Pos

MENUJU KEUANGAN BERKELANJUTAN? TINJAUAN KRITIS ATAS LAPORAN KEBERLANJUTAN BNI 2017

Bank BNI merupakan salah satu bank yang sejak beberapa tahun lampau dikenal sebagai bankyang menunjukkan minatnya pada keuangan berkelanjutan. Tahun2017, BNI menjadi salah satu dari delapan bank yang didaulat menjadi penggerak awal dari keuangan berkelanjutan di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan. Tidak mengherankan apabila laporan keberlanjutan yang dibuat untuk tahun 2017, terbit pada bulan Juni 2018, kemudian menggunakan judul “Menuju Keuangan Berkelanjutan.” Dokumen—yang ditulis oleh Jalal untuk Transformasi untuk Keadilan Indonesia—ini hendak memaparkan apakah BNI memang mengarahkan dirinya pada keuangan berkelanjutan secara bersungguh-sungguh atau sekadar komunikasi perusahaan untuk mengesankan demikian.
TuK INDONESIA  melakukan tinjauan kritis atas laporan keberlanjutan BNI, untuk menganalisis bagaimana implementasi keuangan berkelanjutan BNI yang ditunjukkan dalam laporan keberlanjutan BNI tahun 2017 sesuai dengan standar pelaporan GRI dan persyaratan dalam POJK Keuangan Berkelanjutan.
Unduh Laporan: Menuju Keuangan Berkelanjutan

Siaran Pers: Membongkar Pembalakan Liar dan Pelanggaran HAM oleh Raksasa Bisnis Kehutanan Grup Korindo: Olimpiade 2020 Tokyo Tersangkut Pengadaan Kayu Gelap

Laporan Hangat: Membongkar Pembalakan Liar dan Pelanggaran HAM oleh Raksasa Bisnis Kehutanan Grup Korindo: Olimpiade 2020 Tokyo Tersangkut Pengadaan Kayu Gelap
Pengunjuk rasa berkumpul di Kantor Pusat Korindo Jakarta setelah penyelidikan menunjukkan adanya perampasan lahan dan pelanggaran serius atas peraturan perundangan tentang kayu; bank-bank Jepang dan Indonesia terbukti menyediakan pembiayaan bagi perusakan hutan hujan di Indonesia
Jakarta, 12 November 2018 – Penyelidikan mendalam terhadap konglomerat Korea-Indonesia Grup Korindo telah menghasilkan dua laporan yang mencatat bukti menyeluruh mengenai tindakan ilegal, perusakan lingkungan, dan pelanggaran hak-hak masyarakat di seluruh operasi perusahaan. Ekspansi Korindo ke dalam hutan-hutan pedalaman Indonesia melibatkan pembukaan hutan primer, pembakaran, perampasan lahan, dan tindakan kekerasan dan penangkapan masyarakat setempat secara sewenang-wenang, tulis laporan berjudul Perilous : Korindo, Land Grabbing and Banks, yang hari ini diterbitkan oleh Rainforest Action Network (RAN), Walhi, TuK-Indonesia, dan Profundo. Pelanggaran-pelanggaran ini menyebabkan Korindo memasok kayu yang tidak berkelanjutan dan kemungkinan besar ilegal untuk konstruksi beberapa lokasi penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020, sebagaimana telah diuraikan secara singkat dalam laporan kedua yang terkait yang juga dirilis hari ini, berjudul Broken Promises.
Sekelompok pengunjuk rasa, hari ini berkumpul di kantor pusat Korindo di Jakarta dan di kantor pusat bank pendana utama Korindo yaitu Bank Negara Indonesia (BNI). Mereka menuntut agar Korindo berhenti merusak hutan mereka, keluar dari wilayah masyarakat, dan meminta agar BNI berhenti membiayai perusahaan.
Di Maluku Utara, masyarakat pemilik lahan berjuang melawan Korindo demi menjaga tanah dan hutan tradisionalnya. Bukti dan kesaksian yang diutarakan dalam laporan hari ini menunjukkan bahwa Korindo secara paksa merampas lahan masyarakat tanpa persetujuan warga, menggunakan api untuk secara ilegal membuka lahan, menanam kelapa sawit tanpa kelengkapan izin, dan mengkriminalisasi masyarakat yang menentang operasi perusahaan, termasuk penahanan sewenang-wenang dan kekerasan.
“Korindo melakukan kekerasan dan mengeksploitasi masyarakat Maluku Utara dan warga Indonesia,” kata Ismet, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara. “Mulai dari merampas lahan masyarakat hingga melecehkan petani dan masyarakat kecil yang harus merasakan dampak negatif ini semua. Saat ini Korindo sedang berusaha merampas lebih banyak lagi hutan masyarakat  di  Maluku  Utara  untuk  dijual  kayunya  dan  kemudian  ditanami  kelapa  sawit.
Masyarakat terus melawan tetapi mereka meminta agar Pemerintah dan Polisi berhenti membantu memuluskan kegiatan ilegal, dan sebaliknya membantu melindungi masyarakat, kebun dan hutannya.”
“Luas daratan Maluku Utara itu hanya 23% sisanya adalah laut. Kehadiran Korindo selama 11 tahun dengan sistem perkebunan monokultur telah menghancurkan tata sistem keragaman hayati, dimana cengkeh, pala dan kelapa telah menjadi sumber produktivitas primer warga. Harga sawit dibandingkan pala dan cengkeh terlampau jauh, cengkeh rata-rata 80.000 /kg dan bunga pala 180.000 /kg. Pemerintah mestinya menghentikan proses perampasan ruang hidup Masyarakat Gane yang dilakukan oleh PT. Korindo, karena kami makan sagu, bukan sawit,” Ismet menjelaskan.
Penelitian yang dilakukan atas kondisi keuangan, struktur korporasi dan perusahaan cangkang luar negeri milik Korindo mengungkapkan adanya praktik tidak etis dan ilegal, termasuk diantaranya memberikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan mengenai pengaturan pinjaman dan laporan keuangan melalui perusahaan cangkang mereka di Singapura. Laporan ini juga mengungkap kesalahan bank dan investor yang mendanai dan memperoleh keuntungan dari operasi ilegal Korindo dan keterlibatannya dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua pemodal dan mitra usaha Korindo, terutama Bank Negara Indonesia (BNI), Grup SMBC, Hyosung Corporation, Sumitomo Forestry dan Oji Holdings, berperan besar dalam mendukung ekspansi usaha Korindo.
“BNI telah berkomitmen menjadi pelopor dalam pembiayaan berkelanjutan,” ungkap Edi Sutrisno selaku Wakil Direktur TuK Indonesia. Untuk benar-benar melaksanakan komitmen ini, langkah pertamanya, mereka harus berhenti membiayai perusahaan seperti Korindo yang beroperasi tanpa izin yang cukup serta yang merampas lahan dan hutan masyarakat. Membiayai Korindo jelas bertentangan dengan standar bank BNI sendiri, dan bertentangan dengan regulasi dalam sektor keuangan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BNI harus memperketat kebijakannya, memutuskan hubungan dengan perusahaan seperti Korindo, dan menjadi bank yang berkelanjutan bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia; bukannya para taipan,” .
Bukti yang disampaikan dalam laporan ini juga menegaskan bahwa Korindo memasok kayu ilegal secara tidak berkelanjutan untuk pabriknya, dan kemudian memasok kayu lapis dari pabrik tersebut untuk pembangunan fasilitas penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Bukti foto, data rantai pasok perusahaan dan catatan perdagangan ekspor menunjukkan bahwa kayu lapis Korindo yang digunakan untuk membangun fasilitas penyelenggaraan Olimpiade diduga kuat terdiri dari kayu ilegal dari Maluku Utara, serta kayu yang ditebang dari habitat orang utan di Kalimantan Timur yang dipasok melalui perusahaan perdagangan milik Jepang yaitu Sumitomo Forestry.
“Panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 berjanji menyelenggarakan Olimpiade yang berkelanjutan,” kata Hana Heineken dari RAN. “Akan tetapi, mereka menggunakan lebih dari 110.000 lembar kayu lapis Indonesia yang tersangkut perusakan hutan hujan, perampasan lahan dan penggundulan habitat orangutan yang terancam punah, di mana sebagian besar dilakukan dengan membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Olimpiade seharusnya merayakan prestasi umat manusia dan solidaritas global, bukannya dibangun di atas pelanggaran HAM dan kerusakan alam di penjuru terpencil dunia.”
Temuan yang disampaikan dalam laporan ini mendesak agar tindakan tegas segera diambil, termasuk di antaranya penyelidikan oleh seluruh otoritas terkait termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia dan Jepang. Olimpiade Tokyo 2020 serta bank dan nasabah Indonesia dan Jepang yang tersangkut skandal ini harus segera memutuskan hubungannya dengan Korindo. Ini bukan pertama kalinya Korindo terlibat dalam penghancuran hutan hujan dan pembakaran yang melanggar hukum.
Temuan dan dugaan utama dalam laporan ini telah disampaikan kepada Korindo secara tertulis pada empat kesempatan yang berbeda, yaitu pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan Oktober 2018 lalu. Korindo bersikeras bahwa operasi yang dilakukannya telah mematuhi semua peraturan perundangan yang berlaku sepenuhnya, serta menyatakan bahwa Korindo merupakan perusahaan yang terdepan dalam keberlanjutan.

**Foto resolusi tinggi, video testimoni dan rekaman wawancara telepon tersedia berdasarkan permintaan
Kontak untuk wawancara:
Edi Sutrisno (TuK), [email protected], 0813 15849153 / 0877 11246094
Ismet (Walhi Maluku Utara), [email protected], 0852 4032 9345
Kontak media:
Malik Diazin (Walhi), [email protected], 0818 0813 1090

POJK yang baru mengenai Keuangan Berkelanjutan

Regulasi Indonesia tentang Keuangan Berkelanjutan yang baru merupakan langkah penting di dalam mengatasi peran bank dan investor di dalam kerusakan hutan dan pelanggaran hak azasi manusia
18 Agustus 2017
Pada bulan Juli 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang baru mengenai Keuangan Berkelanjutan. POJK ini disambut dengan baik dan merupakan langkah penting di dalam mengatasi peran bank dan investor di dalam kerusakan hutan dan pelanggaran hak azasi manusia di Indonesia.
Read the briefing

Menyambut Gembira POJK Keuangan Berkelanjutan

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Setelah menunggu dengan harap-harap cemas sejak awal 2015, akhirnya kita semua bisa melihat munculnya regulasi keuangan berkelanjutan di negeri ini.  Pada tanggal 20 Juli 2017, yaitu hari terakhir komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masa tugas 2012-2017, Indonesia mendapatkan kado yang menggembirakan berupa Peraturan OJK (POJK) 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Memang, setelah ditandatangani kita belum bisa melihat regulasi tersebut, lantaran masih harus dicatatkan dahulu di Kementerian Hukum dan HAM, untuk mendapatkan nomor dan menjadi sah diundangkan.  Jadi, bagi yang ingin mengetahui detail isinya, masa penantiannya bertambah lagi.  Tetapi, pada awal minggu ini, tepatnya Selasa 8 Agustus 2017, akhirnya regulasi ini benar-benar bisa ditilik isinya.
Empat Pertimbangan
Apa pertimbangan OJK mengeluarkan regulasi ini?  Ada empat.  Pertama adalah “bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif diperlukan sistem perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.” Jadi, terdapat kesadaran dari OJK bahwa untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, stabil dan inklusif tak ada cara lain di luar menyelaraskan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.  Sebaliknya, ketimpangan di antara ketiga aspek itu berakibat ketidakberlanjutan, instabilitas dan eksklusi.
Kedua, “bahwa untuk menggerakkan perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif dibutuhkan sumber pendanaan dalam jumlah yang memadai.” Butir ini sangat penting, mengingat bahwa sumberdaya finansial adalah hal yang mendasar untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif itu.  Dan, sumberdaya tersebut harus tersedia dalam jumlah yang memadai.  Bila tidak, maka tujuan untuk mencapai ekonomi yang demikian tidaklah akan tercapai, atau mungkin dicapai dalam waktu yang lebih lama dari yang diinginkan atau direncanakan.
Pertimbangan ketiga adalah “bahwa pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”  Di sini, OJK menyatakan bahwa mandat dari keuangan berkelanjutan sesungguhnya bukan hanya berasal dari kebutuhan penciptaan ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, melainkan juga dari kebutuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 32/2009.  Oleh karenanya, dapat diartikan bahwa keuangan berkelanjutan juga adalah keuangan yang kompatibel dengan seluruh tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang termaktub dalam UU tersebut.
Terakhir, “bahwa Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan perlu ditindaklanjuti dengan peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.”  Jadi, POJK ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari substansi Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang terbit pada penghujung 2014 lalu.  Artinya juga, target-target yang dinyatakan di  Roadmap itu—beserta kerangka waktunya—juga menjadi rujukan dalam membaca POJK ini.
Empat Belas Pasal
Setelah memaparkan pertimbangan dan regulasi-regulasi yang menjadi rujukan, dan memutuskan pemberlakuan POJK ini, Pasal 1-nya memuat berbagai definisi.  Yang terpenting, tentu saja, adalah definisi keuangan berkelanjutan itu sendiri, yang dinyatakan sebagai “…dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.”
Pengertian dari menyeluruh tentu saja bukan parsial.  Ini berarti sektor jasa keuangan tidak bersikap setengah-setengah—apalagi lebih rendah lagi, seperti hanya melakukan greenwashing—dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.  Ini juga berarti bahwa seluruh lembaga jasa keuangan melakukannya, bukan hanya sebagian bank atau asuransi.  Selain definisi keuangan berkelanjutan, ada 12 definisi lainnya yang bisa disimak di pasal tersebut.
Pada Pasal 2 diterakan kewajiban menerapkan keuangan berkelanjutan kepada seluruh pihak yang disebutkan dalam peraturan ini, yaitu lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, dan perusahaan publik.  Definisi masing-masing pihak tersebut dinyatakan dalam pasal sebelumnya.  Dari sini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya POJK ini bukan sekadar berlaku untuk LJK, sebagaimana yang kerap dipersepsi orang.
Di pasal itu pula terdapat prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, yang disebutkan ada delapan, yaitu:  prinsip investasi bertanggung jawab; prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan; prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup; prinsip tata kelola; prinsip komunikasi yang informatif; prinsip inklusif; prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas; dan prinsip koordinasi dan kolaborasi.  Apa yang dimaksudkan pada prinsip-prinsip itu bisa dibaca pada bagian Penjelasan.  Namun, sebagaimana yang lazim, maka seluruh prinsip tersebut haruslah ditegakkan.  Pelanggaran atas salah satu saja prinsip akan membuat keuangan berkelanjutan tidak tegak.
Pasal 3 menjelaskan bahwa pemberlakuan POJK ini adalah secara bertahap.  Bank umum yang masuk kategori BUKU 3 dan 4 serta bank asing adalah yang mendapatkan mandat paling cepat untuk menegakkannya, yaitu mulai 1 Januari 2019.  Sementara, dana pensiun yang total asetnya minimal Rp1 triliun adalah yang paling lambat, yaitu pada 1 Januari 2025.
Kewajiban untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dinyatakan pada Pasal 4. Sementara isi dari RAKB sendiri dapat dipelajari pada Lampiran 1 POJK.  Pasal 5 menyatakan bahwa RAKB itu wajib dilaksanakan; dan Pasal 6 menyatakan kewajiban untuk mengkomunikasikannya kepada pemegang saham dan seluruh jenjang organisasi LJK.
Pasal 7 masih tentang RAKB, yaitu wajib disusun berdasarkan prioritas LJK yang sedikitnya terdiri dari pengembangan produk produk/jasa keuangan berkelanjutan; pengembangan kapasitas internal; serta penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan prosedur operasional standar yang sesuai dengan prinsip keuangan berkelanjutan.  Apa yang dinyatakan di dalam RAKB itu juga wajib menyertakan target waktu penerapannya.
Kaitan antara keuangan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) disebutkan dalam Pasal 8. Bagi LJK yang diwajibkan melaksanakan TJSL—yaitu LJK yang berbadan hukum perusahan terbatas—maka sumberdaya finansial TJSL-nya wajib dialokasikan sebagian untuk dukungan penerapan keuangan berkelanjutan.  Sementara, emiten dan perusahaan publik yang bukan merupakan LJK namun diwajibkan melaksanakan TJSL dapat (tidak diwajibkan) mengalokasikannya.  Alokasinya sendiri wajib diterakan pada RAKB yang dibuat, dan pelaksanaanya wajib dilaporkan di dalam laporan keberlanjutan.
Pasal 9 mengatur tentang insentif dari OJK untuk mereka yang menerapkan keuangan berkelanjutan secara efektif.  Bentuknya adalah pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, dan insentif lainnya yang belum didefinisikan.
Kalau di Pasal 8 sudah dinyatakan adanya kewajiban untuk melaporkan kaitan TJSL dengan keuangan berkelanjutan dalam bentuk laporan keberlanjutan, Pasal 10 menegaskan tentang pelaporan keberlanjutan yang dimaksud.  Pembuatannya bersifat wajib, bisa dibuat terpisah dari atau sebagai bagian dari laporan tahunan, wajib diserahkan kepada OJK, dengan tenggat waktu penyerahan dan periode pelaporan sesuai yang ditentukan.  Format laporan keberlanjutan yang diwajibkan adalah sebagaimana yang dijelaskan pada Lampiran 2 POJK.
Pasal 11 mengatur tentang penyerahan RAKB kepada OJK, sementara Pasal 12 menjelaskan mengenai kewajiban publikasi laporan keberlanjutan.  Pasal 13 mengatur mengenai sanksi, yang seluruhnya bersifat administratif dalam bentuk teguran atau peringatan tertulis.  Pasal 14 menyatakan bahwa keberlakuan POJK ini adalah mulai tanggal diundangkan, yaitu 27 Juli 2017.
Bersyukur, Bergembira, Bangga
Secara umum, belum banyak negara di dunia ini yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan.  Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu yang paling maju di antara bangsa-bangsa lain.  Hal ini perlu disambut dengan gembira.  Kesadaran bahwa ekonomi Indonesia perlu dibuat berkelanjutan, stabil dan inklusif adalah alasan kegembiraan yang lainnya.
Namun, tentu saja, regulasi ini masih mengandung ruang perbaikan yang besar.  Yang mana bisa dipahami lantaran regulasi ini merupakan salah satu yang paling awal dibuat.  Kita tak punya rujukan yang cukup komprehensif.  Dan ini merupakan peluang untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.
Salah satu ruang yang paling jelas adalah tentang berbagai kebijakan yang seharusnya dibuat oleh LJK, emiten, dan perusahaan publik untuk menegakkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan itu.  Dengan belum dicantumkannya secara eksplisit, maka diperlukan pihak-pihak yang mumpuni untuk membantu mereka semua menginterpretasikannya.  Mengingat kondisi bahwa keuangan berkelanjutan belum lagi menjadi pengetahuan banyak pihak, apalagi menjadi arus utama, maka bangsa ini perlu segera belajar bersama soal keuangan berkelanjutan, sambil menjalankannya.
Ruang perbaikan berikutnya yang sangat penting adalah soal sanksi.  Kalau kita memiliki kesadaran untuk membuat ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, sementara itu hanya bisa dicapai dengan keuangan berkelanjutan, maka pelanggaran terhadap prinsip-prinsipnya perlu mendapatkan sanksi yang tegas.  Mengapa?  Karena pelanggaran itu membahayakan pembangunan Indonesia.
Bagaimanapun, kita perlu mensyukuri terlebih dahulu munculnya regulasi ini lantaran ini menandai Indonesia telah berpikir dalam arah yang benar soal keuangan dan ekonominya.  Kita perlu bergembira juga bangga atasnya.  Membantu menginterpretasikan, mendukung penegakkannya, dan mencari serta mengisi ruang perbaikan atasnya adalah tugas berikutnya.
 
 
 
 
 
 

Jalan Panjang dan Berliku Keuangan Berkelanjutan

 
Penantian panjang sejak diterbitkannya Roadmap Keuangan Berkelanjutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada bulan Desember 2014, kami kira, telah berakhir.  Betapa menyenangkannya mendapatkan undangan untuk hadir dalam peresmian Bali Center for Sustainable Finance (BCSF) sekaligus peluncuran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan  Keuangan Berkelanjutan (POJK-KB).  Undangan  yang diterima setelah libur Idul Fitri itu seakan menjadi hadiah Lebaran bagi kami yang telah cukup lama memerjuangkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Namun, apa mau dikata, ketika kami hadir pada acara yang diselenggarakan di kampus Universitas Udayana, Denpasar, 12 Juli 2017 itu, yang pertama kali kami terima adalah perubahan susunan acara.  Peluncuran POJK-KB hilang dari susunan acara yang baru.  Susunan acara lainnya tidak berubah, namun fisilitator dan para pembicara diskusi panel yang sedianya menjadi penutup seluruh rangkaian acara hari itu juga berganti.
Ketika acara demi acara kami ikuti, benar saja, hingga akhir tak ada pengumuman tentang POJK-KB itu.  Kami tak bisa masuk ke konferensi pers yang memang hanya diperkenankan diikuti oleh jurnalis undangan.  Kami mendengar kabar bahwa materi konferensi pers sendiri memang akan memuat tentang POJK-KB, tapi karena akses yang terbatas, kami tak bisa menerima kepastian pada waktu tersebut.
Keniscayaan, Tapi Terus Tertunda
Sesungguhnya, keuangan berkelanjutan merupakan keniscayaan zaman.  Bumi sudah berada dalam kondisi yang sedemikian mengkhawatirkan.  Batas-batas keberlanjutan sudah banyak yang terlampaui, sehingga cara kita membangun segera harus diperbaiki secara radikal.  Dari cara membangun yang destruktif menjadi restoratif dan regeneratif.
Konsekuensi dari keharusan itu adalah perubahan dari pangkalnya, yaitu pembiayaan.  Kalau kita terus membayari beragam aktivitas ekonomi yang destruktif, maka kondisi Bumi akan semakin mengkhawatirkan. Dalam perubahan iklim misalnya, kalau kita terus membayari business as usual, jelas kita tak bisa mencapai target peningkatan suhu maksimum 2 derajat Celsius, apalagi 1,5 derajat.
Oleh karena itu, ide dasar dari keuangan berkelanjutan adalah untuk memastikan bahwa Bumi menjadi tempat yang layak huni, dan keadilan sosial serta ekonomi bisa diwujudkan, dengan cara hanya membayari aktivitas ekonomi yang kompatibel dengan tujuan tersebut.  Konsekuensi dari tujuan tersebut adalah bahwa semua keputusan pembiayaan disandarkan tidak saja pada kelayakan keuangan seperti biasanya, melainkan juga kelayakan ekonomi secara luas, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Ketika ukuran ekonomi, sosial, dan lingkungan—juga tata kelola—dipergunakan untuk menimbang keputusan pembiayaan maka akan timbul daftar aktivitas ekonomi yang bisa dibiayai, bisa dibiayai dengan modfifikasi, atau tidak bisa dibiayai sama sekali.  Secara umum, aktivitas yang jelas-jelas mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) serta Kesepakatan Paris lah yang bisa dibiayai.  Sementara yang bertentangan dengan keduanya haruslah dihentikan pembiayaannya.  Tentu, penghentiannya membutuhkan periode transisi untuk menghindari guncangan ekonomi.
Kalau kita simak Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibuat, ketegasan seperti itu belum tampak.  Namun, Indonesia harus memulainya dari titik tertentu.  Sehingga munculnya POJK-KB memang ditunggu-tunggu oleh seluruh pemangku kepentingan.  Kita semua sudah mendengarkan janji OJK untuk meluncurkan regulasi itu sejak tahun 2015, muncul kembali di tengah dan akhir 2016, namun semuanya berakhir dengan ketiadaan kemajuan.  Ancer-ancer waktu yang diberikan selalu meleset, hingga muncul kabar yang tampaknya lebih pasti di bulan Juni, yang bertepatan dengan Ramadan 2017.
Akhirnya para pemangku kepentingan melihat draft POJK-KB yang dijanjikan.  Draft yang diedarkan itu dipandang secara berbeda-beda oleh pemangku kepentingan yang berbeda.  Dari perbankan terdengar selentingan bahwa mereka berpikir substansinya terlampau berat.  Namun bagi organisasi masyarakat sipil yang progresif, kesannya lain sama sekali: ada terlampau banyak hal yang luput dari pengaturan.  Kewajiban membuat berbagai kebijakan sektoral (mis. migas, tambang, perkebunan, kehutanan) maupun tematik (HAM, ketenagakerjaan, lingkungan) tidak ada.  Padahal, penilaian pertama dari keuangan berkelanjutan yang selama ini dikenal adalah terhadap ada-tidaknya kebijakan bank terlebih dahulu.
Namun, terlepas dari pro-kontra substansi draft tersebut, prospek bahwa kita akan segera memiliki POJK-KB tetaplah merupakan kabar yang menyenangkan.  Apalagi, ketika undangan dari OJK datang setelah Idul Fitri, dengan susunan acara yang jelas-jelas menyebutkan peluncuran POJK-KB, kegembiraan jelas dirasakan banyak pihak, termasuk kami.  Ketika kemudian susunan acara berubah, dan peluncuran POJK-KB itu hilang dari daftar, kegembiraan itu sirna.  Ternyata penantian panjang kami belum berakhir.
Pentingnya Pusat Keuangan Berkelanjutan
Dalam kekecewaan lantaran harapan yang belum terkabul, peresmian BCSF dan diskusi panelnya menjadi perhatian berikutnya.  Dari acara tersebut kami mendapati bahwa sesungguhnya dalam pendirian BCSF OJK masih akan menyelesaikan penilaian awal terlebih dahulu.  Apa yang bakal benar-benar dikerjakan di situ akan ditentukan oleh hail dari penilaian tersebut.
Secara umum memang dinyatakan oleh Pimpinan OJK, Gubernur Bali, maupun para panelis diskusi bahwa BCSF akan menjadi pusat penelitian tentang keuangan berkelanjutan dilakukan oleh jejaring peneliti dari berbagai universitas.  BCSF adalah hub.  Selain itu, BCSF akan menjadi tempat peningkatan kapasitas bagi para bankir dalam mengaplikasikan keuangan berkelanjutan.  Dalam hal ini, BCSF adalah sebuah training center.
Sejujurnya, kami masih kerap mendapati pertanyaan sangat mendasar dari kalangan akademisi soal apa yang dimaksud dengan keuangan berkelanjutan.  Termasuk dari mereka yang bertungkus lumus dalam urusan keuangan atau ekonomi secara umum.  Kalau kita lihat latar belakang akademisi di Indonesia, hingga kini jumlah akademisi yang memiliki pendidikan formal di bidang ini masih hampir nol.  Orang seperti Dr. Aidy Halimanjaya dari Pusat Studi SDGs di Universitas Padjajaran—yang kepakarannya dalam keuangan perubahan iklim sudah diakui di level internasional—bisa dihitung dengan jari.
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan juga, lantaran keuangan berkelanjutan sendiri memang bergerak sangat cepat dari pinggiran di awal 2000an menjadi pusat segala perhatian dalam 15 tahun saja.  Universitas-universitas terbaik di dunia—di antaranya Harvard dan Columbia di Amerika Serikat—memang sudah menyediakan sarana pendidikan untuk isu ini, namun di tempat lain masih sangat sulit ditemui.  Kalau Indonesia bergerak lewat BCSF, ini termasuk salah satu yang awal.
Tentu saja, tugas pertama dari pada akademisi adalah mendidik dirinya sendiri dalam keuangan berkelanjutan.  Buku-buku dasarnya harus dikuasai, demikian juga dengan artikel-artikel jurnal terkemuka yang menyediakan perkembangan mutakhir. Perpustakaannya harus dibuat selengkap mungkin, dengan buku-buku dan jurnal, agar akselerasi pengetahuan memang terjadi.  Penelitian di Indonesia harus digenjot dengan cepat, sehingga terkumpul body of knowledge keuangan berkelanjutan yang khas Indonesia, dan benar-benar bisa dimanfaatkan.
Dalam masa yang sama, para akademisi itu perlu untuk membuat berbagai mata kuliah yang relevan, dan membimbing mahasiswa untuk membuat skripsi, tesis, dan disertasi yang mendorong kemajuan pengetahuan dalam bidang ini juga.  Buktinya tentu saja adalah meningkatnya jumlah publikasi ilmiah yang datang lewat perantaraan BCSF.  Dengan demikian, tugas untuk meningkatkan kapasitas para bankir yang disematkan kepada mereka juga bisa dilakukan secara kontekstual Indonesia.
(Tetap) Menanti Kabar Baik
Bagi kami, masih ada satu hal lagi yang sangat mengganjal ketika mendengar bagaimana BCSF itu hendak difungsikan.  Tak ada satupun pihak yang menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil.  Padahal, kita semua tahu, bahwa hanya apabila kelompok masyarakat sipil juga menguasai keuangan berkelanjutan maka akan tercipta kekuatan penyeimbang dan pendukung bagi kemajuan keuangan berkelanjutan.  Kalau ada yang bisa dinyatakan sebagai kekecewaan kami yang kedua, itu adalah tak masuknya agenda meningkatkan kapasitas masyarakat sipil Indonesia di dalam kenduri di Bali itu.
Di level global, keuangan berkelanjutan menjadi agenda masyarakat sipil yang sangat kokoh.  Dalam Pertemuan Puncak Civil20 di Hamburg pada minggu ketiga Juni 2017, keuangan berkelanjutan menjadi topik yang sangat ditekankan, dan menjadi salah satu dari tujuh rekomendasi yang diberikan kepada Kanselir Angela Merkel untuk digodok lebih lanjut dalam Pertemuan Puncak G20.  Jelas, masyarakat sipil di Indonesia butuh peningkatan kapasitas juga agar bisa lebih banyak berkontribusi dalam keuangan berkelanjutan di dalam negeri maupun di kancah internasional.
Presiden Joko Widodo sendiri telah menyinggung keuangan berkelanjutan dalam pidatonya di Pertemuan Puncak G20.  Tentu, Indonesia kemudian akan dinilai oleh negara-negara G20 lainnya, apakah memang pidato itu serius diwujudkan, atau sekadar basa-basi tingkat dewa.  BCSF memegang peranan penting dalam pembuktian itu.  Tapi, tanpa POJK-KB, rasanya sulit untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa kita serius.  Batalnya peluncuran POJK-KB, kami percaya, bukan sekadar membuat kecewa segelintir orang, namun juga jadi perhatian pihak-pihak di luar Indonesia—apalagi perwakilan berbagai negara sahabat juga hadir dalam acara tersebut.
Semoga, pernyataan Dr. Muliaman Hadad bahwa POJK-KB itu segera diluncurkan—sebagaimana yang dikutip oleh Koran Tempo dan Kompas pada tangal 13 Juli 2017, sehari setelah acara—memang berarti dalam bilangan hari saja.  Kami masih menahan nafas hingga sekarang, khawatir bahwa penantian ini ternyata masih butuh waktu lebih lama lagi.  Padahal, komisioner OJK periode ini hanya bertugas hingga beberapa hari ke depan.  Kalau tengat waktunya terlampaui, konon prosesnya harus dimulai dari awal lagi.  Jadi, selain merasakan kekecewaan, kami juga merasa sesak nafas, lantaran kombinasi harapan dan kekhawatiran.  Semoga sesak nafas ini bisa segera berakhir dengan kabar baik dari OJK.
Penulis:

  • Rahmawati Retno Winarni – Executive Director, TuK Indonesia
  • Jalal – Reader on Corporate Governance and Political Ecology, Thamrin School

Sumber: Indonesiana.tempo.co
 

Seruan Koalisi Masyarakat Sipil Internasional atas Kebakaran Hutan, Lahan, dan Gambut

Jakarta, 27 April 2016

Karena kabut asap yang terus melanda kawasan Asia Tenggara, otoritas keuangan diminta memperkenalkan sanksi darurat kepada bank agar menghentikan pembiayaan kepada nasabah di sektor kehutanan yang menyebabkan terjadinya kabut asap.
Kepada seluruh pihak yang terkait dan berkepentingan,

Kebakaran yang menyebabkan terjadinya kabut asap di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2015 telah menyebabkan bencana lingkungan dan krisis kesehatan bagi jutaan orang serta kerugian perekonomian Indonesia lebih dari US$16 miliar.[1] Saat ini, insiden kebakaran telah mulai dilaporkan di Indonesia dan Malaysia sebagai permulaan musim kebakaran tahun 2016 .
Bank komersial dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat merupakan sumber penyedia modal utama yang memicu perluasan industri kelapa sawit dan kertas serta bubur kertas di Asia Tenggara, atau dengan kata lain, bank komersial penyedia modal jelas terlibat sebagai penyebab kebakaran. Bank tidak boleh mendukung klien atau kelompok perusahaan ketika melanggar undang-undang anti-pembakaran hutan/lahan, namun kenyataannya, dukungan tetap terus diberikan.
Sebagai lembaga yang mungkin mendapat keuntungan dari tindakan ilegal nasabahnya, perbankan secara langsung berhubungan dan bertanggung jawab untuk mengatasi dampak berbahaya dari aktivitas ilegal nasabah tersebut. Dengan absennya kontrol yang memadai dan perlindungan yang diberlakukan oleh perbankan, otoritas keuangan harus mengambil langkah untuk memperbaiki kegagalan sistemik dalam sistem keuangan.
Kami, organisasi-organisasi yang menandatangani surat ini, meminta Pemerintah menghentikan kelompok perusahaan yang menyebabkan kebakaran untuk menerima pembiayaan berupa pinjaman publik dan komersial serta jasa keuangan lainnya yang memampukan perusahaan melakukan ekspansi. Tanpa adanya ancaman berupa konsekuensi ekonomi yang serius bagi perusahaan perkebunan industri, upaya pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dan meningkatkan kapasitas pencegahan kebakaran tidak akan mampu mencegah terulangnya krisis asap 2015.
Dampak lingkungan dari kebakaran dan kabut asap
Pada tahun 2015, lebih dari 2,6 juta hektar hutan, gambut, dan lahan lainnya dibakar di Indonesia.[2] Kebakaran tersebut berkorelasi erat dengan kegiatan ekspansi perkebunan kelapa sawit, kertas dan bubur kertas. Puncaknya, emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran di Indonesia lebih besar dari emisi rata-rata harian dari seluruh kegiatan ekonomi Amerika dimana hampir 16 juta ton emisi CO2 dihasilkan per hari, yang artinya, Indonesia menyumbang 3 persen dari total emisi global pada tahun tersebut.[3]
Dampak sosial dari kebakaran dan kabut asap
Biaya pemulihan kesehatan masyarakat belum sepenuhnya terhitung dengan baik, tercatat lebih dari 500.000 orang Indonesia dirawat karena masalah pernapasan.[4] Sementara itu, kualitas udara di desa- desa yang berdekatan dengan sumber kebakaran telah mencapai level 1000 indeks pencemaran udara,[5] dimana standar polusi tersebut berada pada level tiga kali diatas level berbahaya. Kondisi ini akan diperparah jika residual kimia (misal: pestisida, herbisida) digunakan di daerah perkebunan yang efeknya akan mencemari udara dan air.
Dampak ekonomi dari kebakaran dan kabut asap
Bank Dunia telah menghitung biaya kerugian akibat kebakaran di Indonesia, yaitu sebesar US$ 16 miliar.[6] Angka ini sangat besar, karena melebihi pendapatan total ekspor Indonesia dari minyak sawit dan sektor kertas dan bubur kertas –atau menyentuh minus 1,8% dari PDB Indonesia.[7] Kerugian yang terjadi termasuk kerugian ekonomi langsung untuk pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor lainnya. Ini belum termasuk beban biaya ekonomi negara-negara terdekat seperti Singapura dan Malaysia.
Peran perbankan
Ada 413 perusahaan produsen komoditas hutan tropis yang beresiko (seperti minyak kelapa sawit, kertas dan bubur kertas, kayu, dan karet) dan berkaitan langsung dengan pembakaran di tahun 2015. Perusahaan-perusahaan tersebut menerima jasa pembiayaan keuangan dan investasi lebih dari 20 bank komersial yang diperkirakan menerima dana senilai US$ 17 miliar sejak tahun 2009.[8]
Kami meminta agar otoritas jasa keuangan khususnya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat, untuk:
1. Segera memperkenalkan dan menerapkan aturan mengenai pemberian sanksi seperti penangguhan penyediaan fasilitas pembiayaan keuangan (termasuk utang, IPO, dan jasa penasihat investasi) bagi lembaga keuangan atas grup perusahaan yang teridentifikasi oleh otoritas setempat sebagai penyebab terjadinya kabut asap.
2. Mewajibkan dan meningkatkan kualitas aspek uji tuntas atas pengajuan pembiayaan dan penyusunan standar pelaporan serta memperketat prosedur bagi perbankan beserta lembaga keuangan lainnya yang memiliki nasabah bisnis pada sektor kehutanan tropis yang beresiko. Selain itu, mendorong agar pengawasan diperketat ketika produktivitas bisnis terindikasi menurun akibat genangan air yang berkepanjangan dan terjadinya pemadatan lahan gambut.
3. Meminta bursa efek setempat untuk menerapkan sanksi bagi kelompok perusahaan yang tidak menjalankan usahanya secara bertanggung jawab, sanksi tersebut dapat berupa penangguhan, baik sebagian maupun keseluruhan – atas keanggotaannya di bursa efek.
Organisasi yang mendukung seruan ini:
A SEED Japan, Auriga, BankTrack, Bruno Manser Fund, China Environmental Paper Network, Consumers’ Association of Penang, Malaysia, ELSAM (The Institute of Policy Research and Advocacy), Environmental Investigation Agency International, Epistema Institute, Facing Finance, Fern, Forest Heroes, Forest Peoples Programme, UK, Forest Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth US, Friends of the Siberian Forests, Global Witness, Greenpeace Indonesia, HuMa (Association for Community and Ecology-Based Law Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), Japan Center for a Sustainable Environment and Society, Japan Tropical Forest Action Network, ILRC (Indonesian Legal Resource Centre), JKPP, KontraS (The Commission for “the Disappeared” and Victims of Violence), KPA (Agrarian Reform Consortium), KpSHK, Link-AR, Borneo, Market Forces, Perkumpulan Prakarsa, PM.Haze (People’s Movement to Stop Haze), Protect the Forest Sweden, PSHK (Indonesian Centre of Law and Policies Studies), Pusaka, PWYP Indonesia, Rainforest Action Network, Rainforest Foundation Norway, RFUK, Sahabat Alam (Friends of the Earth) Malaysia, Sajogyo Institute, Sierra Club, Stiftung Asienhaus, The Corner House, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Walhi National Executive, Walhi Aceh, Walhi Bengkulu, Walhi Bangka Belitung, Walhi Jambi, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Tengah, Walhi Jawa Timur, Walhi Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Selatan, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Maluku Utara, Walhi NTT, Walhi NTB, Walhi Papua, Walhi Riau, Walhi Sulawesi Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Utara, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumatera Utara, Wetlands International, YLKI (Indonesian Consumer Foundations)

Siaran Pers: Koalisi Internasional Menyeru Ditetapkannya Sanksi Darurat Atas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Otoritas jasa keuangan dunia dihimbau untuk menegakkan kewenangan mereka mencegah bencana ekologis – saat ini kebakaran hutan dan lahan telah kembali terjadi
Jakarta, Indonesia – Koalisi internasional yang terdiri atas lebih dari 70 organisasi masyarakat sipil, termasuk Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA), Walhi (Friends of the Earth Indonesia), Rainforest Action Network dan Sierra Club menyeru otoritas jasa keuangan di Indonesia, Malaysia , Singapura, Jepang, Cina, Eropa dan Amerika Serikat untuk menerapkan sanksi darurat pada bank-bank komersial utama, sebagai upaya untuk memotong pendanaan perusahaan yang diidentifikasi sebagai penyebab kebakaran hutan krisis yang setiap tahun menyesakkan sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Hari ini, surat bersama telah dikirimkan ke lebih dari 50 organisasi internasional, termasuk beberapa CEO bank-bank komersial dan otoritas jasa keuangan dunia.
Saat ini kita sudah harus bersiap akan terjadinya kembali krisis asap karena kebakaran hutan dan lahan sengaja dikobarkan untuk membuka lahan dengan cara yang mudah dan murah. Ini terjadi pada lahan-lahan produksi kertas dan bubur kertas serta kelapa sawit, api menjadi tidak terkontrol, dan memenuhi udara Indonesia, Singapura dan Malaysia dengan asap beracun. Kabut asap menyebabkan masyarakat mengungsi, sekolah dan bandara ditutup, dan munculnya ratusan ribu penyakit pernapasan serta bertanggung jawab atas setidaknya 19 kematian, terutama balita dan anak-anak. Krisis asap 2015 adalah yang terburuk dalam sejarah dan, pada puncaknya, emisi gas rumah kaca tersebut melebihi rata-rata emisi harian AS. Bisa dikatakan, hanya musim hujanlah yang berhasil menghalau api dan asap.
“Ini adalah bencana buatan manusia yang mengerikan dan terus berulang seperti detak jarum jam. Bank telah menyediakan modal untuk ekspansi bisnis perusahaan yang melakukan pembakaran. Krisis api sebenarnya bisa dicegah dan bank mestinya tidak lagi menyokong perusahaan-perusahaan yang melanggar regulasi terkait api – tetapi mereka tetap melakukannya. Sudah saatnya otoritas jasa keuangan nasional dan global terjun langsung dalam krisis ini dengan menegakkan fungsi kontrol mereka sebaik-baiknya dan menetapkan safeguard bagi institusi penyedia jasa keuangan yang selama ini membuat mereka mendapat keuntungan dari perbuatan illegal nasabahnya,” demikian menurut Edisutrisno, Direktur Advokasi TuK INDONESIA.
Ada 413 perusahaan yang memproduksi komoditas hutan tropis (seperti minyak kelapa sawit, pulp dan kertas, kayu dan karet) yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015. Perusahaan-perusahaan ini menerima jasa keuangan dan investasi dari lebih dari 20 komersial bank senilai lebih dari USD 17Miliar sejak 2009.
Saat ini, telah bermunculan kembali kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan Malaysia menandai dimulainya musim kebakaran tahun 2016.
Organisasi yang mendukung seruan ini:
A SEED Japan, Auriga, BankTrack, Bruno Manser Fund, China Environmental Paper Network, Consumers’ Association of Penang, Malaysia, ELSAM (The Institute of Policy Research and Advocacy), Environmental Investigation Agency International, Epistema Institute, Facing Finance, Fern, Forest Heroes, Forest Peoples Programme, UK, Forest Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth US, Friends of the Siberian Forests, Global Witness, Greenpeace Indonesia, HuMa (Association for Community and Ecology-Based Law Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), Japan Center for a Sustainable Environment and Society, Japan Tropical Forest Action Network, ILRC (Indonesian Legal Resource Centre), JKPP, KontraS (The Commission for “the Disappeared” and Victims of Violence), KPA (Agrarian Reform Consortium), KpSHK, Link-AR, Borneo, Market Forces, Perkumpulan Prakarsa, PM.Haze (People’s Movement to Stop Haze), Protect the Forest Sweden, PSHK (Indonesian Centre of Law and Policies Studies), Pusaka, PWYP Indonesia, Rainforest Action Network, Rainforest Foundation Norway, RFUK, Sahabat Alam (Friends of the Earth) Malaysia, Sajogyo Institute, Sierra Club, Stiftung Asienhaus, The Corner House, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Walhi National Executive, Walhi Aceh, Walhi Bengkulu, Walhi Bangka Belitung, Walhi Jambi, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Tengah, Walhi Jawa Timur, Walhi Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Selatan, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Maluku Utara, Walhi NTT, Walhi NTB, Walhi Papua, Walhi Riau, Walhi Sulawesi Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Utara, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumatera Utara, Wetlands International, YLKI (Indonesian Consumer Foundations)
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Hadiya Rasyid (communication officer TuK INDONESIA)
Email: [email protected]
Telp  : 085355631430
www.tuk.or.id
 

PEMBAKARAN LAHAN: OJK Diminta Klarifikasi Keterlibatan Bank

Kabar28 OJK BIAnugerah Perkasa: Jum’at, 30/10/2015 05:01 WIB
Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk mengklarifikasi sektor perbankan yang memberikan fasilitas pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan di Sumatra serta Kalimantan sehingga berdampak pada masyarakat.
Hal itu mencuat dalam diskusi Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK Sektor Sumber Daya Alam di Jakarta. Norman Jiwon, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, mengatakan OJK dapat menanyakan terkait dengan perbankan yang berada di bawahnya mengenai kliennya yang terlibat dalam pembakaran hutan.
“OJK dapat mengklarifikasi soal perbankan, apakah benar. OJK dapat mendorong perlindungan lingkungan dan sosial,” kata Norman dalam diskusi tersebut, Kamis (29/10/2015).
Dia menuturkan pihak perbankan menjadi penting karena sektor itulah yang memberikan dana bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansinya. Hal itu, sambung Norman, juga terkait dengan upaya OJK dalam mendorong Pembiayaan Berkelanjutan di sektor perbankan.
Riset Profundo dan TUK Indonesia pada awal tahun ini menemukan sedikitnya 20 bank yang terdiri dari bank asing dan bank domestik terlibat dalam pembiayaan besar grup bisnis kelapa sawit. Semua bank itu memberikan pembiayaannya kepada perusahaan-perusahaan yang mengontrol separuh lahan sawit di Indonesia, dari total sekitar 10 juta hektare. Perusahaan sawit dan kertas diduga terlibat dalam pembakaran hutan.
Selain itu, Norman menuturkan bank juga dapat memberikan sanksi kepada kliennya dengan menilai kembali fasilitas investasi maupun pinjaman yang diberikan kepada perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan. Setelah terbukti di pengadilan, kata dia, bank pun dapat mencabut semua fasilitasnya kepada korporasi tersebut.
“TUK Indonesia mendesak agar perbankan mencabut seluruh kontrak pinjaman dan fasilitas lainnya kepada perusahaan yang terbukti dalam kasus pembakaran hutan dan lahan,” katanya.
KORUPSI PERTAMBANGAN
Sementara itu, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengungkapkan konflik lahan di sektor pertambangan menjadi catatan merah bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dia menuturkan konflik lahan justru semakin meningkat di area yang berdekatan dengan aktivitas pertambangan.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih lahan masih terjadi dengan tidak adanya peta indikatif pemerintah. Selain itu, masalah pemberantasan korupsi di sektor pertambangan belum maksimal.
“Pemberantasan korupsi di sektor pertambangan masih minim,” kata Maryati dalam diskusi tersebut.
Direkorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM mencatat masih banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tak memiliki status CnC hingga kini, yakni sekitar 4.563 izin. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sebelumnya meminta Kementerian ESDM untuk segera mencabut seluruh perizinan tersebut.
Walaupun demikian, Maryati mengungkapkan, pihaknya masih belum menemukan kemauan yang kuat oleh Kementerian ESDM untuk melakukan pencabutan terhadap izin bermasalah tersebut. “Kami tidak melihat kemauan politik yang kuat untuk menindak IUP non-CNC,” tegasnya.
Editor : Linda Teti Silitonga
Link:
http://finansial.bisnis.com/read/20151030/90/487230/pembakaran-lahan-ojk-diminta-klarifikasi-keterlibatan-bank

BI dan OJK Berperan Besar Tangani Pembakaran Hutan

OJK129 Oktober 2015.  Breaking News | Reja Hidayat
JAKARTA. Direktur Eksekutif Transparansi untuk Keadilan (TUK) Norman Jiwan mengatakan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan berperan penting menangani masalah pembakaran hutan dan asap. Pasalnya, dua lembaga tersebut bisa mendorong perbankan untuk selektif dalam memberi pendanaan berkelanjutan kepada perusahaan.
“OJK sudah memiliki mekanisme komplain terhadap keluhan masyarakat yang dirugikan. Akan tetapi mekanisme itu belum lengkap sampai ke peraturan bawah,” kata Norman di Cikini, Jakarta, Kamis (29/10). “Kita apresiasi langkah OJK dan kita dorong untuk melengkapi aturannya sehingga perbankan nasional mempunyai pedoman dalam pendanaan berkelanjutan.”
Dia menjelaskan, konsep mekanisme komplain OJK sama seperti di Bank Dunia. Namun, kalau di Indonesia perangkatnya belum ada sehingga belum bisa dilaksanakan. Sedangkan di Bank Dunia perangkatnya sudah lengkap, sehingga segera ditindaklanjuti ketika masyarakat menggunakan mekanisme komplain tersebut.
Masyarakat Sumatera dan NGO Indonesia pernah menggunakan mekanisme komplain di Bank Dunia. Pada tahun 2007, tambah Norman, perusahaan Wilmar Grup melakukan belasan pelanggaran sehingga masyarakat menggunakan mekanisme tersebut. Dengan adanya aduan itu, Bank Dunia selaku pemberi pinjaman terhadap Wilmar Grup memproses aduan dengan melibatkan perangkatnya dan  membuat putusan yang tepat.
“Dampak dari pengaduan masyarakat itu sangat besar. Hampir semua pendanaan untuk sektor sawit dihentikan di seluruh dunia,” ujar Norman. Hal serupa pernah terjadi pada Bank HSBC asal Hongkong. Pada 2010 ada komplain dari masyarakat sehingga HSBC memutuskan mengurangi pendanaan investasi di bidang kehutanan sebesar 40%.
“Ini bukti bahwa perbankan memiliki kekuatan besar untuk mengurangi atau memutuskan kontrak sepihak karena melanggar perjanjian,” kata Norman. Dia juga menyoroti pemerintah soal penanganan dampak pembakaran hutan dan asap. Pihaknya menilai pemerintah banyak menghabiskan energi di penanganan saja. Padahal, jika mau lihat lebih luas, pemerintah bisa mencari siapa pemberi pinjaman ke perusahaan pembakar lahan itu.
Karena itu, pihaknya meminta perbankan untuk meninjau kembali kontrak atau kerja sama investasi para perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Jika perlu cabut dan hentikan kontrak pinjaman dan fasilitas investasi lainnya.
Seperti diketahui, setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda musibah serius yang sampai sekarang tak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pertama, kekeringan dan kedua kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, tapi juga pada aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia.
Link:
http://geotimes.co.id/bi-dan-ojk-berperan-besar-tangani-pembakaran-hutan/

[rri.co.id] Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK di Sektor Sumber Daya Alam

berita_214036_800x600_KABUT_ASAP29 October, 19:40 2015
KBRN, Jakarta -Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK INDONESIA.
Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. (Ridwan Z/AKS)
Link:
http://www.rri.co.id/post/berita/214036/ruang_publik/satu_tahun_evaluasi_kerja_kabinet_jokowijk_di_sektor_sumber_daya_alam.html