petani tapi tengkulak” padahal Saudara Demas murni merupakan petani/pekebun miskin yang berjuang mempertahankan tanahnya. Tidak hanya menimpa Demas, dalam konflik ini sebanyak sepuluh orang petani dilaporkan ke pihak kepolisian dan dua orang petani ditetapkan menjadi tersangka.

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019

“Merawat masa depan industri sawit dengan menyejahterakan buruh sawit: Catatan-catatan penting untuk perlindungan buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia.”

Setelah sebuah dokumentasi video yang berudul Sexy Killers merajai wacana internet di Indonesia pada pertengahan April 2019, masyarakat dicerahkan oleh fakta-fakta yang mencengangkan tentang industri Batubara yang sarat dengan pelbagai masalah. Mulai dari AMDAL yang dipalsukan, tata kelola limbah yang amburadul, distribusi yang sarat jejak karbon dan masalah lingkungan, sampai konflik tak berkesudahan antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Secara keseluruhan, film dokumentasi tersebut menunjukkan bahwa industri pertambangan Indonesia mengalami salah tata kelola yang menyebabkan korban jiwa, kerugian materiil maupun kerugian-kerugian immateriil, yang sebagian besar ditanggung oleh masyarakat. Dalam konteks yang sama, Koalisi Buruh Sawit Indonesia mencatat dengan baik bahwa perkebunan sawit juga hidup di atas tata kelola yang merugikan banyak pihak. Sejak lama dunia internasional mempermasalahkan urusan tata kelola lingkungan hidup, dan deforestasi akibat ekspansi industri sawit sebagai ancaman global. Industri sawit lebih tragis karena wacana ini selalu absen dari segala perdebatan tentang kondisi  manusia yang hidup dari industri ini, mereka adalah pekerja/buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, yang bergantung pada perkebunan sawit sekaligus yang dikorbankan.

Dalam catatan Transformasi Untuk Keadilan (TUK Indonesia) yang merupakan anggota dari Koalisi Buruh Sawit (KBS), pemerintah Indonesia sebagai administrator tata kelola negara tidak memiliki data yang pasti dan akurat tentang luas dari perkebunan sawit di Indonesia. Ada enam lembaga negara yang memiliki data yang berbeda, namun tidak satupun yang bisa dijadikan acuan. Konon lagi data jumlah buruh perkebunan sawit. Asumsi yang digunakan oleh lembaga negara adalah jumlah luas perkebunan dibagi dengan target kerja individu buruh sawit. Menurut presiden Jokowi, luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 13 juta hektar [1], bila dibagi dengan seorang buruh yang mampu mengerjakan 2 hektar (asumsi rata-rata), maka jumlah buruh sawit berdasarkan rasio beban kerja dengan total luas lahan adalah  7 juta buruh, ini belum termasuk keluarga mereka, dan belum termasuk buruh-buruh di pabrik kelapa sawit (PKS). Jumlah ini merupakan jumlah yang signifikan dalam konstalasi ketenagakerjaan Indonesia. Buruh sawit adalah kelompok buruh perkebunan terbesar dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Namun, dalam lembar fakta[2] yang dituang dari Focus Group Discussion, Koalisi Buruh sawit menemukan catatan-catatan pilu tentang kondisi pekerja perkebunan sawit, hal ini berbanding terbalik dengan prestasi industri sawit Indonesia yang berkontribusi sebesar 429 Triliun terhadap PDB Indonesia[3] pada tahun 2016 saja. Pada tahun 2017, Indutri sawit menjadi penyumbang PDB terbesar bagi Indonesia dengan rasio 11% dari total PDB.

Catatan-catatan buruh perkebunan sawit di Indonesia

Lembar Fakta Buruh Sawit 2018 yang dirilis oleh Koalisi Buruh Sawit* pada maret 2018, menyoroti dua masalah utama yang dialami oleh buruh sawit[4]: Pertama, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada buruh. Hal ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi terhadap buruh seperti: pemberian target kerja yang tidak manusiawi, diskriminasi terhadap buruh perempuan, adanya pekerja anak -dampak dari target yang tidak manusiawi- , penyelewengan status kerja dan praktek upah di bawah aturan yang melanggar UU Ketenagakerjaan No 13  tahun 2003, serta pemberangusan serikat pekerja dengan berbagai modus operandi (yang melanggar UU Kebebasan Berserikat No.21 tahun 2000). Koalisi Buruh Sawit mencatat, setidaknya lebih dari 10 kasus pemberangusan serikat pekerja dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan pada tahun 2018 saja. Perkara terbaru adalah pemecatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sawit di Sumatera Selatan kepada anggota serikat pekerja GSBI (Gabungan Buruh Serikat Indonesia), karena dianggap turut memprovokasi dengan mengirimkan surat kepada Presiden pada November lalu.[5] Lemahnya pengawasan dan penindakan hukum juga dapat dilihat dari kasus yang dialami oleh buruh-buruh pekerja perkebunan kelapa sawit di perkebunan Rajawali Corpora, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Ratusan buruh sawit dari Federasi Serikat Pekerja BUN Sawit Rajawali menggelar aksi demonstrasi di kota Kabupaten menuntut upah mereka yang belum dibayar oleh perusahaan, dan pembayaran atas penunggakan biaya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan [6]. Setelahnya, ada kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja, namun perusahaan tidak memenuhi kesepakatan, dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah.

Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Perkebunan Kelapa Sawit dapat dijejaki dari studi kebijakan yang dilakukan oleh tim riset internal TURC (UU No.7 tahun  1981, UU No.21 Tahun 2003, Permen No.9 Tahun 2005, UU No.23 Tahun 2014). TURC menemukan skema pengawasan dari kementrian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan yang cukup esensial. Pertama pengawas ketenagakerjaan yang ada di provinsi tidak punya pengetahuan teknis yang memadai tentang industri sawit, hal ini mempersulit pengawas untuk memahami konteks perkebunan sawit sehingga sulit menemukan pelanggaran di dalam perkebunan. Kedua, jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan dan luas wilayah pengawasan. Ketiga, mekanisme pengawasan (tempat dan perusahaan yang dituju) sudah ditentukan dalam program kerja tahunan, oleh sebab itu bila ada pengaduan dari buruh yang bersifat insidentil, harus melalui persetujuan birokrasi, dan disetujui oleh pihak yang berwenang untuk dilakukan monitoring. Hal ini membuat penindakan kasus seringkali terlambat bahkan sering terlupakan.

Masalah kedua lebih pelik, yaitu tidak ada aturan yang spesifik mengatur hak-hak buruh sawit secara adil. Indonesia hanya memiliki satu acuan umum dalam mengatur perlindungan  hak-hak pekerja, yaitu undang-undang ketenagakerjaan yaitu UU No. 13/2003 -dengan PP 78 sebagai aturan tambahan untuk skema pengupahan-. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, undang-undang ini gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena UU Ketenagakerjaan dibuat berdasarkan pada kondisi pekerja  sektor manufaktur. Sifat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit berbeda jauh dari pekerjaan di sektor manufaktur, hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Secara gamblang, pekerja di sektor perkebunan memiliki beban kerja yang jauh lebih berat daripada pekerja manufaktur. Selain itu, pekerja perkebunan secara sosiologis terisolasi dari dunia luar. Mereka hidup dalam pemukiman berbentuk kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan, dimana dalam riset yang dilakukan oleh TURC di tiga perkebunan besar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, perumahan yang disediakan tidak layak. Masalah-masalah dasar seperti sanitasi, air bersih yang cukup, saluran air, ruang-ruang bermain yang aman, sampai fasilitas kesehatan, tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan. Buruh kebun kelapa sawit juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengakses pendidikan, akses ke fasilitas kesehatan untuk penyakit berat, dan akses hiburan, karena lokasi mereka yang jauh di dalam perkebunan, diperparah dengan infrastruktur jalan yang sulit untuk ditembus.[7]

Dalam konteks ini, Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia, dianggap tidak mampu membaca kebutuhan buruh perkebunan kelapa sawit, bahkan cenderung mendiskriminasi buruh perkebunan sawit.

Kerja Prekariat yang Mendiskriminasi Perempuan

Hasil temuan Koalisi Buruh Sawit yang dituang dalam lembar fakta, sebagian besar dari jutaan pekerja sawit merupakan pekerja prekariat, atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL), dan sebagian besar BHL adalah perempuan[8]. Hal ini dikarenakan perempuan mendapat porsi pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan musiman seperti perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Perempuan juga dengan sistematis dibatasi hari kerjanya menjadi 20 hari dalam sebulan, hal ini untuk menyiasati aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan membayar pekerja yang bekerja 21 hari berturut-turut dengan upah minimum daerah, dan mengangkat mereka menjadi pekerja tetap. KBS menemukan hampir di semua perkebunan sawit di Indonesia para perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun, seperti temuan Sawit Watch di PT. Agro Kati Lama (anak perusahaan Sipef), yang menemukan ada 1200 pekerja perempuan yang berstatus Buruh Harian lepas.

Buruh sawit perempuan (yang memiliki peran ganda)adalah pekerja yang paling rentan terkena dampak buruk kesehatan, akibat perlengkapan K3 yang diperlukan sebagian besar tidak layak, bahkan di beberapa perkebunan, buruh perempuan harus membayar untuk mendapatkan perlengkapan K3 yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan. Celakanya, Pekerja BHL biasanya tidak mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga saat mereka sakit, mereka harus menggunakan dana sendiri atau utang, hal ini membuat pekerja perempuan rentan jatuh ke dalam kubangan utang yang membuat mereka tidak bisa lepas dari perkebunan. Ini merupakan modus perbudakan baru di perkebunan sawit.

Diplomasi Sawit, Diplomasi Buruh

Indonesia dan beberapa negara produsen sawit besar kini sedang meradang karena Uni-Eropa pada tahun 2018 mengeluarkan aturan yang melarang produk-produk minyak nabati yang berkontribusi pada deforestasi, memasuki Eropa dimulai dari tahun 2021. Keputusan ini diambil oleh parlemen Uni-Eropa untuk mencapai tujuan mereka dalam pengurangan gas rumah kaca dan menghentikan pemanasan global. Perkebunan Kelapa Sawit ditenggarai menjadi salah satu penyumbang utama deforestasi di negara-negara tropis sehingga dianggap berkontribusi besar pada pemanasan global. Aturan Renewable Energy Directive (RED II) ini [9] dianggap sebagai aturan diskriminatif yang menyudutkan industri sawit Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2018 secara agresif melakuan diplomasi ke berbagai pihak yang berpengaruh. Bahkan pada awal 2019, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Perdagangan, berencana menggugat Uni-Eropa ke WTO.[10]  Sayangnya, dalam dokumen RED II, maupun dalam dokumen-dokumen diplomasi pemerintah Indonesia, tidak ada satu poin-pun yang menyinggung tentang tata kelola buruh kelapa sawit. Dalam perspektif yang lebih luas, keenganan pemerintah memperbaiki kondisi buruh sawit Indonesia dapat dilihat dari belum diratifikasinya Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan, dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja di Perkebunan.  Strategi diplomasi Indonesia selalu menggunakan narasi Smallholders yang menurut utusan pemerintah Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan berhasil mengurangi kemiskinan secara signifikan di Indonesia.[11] Namun Pemerintah Indonesia menutup mata atas masalah-masalah perburuhan di perkebunan sawit. Buruh sawit tidak dianggap menjadi bagian strategis dari strategi diplomasi Indonesia. Koalisi Buruh Sawit menilai pemerintah Indonesia meremehkan peran jutaan buruh sawit dalam rantai industri sawit. Padahal dalam simulasi studi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor [12], peningkatan pada kesejahteraan Buruh Sawit berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan secara multiplier berpengaruh pada perbaikan kualitas hidup manusia Indonesia.

Peran Institusi Finansial

Salah satu entitas yang secara langsung berhubungan dengan industri sawit adalah entitas finansial. Entitas perbankan menjadi tumpuan dalam industri sawit sebab melalui skema pinjaman modal, perusahaan sawit bisa menjalankan aktivitas operasional  mereka. Dalam catatan Koalisi Buruh Sawit, melalui riset yang dilakukan oleh TUK Indonesia[13], Koalisi Buruh Sawit menemukan lembaga-lembaga finansial memainkan peran penting dalam tata kelola industri sawit. Namun dalam temuan TUK Indonesia, peran lembaga finansial saat ini justru tidak sejalan dengan kebijakan good governance and social responsibility dimana lembaga finansial memberikan kemudahan pinjaman modal kepada perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak buruhnya dengan pantas. Koalisi Buruh Sawit melihat lembaga keuangan sebagai investor dapat mengintervensi kebijakan perkebunan sawit melalui skema-skema peminjaman modal dan pembagian hasil, yang secara tidak langsung mampu mepengaruhi perbaikan buruh di level perusahaan.  KBS mendorong lembaga finansial untuk patuh kepada prinsip-prinsip Good governance and Social Responsibility dengan cara memberikan pinjaman hanya kepada perusahaan yang memenuhi hak-hak pekerjanya, dan lebih jauh lagi, mendorong perusahaan perkebunan sawit untuk mengadopsi skema-skema pengupahan yang berpihak pada buruh sawit.

Seruan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit pada Mayday 2019

Jutaan buruh perkebunan kelapa sawit hari-hari ini berjibaku dengan target-target harian, menerjang hawa terik dan badai hujan, oleh pekerjaan dari tangan-tangan mereka, kita dapat menikmati produk-produk turunan kelapa sawit. Hampir semua produk makanan dan kosmetik yang kita gunakan sehari-hari, memiliki produk dari sawit. Melalui hari buruh internasional 2019, Koalisi Buruh Sawit menuntut perbaikan tata kelola ketenagakerjaan di perkebunan sawit, dengan prinsip-prinsip kesejahteraan dan keadilan.

Tuntutan Koalisi Buruh Sawit:

  1. Menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi buruh sawit dengan membuat sebuah aturan khusus yang mengatur hak-hak pekerja sawit secara adil dan berorientasi pada kesejahteraan, bukan pada upah minimum semata.
  2. Menyerukan agar pemerintah mengawasi regulasi perburuhan di perkebunan sawit, dan secara tegas menindak perusahaan sawit yang terbukti merampas hak-hak buruh sawit, dan terbukti tidak menaati kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati antara serikat pekerja dan perusahaan.
  3. Mendesak pemerintah merevisi mekanisme pengawasan ketenagakerjaan khususnya pengawasan pada perkebunan sawit yang memiliki kriteria unik, dan jangkauan yang luas.
  4. Mendorong pemerintah Pemerintah Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO No. 110 tahun 1958 tentang Perkebunan dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja (K3) di Perkebunan.
  5. Menyerukan kepada institusi finansial agar mengadopsi dan mengimplementasi prinsip-prinsip Good Governance & social responsibility dengan tidak memberikan pinjaman kepada perusahaan sawit yang terbukti tidak memenuhi hak-hak buruhnya, dan lebih jauh lagi, menyerukan institusi finansial agar mendorong debitur sawit untuk mengadopsi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut sebagai syarat untuk bermitra.
  6. Mendesak perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia untuk mematuhi peraturan ketenagakerjaan RI, maupun aturan-aturan dari otoritas eksternal seperti RSPO, ISPO, FPIC, dll
  7. Mendesak Perusahaan untuk selalu mengikutsertakan serikat pekerja dalam perundingan pembuatan aturan-aturan ketenagakerjaan perusahaan melalui forum-forum resmi seperti bipartit atau tripartit. Mengecam semua tindakan ‘pemberangusan serikat’ dengan segala modus operandinya.

Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019.

Minggu, 28 April 2019

 

Koalisi Buruh Sawit

 

 

[1]https://www.mongabay.co.id/2019/01/04/ketika-jokowi-minta-lahan-perhutanan-sosial-jangan-tanami-sawit/. Diakses pada 23 April 2019

[2] http://www.turc.or.id/lembar-fakta-perlindungan-buruh-sawit-indonesia-2018/. Diakses pada 22 April 2019

[3] https://www.aktual.com/dirjen-perkebunan-sawit-beri-sumbangan-terbesar-pdb/. Diakses pada 23 April 2019

[4] http://elsam.or.id/2018/04/lembar-fakta-perlindungan-buruh-sawit-indonesia-2018/ Diakses pada diakses pada 23 April 2019

[5] https://www.konfrontasi.com/content/ragam/protes-keras-pemecatan-buruh-sawit-pt-sms. Diakses pada 23 April 2019

[6] http://www.jurnalisia.net/2019/02/buruh-sawit-unjukrasa-ke-dprd-kotabaru.html?m=1. Diakses pada 23 April 2019

[7] https://nusantara.news/nasib-mengenaskan-buruh-sawit-sudah-bergaji-rendah-diancam-ular-kobra-pula/ . Diakses pada 23 April 2019

[8] http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/ Diakses 24 April 2019

[9] https://ec.europa.eu/jrc/en/jec/renewable-energy-recast-2030-red-ii . Diakses pada 23 April 2019

[10] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190418170923-4-67628/aturan-sawit-eropa-diskriminatif-ri-bersiap-gugat-ue-ke-wto . Diakses pada 23 April 2019

[11] https://www.sawitindonesia.com/di-vatikan-terungkap-fakta-sawit-entaskan-kemiskinan/ . Diakses pada 23 April 2019

[12] https://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55146/2012rjo.pdf;sequence=1 . Diakses pada 23 April 2019

[13] https://www.tuk.or.id/2018/11/12/malapetaka-korindo-perampasan-tanah-bank/ . Diakses pada 23 April 2019

TUK: Bank dan Investor Mudahkan Taipan Berinvestasi Besar

Jakarta, (Antara Sumbar) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. “Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat sehingga bisa digunakan oleh taipan tersebut untuk berinvestasi dan mengembangkan perusahaan mereka,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” katanya.
Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. “Artinya, mereka sudah menarik dan akan terus menarik modal dengan melakukan emisi saham untuk investor institusi dan pribadi.
Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank. Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.
TUK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bergerak pada isu lingkungan, SDA, dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia pembangunan.
TUK Indonesia melakukan advokasi untuk pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan integritas manusia. (*/sun)
Sumber: ANTARA Sumbar, 21 Februari 2015.
 

[KOMPAS.com] Pengadilan Pajak Kembali Tolak Banding Grup Asian Agri

Jumat, 20 Februari 2015 | 08:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Pengadilan Pajak kembali menolak banding anak usaha Asian Agri. Kali ini hakim menolak banding PT Andalas Intiagro Lestari. Sebelumnya, lima perusahaan anak usaha Asian Agri Group yang mengajukan keberatan pajak juga harus gigit jari.
Dalam proses banding, Andalas Intiagro Lestari mengajukan delapan berkas keberatan pajak. Total nilai keberatan atas tagihan pajak yang diajukan Andalas Intiagro sekitar Rp 58,9 miliar.
Nah, perusahan itu menyatakan masih mempelajari putusan pengadilan. “Asian Agri akan tetap mencari keadilan, sebagaimana diatur dalam undang-undang” ujar Freddy Wijaya, General Manager Asian Agri Group, Kamis (19/2/2015).
Freddy menilai putusan banding kali ini tidak mencerminkan keadilan karena perusahaan tidak pernah didakwa, disidang, dan diberi hak untuk membela diri selama persidangan. “Perusahaan dikenakan denda serta diwajibkan membayar kekurangan pajak dengan penentuan angka final yang perhitungannya ditentukan tanpa adanya pemeriksaan pajak sesuai ketentuan yang ada” lanjutnya.
Dalam sidang putusan yang digelar Rabu (18/2/2015), hakim berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni antara hakim ketua Sigit Henryanto dan hakim anggota Nany Wartiningsih, dengan hakim anggota Entis Sutisna. 
Menurut Entis Sutisna, keberatan pajak yang diajukan bukan objek yang dapat ditangani Pengadilan Pajak. Karena surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan putusan peradilan sebelumnya di Mahkamah Agung. 
Merujuk pada Undang-undang Tata Usaha Negara No 5/1986 pasal 2 (e), Entis menilai ketetapan pajak yang diajukan banding adalah putusan tata usaha negara yang tak bisa diteruskan ke pengadilan manapun. Sedangkan, dua hakim lain berpendapat putusan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat diproses di Pengadilan Pajak sehingga langkah Direktorat Jenderal Pajak sudah benar dan hakim memproses keberatan pajak PT Andalas Intiagro Lestari. 
Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Catur Rini Widosari menyebut, selama ini Asian Agri Group khususnya Andalas Intiagro Lestari sudah memiliki itikad baik. “Mungkin melihat pengalaman perusahaan sebelumnya, sebelum diputus kekurangan pajak sudah dibayar seluruhnya oleh PT Andalas Intiagro Lestari” katanya.
Sebelumnya Asian Agri Group dinyatakan memiliki kekurangan pajak periode 2002-2005 senilai Rp 1,25 triliun oleh Mahkamah Agung (MA). Perusahaan milik taipan Soekanto Tanoto ini harus membayar kekurangan pajak plus denda Rp 2,5 triliun. 
Hingga kini masih ada delapan anak usaha Asian Agri dalam proses banding. Proses banding ini ditempuh oleh Asian Agri untuk menghindari denda. Sejauh ini dewi fortuna belum memihak Asian Agri dalam proses banding ini. (Jane Aprilyani)

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/20/085100526/Pengadilan.Pajak.Kembali.Tolak.Banding.Grup.Asian.Agri

=====================

Dirjen Pajak: Mudah-mudahan Asian Agri Kalah..

Senin, 17 Maret 2014 | 17:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany berharap pengadilan pajak memenangkan pemerintah dalam kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh korporasi milik Soekanto Tanoto, Asian Agri Group.
Menurut Fuad, saat ini Asian Agri telah menyepakati membayar denda pajak sebesar Rp 2,5 triliun. Pembayaran pertama sudah dilakukan sebesar lebih dariRp 700 miliar, demikian pula dengan cicilan pertama Rp 200 miliar. 
“Yang sama kami (dia sudah bayar) Rp 900an miliar. Dia juga tunggu pengadilan pajak. Kalau dia kalah, bayar. Mudah-mudahan kalah,” kata Fuad ditemui di Balaikota, Jakarta, Senin (17/3/2014).
Sementara itu, penasihat hukum Asian Agri Group, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, masalah pajak Asian Agri tidak semata-mata masalah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Masalah itu kini tengah diperkarakan di pengadilan pajak dan belum usai.
Ia pun mempertanyakan putusan kasasi MA No.2239K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012, lantaran di dalamnya Asian Agri disebut harus membayar denda sebesar dua kali pajak terutang, senilai Rp 2,5 triliun. Padahal, pengadilan pajak saja belum memutuskan berapa kurang bayar pajak oleh Asian Agri.
“Sampai hari ini berapa jumlah kurang bayar pajak Asian Agri belum diputuskan. Mahkamah Agung dalam putusannya menghukum Suwir Laut dan menghukum Asian Agri dua kali pajak terutang. Sementara, pajak terutangnya belum diputuskan pengadilan pajak,” kata Yusril, di Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Menyusul putusan MA, Yusril menegaskan, kliennya akan melakukan upaya hukum, demi mendapatkan keadilan. “Kepastian hukum sudah, denda dibayar. Bagaimana dengan keadilan? Menurut hukum tidak dapat orang dihukum tanpa diadili. Oleh karena itu badan hukum berhak menempuh upaya hukum biasa maupun luar biasa. Apa detilnya, kami bahas bersama,” kata dia.
Ia mengatakan, hak peninjauan kembali (PK) tidak bisa dihalang-halangi pihak manapun karena dilindungi undang-undang. Kendati demikian, pihaknya belum memutuskan langkah apa yang akan diambil paska eksekusi Putusan Kasasi MA tersebut.

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/17/1715465/Dirjen.Pajak.Mudah-mudahan.Asian.Agri.Kalah.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

=====================

Asian Agri Akhirnya Lunasi Denda Rp 2,5 Triliun

Selasa, 23 September 2014 | 20:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Asian Agri Group (AAG) melunasi denda Rp 2,5 triliun per 17 September 2014. Denda tersebut wajib dibayarkan oleh AAG berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2012 terkait perkara penyimpangan pajak yang dilakukan 14 perusahaan yang tergabung dengan AAG. 
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (23/9/2014) disebutkan bahwa pihak kejaksaan mengapresiasi pihak AAG yang membayar pada waktunya. 
Sebelumnya pada akhir Januari 2014, pihak Asian Agri menyatakan kesiapannya untuk dieksekusi pihak Kejaksaan dengan sistem pelunasan secara bertahap atau mencicil setiap bulan hingga tanggal 15 Oktober 2014. Akan tetapi, perusahaan milik Sukanto Tanoto itu melunasinya secara total pada 17 September 2014.
Pada akhir Januari 2014, pihak Kejaksaan dan pihak Asian Agri sepakat membayar terlebih dahulu sebesar Rp 719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan. 
Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Bank Mandiri dan tiap bulan dapat dicairkan.
Kami mempertimbangkan nasib puluhan ribu para pekerja serta petani plasma yang selama ini menggantungkan nasibnya pada 14 perusahaan yang tergabung di Asian Agri. Karena itulah Kejaksaan memberikan tenggang waktu pembayaran dan hal ini tentu saja dimungkinkan oleh perundang-undangan yang ada,” kata Datas Ginting, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/23/201126026/Asian.Agri.Akhirnya.Lunasi.Denda.Rp.2.5.Triliun?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

====================

[merdeka.com] Kejagung amankan aset 14 perusahaan kelapa sawit Asian Agri

Merdeka.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) dibantu Ditjen Pajak, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Pusat Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan mengamankan aset 14 perusahaan kelapa sawit yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG).
Hal itu dilakukan setelah perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto diputuskan harus membayar tunggakan pajak sebesar Rp 2,5 triliun kepada negara.
“Kita diberi jangka waktu setahun, karena waktunya lumayan panjang kita harus antisipasi (awasi aset AAG),” kata Jaksa Agung Basrief Arief, Jumat (7/6).
Pihaknya meminta BPN mengawasi lahan yang dimiliki 14 perusahaan Asian Agri Group supaya tidak dijual ke pihak lain.
“BPN mengawasi asetnya agar tak beralih ke pihak lain, status quo pemblokiran,” ujar dia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah mengeluarkan surat tagihan pajak terhadap perusahaan pengolahan sawit, Asian Agri.
Ada sekitar 48 persen dari total tagihan tersebut sehingga Ditjen pajak mencatat nominal tunggakan yang harus dilunasi sebesar Rp 1,8 triliun. Plus, karena ada denda dari kejaksaan, sehingga seluruh kewajiban pembayaran Asian Agri mencapai Rp 4,3 triliun.
“Dalam waktu sebulan Asian Agri harus segera dibayarkan. Kan itu belum termasuk denda dari Kejaksaan, kalau ditotalkan Asian Agri harus membayar Rp 4,3 triliun karena Kejaksaan sebesar Rp 2,5 triliun dan kita Rp 1,8 triliun,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany saat acara Silahturahmi Pimpinan Redaksi dengan Ditjen Pajak di Kantor Pusat Pajak, 
Jakarta, Rabu malam (5/6).
Mahkamah Agung (MA) menghukum Asian Agri, anak perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto. Perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut harus membayar denda Rp 2,5 triliun atas kasus penggelapan pajak.
Putusan perkara penggelapan pajak diputuskan sebagai corporate liability (pertanggungjawaban kolektif) yaitu Fucarious Liability (perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan pidana karyawannya).
Terkait respon perusahaan terhadap denda dari Ditjen Pajak, General Manager Asian Agri Freddy Widjaya menuturkan, perusahaan belum mengambil sikap. “Kita masih pikir-pikir dan pelajari petikan putusannya,” ujar Freddy saat berkunjung ke kantor redaksi merdeka.com beberapa waktu lalu.

[dan]

Link:

http://www.merdeka.com/peristiwa/kejagung-amankan-aset-14-perusahaan-kelapa-sawit-asian-agri.html

[Investor Daily] "Potential Loss" Industri Sawit Capai Rp 127 Triliun

Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011.
Juru bicara Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).
Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melalui Inpres No 6 Tahun 2013.
Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.
Pernyataan Gapki itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520.000 hektare (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha, namun pada 2013 sudah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki dua juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini. (Investor Daily; Edisi Jumat, 13 Februari 2015).
Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia?” ungkap Tofan.
Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, Gapki menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (Tbk). Dalam catatan Gapki, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan di antaranya yang menjadi anggota Gapki. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 25 kelompok perusahaan itu data dari mana? Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.
Gapki menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas sembilan juta ha, seluas 35% di antaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN dan PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.
Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang bersifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori. “Kalau melakukan itu (perampasan lahan) tentu tidak akan mendapat sertifikat karena sertifikat ini bersifat legal yang membuktikan perusahaan sawit memnuhi standar yang berlaku,” kata dia.
Penulis: Tri Listiyarini/PCN
Sumber: Investor Daily
Link: http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html

[beritasatu.com] Potential Loss Industri Sawit Capai Rp 127 T

Selasa, 17 Februari 2015 | 05:04

JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui inpres No 10 Tahun 2011.

Juru bicara GAPKI Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).

Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melaui Inpres No 6 Tahun 2013.

Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.

Pernyataan GAPKI itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transpormasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu ha (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan kalimantan Timur.

Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke 25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.

Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia,” ungkap Tofan.

Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, GAPKI menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (tbk). Dalam cataan GAPKI, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan diantaranya yang menjadi anggota GAPKI. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 255 kelompok perusahaan itu data dari mana” Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.

GAPKI menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas 9 juta ha, seluas 35% diantaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN da PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.

Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikat RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang ebrsifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori.

Link:

http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html

[Investor Daily] Keberhasilan Pembiayaan Sawit Perlu Diterapkan untuk Komoditas Pangan

Sabtu, 14 Februari 2015 | 21:23
JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menginginkan keberhasilan skema pembiayaan seperti yang selama ini diberlakukan pada pengembangan komoditas kelapa sawit perlu ditiru dalam pengembangan komoditas pangan lainnnya.
“Keberhasilan pola pembiayaan pada sawit diharapkan dapat direplikasikan pada komoditas lainnya seperti beras dan sapi potong dengan melibatkan dukungan instrumen perbankan berupa kredit dan asuransi dengan bunga yang wajar,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis dan Pangan Franky Widjaja dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (14/2).
Dengan kata lain, menurut dia, komoditas pangan strategis Indonesia diharapkan dapat meraih keberhasilan seperti yang didapat oleh salah satu komoditas unggulan Indonesia yakni kelapa sawit.
Ia mengingatkan bahwa perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat sejak tahun 1980-an setelah Bank Dunia memberikan kredit bantuan yang dikenal dengan istilah Perkebunan Inti Rakyat.
Sejak tahun 1990-an, lanjutnya, pemerintah senantiasa memberikan peluang dan iklim usaha kelapa sawit yang semakin baik kepada pihak swasta dan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
“Banyak perusahaan tumbuh dan berkembang pesat dengan tetap mempertahankan pola kemitraan Inti-Plasma. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi produsen utama sawit sejak tahun 2006,” ujar Franky.
Sebagaimana diberitakan, kalangan industri nasional memproyeksikan ekspor produk sawit dan turunannya pada 2015 berada pada kisaran 23,7 juta ton.
Direktur Ekskutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga di Jakarta, Selasa (10/2) menyatakan, volume ekspor tersebut terdiri minyak sawit mentah (CPO) dan lainnya sebesar 9,9 juta ton (42 persen dan produk minyak sawit olahan (PPO) 13,8 juta ton (58 persen).
Sedangkan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengatakan pengembangan petani swadaya dapat mendorong perkembangan industri sawit dan mengatasi masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.
“Tantangan industri sawit saat ini adalah yield yang rendah, sehingga mendorong untuk ekspansi lahan. Untuk menghindarinya, Kami menyerukan ajakan kepada perusahaan-perusahaan lainnya untuk turut serta menggandeng para petani swadaya sebagai mitra bisnis mereka,” kata Gamal Nasir di Jakarta, Selasa (10/2).
Gamal mengatakan ada beberapa perusahaan yang bergerak pada bidang sawit termasuk Asian Agri yang telah memberikan kontribusi dalam program petani swadaya, karena selain mendorong kapasitas petani, juga berpotensi mengembangkan perekonomian daerah.
Sementara itu, Direktur Program Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, mengatakan penguasaan dan pemilikan skala besar oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat menyebabkan konflik lahan dan sumber daya agraria yang ada di dalam masyarakat.
“Hal tersebut bisa menimbulkan benturan serta sengketa yang mengorbankan harta benda bahkan nyawa,” kata Rahmawati di Jakarta, Jumat (13/2).
Ia menjelaskan, pada referensi Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama 2013 terjadi 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1,2juta hektare dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). (ID/ant/ths)
Link:
http://id.beritasatu.com/agribusiness/keberhasilan-pembiayaan-sawit-perlu-diterapkan-untuk-komoditas-pangan/108166

25 Grup Bisnis Sawit ini Dituding Rampas Lahan untuk Ekspansi

sawit-14

Sebuah Riset berjudul “Tycoon in the Indonesian Palm Oil” menyatakan sekelompok kecil konglomerat menjadi penentu bagi pengembangan sektor kelapa sawit di Indonesia


Bisnis.com, JAKARTA – Riset terbaru mengungkapkan 25 grup bisnis di sektor perkebunan sawit turut bertanggung jawab atas terjadinya dugaan perampasan lahan, pelanggaran hak ekonomi masyarakat di Indonesia seiring ekspansi perusahaan di sektor tersebut.
Riset berjudul Tycoon in the Indonesian Palm Oil menyatakan ekspansi luar biasa perkebunan kelapa sawit di Tanah Air menciptakan masalah lingkungan dan sosial secara serius. Riset itu dikerjakan secara bersama oleh Profundo, yang berbasis di Amsterdam dan Transformasi untuk Keadilan Indonesia di Jakarta.
Penelitian itu memaparkan area yang dijadikan perkebunan sawit meningkat sekitar 35% dari 7,4 juta hektare pada 2008 menjadi sekitar 10 juta hektar pada 2013. Sebanyak 25 grup bisnis milik taipan itu memiliki kendali atas 5,1 juta ha  kebun sawit—dengan 3,1 juta hektar telah ditanami—berdasarkan laporan tahunan perusahaan. Perusahaan itu sebagian besar tercatat di Bursa Efek, baik di Jakarta, Kuala Lumpur, London maupun Singapura.
“Sekelompok kecil konglomerat menjadi penentu bagi pengembangan sektor kelapa sawit,” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK Indonesia dalam peluncuran riset itu, Kamis (12/02/2015). “Mereka ikut bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, perampasan lahan, konflik sosial petani kecil.”
Dia menuturkan pemerintah harus mengakui bahwa kerusakan hutan secara berkesinambungan dan hilangnya hak tanah oleh masyarakat, disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit.
Hal yang kontras, sambungnya, para pemilik perusahaan justru diduga memarkir dana kekayaan mereka di negara surga pajak dan memperkuat cengkraman bisnis sawit di Tanah Air. Indonesia saat ini adalah produsen minyak sawit mentah pertama dunia dengan total produksi mencapai 26 juta ton, yang diperkirakan meningkat hingga 32 juta ton pada 2015.
Riset itu juga memaparkan peranan penting lembaga keuangan nasional maupun asing yang memperkuat ekspansi perusahaan. Oleh karena itu, sambung Winarni, lembaga keuangan harus memperkuat kebijakan risiko sosial dan lingkungan sebelum memberikan fasilitas pendanaan ke perusahaan kelapa sawit.
Wilayah yang dikontrol perusahaan-perusahaan itu mencakup Kalimantan (62%), Sumatra (32%), Sulawesi (4%) dan Papua (2%). Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Timur adalah provinsi dengan penguasaan cadangan lahan terbesar para taipan.
Bisnis grup yang diteliti dalam riset itu mencakup Anglo Eastern Group; Austindo Group; Bakrie Group; Batu Kawan Group; BW Plantation Group; Darmex Agro Group; DSN Group; Genting Group; Gozco Group; Harita Group; IOI Group; Jardline Matheson Group; Kencana Agri Group; Musim Mas Group; Provident Agro Group; Raja Garuda Mas Group; Salim Group.
Lainnya adalah Sampoerna Group; Sinar Mas Group; Sungai Budi Group; Surya Dumai Group; Tanjung Lingga Group; Tiga Pilar Sejahtera Group; Triputra Group dan Wilmar Group.
PROSEDUR HUKUM
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriono mengatakan masalah penguasaan lahan tidak sama sekali berhubungan dengan masalah HAM, melainkan prosedur hukum. Menurutnya, perusahaan yang memiliki lahan sudah memiliki aturan tersendiri.
“Tidak ada hubungannya dengan HAM, karena aturan lahan untuk kepemilikan lahan sudah jelas,” paparnya ketika dikonfirmasi melalui telepon, Kamis (12/2/2015). “Ketika ada yang keberatan, perusahaan pun memiliki prosedur sendiri untuk menyelesaikan masalah itu, misalnya dengan dialog dan negosiasi untuk kompensasi.”
Dia mengatakan struktur kepemilikan lahan sekitar 42%  dimiliki oleh petani, sedangkan 58% itu dimiliki perusahaan negara maupun swasta. Joko mengungkapkan perusahaan besar kelapa sawit dibutuhkan karena memiliki sumber daya, teknologi dan modal yang kuat.
Menurut Joko, riset yang dilakukan seharusnya juga dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tak melihat dari satu sisi tertentu saja. Terkait dengan lahan, paparnya, jalan yang bisa ditempuh terakhir adalah melalui jalur hukum.
“Prosedurnya adalah dialog bilateral untuk negoisasi, jika tak berhasil maka dilakukan mediasi oleh pemerintah,” katanya. “Namun jika ini gagal, maka yang bisa ditempuh adalah melalui jalur hukum.”
Dia menuturkan ekspansi perusahaan sawit berkaitan dengan penggunaan minyak nabati untuk kebutuhan pangan. Masalahnya, minyak nabati juga menjadi produk kompetisi dari produsen minyak serupa tetapi yang bukan berasal dari sawit.
Sumber/tautan:
http://industri.bisnis.com/read/20150212/99/402107/25-grup-bisnis-sawit-dituding-rampas-lahan-untuk-ekspansi#.VNzJsQtPqLA.twitter

Investor Daily

25 Grup Usaha Kuasai 31% Lahan: Ekspansi Kebun Sawit Capai 520 Ribu Ha Per Tahun

Updated: February 13, 2015

JAKARTA – Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu hektare (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha, namun pada 2013 sudah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Provinsi Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

Sementara itu, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan oleh 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.

Ke-25 grup itu adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group, Surya Dumai Group, Raja Garuda Mas Group, Batu Kawan Group, Musim Mas Group, Genting Group, Sam­poerna Agro Group, dan Bakrie Group. Kemudian, Harita Group, IOI Group, Darmex Agro Group, Tiga Pilar Sejahtera Group, DSN Group, Sungai Budi Group, Kencana Agri Group, Triputra Group, Anglo-Eastern Group, Tanjung Lingga Group, Austindo Group, BW Plantation Group, Provident Agro Group, dan Gozco Group.

Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang disampaikan dalamworkshopmedia atas Kajian TuK Indonesia berjudul Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, Kamis (12/2). TuK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bekerja pada isu lingkungan, sumber daya alam (SDA), dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia.

Direktur Program TuK Indonesia Rahmawati Retno Winarni menjamin hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, penelitian yang dilakukan pada semester II-2014 itu didasarkan pada sumber atau informasi yang memang bisa diakses, seper ti laporan perusahaan, riset perusahaan, riset perkebunan, data perkebunan provinsi, dan jugawebsite resmi RSPO. “Seperti data ekspansi lahan, itu bisa dipertanggungjawabkan, ekspansi lahan sawit setiap tahunnya mencapai luas Pulau Bali,” kata dia ketika dikonfirmasi Investor Daily, tadi malam.

Menurut Retno, selama ini peme­ rintah dan pengusaha menyatakan bahwa perkebunan sawit di Tanah Air dikuasai oleh petani. Namun dengan hasil penelitian tersebut pernyataan itu menjadi diragukan. “Karena ternyata lahan perkebunan sawit di Indonesia justru dikuasai oleh segelintir orang, bagaimana itu bisa terjadi, mereka pun didukung oleh perbankan dan juga investor sehingga ekspansi sawit mereka berjalan cepat dan masif,” kata dia.

Dia mengatakan, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari 25 grup usaha tersebut sebanyak 21 di antaranya telah go public atau terdaftar di bursa saham, yakni 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London, hanya empat yang dimiliki pribadi. Dalam Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan, setiap grup usaha dibatasi kepemilikan lahan sawitnya maksimal 100 ribu ha, namun perusahaan terbuka dikecualikan dari aturan itu. “Nampak bahwa pemerintah memberi karpet merah buat investor,” kata dia.

Retno menuturkan, melalui penelitian tersebut, TuK Indonesia merekomendasikan beberapa hal di antaranya bagaimana sebenarnya proses perizinan di Indonesia hingga lahan atau tanah bisa dikuasai oleh segelintir individu. Di sisi lain, dari sisi pajak, apakah kehadiran mereka benar telah memberikan kontribusi pajak yang signifikan karena selama ini pemerintah selalumendengungkan pajak untuk kesejahteraan rakyat dan memberantas kemiskinan.

Hasil penelitian itu juga menyebutkan, 25 kelompok usaha itu dimiliki oleh 29 keluarga taipan. Di antara mereka hanya satu keluarga taipan yang dipimpin oleh seorang perempuan, Lim Siew Kim Anglo-Eastern Plantations. Sementara 28 keluarga taipan lainnya dikepalai oleh lakilaki, meskipun dalam beberapa kasus anggota keluarga perempuan dari keluarga taipan tersebut terlibat dalam pengelolaan grup bisnis. Taipan-taipan itu di antaranya Lim Hariyanto Wijaya Sarwono (Harita Group), Bachtiar Karim (Musim Mas Group), Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno (Provident Agro Group), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Anthoni Salim (Salim Group), Putera Sampoerna (SampoernaGroup), Eka TjiptaWidjaja (SinarMas Group), Martias dan Ciliandra Fangiono (Surya Dumai Group), Martua Sitorus, Khoon Hong Kuok, dan Robert Kuok (Wilmar Group).

Selain memiliki lahan yang jumbo, kekayaan para taipan tersebut juga sangat fantastis. Total kekayaan mereka mencapai US$ 71,5 miliar atau setara dengan 8% GDP Indonesia yang pada tahun 2013 mencapai US$ 868 miliar dan 42% dari APBN yang pada 2013 sebesar Rp 1.726 triliun.

Investor Daily, Jumat 13 Februari 2015, hal. 8

Link:

http://hprpdailynews.com/2015/02/13/25-grup-usaha-kuasai-31-lahan-ekspansi-kebun-sawit-capai-520-ribu-ha-per-tahun/