Pos

MUFG – Koalisi Masyarakat Sipil Menuntut Bank MUFG dan Danamon

Koalisi Masyarakat Sipil Menuntut Bank MUFG dan Danamon untuk Ikut Bertanggung Jawab terhadap Kerusakan Hutan, Krisis Iklim dan Pelanggaran HAM di Indonesia.

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg-2

siaran-pers-koalisi-masyarakat-sipil-menuntut-bank-mufg-2

Bank Danamon jadi anak perusahaan MUFG yang mendapatkan pengecualian untuk mematuhi kebijakan minyak sawit dan kehutanan terbaru MUFG. Hal melemahkan kualitas Laporan Keberlanjutan Tahunan dan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan.

Koalisi masyarakat sipil hari ini melakukan aksi protes di depan kantor cabang Bank Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) di Jakarta. Koalisi menyerukan agar MUFG berhenti mendanai krisis iklim melalui kucuran dana yang diberikan untuk beberapa perusahaan-perusahaan tambang dan agribisnis besar di Indonesia.

Koalisi juga menuntut agar MUFG segera mengadopsi standar “Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi” (NDPE), dan menerapkannya pada semua pembiayaan yang dilakukan oleh MUFG maupun anak-anak perusahaannya. Termasuk nasabahnya di Indonesia yang meliputi beberapa grup perusahaan terbesar yang memproduksi minyak sawit, bubur kertas & kertas, seperti Grup Sinar Mas (SMG), Royal Golden Eagle (RGE), Grup Salim dan Grup Jardine Matheson. – Jakarta, 5 April 2021

“MUFG dengan cepat mengembangkan bisnisnya di Indonesia dan baru-baru ini mengakuisisi bank terbesar keenam di Indonesia yaitu Bank Danamon. Namun, anak perusahaan baru ini tidak diwajibkan untuk mematuhi kebijakan baru minyak sawit dan kehutanan milik MUFG. Hal ini menjadikan Bank Danamon sebagai anak emas yang mendapatkan pengecualian untuk mematuhi kebijakan MUFG hingga bisa memanfaatkan celah pada level regional untuk mengeksekusi transaksi di sektor-sektor yang terlarang dan berisiko”, ungkap Edi Sutrisno Direktur TuK INDONESIA.

Dengan tidak adanya komitmen yang jelas bagi praktik terbaik seperti “NDPE”, kebijakan MUFG seperti komitmen setengah hati. Bahkan di sektor kehutanan, masih menerima standar Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Hal ini menjadi sebuah standar yang lemah sebab masih mensertifikasi perusahaan perusak hutan alam, lahan gambut dan berkonflik dengan masyarakat. Terbukti sejak tahun 2016, MUFG telah memberikan pinjaman lebih dari USD 500 juta kepada Sinar Mas Group (SMG) sebagai salah satu grup perusahaan biang kerok kebakaran yang berulang di Indonesia.

SMG juga tercatat sebagai grup korporasi dengan dokumentasi pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan terburuk, yang melibatkan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan. MUFG juga menjadi salah satu bank yang masih mendanai Indofood, perusahaan makanan raksasa yang sudah bertahun-tahun terdokumentasi melakukan pelanggaran hak buruh kelapa sawit pada anak perusahaannya PT. London Sumatra dan sekarang menghadapi gugatan dari serikat buruh atas pemutusan hubungan kerja yang tidak adil.

Hingga saat ini masyarakat Kelompok Tani Sekato Jaya di Lubuk Mandarsah, Jambi yang tergabung dalam Kelompok Tani Sekato Jaya masih terus berjuang mempertahankan lumbung pangan mereka yang dirampas dan sempat dirusak oleh salah satu anak perusahaan SMG, yaitu PT. Wirakarya Sakti (WKS). “Kami hidup disini sangat memerlukan lahan karena demi kehidupan masa depan anak-anak kami. Kami ingin hidup tenang, damai, tenteram di sini. Dan saya minta tolong kepada PT. WKS mengertilah pada masyarakat yang susah. Tolong kembalikan lahan adat kami di Desa Lubuk Mandarsah ini”, ungkap Ibu Minarti, petani perempuan di Desa Lubuk Mandarsah yang menanam dan menjual pisang, singkong dan cabai untuk menghidupkan keluarganya.

MUFG juga secara aktif mendanai perusahaan yang dengan sengaja menggunakan api untuk membuka lahan yang seringkali secara ilegal. Setelah tahun 2015, ketika kebakaran melanda Indonesia dan membumihanguskan 2,6 juta Ha hutan dan lahan gambut, MUFG terus memberikan lebih dari USD 1,2 miliar kepada operasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas dan kertas yang menggunakan api untuk membuka hutan dan lahan gambut di Indonesia. Namun, hingga saat ini MUFG tidak memiliki kebijakan untuk mengevaluasi pembiayaan pada perusahaan pembakar hutan atau perusahaan yang pada operasional rantai pasoknya terlibat pembakaran hutan.

MUFG juga merupakan salah satu bankir bahan bakar fosil terbesar di dunia, dengan pembiayaan besar untuk pembangkit listrik batu bara, ekstraksi minyak, gas, dan tar sands, di Indonesia sendiri MUFG Securities Asia Limited telah memberikan pinjaman pada anak usaha PT. Adaro Energy Tbk (ADRO) yang saat ini tercatat menjadi perusahaan tambang batu bara terbesar yang beroperasi di Indonesia. Berdasarkan laporan Banking on Climate Chaos terbaru, MUFG bertanggung jawab atas pinjaman sebesar USD 148 miliar untuk industri bahan bakar fosil antara 2016-2020, menjadikannya bankir bahan bakar fosil terburuk di Asia dan mengunci kita pada ketergantungan bahan bakar fosil pada saat kita perlu segera beralih ke energi bersih.

“Sudah seharusnya bank-bank besar bertransformasi dari pembiayaan konvensional menjadi pembiayaan berkelanjutan. Sebab, saat ini bank tidak dapat lagi menghindari tanggung jawab atas pembiayaan sembrono mereka. Sebagai bank terbesar di Jepang, MUFG memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menjadi bank yang lebih bertanggung jawab dan memainkan peran integral dengan berkomitmen untuk menjaga tegakan hutan, menghormati HAM dan segera mewajibkan seluruh perusahaan yang didanai MUFG untuk menjunjung tinggi nilai-nilai dan komitmen MUFG, termasuk dengan menegakkan standar lingkungan dan sosial melalui perjanjian kontrak; dan menghentikan hubungan dengan pihak-pihak yang merusak masa depan berkelanjutan kita atau melanggar HAM. Perubahan positif oleh MUFG akan berdampak besar pada sektor keuangan lainnya,” tukas Edi.

Dr Bayu Eka Yulian, Sekretaris Pusat Studi Agraria IPB University menyebutkan. “Jika air mata yang terjadi di hilir, seperti hilangnya hutan penghidupan masyarakat dan kriminalisasi rakyat kecil adalah akibat, maka salah satu mata air di hulu yaitu modal (kapital) adalah sebab. Sehingga para aktor harus memikirkan kembali pendekatan keputusan investasi dan alokasi modal dengan menjadikan keberlanjutan sebagai filosofi investasi. OJK dengan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutannya harus menjadi dirigen yang tegas dalam mengorkestrasi gerakan keuangan berkelanjutan ini”.

 

Download Final Siaran Pers

###

Narahubung:
Direktur TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected]/ 0813-1584-9153)
Sekretaris PSA IPB University, Dr Bayu Eka Yulian ([email protected]/ 0811-535-444)

Kontak media:
TuK INDONESIA: Linda Rosalina ([email protected]/ 0812-1942-7257)

Rekam Jejak Pelanggaran HAM Perusahaan Raksasa Sinar Mas Group dan Perlawanan Masyarakat di Garis Depan, RAN 2020

Why are banks and investors still funding Indofood?

Bayar Utang dan Ekspansi Adaro Indonesia Terbitkan Global Bond, Kontan.co.id 2019

Banking on Climate Chaos Report, RAN 2021

PEMBIAYAAN MUFG BERISIKO TERHADAP HUTAN

LAPORAN RESMI PEMBIAYAAN MUFG BERISIKO TERHADAP HUTAN

Mitsubishi UFJ Financial (MUFG) adalah salah satu penyandang dana bagi perusahaanperusahaan terkemuka di dunia yang turut memicu perusakan hutan hujan tropis melalui produksi dan perdagangan komoditas seperti minyak sawit, bubur kertas & kertas. Sejak 2016, MUFG menyediakan hampir USD 3 Miliar pembiayaan yang berisiko terhadap hutan bagi produksi dan perdagangan komoditas terkait deforestasi di Asia Tenggara, Brasil, dan sebagian Afrika. Sektor ini adalah kontributor utama bagi terjadinya perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati melalui perubahan penggunaan lahan yang terkait dengan pelanggaran HAM dan korupsi. Mengatasinya harus menjadi komponen utama dari rencana aksi iklim MUFG dan komitmen yang lebih luas bagi keberlanjutan.

Lebih dari 60% pembiayaan MUFG yang berisiko terhadap hutan disalurkan ke Asia Tenggara, terutama pada sektor minyak sawit, bubur kertas & kertas. MUFG adalah penyandang dana terbesar sektor minyak sawit yang berkantor pusat di luar Asia Tenggara (lihat Bagan 1). Memperluas kehadirannya di kawasan ini melalui akuisisi termutakhirnya pada bank terbesar keenam di Indonesia, yaitu PT Bank Danamon Tbk (IDX: BDMN). MUFG terpapar risiko Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST) tingkat tinggi yang terkait dengan nasabahnya di sektor ini.

Risiko LST yang terdokumentasi dengan baik ini termasuk deforestasi yang meluas, penyuapan, pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan pelanggaran terhadap hak atas tanah.

Beberapa nasabah MUFG, selama beberapa tahun terlibat dalam bencana kebakaran besar di Indonesia, dan diperkirakan telah menyebabkan puluhan ribu kematian dini di seluruh wilayah yang terdampak oleh kebakaran ini serta mengakibatkan kerugian dan kerusakan ekonomi hingga puluhan miliar dolar. Kebakaran ini, yang kemudian dipicu oleh kerusakan gambut yang kaya karbon, telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Pada tahun 2019, kebakaran di Indonesia menghasilkan lebih banyak emisi CO2 daripada kebakaran Amazon dan pada tahun 2015 kebakaran kembali terjadi dengan dampak yang lebih parah, mengeluarkan gas rumah kaca lebih banyak daripada emisi yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian Jepang per tahun.

Download Laporan

Penundaan dan Penjadwalan Ulang: Diskusi “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor”

Penundaan dan Penjadwalan Ulang
Diskusi “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor”
Indonesia memiliki berbagai komoditas perkebunan yang potensial, yaitu kelapa sawit, cokelat, karet, teh, kopi, pala, tebu, dan lain sebagainya. Dari berbagai komoditas tersebut, kelapa sawit menjadi yang paling diandalkan. Produk-produk turunan kelapa sawit memberikan kontribusi ekspor yang sangat besar, sehingga kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang pemasukan terbesar bagi negara.
Namun, eksesnya adalah ekspansi kebun kelapa sawit terjadi secara besar-besaran di Indonesia. Termasuk di dalamnya konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Seringkali pembukaan kebun sawit tidak diikuti dengan perhatian kepada aspek lingkungan dan sosial, termasuk hak-hak masyarakat, sehingga industri ini dipenuhi dengan banyak masalah.
Ekspansi kebun kelapa sawit ini tidak dapat dipisahkan dari investasi sawit yang dibiayai oleh bank dan investor. Sebagai intermediasi keuangan, bank terpapar dampak tidak langsung dari bisnis dan praktik/usaha kliennya, maka dari itu bank perlu bersikap hati-hati dalam mengucurkan dana pinjaman dengan melakukan penilaian risiko lingkungan, sosial dan tata Kelola (environment, social, and governance—atau yang biasa disingkat dengan ESG).
Oleh karenanya, bank perlu sekali menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai penyandang dana dan pengelola resiko. Mereka perlu dengan benar melakukan pembiayaan yang bertanggung jawab kepada debitur yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan kebunnya. Dengan demikian selain keberlanjutan perusahaan yang dibiayai (debitur), keberlanjutan bank, dan keberlanjutan atas hak-hak sosial, lingkungan dan masyarakat juga dapat terpenuhi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menunujukkan komitmennya dalam mewujudkan keuangan berkelanjutan di Indonesia. Selain dengan menelurkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan bersama dengan KLHK, OJK juga menggerakkan Indonesia First Movers on Sustainable Banking. Yang mutakhir, komitmen juga ditunjukkan dalam penerbitan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik.
POJK tersebut dikeluarkan sebagai peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh pelaku sektor jasa keuangan dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. POJK ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan untuk menegakkan keberlanjutan di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank. Meskipun regulasi tersebut belum sempurna, OJK sebagai regulator diharapkan dapat mengarahkan bank dan investor menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan di dalam proses dan praktik pendanaan atau investasi.
TuK INDONESIA sedianya akan mengadakan diskusi dengan topik “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor” pada 28 November 2017 di Bali, di antara deretan side event RT15 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO adalah sebuah asosiasi yang membuat dan menegakkan standar internasional dalam mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, sehingga roundtable yang mereka adakan selalu dihadiri oleh para pemangku kepentingan industri kelapa sawit, mulai dari perusahaan, bank, NGO lokal dan internasional, pemerintah, serta petani sawit dan masyarakat. Sehingga, RT15 RSPO adalah peluang yang baik untuk mendiskusikan peran OJK, bank dan investor dalam pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Sayangnya, acara ini urung dilaksanakan. Meningkatnya status bahaya karena erupsi Gunung Agung membuat ditutupnya Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sebagai titik jalur udara utama keluar dan masuk ke Bali. Para narasumber dan peserta yang telah menyatakan konfirmasi kehadirannya dalam acara tersebut tidak dapat hadir di Bali. Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Bapak Edi Setijawan selaku Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, dan narasumber lainnya yaitu ahli-ahli dalam isu keuangan berkelanjutan, serta bank, yang akan mendiskusikan peran regulator dan pembiaya industri kelapa sawit Indonesia.
TuK INDONESIA akan berupaya mewujudkan diskusi ini dalam waktu dekat. Terutama, untuk menekankan pembagian peran dan kerjasama antara OJK, bank dan investor di dalam pembangunan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Bagaimanapun, transisi menuju keberlanjutan dalam industri ini tidak cukup hanya dilakukan dari sisi pelaku–perusahaan perkebunan dan manufakturnya; tapi juga perlu didukung oleh bank dan investor sebagai penyandang dana, OJK sebagai regulator, ISPO sebagai inisiatif nasional, serta RSPO sebagai inisiatif internasional dalam industri ini.
 

Laporan "In the Red" – Kebijakan bank di sektor pulp dan kertas

In the Red – Kebijakan Bank gagal untuk memastikan mereka akan menghindari dari investasi tidak bertanggung jawab di dalam industri kertas
Sebuah penilaian baru oleh EPN (Environmental Paper Network) atas kebijakan-kebijakan bank telah diselesaikan dan diterbitkan di sini: http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
Penilaian ini mempelajari seberapa siap sektor keuangan dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial dari keterlibatan sektor keuangan dengan industri pulp dan kertas. Dari 2016 sampai dengan 2017 kami melakukan penilaian benchmark atas kebijakan-kebijakan pulp dan kertas dari 42 bank swasta terhadap persyaratan yang ditetapkan pada tahun 2017 di dalam Green Paper, Red Lines. Red Lines adalah kriteria lingkungan dan sosial, yang mengartikulasikan persyaratan minimum yang perusahaan-perusahaan pulp dan kertas wajib penuhi sebelum investasi dipertimbangkan ke dalam perusahaan-perusahaan tersebut.
42 bank terpilih tersebut terdiri dari salah satu pemodal terbesar sektor pulp dan kertas, dan/atau terlibat di dalam “Kesepakatan-Kesepakatan yang Tidak Jujur”, misalnya proyek pabrik kertas yang menjadi subyek kampanye aktif dari anggota organisasi kami karena dampak lingkungan dan sosial mereka yang berbahaya. Kami melakukan sebuah studi kualitatif yang mendalam atas kerangka kebijakan yang tersedia secara publik dari tiap bank dan menilai hingga sejauh apa kebijakan bank melindunginya dari risiko klien untuk melanggar setiap Red Line.
Hasil dari penilaian kami menyingkap bahwa kebijakan-kebijakan bank sangatlah mengecewakan. Sayangnya tidak satupun dari bank yang kami nilai mampu benar-benar melindungi dirinya dari klien yang melanggar Red Lines. Memang untuk sebagian besar Red Lines, kebanyakan bank tersebut, paling bagus hanya terlindungi sebagian. Kami hanya dapat menyimpulkan kalau sektor perbankan tidak memiliki kebijakan yang sesuai untuk menghindari investasi ke dalam proyek dan perusahaan pulp dan kertas yang merusak.
Red Lines kami sangat didukung oleh lebih dari 140 organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia. Kami harap sektor perbankan akan bekerja sama dengan kami untuk mendorong industri pulp dan kertas menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Seluruh penilaian dan rekomendasi tersedia di sini: http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
 

Obrolan Soal Bank, Masyarakat, dan Lingkungan

Oleh: Jalal
 
Saya mendapat banyak sekali ucapan selamat dari orang-orang yang saya kenal setelah acara peluncuran website www.forestsandfinance.org di Singapura dan Jakarta.  Sebetulnya, peran saya sendiri sangat terbatas di kedua acara itu, hanya menjadi moderator.  Ada juga bantu-bantu sedikit menerjemahkan, juga menyebarkan undangan ke acara itu.  Tetapi, kontribusi kecil itu tak mencegah para kenalan itu memberikan ucapan selamat dan komentar.
 
Di antara mereka yang mengirimkan ucapan selama lewat aplikasi WA, baik secara pribadi maupun lewat WAG, juga menelepon dan ketika bertatap muka, adalah para bankir dan petinggi korporasi.  Secara rerata, mereka sudah kenal saya sejak lama, mengetahui dengan persis apa saja aktivitas saya yang terkait dengan keberlanjutan, dan selama  ini mereka banyak membicarakan bagaimana mereka juga bisa mengaplikasikannya di level individu dan keluarga. 
 
Peluncuran website tersebut, dengan latar pemikiran di belakangnya—sebagaimana yang saya tuliskan dalam tiga artikel di media massa daring Tempo, GeoTimes dan Mongabay—rupanya mengubah pembicaraan kami.  Terutama, karena ide di baliknya adalah transparensi dan akuntabilitas keputusan pembiayaan oleh bank.  Bagian berikut ini bukanlah pembicaraan saya dengan satu orang, melainkan dengan kumpulan para bankir dan petinggi korporasi kenalan saya itu.  Ini juga bukan rekaman pembicaraan yang presisi, namun semua komponen diskusi di antara kami hendak direpresentasikan di sini.    
 
****        
Bankir/Eksekutif (BE): “Mas, selamat ya, acaranya di Singapura dan Jakarta sukses.”  
 
Jalal (J): “Terima kasih. Itu kan cuma peluncurannya. Yang penting sih akan dipake orang untuk mberesin situasi apa nggak.  Kalo nggak dipake, ya percuma.  Tapi saya beneran berharap ini bisa bikin orang mikir lebih jauh soal gimana bank bisa lebih mikirin tanggung jawabnya ketika ngambil keputusan investasi.”      
 
BE: “Susah, Mas. Bankir kan nggak ngerti yang begitu-begitu. Masak diminta untuk beneran meriksa debiturnya njalanin amdal-nya sih? Kan bukan kompetensi kami juga.”
 
J: “Hehe. Bankir juga nggak ngerti detail bisnis tambang batubara, migas, kelapa sawit, atau yang jualan gorengan di pinggir jalan. Bankir nggak punya kompetensi di situ, tapi kan ngambil keputusan soal itu.”    
 
BE: “Menurut saya itu beda, Mas.  Kami punya kualifikasi untuk menilai kelayakan usahanya.  Kami punya kompetensi itu.  Kami nggak ngerti detail bisnisnya, tapi kan ngerti bahwa bisnisnya layak.”
 
J: “Layak secara finansial dan ekonomi, ya?”
 
BE: “Setidaknya secara finansial. Kalo dampak ekonominya sih ya nggak juga bisa kami pahami sepenuhnya. Yang mikro tentu baik buat perusahaan.  Tapi kalo mereka mbayar pajak, tentu saja akan bagus buat ekonomi makro. Kalo mereka mbayar pekerjanya dengan baik, dan bikin macem-macem bisnis dengan pemasoknya, tentu itu dampak ekonomi ikutannya bagus.  Multiplier effect lah.”
 
J: “Jadi memang utamanya kelayakan finansial ya? Kalo sampe sering didemo karyawan dan masyarakat atau didenda besar karena merusak lingkungan, apa mereka juga dianggap layak finansial?”
 
BE: “Itu risiko non-performing loan alias NPL-nya jadi tinggi. Tapi kami dah mikirin juga gimana ngecilinnya. Kan kami melakukan manajemen risiko, di antaranya dengan asuransi dan macam-macam upaya lain.”
 
J: “Tapi ketika ngambil keputusan, apa temen-temen nggak bisa menghitung peluang dan magnitude risiko sosial dan lingkungan itu?”
 
BE: “Susah, Mas.  Itu kan nggak pasti.”
 
J: “Memang. Tapi bukannya risiko yang lain juga gak pasti?  Kalau pasti sih bukan risiko namanya. Terkait risiko sosial kan ilmu sosial bisa banget mbantuin meramalkan apa saja sumber gejolak sosial, termasuk dari masalah-masalah lingkungan.  Kalo amdalnya beres, itu semua bisa dibaca dengan baik, dan kita tahu gimana caranya mengelola itu.”
 
BE: “Tuh, kan. Yang penting ada amdalnya! Kami mastiin itu koq, selain ijin-ijin yang lain.”
 
J: “Masalahnya, sebagian besar amdal nggak beres.  Bukan cuma soal isinya yang jaka sembung bawa golok sama konteks lingkungan dan sosial dengan dampak bisnis, tapi juga cara ndapetinnya nggak beres.”
 
BE: “Sekali lagi, Mas. Kami nggak punya kapasitas buat menilai amdalnya beres apa nggak. Kami juga sulit dong untuk menelisik apakah perijinannya bener-bener diperoleh sesuai dengan governance dan etika. Kami mendukung penegakan itu, tapi sulit kalau harus memastikan bahwa debitur kami juga sama ketatnya dengan kami.
 
J: “Jadi, kalian nrima aja amdal yang nggak masuk akal, walaupun sadar bahwa amdal itu yang akan dipake sebagai alat pengelola risiko sosial dan lingkungan?  Kalo bisnisnya dihentikan masyarakat atau pemerintah lantaran dokumen dan praktik pengelolaannya nggak beres, apa bank nggak akan terpengaruh?  Kalo di kemudian hari ada debitur yang ketauan bahwa ijinnya nggak beres kemudian dicabut, dan bisnisnya dihentikan sementara bahkan permanen, apa bank nggak dirugikan? 
 
BE: “Selama ini ya begitu, yang penting ada amdal dan perijinan lainnya. Tapi sekarang jadi kepikiran banget.  Itu kan bawa risiko bisnis buat kami.”
 
J: “Iya.  Makanya kami juga sering ngingetin, jangan mbayarin kelapa sawit yang mbuka hutan primer, jangan mbayarin kalo itu di atas lahan gambut, walau yang minjem itu grup yang kayaknya bonafid.  Risikonya kegedean.  Temen-temen dari Wetlands Internasional udah nunjukin bukti-bukti kalo sawit di atas gambut itu banyak yang rubuh, padahal masih di tahap ‘belajar buah’, kayak di tahun ke 5 sampe 7.  Kami juga udah ndiskusiin soal stranded assets di sektor pertambangan batubara dan migas. Itu risiko finansial yang gede buat bank.”
 
BE: “Bener. Udah ada beberapa bankir yang bilang bahwa sawit-sawit yang di atas lahan gambut itu memang bikin risiko gede.  Yang kebakaran kemarin itu juga kebanyakan kebun di atas atau di sekitar gambut.  Nggak tau bank mana saja yang kena, tapi yang jelas pasti banyak lah.  Mungkin semua bank yang mbayarin sawit juga kena.  Kalo batubara kita liatnya memang harga produknya terjun bebas beberapa tahun belakangan, jelas banyak bikin pusing juga.  Minyak kita nggak main di situ lagi, karena harganya udah nggak masuk akal buat pengembangan bisnis baru.  Kita tadinya nggak liat itu sebagai risiko sosial dan lingkungan. Paling-paling kalau harganya membaik lagi, ya mereka mulai jalan, dan kami bisa mbayarin juga. Kan menambang batubara dan minyak masih legal?”    
 
J: “Persis di situ yang mau saya bilang.  Kebijakan dan prosedur penapisan serta pengelolaan sosial dan lingkungan yang saya sudah omongin berkali-kali ketika kita ketemu sesungguhnya itu juga buat kebaikan bank.  Amdal yang nggak beres tentu akan bikin risiko bisnis buat si perusahaan, sektor yang berisiko tinggi, dan perusahaan yang nggak peduli masyarakat dan lingkungan akibatnya juga risiko NPL buat bank.  Pas Konferensi Paris, gerakan divestasi batubara dan minyak itu sudah mencapai USD3,4 triliun, dan yang melakukannya beneran nggak akan kembali lagi, karena dasar pemikirannya memang dampak lingkungan.  Buat bank, apa yang terjadi ini memang bikin lebih repot ngambil keputusannya, juga mungkin di awalnya lebih sedikit duit yang bisa disalurkan, tapi keputusan kreditnya akan jadi lebih prudent.”
 
BE: “Iya. Kami juga diminta untuk ‘know your customer’, tapi jelas kami nggak kenal-kenal amat sama mereka, sedeket yang seharusnya.  Kami nggak tau apakah customer kami memang baik-baik apa nggak, bakal mbalikin duit dengan tertib apa nggak.  Bahkan, kayaknya kalo ngurusin pebisnis gede, kayaknya jauh lebih sering ketipu.”
 
J: “Masak sih?”
 
BE: “Haiyah, pura-pura nggak tau deh.  Kan ada tuh pernyataan ‘kalo minjem duit sepuluh juta, itu masalahnya nasabah; tapi kalo minjemnya seratus miliar, itu masalahnya bank.’ Itu beneran, Mas.  Kami seneng bisa minjemin duit gede.  Nggak usah ngurusin banyak pihak, target cepet dapet.  Tapi ya gitu itu deh.”
 
J: “Itu juga yang bikin kami, para aktivis keberlanjutan, berkonsentrasi di penapisan investasi buat korporasi.  Gimanapun, kalo korporasi kan dampaknya gede banget, baik yang positif maupun yang negatifnya.  Makanya perlu dijagain.”
 
BE: “Tapi yang sering diajuin aktivis itu kejauhan dari realitas, Mas.”
 
J: “Hah! Kalian itu doyannya ngeles.  Katanya korporasi termasuk bank itu tempatnya inovasi yang disruptif.  Diajakin mikir gimana caranya ngelola risiko dengan lebih komprehensif aja bilangnya susah.  Kalo tertib ngelola risikonya kan bisnis kalian juga jadi lebih bagus.  NPL itu kan paling nakutin bank.  Juga, kalo kalian terus-terusan diketahui ngasih duit ke perusahaan yang nggak bener, masak nggak ngeri sama risiko reputasi sih?”
 
BE: “Tapi kami kan harus investasi, Mas.  Itu para nasabah yang naruh duit kan ngarepin bunga atau bagi hasil.  Kalo kami susah naruh duitnya, karena dibatesin sama persyaratan ini dan itu, kan repot juga mbayarin bunga dan bagi hasil?  Mereka kan juga harus bisa narik duitnya sewaktu-waktu.  Kita perlu njagain itu.”
 
J: “Ngerti. Makanya, jangan sampe risikonya bank itu nggak terkelola.  Kalo perusahaan yang kalian pinjemin duit itu pada kena gangguan operasi karena kelakuan mereka sendiri, kan kalian juga yang mumet.  Inget lho, di enterprise risk management mutakhir, yang namanya risiko itu kan ancaman dan peluang sekaligus.  Peluangnya dateng dari bisnis-bisnis yang jauh lebih baik.”
 
BE: “Maksudnya, Mas?”
 
J: “Ente kurang piknik neh. Hehehe. Banyak banget penelitian yang mbuktiin bahwa bisnis yang beneran peduli pada lingkungan dan masyarakat itu jauh lebih nguntungin dibandingin bisnis yang nggak peduli.  Baru-baru ini saya beli buku The B Corp Handbook yang ditulis Ryan Honeyman.  Di situ Robert Shiller, yang menang Nobel ekonomi 3 tahun lalu jelas-jelas bilang bahwa B Corporations—yaitu perusahaan-perusahaan yang bersumpah untuk membawa benefit alias manfaat terbesar buat masyarakat, dan nggak mau bawa mudarat sekecil apapun—bakal bikin keuntungan yang jauh lebih gede dibandingin perusahaan-perusahaan lain.  Yang ngomong itu ekonom super-ngetop lho.  Penelitian yang menghubungkan kinerja sosial dan lingkungan dengan keuntungan finansial itu seabreg, dengan jelas banget bilang hubungannya positif.  Google dong.”
 
BE: “Udah pernah liat juga, Mas. Tapi itu semua kan di luar negeri. Indonesia kan aneh.  Belum ada kan penelitian yang bilang hal yang sama di negara kita?  Kalo di sini kita dianggap berbuat baik, itu mancing proposal lebih banyak.  Terutama, hehehe, dari Senayan.”
 
J: “Masih kurang google tuh.  Coba tambahin kata Indonesia.  Hasilnya sami mawon, Bro.  Kalo perusahaan perhatian pada masyarakat dan ogah ngrusak lingkungan, macem-macem indikator finansialnya juga kuat.  Ini bukan soal jadi sinterklas, tapi soal ngelola dampak bisnis inti.  Sebetulnya, kalo ada perusahaan jago ngurusin masyarakat dan lingkungan, jelas itu pertanda bahwa tata kelola sama manajemennya beres.”
 
BE: “Bener juga. Bisa dikirimin?”
 
J: “Haha. Iya deh. Tunggu aja di inbox. Tapi jangan males bacanya.  Agak banyak yang bisa dikirimin.  Termasuk bukti-bukti bahwa bank yang lebih hati-hati ngasih kredit, dengan menghitung aspek environment, social and governance—disingkat ESG—itu juga jauh lebih rendah NPL-nya, dan punya pangsa pasar yang semakin sesuai dengan kebijakan itu.  Pangsa pasarnya sendiri terus membesar.  Jadi sekarang bisa dibilang bukan cuma niche market doang.”
 
BE: “Oh ya?  Mantep tuh. Ditunggu, Mas. Biar gampang ngomong sama temen-temen di dalem.  Tapi susah juga ya kalo Pemerintah kita nggak bergerak ke situ.  Bank biasanyanya sih cuma gerak kalo udah jadi regulasi.  Lagian, seperti data yang ada di website elu itu, bukannya duitnya banyakan dateng dari negara-negara lain? Kalo Malaysia, Cina, Jepang, sama Singapura nggak ngetatin persyaratan kreditnya, emang akan ada artinya?”
 
J: “Mbok ya jangan masang prasangka butuk melulu sama Pemerintah.  Akhir 2014 OJK sama KLHK sudah bikin Roadmap Keuangan Berkelanjutan.  Masih banyak ruang perbaikannya, tapi jelas penting untuk disyukuri.  Tahun ini juga, dan tahun depan kemungkinan sudah akan ada beberapa regulasi turunannya.  OJK sendiri bagian dari Sustainable Banking Network atau SBN, yang bisa memengaruhi negara-negara lain untuk bergerak ke arah yang sama.”
 
BE: “Tapi Malaysia, Singapura sama Cina apa mau begitu?  Bukannya sekarang juga udah terbukti paling ngrusak hutan kita?”
 
J: “Yang ditaruh di website www.forestsandfinance.org itu adalah sektor yang paling bawa risiko kerusakan hutan.  Ya belum pasti mereka merusak.  Soal Malaysia dan Cina juga kita musti lebih hati-hati membacanya.  Dalam laporan WWF yang terbit tahun lalu—Sustainable Finance in Singapore, Indonesia and Malaysia—memang dinyatakan bahwa bank-bank di Indonesia itu yang lebih maju.  Tapi jelas, mereka juga mengejar.  Di laporan itu dinyatakan Singapura yang paling ketinggalan, tapi segera mereka ngeluarin aturan soal pelaporan keberlanjutan yang bakal bikin mereka lebih transparen.  Di Malaysia kayaknya memang belum ada perkembangan.  Cina, tahun lalu juga, ngeluarin dokumen Establishing China’s Green Financial System, lengkap dengan petunjuk detail untuk masing-masing sektor keuangan.  Sebagai dokumen, kayaknya Cina yang paling impresif.  Lha wong yang mbikinin itu salah satunya Simon Zadek, dewa sustainable financing.  Tapi memang kita masih harus nunggu implementasinya.  Tapi kita tahu, di Cina kalo sudah jadi dokumen pemerintah, ya akan dijalanin.”
 
BE: “Hahaha. Kita yang masih gini-gini aja dibilang yang paling maju ya?  Jadi, kalau liat laporan WWF itu, kita kayaknya paling perlu ndorong dan/atau maksa Malaysia berubah ya?”
 
J: “Hmmm, bener.  Tapi sejujurnya kita perlu khawatir juga sama yang lain.  Kalo kita liat status SBN terakhir, Malaysia, Jepang dan Singapura itu boro-boro punya sustainable banking guidelines, mulai ngembangin aja belum.  Jepang sudah jadi pendukung SBN lewat Kementerian Keuangannya, dan Singapura berusaha masuk lewat aturan pelaporan itu.  Tapi ya masih jauh dari harapan lah.  Malaysia itu yang paling menakutkan.  Naruh duit di sektor-sektor yang paling nimbulin risiko deforestasi, tapi paling terbelakang soal ini.”
 
BE: “Nggak ada harapan, Mas?”
 
J: “Hehehe, nggak begitu juga.  Kan kalau mereka naruh duit lalu bisnisnya gagal, duit mereka juga berisiko hilang.  Jadi, ya tetep bisa diajakin ngobrol. Kebetulan SBN tahun ini di Indonesia.  Bali tepatnya, di awal Desember nanti.  Kalau Pak Muliaman, bos OJK kita, bisa ngomong sesuatu yang membuat Malaysia—juga Jepang dan Singapura, semoga mereka datang—tiba-tiba tobat, kayaknya perubahan bisa cepet terjadi.  Lebih bagus lagi kalau Pak Jokowi sekalian yang ngomong.  Bilang kalau kita terbuka pada investasi asing, tapi investasi asing yang mempromosikan keberlanjutan, yang bermanfaat buat masyarakat dan melindungi serta memperbaiki lingkungan, dampaknya bisa sangat dahsyat.”
 
BE: “Apa Presiden kita pasti datang?”
 
J: “Nggak tau lah.  Memangnya saya Pak Jokowi?  Tapi kan sepantasnya begitu.  Ini kumpulan penggede bank sentral dan otoritas jasa keuangan bakal kumpul.  Kita harusnya ya bisa memanfaatkan momentumnya untuk ngomong soal yang kayak gini-gini.  Kita mau duit yang halal, dan dipakenya dengan thayib.”
 
BE: “Jadi ini beneran kepentingan bangsa kita, Mas?  Yakin nih, bukan pesenan LSM asing?”
 
J: “Duh, kenyang deh gua ditanyain kayak gini melulu.  Masak sih buat keberlanjutan sendiri, buat masyarakat sendiri, dan buat lingkungan kita sendiri, biar anak-cucu masih pada bisa hidup dengan air cukup, udara bersih, bisa makan dari hasil bangsa sendiri, masih juga dicurigain?  Selama ini duit asing masuk itu banyakan ke mana? Modal asing di swasta sama hibah dan pinjaman asing yang diterima Pemerintah kita berapa ribu triliun?  Berapa ribu kali lipat yang diterima LSM coba?”
 
BE: “Iya juga sih.  Kalau duit asing masuk ke swasta nggak pada protes ya?  Kalo utang Pemerintah sih masih banyak juga yang teriak-teriak.”
 
J: “Udah dari dulu kita kerjasama sama asing.  Buat merdeka saja kita butuh pengakuan asing, nggak bisa cuma menang perang dan nyatain diri merdeka.  Buat belajar banyak hal baik kita juga dapat dari yang asing. Nggak semua hal yang berasal dari luar Indonesia jelek kan?  Lha wong agama-agama majoritas di negara kita aja agama asing, hehehe.  Begitu juga hibah, hutang, investasi dan bantuan pengetahuan dari negeri-negeri lain, nggak semuanya jelek.  Juga, nggak semua yang berasal dari negeri sendiri itu mulia.  Kalo duit dari negeri sendiri terus dipake nyengsarain masyarakat dan ngrusak lingkungan, apa itu lebih bagus daripada duit asing yang kita pake buat mbangun masyarakat dan njagain juga mberesin lingkungan yang rusak?”
 
****
 
Begitulah, hari-hari menjelang libur Idul Adha saya dipenuhi oleh pembicaraan soal perbankan berkelanjutan.  Sejak peluncuran website www.forestsandfinance.org di Singapura lalu di Jakarta dan sesudahnya, terutama ketika bercakap-cakap dengan banyak orang seperti yang saya rekam di atas, di benak saya kerap muncul ingatan terhadap kalimat sakti: “If financial institutions don’t understand and reward sustainable behaviour, progress in developing more sustainable business practices will be slow.” Kalimat itu diucapkan Bjorn Stigson, sang mantan orang nomor 1 di WBCSD.  Saya membacanya di laporan WWF dan BankTrack, entah berapa tahun lalu.  
 
Shaping the Future of Sustainable Finance: Moving from Paper Promises to Performance, begitu tajuk dokumen itu.  Saya tidak tahu apakah kinerja perbankan dalam perlindungan sosial dan lingkungan sudah membaik sejak itu.  Tapi yang jelas, ruang perbaikannya masih sangatlah luas.  Rapor kebijakannya saja belum memuaskan, apalagi implementasinya.  Tapi saya percaya bahwa transparensi yang dipromosikan Rainforest Action Network, TuK Indonesia, dan Profundo lewat websiteyang baru diluncurkan itu akan bikin perubahan signifikan.  Semoga secepat yang kita butuhkan.  Agar apa yang dinyatakan Stigson itu tidak terus menggelayuti hidup ini, memang kita butuh perubahan yang ekstra cepat.
 
 Depok, 11 September 2016   

Seruan Koalisi Masyarakat Sipil Internasional atas Kebakaran Hutan, Lahan, dan Gambut

Jakarta, 27 April 2016

Karena kabut asap yang terus melanda kawasan Asia Tenggara, otoritas keuangan diminta memperkenalkan sanksi darurat kepada bank agar menghentikan pembiayaan kepada nasabah di sektor kehutanan yang menyebabkan terjadinya kabut asap.
Kepada seluruh pihak yang terkait dan berkepentingan,

Kebakaran yang menyebabkan terjadinya kabut asap di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2015 telah menyebabkan bencana lingkungan dan krisis kesehatan bagi jutaan orang serta kerugian perekonomian Indonesia lebih dari US$16 miliar.[1] Saat ini, insiden kebakaran telah mulai dilaporkan di Indonesia dan Malaysia sebagai permulaan musim kebakaran tahun 2016 .
Bank komersial dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat merupakan sumber penyedia modal utama yang memicu perluasan industri kelapa sawit dan kertas serta bubur kertas di Asia Tenggara, atau dengan kata lain, bank komersial penyedia modal jelas terlibat sebagai penyebab kebakaran. Bank tidak boleh mendukung klien atau kelompok perusahaan ketika melanggar undang-undang anti-pembakaran hutan/lahan, namun kenyataannya, dukungan tetap terus diberikan.
Sebagai lembaga yang mungkin mendapat keuntungan dari tindakan ilegal nasabahnya, perbankan secara langsung berhubungan dan bertanggung jawab untuk mengatasi dampak berbahaya dari aktivitas ilegal nasabah tersebut. Dengan absennya kontrol yang memadai dan perlindungan yang diberlakukan oleh perbankan, otoritas keuangan harus mengambil langkah untuk memperbaiki kegagalan sistemik dalam sistem keuangan.
Kami, organisasi-organisasi yang menandatangani surat ini, meminta Pemerintah menghentikan kelompok perusahaan yang menyebabkan kebakaran untuk menerima pembiayaan berupa pinjaman publik dan komersial serta jasa keuangan lainnya yang memampukan perusahaan melakukan ekspansi. Tanpa adanya ancaman berupa konsekuensi ekonomi yang serius bagi perusahaan perkebunan industri, upaya pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dan meningkatkan kapasitas pencegahan kebakaran tidak akan mampu mencegah terulangnya krisis asap 2015.
Dampak lingkungan dari kebakaran dan kabut asap
Pada tahun 2015, lebih dari 2,6 juta hektar hutan, gambut, dan lahan lainnya dibakar di Indonesia.[2] Kebakaran tersebut berkorelasi erat dengan kegiatan ekspansi perkebunan kelapa sawit, kertas dan bubur kertas. Puncaknya, emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran di Indonesia lebih besar dari emisi rata-rata harian dari seluruh kegiatan ekonomi Amerika dimana hampir 16 juta ton emisi CO2 dihasilkan per hari, yang artinya, Indonesia menyumbang 3 persen dari total emisi global pada tahun tersebut.[3]
Dampak sosial dari kebakaran dan kabut asap
Biaya pemulihan kesehatan masyarakat belum sepenuhnya terhitung dengan baik, tercatat lebih dari 500.000 orang Indonesia dirawat karena masalah pernapasan.[4] Sementara itu, kualitas udara di desa- desa yang berdekatan dengan sumber kebakaran telah mencapai level 1000 indeks pencemaran udara,[5] dimana standar polusi tersebut berada pada level tiga kali diatas level berbahaya. Kondisi ini akan diperparah jika residual kimia (misal: pestisida, herbisida) digunakan di daerah perkebunan yang efeknya akan mencemari udara dan air.
Dampak ekonomi dari kebakaran dan kabut asap
Bank Dunia telah menghitung biaya kerugian akibat kebakaran di Indonesia, yaitu sebesar US$ 16 miliar.[6] Angka ini sangat besar, karena melebihi pendapatan total ekspor Indonesia dari minyak sawit dan sektor kertas dan bubur kertas –atau menyentuh minus 1,8% dari PDB Indonesia.[7] Kerugian yang terjadi termasuk kerugian ekonomi langsung untuk pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor lainnya. Ini belum termasuk beban biaya ekonomi negara-negara terdekat seperti Singapura dan Malaysia.
Peran perbankan
Ada 413 perusahaan produsen komoditas hutan tropis yang beresiko (seperti minyak kelapa sawit, kertas dan bubur kertas, kayu, dan karet) dan berkaitan langsung dengan pembakaran di tahun 2015. Perusahaan-perusahaan tersebut menerima jasa pembiayaan keuangan dan investasi lebih dari 20 bank komersial yang diperkirakan menerima dana senilai US$ 17 miliar sejak tahun 2009.[8]
Kami meminta agar otoritas jasa keuangan khususnya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat, untuk:
1. Segera memperkenalkan dan menerapkan aturan mengenai pemberian sanksi seperti penangguhan penyediaan fasilitas pembiayaan keuangan (termasuk utang, IPO, dan jasa penasihat investasi) bagi lembaga keuangan atas grup perusahaan yang teridentifikasi oleh otoritas setempat sebagai penyebab terjadinya kabut asap.
2. Mewajibkan dan meningkatkan kualitas aspek uji tuntas atas pengajuan pembiayaan dan penyusunan standar pelaporan serta memperketat prosedur bagi perbankan beserta lembaga keuangan lainnya yang memiliki nasabah bisnis pada sektor kehutanan tropis yang beresiko. Selain itu, mendorong agar pengawasan diperketat ketika produktivitas bisnis terindikasi menurun akibat genangan air yang berkepanjangan dan terjadinya pemadatan lahan gambut.
3. Meminta bursa efek setempat untuk menerapkan sanksi bagi kelompok perusahaan yang tidak menjalankan usahanya secara bertanggung jawab, sanksi tersebut dapat berupa penangguhan, baik sebagian maupun keseluruhan – atas keanggotaannya di bursa efek.
Organisasi yang mendukung seruan ini:
A SEED Japan, Auriga, BankTrack, Bruno Manser Fund, China Environmental Paper Network, Consumers’ Association of Penang, Malaysia, ELSAM (The Institute of Policy Research and Advocacy), Environmental Investigation Agency International, Epistema Institute, Facing Finance, Fern, Forest Heroes, Forest Peoples Programme, UK, Forest Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth US, Friends of the Siberian Forests, Global Witness, Greenpeace Indonesia, HuMa (Association for Community and Ecology-Based Law Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), Japan Center for a Sustainable Environment and Society, Japan Tropical Forest Action Network, ILRC (Indonesian Legal Resource Centre), JKPP, KontraS (The Commission for “the Disappeared” and Victims of Violence), KPA (Agrarian Reform Consortium), KpSHK, Link-AR, Borneo, Market Forces, Perkumpulan Prakarsa, PM.Haze (People’s Movement to Stop Haze), Protect the Forest Sweden, PSHK (Indonesian Centre of Law and Policies Studies), Pusaka, PWYP Indonesia, Rainforest Action Network, Rainforest Foundation Norway, RFUK, Sahabat Alam (Friends of the Earth) Malaysia, Sajogyo Institute, Sierra Club, Stiftung Asienhaus, The Corner House, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Walhi National Executive, Walhi Aceh, Walhi Bengkulu, Walhi Bangka Belitung, Walhi Jambi, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Tengah, Walhi Jawa Timur, Walhi Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Selatan, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Maluku Utara, Walhi NTT, Walhi NTB, Walhi Papua, Walhi Riau, Walhi Sulawesi Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Utara, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumatera Utara, Wetlands International, YLKI (Indonesian Consumer Foundations)

Siaran Pers: Koalisi Internasional Menyeru Ditetapkannya Sanksi Darurat Atas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Otoritas jasa keuangan dunia dihimbau untuk menegakkan kewenangan mereka mencegah bencana ekologis – saat ini kebakaran hutan dan lahan telah kembali terjadi
Jakarta, Indonesia – Koalisi internasional yang terdiri atas lebih dari 70 organisasi masyarakat sipil, termasuk Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA), Walhi (Friends of the Earth Indonesia), Rainforest Action Network dan Sierra Club menyeru otoritas jasa keuangan di Indonesia, Malaysia , Singapura, Jepang, Cina, Eropa dan Amerika Serikat untuk menerapkan sanksi darurat pada bank-bank komersial utama, sebagai upaya untuk memotong pendanaan perusahaan yang diidentifikasi sebagai penyebab kebakaran hutan krisis yang setiap tahun menyesakkan sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Hari ini, surat bersama telah dikirimkan ke lebih dari 50 organisasi internasional, termasuk beberapa CEO bank-bank komersial dan otoritas jasa keuangan dunia.
Saat ini kita sudah harus bersiap akan terjadinya kembali krisis asap karena kebakaran hutan dan lahan sengaja dikobarkan untuk membuka lahan dengan cara yang mudah dan murah. Ini terjadi pada lahan-lahan produksi kertas dan bubur kertas serta kelapa sawit, api menjadi tidak terkontrol, dan memenuhi udara Indonesia, Singapura dan Malaysia dengan asap beracun. Kabut asap menyebabkan masyarakat mengungsi, sekolah dan bandara ditutup, dan munculnya ratusan ribu penyakit pernapasan serta bertanggung jawab atas setidaknya 19 kematian, terutama balita dan anak-anak. Krisis asap 2015 adalah yang terburuk dalam sejarah dan, pada puncaknya, emisi gas rumah kaca tersebut melebihi rata-rata emisi harian AS. Bisa dikatakan, hanya musim hujanlah yang berhasil menghalau api dan asap.
“Ini adalah bencana buatan manusia yang mengerikan dan terus berulang seperti detak jarum jam. Bank telah menyediakan modal untuk ekspansi bisnis perusahaan yang melakukan pembakaran. Krisis api sebenarnya bisa dicegah dan bank mestinya tidak lagi menyokong perusahaan-perusahaan yang melanggar regulasi terkait api – tetapi mereka tetap melakukannya. Sudah saatnya otoritas jasa keuangan nasional dan global terjun langsung dalam krisis ini dengan menegakkan fungsi kontrol mereka sebaik-baiknya dan menetapkan safeguard bagi institusi penyedia jasa keuangan yang selama ini membuat mereka mendapat keuntungan dari perbuatan illegal nasabahnya,” demikian menurut Edisutrisno, Direktur Advokasi TuK INDONESIA.
Ada 413 perusahaan yang memproduksi komoditas hutan tropis (seperti minyak kelapa sawit, pulp dan kertas, kayu dan karet) yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015. Perusahaan-perusahaan ini menerima jasa keuangan dan investasi dari lebih dari 20 komersial bank senilai lebih dari USD 17Miliar sejak 2009.
Saat ini, telah bermunculan kembali kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan Malaysia menandai dimulainya musim kebakaran tahun 2016.
Organisasi yang mendukung seruan ini:
A SEED Japan, Auriga, BankTrack, Bruno Manser Fund, China Environmental Paper Network, Consumers’ Association of Penang, Malaysia, ELSAM (The Institute of Policy Research and Advocacy), Environmental Investigation Agency International, Epistema Institute, Facing Finance, Fern, Forest Heroes, Forest Peoples Programme, UK, Forest Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth US, Friends of the Siberian Forests, Global Witness, Greenpeace Indonesia, HuMa (Association for Community and Ecology-Based Law Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), Japan Center for a Sustainable Environment and Society, Japan Tropical Forest Action Network, ILRC (Indonesian Legal Resource Centre), JKPP, KontraS (The Commission for “the Disappeared” and Victims of Violence), KPA (Agrarian Reform Consortium), KpSHK, Link-AR, Borneo, Market Forces, Perkumpulan Prakarsa, PM.Haze (People’s Movement to Stop Haze), Protect the Forest Sweden, PSHK (Indonesian Centre of Law and Policies Studies), Pusaka, PWYP Indonesia, Rainforest Action Network, Rainforest Foundation Norway, RFUK, Sahabat Alam (Friends of the Earth) Malaysia, Sajogyo Institute, Sierra Club, Stiftung Asienhaus, The Corner House, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Walhi National Executive, Walhi Aceh, Walhi Bengkulu, Walhi Bangka Belitung, Walhi Jambi, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Tengah, Walhi Jawa Timur, Walhi Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Selatan, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Maluku Utara, Walhi NTT, Walhi NTB, Walhi Papua, Walhi Riau, Walhi Sulawesi Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Utara, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumatera Utara, Wetlands International, YLKI (Indonesian Consumer Foundations)
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Hadiya Rasyid (communication officer TuK INDONESIA)
Email: [email protected]
Telp  : 085355631430
www.tuk.or.id
 

BI dan OJK Berperan Besar Tangani Pembakaran Hutan

OJK129 Oktober 2015.  Breaking News | Reja Hidayat
JAKARTA. Direktur Eksekutif Transparansi untuk Keadilan (TUK) Norman Jiwan mengatakan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan berperan penting menangani masalah pembakaran hutan dan asap. Pasalnya, dua lembaga tersebut bisa mendorong perbankan untuk selektif dalam memberi pendanaan berkelanjutan kepada perusahaan.
“OJK sudah memiliki mekanisme komplain terhadap keluhan masyarakat yang dirugikan. Akan tetapi mekanisme itu belum lengkap sampai ke peraturan bawah,” kata Norman di Cikini, Jakarta, Kamis (29/10). “Kita apresiasi langkah OJK dan kita dorong untuk melengkapi aturannya sehingga perbankan nasional mempunyai pedoman dalam pendanaan berkelanjutan.”
Dia menjelaskan, konsep mekanisme komplain OJK sama seperti di Bank Dunia. Namun, kalau di Indonesia perangkatnya belum ada sehingga belum bisa dilaksanakan. Sedangkan di Bank Dunia perangkatnya sudah lengkap, sehingga segera ditindaklanjuti ketika masyarakat menggunakan mekanisme komplain tersebut.
Masyarakat Sumatera dan NGO Indonesia pernah menggunakan mekanisme komplain di Bank Dunia. Pada tahun 2007, tambah Norman, perusahaan Wilmar Grup melakukan belasan pelanggaran sehingga masyarakat menggunakan mekanisme tersebut. Dengan adanya aduan itu, Bank Dunia selaku pemberi pinjaman terhadap Wilmar Grup memproses aduan dengan melibatkan perangkatnya dan  membuat putusan yang tepat.
“Dampak dari pengaduan masyarakat itu sangat besar. Hampir semua pendanaan untuk sektor sawit dihentikan di seluruh dunia,” ujar Norman. Hal serupa pernah terjadi pada Bank HSBC asal Hongkong. Pada 2010 ada komplain dari masyarakat sehingga HSBC memutuskan mengurangi pendanaan investasi di bidang kehutanan sebesar 40%.
“Ini bukti bahwa perbankan memiliki kekuatan besar untuk mengurangi atau memutuskan kontrak sepihak karena melanggar perjanjian,” kata Norman. Dia juga menyoroti pemerintah soal penanganan dampak pembakaran hutan dan asap. Pihaknya menilai pemerintah banyak menghabiskan energi di penanganan saja. Padahal, jika mau lihat lebih luas, pemerintah bisa mencari siapa pemberi pinjaman ke perusahaan pembakar lahan itu.
Karena itu, pihaknya meminta perbankan untuk meninjau kembali kontrak atau kerja sama investasi para perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Jika perlu cabut dan hentikan kontrak pinjaman dan fasilitas investasi lainnya.
Seperti diketahui, setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda musibah serius yang sampai sekarang tak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pertama, kekeringan dan kedua kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, tapi juga pada aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia.
Link:
http://geotimes.co.id/bi-dan-ojk-berperan-besar-tangani-pembakaran-hutan/

Perbankan Turut Andil dalam Pembakaran Hutan

Credit: GEO TIMES

Credit: GEO TIMES


Jumat, 30 Oktober 2015 – 06:45
Transformasi untuk Keadilan (TUK) menilai hadirnya para perusahaan kelapa sawit Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka adalah pemegang saham kendali di perusahaan tersebut, meski telah go public. Kendati demikian, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam aksi kebakaran lahan, yaitu Sinar Mas dan Wilmar Grup.
Direktur Eksekutif TUK Norman Jiwan mengatakan, bukti bahwa perusahaan kelapa sawit dikuasai oleh dua grup diperkuat dari total landbank yang dikuasai Sinar Mas sebesar 788,907 hektare (ha) dan Wilmar Grup sebesar 342,850 ha. Di Indonesia, 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit memiliki afiliasi pada perusahaan induk terbesar di Singapura, Kuala Lumpur, dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan jumlah besar dalam ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, tapi juga lembaga finansial, khususnya perbankan. Perbankan semestinya ikut bertanggung jawab dengan tidak memberikan kredit kepada perusahaan pembakar lahan dan menunda Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek,” kata Norman di Jakarta kemarin. “Tindakan itu untuk memberi efek jera finansial kepada perusahaan.”
Bukti bahwa perbankan nasional turut andil dalam pembakaran terlihat dari pembiayan utama yang diberikan pinjaman kepada taipan pada 2009-2013.  Bank asing yang paling besar membiayai taipan adalah HSBC (United Kingdom) sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan perbankan nasional yang pertama adalah Bank Mandiri sekitar US$ 950 juta, disusul Bank Negara Indonesia sekitar US$ 450 juta, dan Bank Rakyat Indonesia sekitar US$ 380 juta.
Norman juga menjelaskan sejak bencana kabut asap melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan sejak pemerintah zaman Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan taipan, lanjut dia, bukan tanpa masalah. Seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan bermasalah itu terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau. Hal itu bisa dilihat dari proses hukum perusahaan pembakar lahan yang belum tuntas. Bahkan pemerintah enggan mengungkap nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin. Kepala negara harus juga menindak tegas secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat atas lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik.
Kemudian, apabila perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Di antaranya dengan penyitaan, denda disertai pengambilalihan manajemen perusahaan, sanksi terkait kegiatan perusahaan di Bursa Efek, publikasi perusahaan pembakar hutan, dan penangguhan atau pembatalan pinjaman untuk IPO.
Dengan adanya publikasi atas nama perusahaan pembakar hutan dan lahan, IPO bisa ditangguhkan atau dibatalkan. Salah satu tujuan IPO menghimpun dana dari masyarakat. Ini adalah sanksi yang sangat logis mengingat bank maupun pasar modal adalah lembaga intermediary yang menghimpun dana dari masyarakat luas. Ini bentuk komitmen OJK dan seluruh lembaga keuangan dalam mengimplementasikan finansial yang berkelanjutan di Indonesia.
Penulis: Reja Hidayat
Link: http://geotimes.co.id/perbankan-nasional-turut-andil-dalam-pembakaran-hutan/

[rri.co.id] Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK di Sektor Sumber Daya Alam

berita_214036_800x600_KABUT_ASAP29 October, 19:40 2015
KBRN, Jakarta -Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK INDONESIA.
Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. (Ridwan Z/AKS)
Link:
http://www.rri.co.id/post/berita/214036/ruang_publik/satu_tahun_evaluasi_kerja_kabinet_jokowijk_di_sektor_sumber_daya_alam.html