Manual Pelatihan Kelapa Sawit dan Pembiayaannya pelatihan untuk aktivis

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjadi kecepatan yang sangat tinggi, dan telah menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang serius: sejumlah hutan yang bernilai tinggi dikonversi menjadi perkebunan; habitat satwa yang dilindungi terancam punah, emisi gas rumah kaca yang signifikan disebabkan oleh alih fungsi lahan gambut, dan banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka dan yang telah mereka miliki secara turun-temurun.

Di Indonesia, ratusan konflik lahan antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat lokal masih belum bisa terselesaikan. Dalam upaya resolusi konflik, organisasi masyarakat dan para pendukung mereka, LSM nasional dan internasional, sering dihadapkan dengan perlawanan yang kuat dan bahkan ancaman. Oleh karenanya, perlu ada pilihan lain untuk menekan perusahaan-perusahaan ini menyelesaikan konfliknya dengan masyarakat dan membawa mereka untuk berdialog.

Untuk mencapai tujuan ini, ada banyak jalan yang dapat kita upayakan. Kita dapat melobi pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan yang ada, atau mencoba menggunakan standard-standar keberlanjutan yang ada saat ini, misalnya prinsip dan kriteria RSPO yang anggotanya adalah perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Kita dapat mengorganisir perjuangan masyarakat dan mencoba mendapat dukungan politik untuk menekan perusahaan. Kita dapat menggunakan opsi kampanye pasar untuk menekan perusahaan melalui pembeli produk mereka, dengan fokus pada tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi standard yang mereka tetapkan sendiri, contohnya Wilmar dengan kebijakan internasionalnya atas pembelian/pengadaan barang. Opsi lain adalah menyiapkan laporan yang utuh atas dampak operasional perusahaan sawit dan mempublikasikannya, media massa dan media kreatif yang saat ini berkembang bisa membantu meningkatkan dukungan publik atas kasus tertentu.

Semua ini adalah strategi yang penting dan dapat saling melengkapi – oleh karenanya tidak akan tergantikan oleh strategi lain seperti follow the money. Bank dan investor memberi perusahaan kelapa sawit banyak modal untuk berkembang, membuat mereka menjadi mitra penting bagi perusahaanperusahaan ini. Dengan demikian, mereka dapat mempengaruhi kegiatan perusahaan-perusahaan; misalnya memberi tekanan, menetapkan syarat yang ketat untuk setiap dukungan finansial yang mengalir ke proyek mereka, atau bahkan menolak pembiayaan proyek tertentu. Bank dan investor lain bisa menjadi potensi yang menarik, menjadi pendukung kerja-kerja LSM yang ingin menyelesaikan konflik sosial dan lingkungan dengan perusahaan kelapa sawit yang bermasalah.

Tapi bank-bank biasanya harus diyakinkan untuk menggunakan pengaruh mereka; dan itu bukanlah tugas yang mudah. Seringkali beberapa kampanye yang rumit diperlukan untuk meyakinkan bank bahwa ini adalah kepentingan mereka sendiri; oleh karena itu mereka mesti ikut memecahkan masalah ini daripada membiarkannya tetap ada dan menyebabkan mereka sakit kelapa terus-menerus.

Modul pelatihan ini membahas hubungan antara perusahaan kelapa sawit dan penyandang dana mereka dan mengeksplorasi peluang bagi LSM untuk mengubah praktik perusahaan kelapa sawit menjadi lebih baik. Ini harus dilihat sebagai strategi tambahan, yang dapat melengkapi strategi advokasi dan kampanye lain dan membantu membangun tekanan pada perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk menyelesaikan konflik yang ada.

Download Manual Pelatihan – Kelapa Sawit dan Pendanaannya

[Tempo.co] 10 Kegagalan Ekonomi SBY Versi Indef

KAMIS, 27 NOVEMBER 2014 | 12:54 WIB.

TEMPO.COJakarta – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika membeberkan 10 kegagalan ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun. (Baca juga:BBM Naik, Chatib: Alhamdulillah, Benar Sekali)
“Memang ada beberapa indikator perbaikan makro ekonomi dan sosial, namun sayang banyak indikator ekonomi utama justru memburuk,” ujarnya dalam sambutan seminar Prospek Ekonomi Indonesia 2015: Tantangan Kabinet Kerja Memenuhi Ekspektasi di Ballroom Candi Singosari, Grand Sahid Jaya, Kamis, 27 November 2014. 
Dalam kajian proyeksi ekonomi tahun depan, Indef melakukan evaluasi kinerja perekonomian 10 tahun, ditemukan 10 indikator kegagalan perekonomian SBY. Pertama, ketimpangan melebar dengan meningkatnya Rasio Gini sebesar 0,5 persen. “Jika pada 2004 sebesar 0,32 persen; tahun 2013 menjadi 0,41 persen,” ujarnya. (Lihat pula: JK: Kenaikan BBM Solusi Perbaikan Ekonomi )
Kedua, penurunan kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jika tahun 2004 sumbangan industri terhadap PDB nasional berada di angka 28 persen, namun 2013 konstribusi yang disumbang industri hanya sebesar 23,5 persen.
Ketiga, terjadi defisit neraca perdagangan dari surplus pada 2004 sebesar US$ 25,06 miliar menjadi defisit US$ 4,06 miliar pada 2013. Keempat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi penciptaan lapangan kerja. Sehingga, elastisitas 1 persen pertumbuhan dalam membuka lapangan kerja turun dari 436 ribu menjadi 164 ribu atau turun 272 ribu.
Kelima, efisiensi ekonomi semakin memburuk, hal ini dibuktikan dengan naiknya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dari 4,17 menjadi 4,5. Beberapa hal yang menghambat efisiensi yakni lambannya birokrasi, merajalelanya korupsi, dan keterbatasan infrastruktur. (Baca:Chatib Basri Bocorkan Cerita BBM Naik Era SBY)
Keenam, menurunnya tax ratio dari 12,2 persen menjadi 10,8 persen pada 2013. Ketujuh, kesejahteraan petani menurun 0,92 persen; Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB). “Jika 2004 NTP sebesar 102, namun 2013 hanya 101,96,” ujarnya.
Kedelapan, utang pemerintah mencemaskan. Terdapat penurunan rasio utang terhadap PDB, namun utang per kapita naik US$ 531,29 per penduduk pada 2005 menjadi US$ 1.002,69 per penduduk. Pembayaran bunga utang menyedot rata-rata 13,6 persen anggaran pusat, dengan realisasi pembayaran rata-rata 92,7 persen per tahun sepanjang 2005-2013.
Kesembilan, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) naik namun disertai defisit keseimbangan primer. “Tahun 2004 keseimbangan primer surplus 1,83 persen dari PDB; tahun 2013 malah defisit 1,19 persen,” paparnya.
Kesepuluh, postur APBN semakin tidak proporsional, boros dan semakin didominasi pengeluaran rutin dan birokrasi. Perinciannya belanja birokrasi naik dari 16,23 persen menjadi 22,17 persen pada 2013, kemudian subsidi energi naik dari 16,2 persen menjadi 20,89 persen, serta belanja modal hanya naik tipis dari 6,4 persen menjadi 8,06 persen.
JAYADI SUPRIADIN

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.

Di New York, 4 Raksasa Sawit Ikrar Jaga Hutan. TUK-Walhi: Jangan Hanya Bagus di Atas Kertas!

Empat raksasa sawit,  Golden Agri Resources (GAR), Wilmar, Cargill dan Asian Agri bersama Kadin Indonesia, bersamaan dengan pertemuan iklim di New York, mengumumkan komitmen minyak sawit berkelanjutan, nol deforestasi dan menghargai hak-hak masyarakat. Penandatanganan komitmen ini disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Komitmen ini disambut positif berbagai kalangan, namun terpenting bagaimana implementasi di lapangan. Jangan, sampai komitmen hanya bagus di atas kertas dan hanya pencitraan perusahaan-perusahaan ini ke lembaga keuangan, pembeli (konsumen) dan pemerintah.
Edi Sutrisno, devisi Advokasi Kebijakan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) mengatakan, komitmen mereka langkah bagus, tetapi masyarakat dunia harus melihat realitas di lapangan. “Terutama terkait konflik, jangan gara-gara komitmen ini seakan-akan mereka menjadi baik semua,” katanya di Jakarta, Kamis (25/9/14).
Dia melihat, di lapangan masih banyak konflik-konflik antara perusahaan dan warga. Hak-hak masyarakat masih terabaikan.  Edi mencontohkan, konflik lahan warga dengan Sinar Mas di Padang Halaban, Sumatera Utara (Sumut) sampai sekarang belum ada penyelesaian. “Ini yang membuat kita khawatir, komitmen hanya di atas kertas, terlebih di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ucap Edi.
Dia mengatakan, jangan sampai komitmen ini hanya sebagai pembenaran buat mengamankan  bisnis mereka di mata lembaga keuangan (bank) dan konsumen serta pemerintah yang akan terus melanggengkan bisnis. “Secara deklarasi cukup baik. Ya, harapannya pasar dan bank kuat mengawasi ini agar tak sekadar imej.”
Guna memastikan perusahaan menjalankan praktik baik, TUK pernah mendesak bank asing melakukan due diligence atas uang-uang yang mereka pinjamkan.
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional menduga, ada upaya menyembunyikan praktik mereka sebelum mendeklarasikan komitmen.
Dia mencontohkan, Wilmar  berani berkomitmen menurunkan deforestasi non persen kawasan gambut. Nyatanya, dua “cucu” perusahaan ini , PT Sawindo Cemerlang dan PT Sawit Tiara Nusa, masih menebang di hutan alam, di Pahuwato, Gorontalo. Wilmar punya saham pada PT Agri Kencana Grup, induk kedua perusahaan itu.
Contoh lagi, titik api alias kebakaran hutan dan lahan masih banyak ditemukan pada konsesi perusahaan. Misal, titik api pada 2013-2014, di Sumatera Selatan,  mayoritas ditemukan di konsesi HTI, antara lain Sinar Mas.  “Ga cukup hanya komitmen lalu diklaim jadi contoh baik. Luar biasa.”
Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi
Zenzi melihat, dengan manifesto global (komitmen) ini malah berpotensi berbahaya bagi hutan dan masyarakat. Sebab, pemodal di bisnis sumber daya alam bisa membuat skenario dengan menunggangi isu iklim.
Dari skenario ini, katanya, tak hanya terjadi intervensi kesepakatan global juga lokal. Di Indonesia, pemerintah sedang proses RUU Konservasi Air dan Tanah. “Ini curiga jadi payung hukum perampasan lahan baru.” Sedang perusahaan sektor konservasi lancar dengan ‘bisnis’ restorasi ekosistem (RE).
Dalam salah satu draf Pasal dalam RUU ada klausul pengguna air wajib membayar jasa kepada yang melakukan konservasi air dan tanah.  “Itu berpotensi menyusahkan warga atau petani. Bisa jadi petani pakai air konsesi RE wajib bayar pada perusahaan. Pemegang modal punya skenario pegang bisnis di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, RE akan diklaim para pengusaha skala besar sebagai bentuk kontribusi  rehabilitasi hutan.  Padahal, kawasan itu memang hutan lestari bahkan sebagian wilayah kelola masyarakat. perampasan sumber kehidupan rakyat atas nama penyelamatan iklim global.”
WWF: Momentum luar biasa
Sementara itu, WWF menyambut baik dan menyatakan, komitmen itu momentum luar biasa. Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, komitmen ini mengarah pada transformasi industri minyak sawit global. WWF, katanya,  menaruh keyakinan komitmen para petinggi  industri sawit terkemuka dan Kadin ini memberikan titik terang di pasar global. “ Bahwa Indonesia serius menjalankan langkah-langkah perbaikan menuju produksi minyak sawit berkelanjutan.”
Dia sadar, tantangan yang dihadapi dalam menjalankan komitmen ini sangat besar dan keberhasilan implementasi komitmen mutlak memerlukan dukungan para produsen lain, organisasi lingkungan, pedagang, konsumen, pemerintah dan masyarakat.
Irwan Gunawan, Strategic Leader of Agriculture & Fisheries Market Transformation WWF-Indonesia mengatakan, sebenarnya pasar global merupakan pendorong penting membantu industri sawit Indonesia mencapai standar keberlanjutan.
“Memboikot atau mencari pengganti sawit bukanlah jalan keluar. Justru berpotensi membawa dampak sampingan terhadap banyak hal di luar komoditas  itu. Yang penting bagaimana menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan,” katanya dalam rilis kepada media.
WWF percaya, komitmen yang disampaikan di New York berada di jalur tepat dalam mencapai keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Perlindungan hutan dan REDD+
Sementara itu, dalam event REDD+ di New York, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menekankan pentingnya melindungi hutan tropis dan lahan gambut. Terlebih, Indonesia memiliki hutan tropis ketiga dunia dan lahan gambut terbesar yang menyimpan banyak karbon.
“Melindungi mereka penting guna menghindari dampak perubahan iklim lebih buruk.  Komitmen Indonesia melawan deforestasi dan degradasi lahan gambut bagian dari kontribusi kami kepada dunia dalam menekan laju perubahan iklim,” katanya.
Dia mengatakan, alih fungsi hutan dan lahan memberikan kontribusi besar dalam pelepasan emisi karbon, terbesar diberikan deforestasi dan degradasi hutan. Untuk Indonesia, lebih dari dua pertiga gas rumah kaca disumbangkan oleh alih fungsi lahan dan hutan ini. “Namun di waktu sama, kami juga melindungi hutan guna melawan perubahan iklim ini.”
Dalam kesempatan itu, SBY memaparkan BP REDD+ yang sudah terbentuk sebagai bukti upaya Indonesia menekan deforestasi dan degradasi. Dia secara pribadi terlibat dalam pemberntukan badan ini.
Menurut dia, ada beberapa pelajaran penting dari keberadaan REDD+.  Pertama, ada REDD+ itu mengubah pola pikir dalam penggunakan dan pengelolaan hutan. Yakni, menggunakan pendekatan baru tata kelola hutan yang menekankan pada kontribusi hutan bagi konservasi lingkungan.
Kedua, REDD+ relevan dan tak hanya mengenai lingkungan tetapi juga sosial. Bentuk ini juga memberikan penekanan pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Ketiga, guna memastikan REDD+ berjalan, dengan melibatkan semua stakeholders. “Ini penting untuk bekerja bersama, pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat.”
Keempat, menekankan pentingnya regulasi. Sebagai contoh, kebijakan moratorium izin baru pada kawasan hutan dan lahan gambut pada 2011. Dengan kebijakan itu, SBY mengklaim, Indonesia bisa melindungi lebih dari 63 juta hutan primer dan gambut. Kebijakan ini sudah diperpanjang hingga 2015.
Sumber: mongabay.co.id