Pos

Press Release: Masyarakat Dayak Hibun Melaporkan RSPO ke OECD di Swiss

Jakarta, 23 Januari 2018 – Masyarakat Adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat melaporkan RSPO dibawah mekanisme pengaduan perkara khusus OECD di Swiss. Pengaduan masyarakat disampaikan melalui mekanisme pengaduan perkara khusus (specific instance) National Contact Point di Swiss, negara anggota OECD dimana RSPO terdaftar secara hukum.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. Untuk mencapai tujuan kerjasama tersebut, OECD merumuskan dan memberlakukan Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional dengan tujuan termasuk melindungi dan memajukan pernghormatan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara-negara anggota OECD.
Masyarakat berpendapat bahwa RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedur RSPO sendiri, dan bahwa sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan tersebut, juga RSPO telah gagal memenuhi apa yang diharapkan Masyarakat terhadap RSPO berdasarkan kewajiban dalam Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional (OECD Guidelines on Multinational Enterprises).
Masyarakat menyatakan bahwa RSPO telah gagal (1) melanggar Bab IV (3) untuk “berusaha untuk mencegah atau mengurangi dampak hak asasi manusia (HAM) yang merugikan yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis, produk atau layanan mereka melalui suatu hubungan bisnis, walaupun tidak berkontribusi terhadap dampak tersebut”; dan/atau (2) melanggar Bab IV (5) untuk “melakukan uji tuntas HAM yang sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks kegiatan serta tingkat keparahan risiko dampak buruk terhadap HAM”.
Pengaduan perkara khusus disebabkan oleh tindakan PT Mitra Austral Sejahtera (“PT MAS”), anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Perusahaan Multinasional Malaysia bernama Sime Darby Berhad (“Sime Darby”), yang merupakan anggota dan pendiri RSPO. Masyarakat menduga bahwa PT MAS dan Sime Darby secara melanggar hukum telah menyingkirkan masyarakat dan mengancam untuk terus secara tidak sah menyingkirkan mereka dari lahan tradisional mereka sehingga tanah seluas 1.462 hektar dapat terus digunakan untuk kebun sawit perusahaan. Sebagai akibatnya masyarakat telah mengalami dan/atau HAM fundamental masyarakat dinegasikan dan diabaikan.
RSPO adalah forum multipihak untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, terdaftar dan badan hukum Swiss, wajib dan secara hukum terikat Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Menurut standar RSPO, produksi minyak sawit berkelanjutan tidak menghilangkan hak hukum, hak adat dan hak lainnya; mematuhi FPIC dan menghormati hak asasi manusia. Standar RSPO khususnya Kriteria 6.13 penghormatan hak asasi manusia mengadopsi Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2007, Sime Darby dan PT MAS tidak berusaha menyelesaikan dan melakukan perbaikan atas pelanggaran hukum dan peraturan nasional (Kriteria 2.1); gagal membuktikan bahwa “hak untuk menggunakan” Tanah Sengketa yang tidak dapat diperkarakan oleh Masyarakat Kerunang dan Entapang (Kriteria 2.2); belum memberlakukan dan menerapkan suatu proses penyelesaian konflik yang dapat diterima dan disetujui oleh Masyarakat untuk menyelesaikan “konflik tanah” (Kriteria 2.2.4); gagal memperoleh FPIC Masyarakat (Kriteria 2.3); dan (5) gagal membuktikan bahwa Masyarakat telah memahami dampak hukum dan implikasi lainnya akibat dari kegiatan perusahaan di wilayah tanah masyarakat, dan khususnya “implikasi status hukum tanah masyarakat pada saat berakhirnya konsesi atau HGU perusahaan, ketika PT MAS secara nyata tidak melakukannya (Kriteria 2.3.2 (c)).
Oktober 2012, masyarakat menyampaikan pengaduan kepada RSPO perkara kasus konflik tanah PT Mitra Austral Sejahtera anak perusahaan Sime Darby Plantation. Pengaduan berisi 14 tuntutan terkait dengan hak tanah, masalah kemitraan dan janji-janji perusahaan. Dalam pengaduan tersebut, masyarakat mengajukan pilihan solusi penyelesaian tuntutan masyarakat. Pertama, Complaints Panel RSPO memutuskan agar Sime Darby Plantation mengembalikan tanah masyarakat. Kedua, Dispute Settlement Facility (DSF) memfasilitasi dialog penyelesaian masalah kemitraan, janji-janji perusahaan dan penataan ulang kebun plasma.
Sayangnuya, hingga tahun 2017 Complaints Panel RSPO tidak memberikan tanggapan dan belum berhasil mengambil keputusan tertulis mengenai tuntutan masyarakat. Dispute Settlement Facility tidak berhasil mewujudkan penyelesaian masalah masyarakat. Masyarakat kecewa dan frustasi kegagalan proses penanganan pengaduan RSPO menyelesaikan konflik tanah PT MAS, anak perusahaan Sime Darby Plantation, anggota RSPO.
Masyarakat dan TuK INDONESIA melihat bahwa Bab IV (3) Panduan OECD jelas berlaku untuk RSPO dengan pertimbangan:
Pertama, penerbitan atau penolakan sertifikat adalah suatu “kegiatan bisnis”. Begitu juga dengan kegiatan mekanisme pengaduan;
Kedua, penerbitan sertifikat kepada anggota meskipun gagal menghormati HAM dari suatu Masyarakat yang terkena dampak proyeknya akan “terkait langsung” dengan dampak HAM yang merugikan masyarakat, karena jika dibiarkan akan mendorong anggotanya untuk berpikir bahwa perusahaan dapat mengabaikan hak-hak tersebut tanpa risiko sanksi; Jika perusahaan masih bisa menjual produk bersertifikat, imbalannya mencegah atau mengurangi dampak buruk akan hilang. Kegagalan menjalankan mekanisme pengaduan dengan baik akan memiliki dampak yang sangat mirip selama kegagalan terus berlanjut;
Ketiga, dengan cara yang sama jika RSPO gagal menangguhkan atau mencabut sertifikat Sime Darby akibat konflik PT MAS yang tidak patuh sampai memperbaiki cara-cara kegiatannya, atau menyelidiki suatu pengaduan masyarakat secara layak dan tepat waktu, RSPO gagal “mencari jalan untuk mengurangi” dampak buruk dari perilaku anggota; dan
Keempat, organisasi RSPO jelas-jelas dalam “hubungan bisnis” dengan Sime Darbvy dan PT MAS anggotanya, yang bersedia membayar iuran biaya keanggotaan dan mematuhi peraturan RSPO dengan imbalan keuntungan keanggotaan.
Masyarakat telah merumuskan Proposal untuk Solusi (Proposal for Solution) kepada Sime Darby Plantation. Proposal berisi tahapan dan kegiatan pengembalian tanah adat masyarakat Kerunang dan Entapang. Sayangnya RSPO gagal membantu dan menyakinkan Sime Darby Plantation agar menerima tawaran solusi masyarakat. Masyarakat siap menyampaikan solusi bagaimana NCP Swiss seharusnya menerapkan mekanisme dan upaya pemulihan HAM yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat RSPO dan anggotanya.
Sebagai anggota OECD, National Contact Point (NCP) Swiss dapat memfasilitasi, membantu masyarakat dan RSPO memulihkan hak masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang yang sesuai dengan semangat Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia serta Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional.
Masyarakat percaya NCP Swiss memiliki komitmen, profesional dan akuntabel dalam merumuskan praktek terbaik pemulihan HAM dalam penerapan dan pemajuan kebijakan Panduan OECD dan selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan dan Hak Asasi Manusia.
Media Contact:
Redatus Musa 081380663822, Kepala Dusun Entapang
Edisutrisno 081315849153, TuK INDONESIA
Rini Kusnadi 082260152595, TuK INDONESIA

Siaran Pers: MENGGUGAT RSPO ATAS LAMBANNYA PENYELESAIAN KONFLIK MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KERUNANG DAN ENTAPANG DENGAN PERUSAHAAN MALAYSIA

Sektor kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas strategis yang menopang perekonomian Indonesia. Namun, dengan kontribusinya yang besar pada perekonomian bukan berarti industri ini tanpa masalah. Ekspansi besar-besaran dalam industri perkebunan kelapa sawit justru banyak mengakibatkan konflik lahan yang berkepanjangan, penyebab rusaknya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Berbagai masalah tersebut memunculkan seruan global terhadap pelaku industri untuk lebih bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan dibentuknya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Asosiasi yang dibentuk pada 2004 ini diharapkan mampu memberikan solusi dari berbagai konflik yang terjadi antara perusahaan anggotanya dengan masyarakat dan permasalahan lingkungan yang muncul.

Setiap anggota RSPO dalam menjalankan bisnisnya harus mentaati prinsip-prinsip RSPO, diantaranya komitmen terhadap hukum yang berlaku, perlindungan terhadap lingkungan, menghormati masyarakat lokal terdampak, dan lainnya. Sayangnya, kebanyakan dari perusahaan anggota RSPO justru melanggar prinsip-prinsip tersebut, salah satunya perusahaan sawit asal Malaysia, Sime Darby. Sime Darby melalui anak perusahaannya, PT. Mitra Austral Sejahtera (PT. MAS) sampai saat ini masih terlibat konflik lahan dengan masyarakat adat Dayak di Dusun Entapang dan Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pada tahun 1995/1996, PT. MAS masuk ke kampung untuk mensosialisasikan pembangunan perkebunan kelapa sawit. PT. MAS menjanjikan kepada masyarakat untuk membangun kebun plasma, membangun sarana dan prasarana dan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat di Dusun Kerunang dan Entapang. Setelah mempertimbangkan janji-janji tersebut, Masyarakat Kerunang dan Entapang setuju untuk meminjamkan tanah adat untuk ditanam kelapa sawit. “Namun yang kemudian terjadi, PT. MAS justru melanggar janjinya dengan mengubah status tanah masyarakat menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Padahal masyarakat tidak pernah menyerahkan tanahnya untuk dimiliki atau dijadikan HGU oleh perusahaan, yang ada sebelumnya hanya perjanjian pinjam pakai.” Ujar Redatus Musa, perwakilan dari masyarakat Kerunang dan Entapang.
Hal tersebutlah yang memicu konflik antara masyarakat Kerunang dan Entapang dengan PT. MAS (khususnya PT. MAS II), anak Perusahaan Sime Darby. Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan tanahnya kembali, salah satunya dengan meminta keterlibatan RSPO dalam penyelesaian konflik yang terjadi sejak 2007. Tidak adanya upaya dari Sime Darby untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pada 2012, Masyarakat Kerunang dan Entapang resmi mengajukan komplain kepada RSPO atas perampasan lahan yang dilakukan oleh Sime Darby. Namun hingga saat ini konflik tersebut masih belum terselesaikan.
“Padahal dalam setiap Pertemuan Tahunan RSPO, masyarakat selalu mengingatkan dan menyampaikan komplainnya agar RSPO serius menyelesaikan konflik yang terjadi di Kerunang dan Entapang yang melibatkan perusahaan anggotanya, Sime Darby. Terkahir, pada Pertemuan Tahunan RSPO ke-14 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, saya hadir mewakili masyarakat meminta RSPO untuk serius menyelesaikan konflik yang terjadi di kampung kami. Dalam waktu satu tahun sudah harus ada upaya yang lebih konkrit menuju penyelesaian konfliknya,” tambah Musa dengan tegas.
Tepat satu tahun sejak Pertemuan Tahunan di Bangkok, tepatnya pada 27-30 November 2017, RSPO mengadakan Pertemuan Tahunan kembali di Bali, Indonesia. Masyarakat tentu akan menagih tuntutan yang disampaikan ke RSPO. “Masyarakat akan melakukan upaya yang lebih tegas kepada RSPO. Jika RSPO tidak merespon dengan upaya penyelesaian yang lebih konkrit, masyarakat berencana akan menggugat RSPO melalui mekanisme OECD. Draft dan berkas-berkas yang dibutuhkan sudah kami persiapkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengajukan gugatannya.” Ujar Norman Jiwan, salah satu pendamping masyarakat
Sebagai salah satu organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan terbesar di dunia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki Panduan tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional sebagai standard internasional tata kelola korporasi dari negara-negara anggota OECD. Perusahaan dari negara-negara OECD terikat kewajiban terhadap dampak kegiatan bisnis dan rantai pasok mereka. Tuntutan masyarakat atas hak tanah dan wilayah adat adalah bagian dari hak asasi manusia atas kepastian dan keadilan hukum (rule of law) sebagaimana tercantum dalam Panduan yang diwajibkan oleh OECD. Jika terjadi pelanggaran hak masyarakat dan berdampak serius, maka harus ada proses upaya-upaya memastikan mekanisme pemulihan (remedy).
Tidak hanya RSPO saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban atas belum terselesaikannya konflik yang terjadi di Dusun Kerunang dan Entapang, lembaga pemberi modal juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika asal memberikan modalnya tanpa melakukan due diligent terhadap kliennya. Sime Darby adalah klien terbesar kedua Maybank, dan harus dicatat bahwa Permodalan Nasional Berhad (PNB) yang memegang hampir 50% dari saham Maybank juga memegang sekitar 50% dari saham Sime Darby.
“Dalam Periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3,9 miliar dalam bentuk pinjaman dan underwriting untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit, setara dengan 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Jika Maybank tidak memiliki kebijakan penilaian risiko untuk pendanaan kelapa sawit, maka maybank juga membawa tanggung jawab yang kuat atas dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kliennya.” Ujar Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.
 
Kontak:
Abdul Wahid (081381464445)
Rini Kusnadi (082260152595)

Siaran Pers: Keberlanjutan Takkan Berarti Bila Menegasikan Penghormatan terhadap HAM dan Keadilan Korban

Pernyataan Pers Bersama

Keberlanjutan Takkan Berarti Bila Menegasikan Penghormatan terhadap HAM

dan Keadilan Korban

Bangkok, 8 November 2016 – RSPO yang didirikan pada 2004 bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan lewat standar-standar global yang kredibel, serta melibatkan stakeholders seluas-luasnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sejak 2005, RSPO telah mengadopsi Prinsip dan Kriteria (P&C). Namun, meski memasuki umur 12 tahun, RSPO belum memiliki kemajuan yang signifikan atas minyak sawit berkelanjutan yang menjadi jargon dari inisiatif ini.
Berdasarkan mandat pendirian dan standar operasional bagi anggota RSPO tersebut seharusnya kasus-kasus yang diadukan melalui mekanisme RSPO dan kasus yang melibatkan anggota RSPO semestinya dapat diselesaikan secara cepat dan efektif. Namun sampai saat ini, kasus-kasus yang masuk untuk diselesaikan melalui mekanisme pengaduan RSPO belum juga memenuhi rasa keadilan korban, apalagi memulihkan hak-hak korban yang terampas. Hal ini tentu saja akan semakin menghilangkan kredibilitas RSPO.
Kasus-kasus yang sudah masuk dalam mekanisme pengaduan RSPO, sampai kini tidak tuntas penyelesaiannya, dan kasus-kasus lain yang melibatkan anggota RSPO sebagai berikut:

  1. Mitra Austral Sejahtera (Sime Darby Plantation) memasuki ke wilayah Sanggau, Kalimantan Barat pada 2006 dengan cara melakukan konsultasi dengan masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.   Masyarakat menerima kesepakatan tersebut dengan persyaratan wilayah yang dijadikan kebun sawit dapat dikelola melalui sistem pinjam pakai selama 25 tahun; (2) Apabiila perusahan hendak memperpanjang kebun harus melakukan renegosiasi; dan (3) Membangun sarana prasarana umum seperti Rumah Sakit, sarana olah raga, gedung sekolah, tenaga listrik untuk masyarakat. Namun kesepakatan yang dihasilkan belum terlaksana sampai saat ini;
  1. Wiramas Permai (Kencana Agri Group) di Luwuk, Sulawesi Tengah yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Wilmar Group sebesar kira-kira 30% mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mengelola perkebunan kelapa sawit, termasuk membangun kebun bagi masyarakat dan merekrut masyarakat setempat sebagai pekerja (buruh). Namun dalam perkembangannya, kebun yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, bahkan perusahaan ini malah merampas tanah masyarakat yang telah bersertifikat. Masyarakat setempat memang direkrut menjadi pekerja, namun upah mereka dibawah UMR. Meskipun mayoritas pekerja PT. Wiramas Permai adalah perempuan, namun mereka tidak dilindungi hak-hak reproduksinya seperi cuti haid dan cuti melahirkan. Berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan, masyarakat telah mengadukan permasalahan tersebut kepada Pemerintah Daerah namun tak ada tanggapan. Terhadap kasus ini, RSPO harus bisa mengevaluasi PT. Wiramas Permai karena telah melanggar hukum dan melanggar hak asasi manusia;
  1. Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan Sinar Mas Grup yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dayak di daerah Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat. Kasus ini bermula saat perusahaan masuk tanpa persetujuan masyarakat dan tokoh masyarakat pada 2008. Pada saat membuka kawasan perkebunan, perusahaan ini langsung menggusur pekuburan leluhur, ladang masyarakat, dan hunian masyarakat Silat Hulu seluas sekitar lebih dari 600 hektar. Berdasarkan pelanggaran tersebut, sesuai dengan tradisi masyarakat Dayak, maka mereka melakukan mengajukan tuntutan hukum adat kepada Sinar Mas Group, yang telah dipenuhi perusahaan pada November 2009. Namun, ternyata perusahaan ini justru melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang dikenal dengan kasus Andi-Japin. Selain, itu, Sinar Mas Grup juga masih melakukan penggusuran dan tanah yang dikuasai perushaan sampai saat ini belum juga dikembalikan kepada masyarakat. Berdasarkan kasus ini, masyarakat Silat Hulu mendesak perusahaan untuk: 1) Mengembalikan wilayah ulayat masyarakat seluas 664 hektar yang sudah ditanami   oleh perusahaan kepada masyarakat; 2) meminta perusahaan untuk meninggalkan wilayah adat masyarakat Silat Hulu; dan 3) memulihkan wilayah masyarakat adat yang telah dirampas oleh perusahaan;
  1. Sandabi Indah Lestari di Bengkulu yang menjadi pemasok bagi Wilmar dan Sinar Mas Grup telah melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi masyarakat di wilayah operasional mereka karena melakukan intimidasi. Intimidasi ini dilakukan perusahaan ketika masyarakat mengadukan permasalahannya melalui mekanisme RSPO. Selain kasus ini, perusahaan juga telah mengambilalih tanah para transmigran dan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan perlawanan. Kasus lain di Bengkulu adalah PT. Agri Andalas yang sampai saat ini belum menyediakan kebun untuk masyarakat sesuai dengan janjinya. Masyarakat telah mengadukan tindakan PT. Agri Andalas kepada Pemerintah Daerah, namun belum ada tanggapan. Dalam konteks ini, patut untuk diajukan gugatan terhadap prinsip dan kriteria produksi kelapa sawit yang berkelanjutan, jika CPO yang dihasilkan oleh para pemasok melakukan banyak pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia;
  1. Nabire Baru yang beroperasi di dalam kawasan hutan kecamatan Yaur, kabupaten Nabire, Papua, merupakan anak perusahaan dari Goodhope Asia Group. PT. Nabire Baru Co, telah melanggar wilayah ulayat dari masyarakat adat Yerisiam Gua karena menggarap wilayah mereka tanpa kesepakatan. PT. Nabire Baru juga telah menghancurkan sistem ekologi di Nabire karena menyebabkan deforestasi, hilangnya sumber makanan dan pendapatan masyarakat Yerisiam Gua. Selain itu, PT. Nabire Baru menjalin kerjasama dengan Brimob untuk menjaga wilayah operasional perusahaan. Atas nama perusahaan, Brimob melakukan tindakan kekerasan   terhadap   masyarakat. Masyarakat Yerisiam Gua telah berulang kali menyuarakan protes dan ketidaksetujuan terkait dengan pelanggaran hak asasi mereka, namun tidak satupun   direspon secara serius oleh perusahaan atau pemerintah daerah. Berdasarkan temuan ini, masyarakat mendesak RSPO untuk: 1) Melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan mendalam terhadap PT. Nabire Baru mengenai pelanggaran prinsip-prinsip dan kriteria produk kelapa sawit berkelanjutan, termasuk dinegasikannya partisipasi masyarakat; 2) Menuntut PT. Nabire Baru untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat Yerisiam Gua; 3) Meminta PT. Nabire Baru untuk menghentikan kegiatan mereka membuka perkebunan baru tanpa izin atau persetujuan dari anggota masyarakat secara keseluruhan; dan 4) Menghentikan dan mencabut keanggotaan Goodhope Asia Group dari keanggotaan RSPO;
  1. Kasus-kasus anggota RSPO yang beroperasi di Kalimantan Tengah seperti Sinar Mas, Wilmar Grup dan Bumitama Gunanjaya Agro (BGA). Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota RSPO terlihat pada 2 kasus yang melibatkan perusahaan milik dari BGA, yaitu PT. ASMR dan Bumitama Gunanjaya Agro. PT. ASMR membakar hutan dan lahan pada 2015 yang mengakibatkan bencana asap di Indonesia. Pembakaran hutan juga dilakukan oleh Bumitama Guna Jawa. Bahkan perusahaan ini melakukan manipulasi melalui kriminalisasi terhadap masyarakat dengan bantuan dan kerja sama dengan polisi dan militer. Selain itu, juga terdapat kasus yang melibatkan 5 dari 7 perusahaan yang dimiliiki oleh Wilmar Grup.   Kasus ini berkaitan dengan   pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT. KSI dan PT. Rimba Harapan Sakti pada 2015, sementara itu PT. KKPS, Mentaya berkonflik dengan masyarakat. Meskipun kasus-kasus ini sudah diadukan dan masuk dalam mekanisme RSPO namun belum ditanggapi secara serius. Sebagaimana di kasus yang melibatkan perusahaan milik Sinar Mas, meskipun sudah masuk sejak Juni 2015, namun hingga kini belum mendapat tanggapan serius. Apabila melihat respon RSPO yang sedmikian lambat, maka dapat dikatakan RSPO justru berkontribusi terhadap produksi konflik dan kerusakan hutan di Indonesia.

Kasus-kasus di atas menunjukkan secara empiric bahwa mekanisme pengaduan yang dibangun RSPO gagal menyelesaikan kasus-kasus secara efektif. Sebaliknya mekanisme RSPO malah memproduksi ketidakadilan, karena pemulihan yang menjadi hak korban justru dinegasikan. Kasus-kasus di atas juga menunjukkan bahwa dalam menjalankan operasionalnya anggota RSPO masih saja melanggar prinsip dan kriteria yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh anggota RSPO untuk mencapai produksi kelapa sawit yang berkelanjutan.
Beberapa kasus belum diadukan secara resmi ke RSPO, karena bercermin dari kasus-kasus complain yang sudah masuk dalam mekanisme yang di bangun oleh RSPO baik melalui DSF dan grievance panel belum menyelesaikan persoalan di tingkat tapak, bahkan kecendenderungan komunikasi yang di bangun tanpa ada keputusan yang adil dan menghentikan proses kompalin yang masih berlangsung walaupun bukti-bukti yang kuat sudah mendukung.
Pada umumnya perusahaan anggota RSPO hanya menempatkan prinsip dan kriteria (P&C) sebagai hal sangat teknis, dimana masalah lingkungan dan social hanya menjadi bagian dari skema sertifikasi keberlanjutan pasar yang dipertanyakan, karena proses pengelolaan yang sangat rendah dan permintaan pasar yang tidak berkelanjutan adalah intinya. RSPO adalah mekanisme sertifikasi pasar sukarela yang bersembuyi di atas “label hijau”, namun pada kenyataanya terus manutup mata atas dampak negatif atas tanah, hutan dan hak-hak masyarakat.
Dalam konteks hak asasi manusia, mekanisme RSPO dan keterlibatan anggota RSPO dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah operasionalnya menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang telah menjadi komitmen bersama masyarakat internasional. Pilar ke-2 dari Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM telah memberikan koridor bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan operasional harus menghormati hak asasi manusia dengan cara tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. RSPO semestinya dapat mendorong anggotanya untuk menyusun komitmen kebijakan untuk menghormati hak asasi manusia dan mengembangkan instrument human rights due diligence untuk menghindari berulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia. Di samping itu, Pilar ke-3 Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM menegaskan adanya kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif.
Dalam kaitan ini, maka RSPO harus mendorong setiap anggotanya untuk segera menuntaskan setiap kasus yang masuk melalui mekanisme RSPO sebagai bagian dari upaya untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk merespon hak korban untuk mendapakan pemulihan. Kami juga mendesak RSPO untuk melaksanakan komitmen setiap anggotanya untuk mematuhi prinsip dan kriteria produksi minyak sawit yang berkelanjutan dalam rangka menghormati hak asasi manusia.
 

Hormat kami,

ELSAM – TuK Indonesia – WALHI Sulawesi Tengah – WALHI Bengkulu – WALHI Kalimantan Tengah – WALHI Jambi – Yayasan PUSAKA – SKP Keuskupan Agung Merauke – Gemawan – Institut Dayakologi

Kontak:

  1. Andi Muttaqien / [email protected]

Insitute for Policy Research and Advocacy (ELSAM)

  1. Edi Sutrisno/[email protected]

Transformasi untuk Keadilan Indonesia

  1. Budi Siluet / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Sulawesi Tengah

  1. Beni Ardiansyah / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Bengkulu

  1. Arie Rompas / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Kalimantan Tengah

  1. Musri Nauli / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Jambi

  1. Andre Barahamin / [email protected]

Yayasan Pusaka

  1. Anselmus Amo / [email protected]

SKP Keuskupan Agung Merauke

  1. Hermawansyah / [email protected]

Gemawan

  1. Krissusandi Gunu’i / [email protected]

Institut Dayakologi

Siaran Pers: Perampasan Tanah oleh Sime Darby di Indonesia

Masyarakat dari Kalimantan Barat menuntut Sime Darby untuk mengembalikan tanah mereka. Pengaduan yang mereka ajukan ke RSPO tahun 2012 tetap tidak terselesaikan.
Bangkok, 8 November, 2016 – Pada saat konferensi pers disela-sela pertemuan RSPO ke 14, perwakilan dari masyarakat adat Sanggau, Kalimantan Barat, menuntut Sime Darby untuk menyelesaikan kasus perampasan tanah di RSPO dan meminta RSPO untuk meningkatkan mekanisme pengaduan yang lebih efisien.
“Kami meminta Sime Darby untuk mengembalikan tanah kami dan mengikuti kriteria RSPO 2.2 terkait hak-hak dari masyarakat adat” ujar Pak Redatus Musa, perwakilan dari Desa Kerunang dan Entapang. Pak Redatus Musa mengatakan bahwa tahun 1995, Sime Darby yang merupakan induk perusahaan PT MAS mendekati masyarakat untuk membuat kesepakatan terkait keinginan perusahaan untuk ‘meminjam’ lahan masyarakat selama 25 tahun. Perusahaan kemudian memberikan uang sebesar 50,000 per hektar sebagai pembayaran simbolik atas pinjaman lahan tersebut. Saat itu masyarakat tidak pernah menandatangani kontrak apapun.
PT MAS kemudian mendapatkan Hak Guna Usaha, yang tumpang tindih dengan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat, tanpa menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat adat setempat. Berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki, perusahaan memiliki hak untuk menanam area tersebut hingga tahun 2030.
Masyarakat sudah melakukan negosiasi dengan Sime Darby sejak tahun 2007, tahun ketika Sime Darby mengambil alih PT MAS. Terlepas dari semua upaya yang telah dilakukan, mereka mengajukan pengaduan ke RSPO tahun 2012, tetapi sampai hari ini kasus tersebut tetap tidak terselesaikan. Mereka menganggap bahwa Sime Darby dan PT MAS harus menyelesaikan kasus perampasan lahan yang terjadi dengan efektif dan secepat mungkin.
“Sime Darby adalah salah satu penghasil minyak sawit terbesar yang tersertifikasi RSPO. Masyarakat sudah berupaya untuk mengirimkan tawaran penyesailan konflik, bulan Mei tahun 2015, akan tetapi tidak ada respon dari perusahaan,” ujar Edi Sutrisno, Direktur Kampanye dan Advokasi TuK Indonesia
Untuk informasi yang lebih lengkap, silahkan akses lembar fakta dibawah ini:
sime-darby-fact-sheet
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
Merel van der Mark – TuK Indonesia,
Tel: + 62 812 1880 7079, Email: [email protected]

[beritasatu.com] Potential Loss Industri Sawit Capai Rp 127 T

Selasa, 17 Februari 2015 | 05:04

JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui inpres No 10 Tahun 2011.

Juru bicara GAPKI Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).

Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melaui Inpres No 6 Tahun 2013.

Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.

Pernyataan GAPKI itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transpormasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu ha (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan kalimantan Timur.

Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke 25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.

Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia,” ungkap Tofan.

Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, GAPKI menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (tbk). Dalam cataan GAPKI, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan diantaranya yang menjadi anggota GAPKI. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 255 kelompok perusahaan itu data dari mana” Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.

GAPKI menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas 9 juta ha, seluas 35% diantaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN da PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.

Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikat RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang ebrsifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori.

Link:

http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html

Golden Agri Resources di Kapuas Hulu, Ada Perbaikan tetapi Masih Abaikan Prinsip RSPO

January 19, 2014 Andi Fachrizal, Pontianak

Meskipun sudah ada beberapa perbaikan, namun Forest Peoples Programme (FPP) dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia masih menemukan PT Kartika Prima Cipta (KPC) di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), mengabaikan prinsip-prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Ini luka lama yang terkuak kembali di tubuh anak perusahaan sawit terbesar Indonesia, Golden Agri Resources (GAR), grup Sinar Mas ini.

Awalnya, kajian lapangan ini dengan tujuan membangun alat lebih baik untuk memastikan metode zonasi dan pengelolaan lahan yang diterapkan perusahaan,” kata Norman Jiwan, Exsecutif Director TuK Indonesia saat menggelar media breafing di Pontianak, Jumat (17/1/14).

Laporan kajian independen ini bertumpu pada dua survei dan wawancara lapangan pada Juli dan September 2013. Wawancara dengan masyarakat terkena dampak dalam konsesi KPC, staf GAR dan KPC, serta interaksi dengan perusahaan dan lembaga non pemerintah berikut konsultan-konsultan yang memberi nasehat kepada GAR.

Kinerja perusahaan di bawah payung Sinar Mas Group itu dinilai secermat mungkin, khusus standar RSPO di mana GAR adalah anggota. Begitu pula kebijakan sosial dan lingkungan GAR. Temuan lapangan ini sangat mengejutkan kita,” kata Norman.

Fakta lapangan mempelihatkan, kendati KPC mulai beroperasi 2007, sampai Oktober 2013, perusahaan itu belum menyelesaikan penilaian terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi yang diwajibkan RSPO. Perusahaan juga mengabaikan kewajiban saat studi kepemilikan lahan atau pemetaan partisipatif hak-hak tanah adat.

Selain itu, masyarakat tidak bebas memilih kelembagaan perwakilan mereka sendiri. Kompensasi murah dibayarkan kepada anggota-anggota masyarakat untuk memperoleh penyerahan lahan selamanya melalui proses tak jelas. Artinya, memberi kesan keliru bahwa warga dapat memperoleh tanah kembali setelah 30 tahun. Tak satupun dari ratusan petani menjual tanah mereka kepada KPC punya salinan kontrak penyerahan tanah.

Beberapa komunitas menolak menyerahkan tanah tetapi terus mengalami tekanan dan bujukan dari perusahaan dengan mengabaikan persyaratan RSPO bahwa masyarakat bisa mengatakan ‘tidak.’ Juga tak ada pembicaraan dengan masyarakat untuk membantu mereka memutuskan berapa banyak lahan harus disisakan sebagai sumber penghidupan mereka. Sebaliknya, warga diiming-imingi kebun plasma sawit dan pekerjaan baru yang akan membawa keuntungan besar.

Kenyataan, kebanyakan pekerjaan dibayar dengan upah murah. Sedangkan, kebun plasma yang dikelola perusahaan, terlambat dipenuhi hanya separuh lebih dari luas yang diharapkan. Itupun disertai beban utang dan biaya operasional yang belum dijelaskan memadai.

Masyarakat Dayak yang terkena dampak langsung, di mana lahan makin sempit sementara masyarakat Melayu yang mayoritas nelayan mengeluh akibat pencemaran sungai. Tangkapan ikan menurun dan masalah bagi usaha-usaha penangkaran ikan mereka.

Meskipun tak semua anggota masyarakat menolak sawit bahkan ada yang melihat keuntungan nyata dari sana, pemaksaan pola kemitraan bermasalah hampir semua masyarakat.

Sejak 2007, ketika kali pertama konsesi diumumkan, sudah ada keberatan dan demonstrasi menolak ketidakadilan ini. Bahkan berlanjut hingga 2013. Perusahaan membayar polisi untuk membubarkan aksi massa.

Temuan-temuan itu menunjukkan kegagalan penting atas kepatuhan KPC dan GAR terhadap prinsip dan kriteria RSPO. Terhadap usulan mengeluarkan cadangan karbon tinggi (high carbon stocks) sesuai kebijakan Konservasi Hutan GAR, sangat tak populer, baik bagi masyarakat yang menolak keberadaan perusahaan, maupun bagi mereka yang sudah menggantungkan harapan pada sawit.

Kategorisasi lahan hutan yang dipaksakan sesuai kandungan karbon itu, mengabaikan sistem milik masyarakat, kepemilikan lahan dan klasifikasi lahan serta membatasi mata pencarian dan pilihan sumber penghasilan.

Langkah Maju

Menurut Norman, semua persoalan ini sudah dilaporkan kepada GAR pada Juli 2013. Namun, perusahaan dan konsultan-konsultan yang mendukung GAR lamban memperbaiki di lapangan.

Kendati demikian, katanya, perusahaan dan para konsultan mulai menggagas suatu program bagi penyelesaian konflik lahan dan mengurus keluhan-keluhan lain. Perusahaan juga sudah terbuka menyatakan tekad mewujudkan perbaikan-perbaikan. “Perusahaan sudah menunjukkan diri terbuka atas dialog dan menjalankan nasehat serta kritikan-kritikan.”

Penilaian HCV saat ini baru selesai namun belum diberikan dan diteliti bersama masyarakat. Berkaitan dengan masyarakat yang kukuh menolak penyerahan tanah-tanah mereka, perusahaan juga tidak mengambil lahan dengan paksaan.

Begitu pula dengan hal lain, perusahaan sudah menyatakan komitmen verbal berhenti membujuk masyarakat menyerahkan tanah mereka dan tak membuka hutan dan lahan gambut serta kawasan HCV.

Hermawansyah dari Lembaga Gemawan mengapresiasi hasil kajian independen FPP dan TuK Indonesia terhadap KPC. “Praktik-praktik buruk seperti itu jamak terjadi di konsesi perkebunan sawit di Kalbar,” katanya.

Dia menambahkan, hasil kajian Swandiri menemukan 31 hektar kawasan KPC masuk dalam kawasan hutan. Ini menunjukkan, perusahaan akan selalu memperluas kawasan, sebab makin luas lahan pasti ada raupan keuntungan.

Hal sama dikemukakan Ian Hilman dari WWF-Indonesia Program Kalbar. Dia menilai, hasil kajian FPP dan TuK Indonesia di Kapuas Hulu, ibarat luka lama yang tak kunjung sembuh. “Seingat saya, ada sembilan perusahaan milik Sinar Mas Group yang beroperasi di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum. Dari sembilan perusahaan itu, tujuh di antaranya tumpang tindih dengan kawasan hutan, bahkan hutan lindung.”

Sedangkan Arief Munandar dari Swandiri menambahkan, dari total perkebunan sawit di Kalbar, 70 persen hanya menyisakan konflik. “Pro kontra di tingkat masyarakat sangat tinggi. Masyarakat yang kontra selalu dikalahkan oleh masyarakat pro sawit.”

Referensi/link:

http://www.mongabay.co.id/2014/01/19/golden-agri-resources-di-kapuas-hulu-ada-perbaikan-tetapi-masih-abaikan-prinsip-rspo/

Taruhan bagi Perkebunan Sawit Berkelanjutan

SELASA, 12 NOVEMBER 2013 | 19:41 WIB

169597_620 Untung TempoTEMPO.COJakarta – Puluhan spanduk mengepung Hotel Santika yang terletak di Jalan Pengadilan, Medan. Sekitar 3.000 petani, buruh, serta aktivis organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat dari berbagai provinsi di Sumatera terus meneriakkan tuntutannya kepada peserta Pertemuan Tahunan Ke-11 dari The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di hotel itu.

Mereka memajang tuntutan yang berbeda-beda pada spanduk, sesuai konflik yang terjadi dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerahnya. “Kami ingin bertemu langsung dengan pimpinan Wilmar Group karena eksekutif PT Jatim Jaya Perkasa tak bisa menyelesaikan masalah di desa kami,” kata Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Selasa (12/11). 
PT Jatim, yang merupakan anak perusahaan Wilmar, ujar Isnadi, baru menyerahkan 600 hektare kebun sawit pada 2012 kepada warga empat desa di Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Kubu Babusalam, Riau. Padahal, sesuai dengan skema kredit koperasi tahun 2004, lahan yang harus diserahkan seluas 2.150 hektare.
Unjuk rasa hingga mengadu ke pejabat pemerintah daerah sudah dilakukan, namun tak membuahkan hasil. Karena itu, Isnadi berharap dapat menyampaikan langsung tuntutannya ke bos Wilmar yang datang dalam acara RSPO Meeting. Harapan senada juga datang dari aktivis petani, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo), Walhi Sumatera Utara, Indonesian People Aliance, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, dan lainnya.
Para buruh menuntut penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing) di perkebunan kelapa sawit dan industrinya. “Perusahaan yang melanggar hak-hak buruh harus dicabut izin usahanya,” kata Herwin Nasution, koordinator aksi Serbundo.

Pada 12-14 November, Medan menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan RSPO. Ini adalah asosiasi yang didirikan pada 2004 oleh berbagai perusahaan di sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, dan investor), akademisi dan LSM bidang lingkungan. Tujuan Forum Meja Bundar itu mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

“Pertemuan kali ini berfokus pada perbaikan prinsip-prinsip dan kriteria serta berbagai aspek kritis. Sebagai inisiatif multipihak yang pertama untuk jenis komoditas global, RSPO memandang pendekatan progresif untuk menilai dan meningkatkan standar setiap 5 tahun sekali menjadi hal penting dalam rangka secara positif mempengaruhi dan mentransformasi pasar,” kata Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO, dalam pengantarnya.
Webber mengakui jalan masih panjang untuk mencapai norma minyak sawit berkelanjutan. Dia berharap, dalam pertemuan di Medan, 11-14 November, semua perwakilan peserta mampu merumuskan rencana masa depan. Dia mengklaim, saat ini pasokan Certified Sustainable Palm Oil adalah sebesar 15 persen dari keseluruhan pasokan minyak sawit dunia. Sedangkan keanggotaan RSPO naik melampaui 1.300 anggota.

Ada delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO yang merupakan standar global tata kelola perkebunan yang disusun berbagai pemangku kepentingan di sepanjang rantai pasok minyak sawit untuk mendefinisikan sawit berkelanjutan. Antara lain, komitmen terhadap transparansi, tanggung jawab lingkungan, dan konservasi kekayaan alam serta keanekaragaman hayati. Lalu, bertanggung jawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik. Serta pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab.
Grup Wilmar, Sinar Mas, Minamas Plantation, Astra Agro Lestari, Asian Agri, Duta Palma, dan perusahaan perkebunan sawit lainnya mengklaim telah mengimplementasikan prinsip dan kriteria RSPO. “Kami mengadopsi semua praktek industri terbaik dan standar dalam produksi kami. Begitu juga pengelolaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan,” demikian Wilmar menuliskan dalam website-nya.

Memang, dalam tiga dekade terakhir, jumlah konsumsi minyak nabati di seluruh dunia naik tiga kali lipat. Ternyata minyak sawit paling tinggi pertumbuhannya (hingga 10 kali lipat) ketimbang minyak kedelai, minyak lobak atau rapa, minyak bunga matahari, dan minyak nabati lainnya. Pada 1980, produksi minyak sawit cuma 5 juta ton. Namun, pada 2009, produksi melesat menjadi 45 juta ton.

Diperkirakan, permintaan dunia atas minyak sawit akan mencapai tiga kali lipat pada 2050. Alhasil, kecenderungan ekspansi perkebunan kelapa sawit akan terus berlanjut tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, tapi juga di negara-negara tropis di seluruh dunia. Saat ini, Indonesia dan Malaysia memproduksi lebih dari 85 persen minyak sawit global, dengan total lahan perkebunan kedua negara ini mencapai 14 juta hektare.
Perusahaan sawit raksasa juga melakukan ekspansi di Papua Nugini, Filipina, Thailand, dan Kamboja. Tak hanya itu, mereka merambah Benua Afrika, terutama di Liberia, Nigeria, Ghana, Pantai Gading, dan Republik Demokratik Kongo. Selain itu, di Amerika Latin, terutama di Kolombia, Honduras, dan Ekuador.

Dalam prakteknya, pembuatan kebun itu banyak terjadi di hutan primer, hutan rawa, dan lahan gambut yang kaya oksigen. Sepuluh persen deforestasi atau penggundulan hutan di Malaysia dan Indonesia sepajang 1990-2010 dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit. Sekitar 600 ribu hingga 1 juta hektare kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit setiap tahun di Indonesia. Luasnya saat ini 8 juta hektare, dan akan naik menjadi hingga 13 juta hektare pada 2020.

Tak hanya itu, hak atas persetujuan bebas, didahulukan, dan diinfomasikan (free, prior, informed and consent, FPIC)–yang sentral dalam prinsip dan kriteria–banyak dilanggar oleh perusahaan yang tergabung dalam RSPO. Hasil studi kasus di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun, Republik Demokratik Kongo, dan Liberia, yang dipublikasikan Kamis pekan lalu di Medan, menunjukkan pelanggaran itu.
Studi kasus dilakukan Forest Peoples Programme (FPP), Sawit Watch, dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, bekerja sama dengan 17 organisasi dan lembaga di negara-negara tersebut. Hasil kajian ini dibukukan dengan judul Konflik atau Mufakat? Sektor Minyak Sawit di Persimpangan.

Salah satu kasus terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Di tempat ini, tim peneliti menemukan kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas.

Perusahaan lebih memihak elite lokal daripada masyarakat penggarap lahan Melayu setempat. Salah satu responden, Resmiati, ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Beringin, menjelaskan bahwa kepala desa menawar harga tanahnya Rp 1,5 juta, dia menolak dan berkukuh harganya Rp 3,5 juta.
“Sebab, tanah sangat berharga bagi kami orang kecil ini. Jika kami mau kelapa sawit, kami akan tanam sendiri dan kami tidak mau orang lain mengambil tanah kami untuk menanam kelapa sawit,” katanya. Jika ia mampu mewariskan tanah ke anak-cucunya, “Tanah akan menjamin sumber penghidupan anak saya, bukan uang. Sebab, uang tidak pernah cukup. Tanah adalah jaminan sumber penghidupan yang paling aman,” katanya.
Riset juga menemukan, banyak produsen sawit anggota RSPO yang beroperasi di tujuh negara tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat dan warga lokal di kawasan hutan dan lahan gambut. Menurut Marcus Colchester, Penasihat Kebijakan Senior FPP, di balik kegagalan “praktek terbaik sukarela” ini, ternyata hukum dan kebijakan nasional juga menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, kata Marcus, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. “Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi, dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit yang bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka serta menghormati hak-hak masyarakat,” kata Marcus, doktor antropologi lulusan Universitas Oxford, Inggris.
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengakui RSPO telah menetapkan standar yang baik. Namun banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji di atas kertas tersebut. Dia menilai RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika mampu memberi pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat. Karena itu, ia menambahkan, kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhannya.
UNTUNG WIDYANTO 

Sumber/tautan:

http://www.tempo.co/read/news/2013/11/12/206529167/Taruhan-bagi-Perkebunan-Sawit-Berkelanjutan

Pernyataan bersama oleh peserta yang berkumpul di “Conflict or Consent Workshop”

Medan, 8-10 November 2013

Pada kesempatan lokakarya Conflict or Consent, diselenggarakan sebelum RT11 RSPO dan GA 10, peserta membawa bersama 16 studi kasus dari dua benua, menjadi saksi atas konflik tanah dan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab.1

Kami mengamati sejumlah kemajuan prosedur dan beberapa perbaikan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, dan upaya-upaya yang kuat oleh beberapa anggota dan pihak-pihak lainnya untuk mendorong upaya pemulihan. Meskipun begitu, peserta lokakarya mengamati bahwa diantara perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam berbagai pelanggaran tersebut adalah anggota RSPO. Kenyataan tersebut menggaris bawahi tantangan besar yang sedang dihadapi RSPO, keanggotaan RSPO dan pasar untuk memastikan kepatuhan dengan persyaratan-persyaratan dasar dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, seperti kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hukum nasional dan konvensi sosial dan lingkungan hidup internasional.

Itulah yang menjadi alasan keprihatinan bahwa kebijakan dan arena pasar Eropa/Belanda/Perancis/Inggris/Jerman/Belgia masih belum mampu sepenuhnya memahami berbagai implikasi sosial perdagangan dan penggunaan komoditas yang strategis ini. Laporan ini menekankan pula kegagalan RSPO juga akibat pemerintah belum berhasil mengatur sektor minyak sawit dan mencegah berbagai pelanggaran yang dicatat dalam studi kasus ini dan laporan-laporan lapangan lainnya.

Pernyataan ini juga menekankan bahwa para peserta yang mendukung pernyataan ini banyak terlibat dalam sektor minyak sawit dan arena RSPO, bekerja untuk menyusun cara-cara untuk membantu mengurangi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Beberapa diantara peserta diberikan tugas untuk terlibat dalam badan eksekutif dan pengurus RSPO.

Menghargai komitmen yang dibuat oleh Task Force … untuk mencapai target minyak sawit lolos sertifikasi, kami meminta anda meninjau laporan kami dan menyusun aksi nyata yang membantu memastikan bahwa semua minyak sawit yang masuk ke pasar adalah “bebas konflik”.

Kami mengundang anda bergabung bersama kami dalam upaya-upaya menegakkan standar RSPO dan implementasinya terutama dengan menggunakan instrumen-instrumen pemulihan seperti mekanisme pengaduan RSPO dan Fasilitas Penanganan Sengketa, dan mendesak pemerintah kami untuk memperbaiki kerangka kerja kelembagaan hukum yang memandu sektor minyak sawit. Kami meminta anda memeriksa sendiri di lapangan dalam berkonsultasi dengan masyarakat, keadaan-keadaan dimana minyak sawit diproduksi dan membantu menyusun bersama serta menerapkan berbagai upaya untuk membawa standar RSPO dalam praktek. Kami siap untuk dialog dengan semua pihak dan melakukan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Hormat kami,

Peserta dari:

  1. Andalas University, Padang, Sumatra
  2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Indonesia
  3. Bitra Indonesia, North Sumatra
  4. Both ENDS, Netherlands
  5. Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement (CIRAD), France

  6. École des Hautes Études en Sciences Sociales, France

  7. ELSAKA, North Sumatra
  8. Forest Peoples Programme, United Kingdom
  9. Front Mahasiswa Nasionalis Medan, North Sumatra
  10. Gabungan Serikat Buruh Indonesia, North Sumatra
  11. HuMa, Indonesia
  12. HUTAN, Malaysia
  13. Hutan Rakyat Institute (HARI), North Sumatra
  14. IDEAL, Malaysia
  15. Impartial Mediators Network, Indonesia
  16. Indigenous Peoples’ Foundation for Education and Environment, Thailand
  17. Indonesia Peoples’ Alliance, North Sumatra
  18. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia
  19. Jaringan seOrang Asal SeMalaysia (JOAS)
  20. Keystone Foundation, India
  21. Komunitas Peduli Hutan Sumatra Utara (KPHSU), Indonesia
  22. Lembaga Gemawan, West Kalimantan, Indonesia
  23. Natural Justice, South Africa
  24. Oxfam Novib, The Netherlands
  25. PUSAKA Indonesia, Indonesia
  26. PUSAKA, Indonesia
  27. Qbar Association, Padang, Indonesia
  28. Rainforest Action Network (RAN), United States
  29. Sawit Watch, Indonesia
  30. SCALE UP, Indonesia
  31. Setara Jambi, Indonesia
  32. Socio-Pastoral Institute, Cameroon
  33. StaB-LB, North Sumatra, Indonesia
  34. Transformasi Untuk Keadilan INDONESIA
  35. Wahana Bumi Hijau (WBH), Indonesia
  36. Walhi Kalbar, Indonesia
  37. Walhi Kalteng, Indonesia
  38. Walhi Riau, Indonesia
  39. Walhi SumSel, Indonesia
  40. Walhi Sumut, Indonesia
  41. Warsi, Jambi, Indonesia
  42. Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Indonesia

Penelitian Terbaru: Banyak Anggota RSPO Melanggar Hak Masyarakat

November 7, 2013 Ayat Suheri Karokaro dan Sapariah Saturi

Penelitian terbaru dari Forest Peoples Programme (FPP), Transformasi Untuk Keadilan (TUK) dan Sawit Watch yang dirilis di Medan, Sumatera Utara (Sumut) Kamis (7/11/13) mengungkapkan banyak anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, termasuk Indonesia. Dalam kajian berjudul Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan ini, merinci kinerja 16 aktivitas perusahaan sawit, mayoritas anggota RSPO, yang melanggar HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Penelitian ini menjabarkan kasus-kasus produsen minyak sawit yang gagal mendapat persetujuan dari masyarakat, lewat proses yang diwajibkan RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Temuan-temuan ini mendukung bukti-bukti perusakan karena pengembangan sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Laporan ini akan disebarkan dalam pertemuan tahunan RSPO 11-14 November di Medan.

Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TUK mengatakan, sejak dibentuk delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standard tetapi banyak anggota tak memenuhi janji-janji. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan, tetapi perlu penegakan lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan,” katanya.

Senada diungkapkan Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch. Menurut dia, begitu banyak investasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation (IFC), tapi hasil minim. “Kami bisa tunjukkan satu atau dua hasil baik di lapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan sawit di Indonesia saja. Masalah ini meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika.”

Karlos Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan dan Inisiatif Kebijakan Sawit Watch, mengatakan ada beberapa perusahaan besar dianggap masih terlibat konflik dengan petani dan pemilik. Antara lain, PT Wilmar, PT London Sumatera (Lonsum), PT Sinar Mas, dan beberapa perusahaan besar lain. Mereka sampai saat ini bergerak di sektor perkebunan sawit serta turunannya.

Perusahaan menggunakan hak ulayat adat, tanah adat, dan warisan kerajaan untuk menguasai ratusan ribu hektar lahan milik masyarakat dijadikan perkebunan sawit. Pemerintah mendiamkan, meski ada aturan dan UU yang mengatur soal itu dilanggar.”

Menurut Karlos, RSPO harus bisa dan mau mengevaluasi dan mengaudit ulang semua sertifikat yang diberikan terhadap perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, termasuk membekukan dan menarik kembali sertifikasi terhadap anggotanya.

Contoh lain, masih terjadinya konflik di kebun-kebun PT Lonsum, konflik degan petani di Desa Pergulaan, dan konflik perebutan lahan di Kabupaten Deli Serdang. Konflik serupa terjadi antara petani dengan PT Wilmar, PT Musi Mas, dan hampir semua anggota RSPO masih banyak menyisakan sengketa lahan, penyerobotan dan pelanggaran aturan kerja. Kebun PTPN III di Bukit Perjuangan, Kota Rantau Parapat, ada dua kasus sengketa lahan dengan petani yang sudah menempati lahan seluas 272 hektar turun temurun.

Hak tetap hak dan harus diselesaikan. Mekanisme konflik sosial memang lebih rumit daripada konflik lingkungan. Ini terus terjadi sampai sekarang.”

Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, mengatakan, beberapa anggota RSPO sudah mengesahkan standard dan prosedur operasional baru guna memperbaiki praktik mereka di atas kertas, bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha. Namun katanya, kenyataan di lapangan menyimpulkan masih tak ada perubahan berarti. “Pejabat senior perusahaan mungkin bersedia menjalankan pendekatan baru, seringkali manajer operasional di lapangan gagal menanggapi. Prosedur memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk,” ujar dia.

Menurut dia, hukum dan kebijakan yang menolak dan mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat, dan masyarakat lokal, menjadi salah satu pemicu. “RSPO harus berani bersikap, dan memberikan tindakan tegas terhadap anggota yang tidak menjalan ketentuan berlaku. Agar ada keadilan bagi masyarakat adat dan tak ada kesenjangan sosial.”

Colchester menyebutkan, berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia, 60 persen pemegang lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah. Penelitian dari akademis dan para ahli, juga menyebutkan 80 persen lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah.

FPP, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif ini berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Referensi/Link:

http://www.mongabay.co.id/2013/11/07/penelitian-terbaru-banyak-anggota-rspo-melanggar-hak-masyarakat/

Minyak Sawit Berkelanjutan: Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

6 November 2013

EMBARGO NASKAH TIDAK UNTUK DISEBARLUASKAN HINGGA 4:00 AM GMT KAMIS, NOVEMBER 7, 2013

CATATAN EDITOR: Untuk semua publikasi, “Konflik atau Mufakat,” dan bahan-bahan pendukung, silakan kunjungi: http://www.forestpeoples.org/press-room

Minyak Sawit Berkelanjutan: Permainan Pasar atau Komitmen Nyata? Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

16 Studi Kasus Menyimpulkan Beberapa diantara Perusahaan Minyak Sawit Terbesar Dunia Meremehkan Mandat PBB Keputusan Persetujuan Masyarakat Adat & Masyarakat Lokal Sebelum Membabat Hutan, Lahan Gambut

MEDAN, INDONESIA (7 November, 2013)— Anggota RSPO melanggar hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, menurut satu publikasi kajian baru yang diluncurkan hari ini. Kajian tersebut merinci kinerja 16 kegiatan perusahaan kelapa sawit, banyak dijalankan oleh anggota RSPO, melaporkan tentang kegagalan mereka untuk menjunjung tinggi HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Sejak dibentuknya delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standar yang baik tetapi banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji diatas kertas tersebut,” kata Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, organisasi HAM berkedudukan di Jakarta. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat, tetapi untuk tercapainya hal itu kita perlu penegakan yang lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan.”

Buku Konflik atau Mufakat? Sektor minyak sawit di persimpangan, menguraikan kasus-kasus produsen minyak sawit telah gagal mendapat persetujuan dari masyarakat – proses yang diwajibkan oleh RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal sebagai keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Temuan-temuan tersebut juga mendukung bukti-bukti dampak merusak yang disebabkan pengembangan minyak sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Para pendukung berencana menyebarkan kajian ini di pertemuan tahunan RSPO yang berlangsung 11-14 November di Medan, Sumatra Utara. Sasaran rencana mereka fokus dalam tiga tema:

  • Rantai pasok — perjalanan minyak sawit dari perkebunan ke pabrik pengolahan sampai rak supermarket harus transparan dan terlacak utuh.

  • Penegakan — mandat dan kapasitas RSPO mengesahkan lembaga sertifikasi harus diperluas dan ditegakan serta prosedur pengaduan dan mekanisme resolusi konflik lebih bergigi.

  • Komitmen – janji-janji anggota RSPO menghormati HAM dan standar lingkungan harus ditegakan lebih tegas dan tidak diperlakukan sebagai pilihan.

Meningkatnya permintaan global akan minyak sawit memicu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit sepanjang hutan-hutan Asia Tenggara dan Afrika. Keprihatinan mengenai berbagai dampak lingkungan dan sosial mendesak pembentukan Roundtable on Sustainable Palm Oil tahun 2004. RSPO menjalankan sebuah standard sertifikasi untuk kegiatan usaha yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup dalam lahan yang terdampak oleh perkebunan dan juga melingungi tanah dan hutan dengan nilai konservasi tinggi.

Begitu banyak upaya diinvestasikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation, tapi hasilnya sedikit,” kata Jefri Saragih, Eksekutif Direktur Sawit Watch, salah satu anggota RSPO. “Kami bisa tunjukan satu atau dua hasil yang baik dilapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan kelapa sawit di Indonesia saja, dan masalah tersebut kini semakin meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika. Kami mendesak satu tanggapan segera dan meluas atas krisis ini.”

Walaupun beberapa dari perusahaan anggota RSPO sudah mengesahkan standar dan prosedur operasional yang baru, memperbaiki praktek mereka diatas kertas, dan bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha mereka, kenyataan di lapangan menyimpulkan bisnis-seperti-biasa. Pejabat senior perusahaan mungkin sudah bersedia menjalankan pendekatan baru, tetapi sering kali para manejer operasional di lapangan – tidak ada pelatihan wajib dan insentif – gagal menanggapi. Prosedur untuk memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk.

Dibalik kegagalan ‘praktek terbaik sukarela’ ini adalah hukum dan kebijakan nasional yang menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal,” Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, sebuah organisasi HAM internasional. “Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka dan menghormati hak-hak masyarakat.”

Indonesia Memimpin dalam Produksi Minyak Sawit dan Deforestasi

Asia Tenggara dalam pusat dari industri minyak sawit. Indonesia, dimana pertemuan RSPO akan berlangsung, adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, dengan 10.8 juta hektar lahan ditanami pohon kelapa sawit, satu angka diperkirakan meluas hingga lebih dari 20 juta hektar—lebih dari 10 persen seluruh luas daratan Indonesia — hingga tahun 2020. Indonesia juga menempati peringkat ketiga di dunia untuk emisi karbon dioksida, terutama karena deforestasi dan kerusakan lahan gambut Indonesia.

Banyak perkebunan Indonesia, dengan pabrik pengolahan dan fasilitas lainnya dalam rantai pasok minyak sawit, berkedudukan di Sumatra, sehingga menjadikan Medan ibukota tidak resmi industri minyak sawit Indonesia. Kota ini menjadi panggung untuk teater jalanan dan protes selama pertemuan RSPO.

Forest Peoples Programme, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan: Tidak dilaksanakan dan Kurang ditegakkan

Ada 16 studi kasus dalam kajian tersebut mengungkapkan bahwa proses RSPO telah menyebabkan terjadinya pemahaman yang lebih baik atas banyak persoalan penting, baik untuk masyarakat dan perusahaan, dalam mencapai ‘pembangunan berkelanjutan’ berdasarkan penghormatan terhadap HAM. Sejumlah perbaikan procedural mungkin menyediakan suatu dasar untuk penyelesaian konflik lahan, dan beberapa perusahaan telah menanggapi dengan baik dan menyelaraskan operasi mereka untuk lebih baik menampung sumber mata pencaharian dan tuntutan masyarakat.

Tetapi banyak anggota RSPO menjalankan proses yang sangat singkat dalam mendapatkan keputusan persetujuan masyarakat yang jauh dari ‘bebas’, ‘didahulukan’ and ‘diinformasikan.’ Di wilayah konsesi PT Permata Hijau Pasaman I, anak perusahaan multinasional Wilmar International berkedudukan di Singapura, di Sumatra Barat, Indonesia, proses pembebasan lahan bercirikan konsultasi selektif antara perusahaan dan perwakilan masyarakat yang terkooptasi. Dalam kasus Tanjung Bahagia Sdn Bhd, anak perusahaan Genting Plantations, tanah dan hutan terusa digusur dan ditanami meskipun masyarakat bersikukuh menolak.

Banyak perusahaan juga gagal mengikuti prosedur RSPO dengan mengabaikan langkah-langkah prasyarat untuk mengakui hak-hak adat. Di Kalimantan Barat, Indonesia, terjadi kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas, lebih memihak elit lokal daripada masyarakat panggarap lahan Melayu setempat. Di Kalimantan Timur, Indonesia, PT Rea Kaltim Plantations, dimiliki oleh perusahaan Inggris REA Holdings PLC, tidak melakukan pemetaan partisipatif atau penelitian kepemilikan tanah sebelum pembebasan lahan. Meskipun begitu, hal ini telah diakui oleh perusahaan dan pemetaan telah dimulai.

Kurang Penegakan Memicu Konflik dan Pengunduran dari RSPO

Penistaan hak kerapkali memicu konflik yang tidak berimbang, saat protes dari masyarakat lokal dihadapkan dengan penangkapan dan kekerasan fisik. SG Sustainable Oils Cameroon PLC di Selatan Barat Kamerun, dimiliki oleh perusahaan Amerika Herakles Farms, sebenarnya mundur dari RSPO bulan September 2012 sebagai reaksi terhadap pengaduan resmi terhadap dirinya dan kritik meluas atas proyek perusahaan. Di PT Permata Hijau Pasaman I, konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal mengarah pada sejumlah penangkapan dan tunggakan satu perkara pengadilan di Pengadilan Tinggi di Indonesia.

Kajian tersebut juga menunjukan bahwa mekanisme resolusi konflik yang ada, termasuk milik RSPO, belum menghasilkan nyata bagi masyarakat lokal. Proses resolusi konflik International Finance Corporation (IFC) Compliance Advisor/Ombudsman (IFC CAO) dan RSPO, kendati membentuk beberapa preseden penting, sayangnya kurang mandat dan kapasitas utnuk memulihkan banyak sengketa antara perusahaan dan masyarakat.

Kurang niat baik dan transparansi perusahaan semakin memperparah keberhasilan mekanisme IFC CAO. Sebagai contoh, dalam PT Asiatic Persada (PT AP) di Jambi, mediasi IFC CAO digagas tahun 2012, setelah perusahaan menggusur pemukiman masyarakat yang menolah ke sungai-sungai kecil terdekat, terhenti total akibat PT AP dijual oleh Wilmar tanpa konsultasi dengan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses mediasi. Wilmar benar-benar cuci tangan dan masalah yang Wilmar ciptakan sendiri.

RSPO hanya berhasil jika komitmen para anggotanya buat adalah sungguh-sungguh,” simpul Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme. “Sertifikasi RSPO tidak dimaksudkan menjadi satu permainan pasar. Harusnya sertifikasi ditujukan untuk menunjukan satu pengabdian sepenuh hati untuk menghormati hidup dan mata pencaharian masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan tanah yang mereka sebut sebagai rumah. Sebagai anggota RSPO kami mendesak RSPO sebagai satu kesatuan untuk mempertegas kembali komitmen ini dan menjalankannya.”

# # #

Forest Peoples Programme (FPP):

FPP bekerja dengan masyarakat penghuni hutan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, untuk membantu mereka mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka, mendirikan organisasi mereka sendiri, dan bernegosiasi dengan pemerintah dan perusahaan dalam menentukan cara terbaik untuk melestarikan dan mewujudkan pembangunan ekonomi di lahan mereka. Visi dari organisasi ini adalah hutan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat penghuni hutan dalam cara yang menjamin kelangsungan mata pencaharian, keadilan, dan kesejahteraan yang didasarkan pada penghormatan atas hak, pengetahuan, kebudayaan, dan identitas mereka. FPP juga telah melakukan kerja yang ekstensif di Asia Tenggara tentang pluralisme hukum serta kesempatan dan tantangan yang dialami oleh masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai akibat dari rezim hukum plural. Sebagai tambahan, FPP juga terlibat dalam penelitian, advokasi, dan kerja lapang terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara dan dampak sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Untuk informasi lebih lanjut silakan kunjungi www.forestpeoples.org.

Sawit Watch:

Sawit Watch didirikan pada tahun 1998 dan sejak saat itu telah membangun jaringan dengan lebih dari 130 anggota dan kontak lokal yang bekerja dengan puluhan komunitas lokal di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Mandat Sawit Watch adalah untuk mendukung komunitas lokal yang kehilangan hutan dan mata pencaharian mereka sebagai akibat dari ekspansi kelapa sawit skala besar, dan untuk mendukung komunitas penghuni hutan yang terus menolak pembangunan ini. Melalui mandat ini, Sawit Watch bekerja menuju konservasi dan restorasi bagi hutan di Indonesia dan mempromosikan kesepakatan terbaik yang paling mungkin bagi komunitas tersebut, yang memilih untuk hidup di tengah perkebunan kelapa sawit. Selain aktivitas-aktivitas peningkatan kesadaran komunitas, mereka terlibat dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan jaminan hak atas lahan mereka dan mempertahankan hukum tradisional (adat) mereka. Sawit Watch juga membantu komunitas untuk mengembangkan atau mempertahankan pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.sawitwatch.or.id.

Transformasi untuk Keadilan INDONESIA:

Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA) adalah sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) Indonesia yang berkedudukan di Jakarta yang berkerja mendorong terwujudnya hak konstitusional rakyat menuju keadilan, kesejahteraan dan jatidiri bangsa Indonesia. Tujuan TuK INDONESIA adalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan keadilan, HAM, solidaritas sosial, peningkatan kapasitas mayarakat, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi pasar dan modal, yang akan melahirkan Indonesia yang bebas dari praktek korupsi, jaminan kepastian hukum, kelestarian lingkungan hidup, hutan dan sumber daya alam, integrasi sosial dan keberpihakan Negara yang menghasilkan kesejahteraan rakyat. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.tuk.or.id

Referensi/link:

http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/11/Conflict%20or%20Consent%20press%20release_FINAL_7Nov_Bahasa_0.pdf