Press Release: Sidang Permohonan Praperadilan atas Penetapan Tersangka Sukimin oleh Polres Seluma dan Kejaksaan Negeri Tais, Bengkulu.

walhi-bengkulu-rilis15Rabu 08 Juli 2015 Pengadilan Negeri Tais kembali menggelar Sidang permohonan praperadilan atas penetapan tersangka Sukimin oleh Polres Seluma dan Kejaksaan Negeri Tais.. Sidang dipimpin oleh hakim tunggal Subachi Eko Putro,S.H.sidang hari ini dengan agenda pembacaan bantahan atas jawaban Polres Seluma dan Kejaksaan Negeri Tais. Dalam jawaban yang disampaikan oleh Polres Seluma dan Kejaksaan Negeri Tais pada intinya adalah menyatakan penetapan tersangka telah sesuai dengan prosedur perundang-undangan.
Sukimin melalui kuasa hukumnya menyangkal argumentasi Polres Seluma dan Kejaksaan Negeri Tais. Kuasa hukum Sukimin meyakini bahwa penetapan tersangka Sukimin tidak didasari oleh bukti permulaan yang cukup, penetapan tersangka atas diri Sukimin menurut kuasa hukumnya adalah upaya kriminalisasi atas perjuangan petani yang menuntut lahan terlantar Ex PT. Way Sebayur.
Kuasa hukum Sukimin, Muhnur Satyahaprabu menyatakan bahwa praperadilan ini bermaksud menguji penetapan tersangka Sukimin apakah sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan kaedah-kaedah hukum yang berlaku. Praperadilan ini juga wujud control kewenangan aparat penegak hukum supaya dalam menjalankan kewenangannya tidak sewenang-wenang dan arogan.
Direktur Eksekutif WALHI Daerah Bengkulu Beny Ardiansyah menyampaikan, dalam kasus ini pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Sandabi Indah Lestari. Seharusnya negara hadir untuk menyelesaikan masalah ini dan jangan hanya berpihak kepada perusahaan. Beny menambahkan aparat penegak hukum seharusnya hati-hati dalam memproses laporan perusahaan sedangkan laporan masyarakat terakait pengrusakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak diproses.
Sementara itu ketua Forum Petani Bersatu (FPB) organisasi yang menaungi perjuangan petani Osian Pakpahan menyampaikan kekecewaannya terhadap tindakan aparat hukum Polres Seluma. Tindakan diskriminasi dan perbendaan perlakuan aparat penegak hukum terasa ketika masyarakat melaporkan tindaka pidana yang didua dilakukan oleh perusahaan. Aparat penegak hukum tidak memahami akar konflik antara masyarakat dan PT Sandabi Indah Lestari, konflik dipicu dari tidak transaransinya proses terbitnya HGU sampai pada tata batas dan luasan wiayah PT SIL yang sampai sekarang tidak jelas. Kami meminta pemerintah melakukan evaluasi atas HGU PT. SIL;
 
Kontak Parson :
Beny Ardiansyah ( Direktur Walhi Bengkulu) : 082375088004
Muhnur Satyahaprabu ( Kuasa Hukum ) : 081326436437
Osian Pak pahan ( Ketua Forum Petani Bersatu) : 081278472378

SIARAN PERS: UU Perbankan Baru Harus Dorong Bank Agar Peka terhadap Aspek Sosial dan Lingkungan Hidup

siaran persSektor perbankan berperan penting dalam pembiayaan pembangunan di Indonesia. Namun demikian, berbagai perubahan dalam konteks global maupun lokal menuntut perubahan peraturan perundang-undangan mengenai Perbankan yang telah digunakan selama 17 tahun ini. Berbagai aktifitas ekonomi yang dibiayai bank juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan bagi masyarakat luas, sehingga proses pembahasan RUU Perbankan tidak hanya perlu dicermati oleh pelaku industri perbankan, namun juga oleh seluruh komponen masyarakat.
Menanggapi bergulirnya proses legislasi RUU Perbankan di DPR, koalisi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam ResponsiBank Indonesia telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI pada tanggal 11 Juni 2015 yang lalu.
Menurut Edi Sutrisno perwakilan Koalisi ResponsiBank dari Transformasi untuk Keadilan (TuK), “Bank bukan menara gading yang hanya semata-mata mengejar profit, bank juga adalah bagian tak terpisahkan dari society, yang memiliki tanggung jawab sosial juga. Karena itu investasi yang mereka lakukan juga perlu memperhatikan hak-hak masyarakat yang terkena dampak investasinya”,
Senada dengan itu, Kurniawan Sabar dari Walhi juga menegaskan bahwa kebijakan bank perlu lebih tegas lagi dalam meminta persyaratan legal dari calon debiturnya sebelum memberikan kredit, “..karena seringkali pelanggaran aspek legalitas itulah yang menjadi masalah di lapangan, sehingga ujung-ujungnya terjadi perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak masyarakat”, tegasnya lagi.
Sebagai bagian dari jaringan masyarakat sipil global, Fair Finance Guide Internasional, Koalisi ResponsiBank Indonesia mendorong diakomodasinya empat pilar utama dalam RUU Perbankan, yaitu pertama, tanggung jawab lingkungan hidup dan sosial, terutama terkait dengan prinsip pembangunan berkelanjutan; kedua, perlindungan konsumen, terutama terkait dengan mekanisme pengaduan nasabah serta penyediaan informasi mengenai produk dan layanan perbankan secara transparan; ketiga, inklusi keuangan, terutama terkait peranan bank dalam membiayai sektor riil dan UMKM dan; keempat, tata kelola – transparansi, terutama terkait pelaporan dan pengawasan bank serta peranan bank dalam mencegah transaksi keuangan ilegal.
“Setelah OJK mengeluarkan Peta Jalan Keuangan yang Berkelanjutan, menurut hemat kami, industri perbankan di Indonesia tidak dapat mundur lagi dari kecenderungan global untuk menekankan aspek keberlanjutan dalam dunia bisnis”, pungkas Akbar Ali, peneliti Sustainable Development di Perkumpulan Prakarsa sekaligus Koordinator Sekretariat Koalisi ResponsiBank Indonesia menutup pernyataan dari koalisi masyarakat sipil ini sebagaimana disampaikan dalam Konferensi Pers Koalisi ResponsiBank Indonesia untuk masukan terhadap RUU Perbankan, tanggal 26 Juni 2015 di Hotel Amaris Tebet, Jakarta.
Untuk konfirmasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Akbar Ali
Peneliti Sustainable Development Perkumpulan Prakarsa
(Koordinator Sekretariat Koalisi ResponsiBank Indonesia)
Email: [email protected] HP: 087770178960; 081388596137

Pernyataan Pers Bersama: Menuntut Tanggung Jawab Holcim Ltd. Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo

siaran persPernyataan Pers Bersama
ELSAM – Fransiscans International – Sitas Desa – Paguyuban Petani Aryo Blitar – TuK Indonesia – Konsorsium Pembaruan Agraria – AURIGA

Menuntut Tanggung Jawab Holcim Ltd. Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo
Jakarta, 19/04 – Masyarakat sipil di Indonesia telah melaporkan Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia, ke National Contact Point Switzerland, karena operasi Holcim tersebut berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat setempat.
Pengaduan kami sampaikan merupakan jalur yang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises (OECD Guidelines for MNE’s). Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi.
Di Blitar, lahan seluas ± 724,23 Hektar yang dikelola ± 826 Kepala Keluarga ditanami jagung, ketela & semangka di Desa Ringinrejo, Blitar, Jawa Timur, Indonesia telah menjadi sumber penghidupan warga selama 19 (Sembilan belas) tahun lamanya, kini terancam digusur. Karena, lahan yang dikelola warga tersebut, sejak tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT. Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti (dijadikan hutan), karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen.
Penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang tidak transparan. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 17 (tujuh belas) tahun lamanya. Bahkan proses ganti rugi atau kompensasi dilakukan Holcim justru kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut. Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) dalam pemberian lahan kompensasi kepada Kementerian Kehutanan dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan Indonesia. Yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Karena Karena berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). Karena, fakta di lapangan masih terdapat ±826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun.
2. Melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Pihak PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) telah melakukan sosialisasi/musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi, namun musyawarah/sosialisasi tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo. Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga tersebut, PT. Holcim Indonesia Tbk. melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut.
3. Persetujuan Atau Kesepakatan Bersama Dibuat Secara Tidak Transparan. Dalam proses negosiasi untuk membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan yang dilakukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia Permohonan Tanah di Desa Ringinrejo, dan sampai memiliki buah kesepakatan bersama (Pernyataan Bersama) yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Ringinrejo menerima pemberian lahan seluas 40Ha dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008. Namun ternyata dalam memperoleh tandatangan untuk pernyataan tersebut Panitia Permohonan Tanah tidak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan bagi warga Desa Ringinrejo tentang isi pernyataan tersebut.
Tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia; bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik. Serta bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.
Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim, dan dengan difasilitasi NCP, dapat dicapai putusan agar Holcim mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo; atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Sehingga dampak kerugian yang dialami warga sepenuhnya dapat dipulihkan.
Dalam memastikan pengaduan yang saat ini disampaikan ke National Contact Point di Switzerland diproses secara independen, sebanyak 100an warga Desa Ringinrejo akan mendatangi kantor Holcim Indonesia dan Kedutaan Besar Swiss di Jakarta
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan
Jakarta, 19 April 2015
Hormat kami,
Kontak:
Andi Muttaqien 08121996984 (ELSAM)
Farhan Mahfudzi 081555859984 (Sitas Desa, Blitar)
Yusriansyah (KPA)

Siaran Pers: Tentang Kasus Pembunuhan Indra Pelani, Bukan Sekedar Kejahatan Biasa

Credit: Poster oleh WALHI Jambi

Credit: Poster oleh WALHI Jambi


Pembunuhan Indra Pelani, Bukan Sekedar Kejahatan Biasa
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), bersama dengan Walhi, TUK, KPA, dan Elsam, mendesak sejumlah pihak terkait untuk melakukan pengusutan secara lebih mendalam terhadap peristiwa penganiayaan dan perampasan hak hidup terhadap sdr. Indra Pelani (23), Aktivis organisasi Serikat Petani Tebo (SPT) Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Hilir, Kabupaten Tebo, Jambi, pada 27 Februari 2015 lalu.
Kami menduga kuat persitwa menimpa Indra Pelani (alm) bukan merupakan peristiwa pembunuhan biasa atau kriminal murni, namun merupakan kelanjutan tindak kejahatan korporasi (corporate crime) yang marak belakangan ini, dan secara jelas telah melanggar prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia (bussines and human rights) yang dipromosikan PBB.[1] Terlebih profile korban yang merupakan pembela HAM (human rigts defender)[2] semakin menguatkan dugaan adanya skenario besar dibalik peristiwa tersebut.
Terkait hal tersebut, kami juga telah melakukan investigasi bersama pada 18-25 Maret 2015 di Provinsi Jambi, dan mendapati sejumlah temuan yang melengkapi dugaan itu. Sejumlah temuan tersebut natara lain;
a) Sejak kehadiran PT. WKS di Provinsi Jambi telah menimbulkan banyak masalah terkait konflik sosial dalam pengeloalaan Sumber Daya Alam di Jambi. Sementara itu, peristiwa tersebut juga bukan merupakan peristiwa pertama yang melibatkan PT. WKS. Sebelumnya, pada tahun 2007, masyarakat sempat menghadang Traktor persahaan yang berakhir dengan pembakaran traktor. Peristiwa ini menyebabkan 9 orang masyarakat di pidana selama 9 bulan Penjara. Sementara pada Senin tanggal 08 November 2010, dua orang petani ditembak pada saat melakukan aksi untuk merebut kembali hak atas tanahnya seluas 7.224 ha yang telah dirampas oleh PT. WKS. Peristiwa penembakan ini dipicu oleh tindakan PT. WKS yang membawa aparat keamanan (Brimob dan security perusahaan) dan berusaha membubarkan secara paksa aksi massa para petani.
b) Hingga tahun 2013, sebagian masyarakat memutuskan untuk mengambil alih kembali lahan seluas 1500 hektar yang yang telah dikuasai PT. Wirakarya Sakti (WKS) yang berlokasi di daerah Bukit Rinting2 Dusun Pelayang Tebat, desa lubuk Mandarsah. Sejak saat itu persitiwa intimidasi dan sampai pada penangkapan petani terus dilakukan oleh pihak perusahaan WKS. Selain itu juga ditemukan sejumlah fakta-fakta bahwa ada gangguan dan intimidasi dari URC WKS terhadap masyarakat sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap (alm) Indra Pelani. Bahkan menurut keterangan saksi, juga terdapat rencana untuk merebut kembali lahan yang bersengketa dengan masyarakat, Lubuk Mandarsah setelah kegiatan Panen Raya 27 Februari 2015.
c) Untuk keamanan kebun HTI, PT WKS menggunakan tenaga kerja Outsourcing dari PT MCP. Sesuai Perkap Kapolri No.24 tahun 2007, Pasal 8 ayat 3.b.1 maka PT MCP merupakan Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yaitu para anggota Satpam diorganisir dalam satu badan usaha yang bergerak di bidang industri jasa pengamanan. Namun berdasarkan klarifikasi pihak Kepolisian Setempat, mengakui bahwa tidak mengenal Tim URC, tidak melakukan koordinasi, tidak menjalankan standart pelatihan, sebagaimana yang dijabarkan dalam Perkap tersebut. Kami juga menemukan ada serangkaian persiapan operasi dan materi pelatihan tidak lazim yang diberikan kepada tim URC. Lebih dari itu, keberadaan Tim URC didekat lokasi lahan yang dikuasai masyarakat telah memicu keresahan, dan kecurigaan dikalangan masyarakat, sebelum peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan Sdr. IndraPelani.
d) Bahwa pada tanggal 27 Februari 2015, telah terjadi penganiayaan secara bersama-sama (pengeroyokan), dan pembunuhan keji terhadap Sdr. Indra Pelani yang diduga dilakukan oleh para 5 orang tersangka yang merupakan  1 regu TIM URC  (terdiri dari Danton, Danru, dan 3 orang Anggota TIM URC). Bahkan ditemukan senjata-senjata tajam berupa parang, dan Tongkat yang ditancapkan paku-paku, dan ranjau paku di Markas Tim URC yang terletak di wilayah Bukit Rinting, yang diduga sengaja disiapkan untuk melakukan aksi-kekerasan. Sementara kami juga menemukan sejumlah komunikasi tak lazim yang dilakukan antara pelaku dan sejumlah pihak lainnya saat peristiwa terjadi.
Dari fakta, informasi dan keterangan saksi diatas maka kami memberikan Hipotesis sebagai berikut :
I. Terkait pembentukan TIM URC:

  • Sejak dibentuknya TIM URC tahun 2010, merupakan kelompok pengamanan yang di bawah koordinasi dan tanggung jawab langsung manajer PT. MCP. Dari dokumen terungkap Tim URC dicurigai bertentangan dengan PERKAPOLRI No. 24 Tahun 2007.
  • Pada Oktober 2014, telah terjadi pemusatan kekuatan orang, aktifitas, dengan ditempatkannya Camp URC Sector Kilis didekat lokasi lahan yang dikuasai masyarakat, yang berakibat terjadi gangguan privasi, gangguan aktivitas yang intimidatif terhadap masyarakat khususnya ketika menggunakan sungai sebagai kebutuhan hidup.

II. Terkait Kegiatan Panen Raya masyarakat:

  • Pada tanggal 25, 26 februari 2015, telah terjadi usaha, tindakan yang terindikasi dilakukan secara terencana, sistematis, dan terkoordinasi untuk memata-matai kegiatan masyarakat sehubungan dengan Rencana Kegiatan Panen Raya.
  • Pada tanggal 27 Februari 2015, terindikasi terencana, sistematis, dan terkoordinasi untuk memperkuat penjagaan dengan tujuan menghalangi aktivitas warga melewati jalan di POS 803, dan patut dicurigai yang hendak untuk merekayasa sehingga masyarakat yang akan dianggap menerobos, atau masuk tanpa izin dengan penolakan dari “Atasan” untuk berkomunikasi.
  • Pada tanggal 27 Februari 2015, telah terjadi usaha, tindakan yang secara sistimatis, terkoordinasi untuk menunjukan eksistensi yang terkesan propokatif melalui latihan lari-lari oleh TIM URC di jalan tempat lokasi Panen Raya.

III. Terkait Pengeroyokan dan Pembunuhan Sdr. Indra Pelani :

  • Pada tanggal 27 februari 2015, telah terjadi pengeroyokan oleh 7 orang anggota TIM URC terhadap Sdr. Indra Pelani tanpa alasan yang jelas.
  • Terjadi Penculikan, yang dilakukan oleh 3 Orang Tim URC terhadap Sdr. Indra Pelani.
  • Terjadi eksekusi pembunuhan yang keji terhadap Sdr. Indra Pelani dengan kondisi jasat korban dengan leher terikat tali, lubang bekas tusukan benda tajam di bagian leher, luka di sekujur tubuh, tangan patah, serta terlihatnya tulang ibujari kaki.

Oleh karnanya kami mendesak:
Pertama, Pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam terkait peristiwa tersebut untuk dapat mengungkap peristiwa tersebut secara lebih utuh, yang tidak menutup kemungkinan terputus pada ke-lima orang pelaku dilapangan.
Kedua, kami juga mendesak pihak Kepolisian untuk melakukan evaluasi terhadap prosedur keamanan yang ada dalam PT. WKS, sesuai dengan Perkap  Kapolri No. 24 tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan, dan/ Instansi atau Lembaga Pemerintah.
Ketiga, Pemerintah Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Kehutanan, dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap PT. WKS, untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi diantara masyarakat dan perusahaan terkait.
Keempat, Komnas HAM untuk dapat melakukan penyelidikan lebih mendalam dalam bingkai kejahatan korporasi sesuai dengan prinsip-prinsi Bisnis dan Hak Asasi Manusia sesuai mandat dan fungsi berdasarkan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, untuk dapat memberikan pemulihan bagi sejumlah korban dalam konflik tersebut. Kami juga mendukung upaya Komnas HAM pembentukan Tim Pro  Justicia  terkait konflik agraria di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Hilir, Kapubaten Tebo, Jambi.
Kelima, LPSK untuk memberikan perlindungan terhadap sejumlah saksi-saksi terkait peristiwa tersebut agar tidak terjadi intimidasi dan tekanan terhadap saksi-saksi dalam kasus itu.
 
Jakarta, 8 April 2015
KontraS, Walhi, KPA, TUK, Elsam
[1] A/HRC/RES/21/5
[2] A/HRC/RES/25/18

Holcim Ltd Harus Bertanggung Jawab Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo

Pernyataan Pers Bersama

ELSAM – Fransiscans International – Sitas Desa – Paguyuban Petani Aryo Blitar – TuK Indonesia – Konsorsium Pembaruan Agraria – AURIGA

Holcim Ltd Harus Bertanggung Jawab Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo
Jakarta-Switzerland, 19/03 – Hari ini, masyarakat sipil yang selama ini membela warga Ringinrejo, Wates, Blitar, Jawa Timur dalam memperjuangkan hak kelolanya dari pengambilalihan lahan yang dilakukan Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia, mengadukan permasalahan tersebut ke National Contact Point Switzerland, karena operasi Holcim tersebut berdampak buruk terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat setempat.
Pengaduan yang kami sampaikan merupakan pengaduan yang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises (OECD Guidelines for MNE’s). Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi.
Di Blitar, lahan seluas ± 724,23 Hektar yang dikelola ± 826 Kepala Keluarga ditanami jagung, ketela & semangka di Desa Ringinrejo, Blitar, Jawa Timur, Indonesia telah menjadi sumber penghidupan warga selama 19 (Sembilan belas) tahun lamanya, kini terancam digusur. Karena, lahan yang dikelola warga tersebut, sejak tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT. Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti (dijadikan hutan), karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen.
Penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang manipulatif. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 19 (sembilan belas) tahun lamanya, bahkan justru tawaran ganti rugi atau kompensasi dilakukan kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut. Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) dalam pemberian lahan kompensasi kepada Kementerian Kehutanan dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.  Lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan Indonesia. Yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Karena Karena berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). Karena, fakta di lapangan masih terdapat ±826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun.
2.  Melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Pihak PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) telah melakukan sosialisasi/musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi, namun musyawarah/sosialisasi tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo. Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga tersebut, PT. Holcim Indonesia Tbk. melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut.
3.  Persetujuan Atau Kesepakatan Bersama Dibuat Secara Tidak Transparan. Dalam proses negosiasi untuk membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan yang dilakukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia Permohonan Tanah di Desa Ringinrejo, dan sampai memiliki buah kesepakatan bersama (Pernyataan Bersama) yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Ringinrejo menerima pemberian lahan seluas 40Ha dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008. Namun ternyata dalam memperoleh tandatangan untuk pernyataan tersebut Panitia Permohonan Tanah tidak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan bagi warga Desa Ringinrejo tentang isi pernyataan tersebut.
Tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia; bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik. Serta bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.
Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim, dan dengan difasilitasi NCP, dapat dicapai putusan agar Holcim mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo; atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan yang final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Sehingga dampak kerugian yang dialami warga dapat dipulihkan sepenuhnya.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan
Jakarta-Geneva, 19 Maret 2015 

Hormat kami,

 

Kontak:

Andi Muttaqien          08121996984             (ELSAM, Jakarta-Indonesia)
Farhan Mahfudzi        081555859984          (Sitas Desa, Blitar-Indonesia)
Budi Tjahjono            +41227794010           (Frasiscans International, Geneva-Switzerland)

BIADAB – Penggunaan kekerasan didalam Menyelesaikan Konflik

Biadab. Itu kata yang pantas untuk menggambarkan peristiwa terhadap almarhum Indra Kailani, anggota Serikat Petani Tebo. Ormas tani yang memperjuangkan petani di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Kabupaten Tebo tanggal 27 Februari 2015. Pria yang baru berumur 23 tahun tewas dibunuh secara biadab oleh Unit reaksi cepat security PT. WKS.

Tanpa melepaskan motif sesungguhnya yang melatarbelakangi peristiwa, perlakuan terhadap korban merupakan cara-cara biadab yang mengingatkan cara-cara digunakan dalam peristiwa G 30 S/PKI. Perlakuan terhadap almarhum mengingatkan cara-cara kejahatan terhadap kejahatan didalam perang dunia dan kejahatan terhadap HAM.

Bayangkan. Perkelahian dimulai. Pada jam 14.00 wib saudara Indra (korban) menjemput saudara Nick Karim (Tim WALHI Jambi) dengan menggunakan sepeda motor GL Pro di simpang niam yang baru saja datang dari kota jambi. Sekitar jam 16.03 wib Indra (korban) bersama Nick Karim sampai pada pos kembar security di stop oleh tim URC (Unit Reaksi Cepat) PT. Wirakarya Sakti sebanyak 2 (dua) orang, lantas mereka bertanya (URC) terhadap korban dan Nick Karim “Mau Kemana”?, dijawab oleh Nick Karim mau kedalam, kemudian URC membentak Indra (Korban) dengan ucapan “Kau ini belagak nian!!!” (Kau ini sok banget), lantas Indra (Korban) menjawab “Apo Bang” (apa bang), pihak URC langsung memukul Indra (Korban) dari belakang disusul dengan 5 (lima) orang rekan-rekannya untuk memukul korban. Nick Karim berusaha untuk melerai namun upaya itu tidak berhasil karena jumlah URC terlalu banyak, kemudian Nick Karim meminta kepada salah satu Security yang berpakai dinas yang berada di pos untuk membantu menghentikan pemukulan terhadap korban, namun tidak ditanggapi oleh pihak Security tersebut.

Kemudian Nick Karim ditarik oleh Bapak-Bapak yang berada didekat lokasi pos untuk menghindar dan mencari bantuan ke desa Lubuk Mandarsah dusun Pelayang Tebat. Nick Karim tiba di dusun Pelayang Tebat sekitar pukul 16.28 wib meminta pertolongan kepada masyarakat bahwa Indra (korban) di pukuli oleh URC PT.Wirakarya Sakti, mendengar berita tersebut masyarakat sekitar 30 orang langsung menuju ke lokasi pos kembar sekitar jam 16.30 wib, sesampai masyarakat di pos kembar Indra (Korban) tidak berada disitu dan masyarakat langsung menanyakan kepada security (Zulkifli) yang ada di pos kembar “Apakah benar Indra (korban) di keroyok dan dibawak ke Districk 8?”, security tersebut menjawab “tidak tau, silahkan saja bertanya kepada anggota URC”, tim URC yang pada saat itu ada disamping pos security, pada saat masyarakat menanyakan kepada URC, tim URC tersebut sudah dilengkapi dengan senjata tajam (Parang dan Pisau) masyarakat tetap menanyakan keberadaan Indra (korban) “dimana posisi Indra (korban)?”, tim URC menjawab “tidak tau, disini juga tidak terjadi apa-apa”.

Akhirnya masyarakat bertanya kembali kepada security (Zulkifli) yang berada di pos dan security menjawab bahwa Indra (korban) sudah di bawak ke districk 8 menggunakan mobil patroli URC yang bermerek Ford. Karena kekesalan masyarakat terhadap Security, masyarakat langsung mengusir security dan URC dari pos, dilokasi pos masyarakat menemukan senjata tajam seperti parang dan pisau yang di persiapkan oleh tim security dan URC, setelah itu selesai masyarakat bubar dan kembali ke lahan.

Dari informasi yang berhasil didapatkan oleh teman-teman di lapangan, keadaan fisik korban masih berjalan ketika dimasukkan ke mobil perusahaan. Namun mukanya ditutup oleh pakaian dari korban.

Brita kemudian simpang siur. Issu pengeroyokan terhadap almarhum kemudian dibawa ke distrik 8. Namun dari informasi pihak perusahaan sendiri, mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan korban. bahkan mereka sendiri kehilangan jejak termasuk mobil.

Terhadap proses ini kemudian telah dilaporkan kepolisian terdekat.

Pada tanggal 28 Pebruari 2015 sekitar jam 09.00 wib kepala security (Akiet) PT. Wirakarya Sakti menelpon Rudi (WALHI Jambi) mengabarkan bahwa Indra (korban) sudah ditemukan sekitar 7 Km dari lokasi camp districk 8 dengan keadaan tidak bernyawa dan sekarang dalam proses evakuasi dari pihak kepolisian.

Rudi (WALHI Jambi) menelpon Kasat Reserse Polres Tebo untuk memastikan berita tersebut dan kasat menjawab, memang sudah ditemukan korban dengan ciri-ciri rambut keriting, memakain celana pendek dengan keadaan luka memar diseluruh tubuh, bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat, sekarang jenazah dibawa ke rumah sakit tebo untuk dilakukan visum dan otopsi. Setelah mendapatkan informasi dari kasat reserse polres tebo, Rudi (WALHI Jambi) langsung menuju ke rumah sakit untuk memastikan korban yang ditemukan, sesampai dirumah sakit langsung melihat korban dan benar adalah saudara Indra.

Dari rangkaian peristiwa maka terhadap peristiwa harus diletakkan pada pengungkapan kasusnya secara obyektif.

  1. Harus dicari motif utama mengapa URC begitu reaktif dan langsung memukul korban.

  2. Mengapa cara-cara biadab diperlakukan kepada korban. Ada persoalan apa sesungguhnya yang terjadi sehingga pelaku tanpa “babibu” langsung memukul korban.

Misteri kasus ini

Terhadap peristiwa ini, maka masih banyak misteri yang harus diungkapkan.

  1. Mengapa korban dibawa dari pos portal 803 ke distrik 8 ? Apakah distrik 8 tidak mengetahuai kedatangan korban ? Apakah korban “dihabisi” di distrik 8 atau diluar distrik 8 ?

  2. Mengapa mayat ditemukan 7 km dari distrik 8. Apakah ada upaya menghilangkan barang bukti sehingga menutupi kesalahan dan menutup-nutupi kasusnya.

  3. Mengapa korban ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tangan dan kaki terikat. Seluruh tubuh korban penuh dengan luka tusukan, kepala pecah, ada sayatan pisau di wajah korban ? Siapa yang tega melakukan perbuatan ini ? Sungguh biadab.

Melihat kejadian ini maka terhadap peristiwa ini tidak dapat dikategorikan didalam pengeroyokan sebagaimana dilihat di media massa. Menempatkan peristiwa ini sebagai pengeroyokan mengganggu nurani kemanusiaan.

  1. Pengeroyokan

Istilah pengeroyokan tidak terdapat di dalam literature ilmu hokum pidana. Peristiwa pengeroyokan lebih tepat dikategorikan didalam “kekerasan terhadap orang atau benda”. Didalam KUHP diatur didalam pasal 170 KUHP.

Khusus terhadap kekerasan yang menyebabkan matinya rang lain, maka diancam dengan 170 ayat 2 ke 2 KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara.

Dalam praktek selama ini, pasal ini diterapkan terhadap pengeroyokan yang bisa menyebabkan matinya orang lain.

Namun didalam melihat peristiwa yang dimaksudkan, maka perbuatan terhadap korban tidak tepat dikategorikan sebagai penerapan pasal 170 KUHP.

Rangkaian pemukulan diikuti dengan membawa pelaku, kemudian pelaku diperlakukan secara biadab yang ditandai dengan bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat dan ditemukan mayat jauh dari lokasi semula (pos portal) tidak dapat dikategorikan sebagai pengeroyokan.

  1. Penculikan “merampas kemerdekaan”

Pasal 333 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Terhadap peristiwa ini bisa dikategorikan perbuatan telah melakukan dengan “menculik korban” dari posportal 803 ke distrik atau setidak-tidaknya dibawa ketempat ditemukannya mayat.

Namun harus dibuktikan apakah penculikan dilakukan kemudian menyebabkan matinya orang lain dan proses ditemukan mayat dari korban.

  1. Pembunuhan berencana

Pembunuhan berencana diatur didalam pasal 340 KUHP. Pembunuhan berencana lebih tepat diterapkan kepada para pelaku dengan melihat fakta-fakta.

  1. Bahwa memang dipersiapkan rencana pembunuhan dengan baik. Ini dimulai dari Sekitar jam 16.03 wib Indra (korban) bersama Nick Karim sampai pada pos kembar security di stop oleh tim URC (Unit Reaksi Cepat) PT. Wirakarya Sakti sebanyak 2 (dua) orang, lantas mereka bertanya (URC) terhadap korban dan Nick Karim “Mau Kemana”?, dijawab oleh Nick Karim mau kedalam, kemudian URC membentak Indra (Korban) dengan ucapan “Kau ini belagak nian!!!” (Kau ini sok banget), lantas Indra (Korban) menjawab “Apo Bang” (apa bang), pihak URC langsung memukul Indra (Korban) dari belakang disusul dengan 5 (lima) orang rekan-rekannya untuk memukul korban

  2. Dengan melihat peristiwa pertama maka memang para pelaku “menjadikan target” terhadap Indra. Sehingga basa-basi di pos adalah rangkaian permulaan untuk “menghabisi” Indra.

  3. Membawa korban dari pos ke distrik atau tempat ditemukannya mayat adalah rangkaian selanjutnya dari rencana pembunuhan berencana.

  4. Berbagai luka-luka yang terdapat didalam diri korban adalah desain yang cukup direncanakan dengan baik.

  5. Akibat dengan keadaan luka memar diseluruh tubuh, bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat adalah tujuan dilakukannya pembunuhan berencana.

  6. membuang mayat dari pos portal 803 adalah rencana yang cukup dipersiapkan dengan baik dari pembunuhan rencana.

Peristiwa ini lebih tepat disebutkan dengan penculikan (merampas kemerdekaan), pembunuhan berencana. Sama sekali tidak bisa sesederhana “pengeroyokan”. Menempatkan peristiwa ini sebagai pengeroyokan mengganggu nurani kemanusiaan.

Melihat rangkaian kejadian dan akibat terhadap korban maka tidak dapat dibenarkan secara hokum. Cara-cara biadab ini harus diungkapkan dan dipertanggungjawabkan secara hokum. Siapapun yang terlibat harus diproses.

WALHI JAMBI, STT, API

contact person

Musri Nauli

Rudiansyah

Riva’i


Unduh versi pdf Rilis Indra

Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

gabung_redRelease

TuK INDONESIA

“Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia”

Jakarta, 12 Februari 2015
Ekspansi dalam skala yang luar biasa atas perkebunan kelapa sawit di Indonesia menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang serius; sejumlah besar hutan berharga dikonversi menjadi perkebunan, habitat spesies yang dilindungi terancam punah, emisi gas rumah kaca yang signifikan disebabkan oleh pengembangan lahan gambut,  dan banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk subsisten mereka dan untuk siapa mereka telah mengadakan hak hukum atau adat selama beberapa generasi.
Untuk mengatasi masalah ini, kekuatan pendorong di belakang pertumbuhan yang kuat dari sektor kelapa sawit, yaitu pemilik dan pemodal – mesti ikut mengemban tanggung jawab mereka. TuK INDONESIA bersama Profundo pada paruh kedua tahun 2014 telah melakukan kajian terhadap 25 grup bisnis terbesar kelapa sawit di Indonesia, dan taipan di belakangnya, bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh para taipan tersebut, serta lembaga finansial mana saja yang selama ini mendukung para taipan membangun perusahaan kelapa sawit mereka.
Hari ini TuK INDONESIA bersama Profundo meluncurkan hasil kajian terhadap 25 grup bisnis kelapa sawit di Indonesia, yang berisi tentang bagaimana kendali para taipan terhadap bisnis sektor perkebunan kelapa sawit ini dan juga bagaimana mereka mendapatkan pembiayaan untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan mereka sehingga mampu melaju dengan pesat, serta lembaga-lembaga keuangan mana saja yang memberikan pembiayaannya kepada para taipan tersebut.
Direktur Program TuK INDONESIA, Rahmawati Retno Winarni memaparkan dalam presentasinya, “ada sebanyak 29 orang taipan yang mengendalikan 25 grup bisnis kelapa sawit di Indonesia, pada tahun 2013 setidaknya mereka mengantongi izin 5,1 juta ha lahan sawit dari 10 juta ha luas tanam kelapa sawit di Indonesia. Dari luas lahan tersebut yang telah dimiliki oleh para taipan, sebanyak 3.1 juta ha (60%) yang sudah  ditanam sawit dan sebanyak 2.1 juta ha (40%) yang belum ditanam.
Ekspansi yang begitu cepat lajunya dikarenakan proses kepemilikan lahan di sector kelapa sawit ini difasilitasi oleh lembaga keuangan, baik bank domestic maupun bank asing sehingga para taipan dengan mudah mendapatkan pembiayaan untuk mengekspansi bisnisnya dengan lebih massif dan cepat.
Pada Januari 2014 bank asing maupun domestik total menyediakan sebesar US$ 15,6 Miliar sebagai hutang berjalan untuk sector pertanian, kehutanan dan perburuan. Dan kami mengidentifikasi sejumlah US$ 17,8 Miliar hutang baru telah disalurkan hanya untuk 25 grup perusahaan kelapa sawit pada periode 2009-2013. Bank Mandiri sebagai bank domestic terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing ada HSBC (United Kingdom) dan OCBC dari Singapore, pungkasnya”.
Bisnis di sector ini telah banyak menimbulkan persoalan yang terjadi, mulai dari pelanggaran HAM dan konflik tanah yang merugikan masyarakat karena hamper dipastikan bahwa yang menjadi korban adalah masyarakat adat yang berkonflik dengan perusahaan, selain persoalan tersebut masalah perpajakan juga menjadi persoalan yang besar karena merugikan negara.
Wiko Saputra dari Perkumpulan Prakarsa menjelaskan, “Indonesia merupakan Negara peringkat ketujuh dalam aliran uang illegal yakni sebesarRp 2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir. Aliran uang illegal ini salah satu penyebabnya adalah karena praktek pengemplangan pajak dan penghindaran pajak ,dan yang terjadi di sector kelapa sawit terjadi praktek-praktek tersebut sebesarRp 45,9 triliun yang merugikan negara. Sementara realisasi penerimaan pajak tahun 2014 sebesar 91,8 % merupakan penerimaan terendah selama 25 tahun terakhir. Salah satu indikatornya adalah maraknya praktek tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan salah satunya adalah Asian Agri”.

Di New York, 4 Raksasa Sawit Ikrar Jaga Hutan. TUK-Walhi: Jangan Hanya Bagus di Atas Kertas!

Empat raksasa sawit,  Golden Agri Resources (GAR), Wilmar, Cargill dan Asian Agri bersama Kadin Indonesia, bersamaan dengan pertemuan iklim di New York, mengumumkan komitmen minyak sawit berkelanjutan, nol deforestasi dan menghargai hak-hak masyarakat. Penandatanganan komitmen ini disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Komitmen ini disambut positif berbagai kalangan, namun terpenting bagaimana implementasi di lapangan. Jangan, sampai komitmen hanya bagus di atas kertas dan hanya pencitraan perusahaan-perusahaan ini ke lembaga keuangan, pembeli (konsumen) dan pemerintah.
Edi Sutrisno, devisi Advokasi Kebijakan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) mengatakan, komitmen mereka langkah bagus, tetapi masyarakat dunia harus melihat realitas di lapangan. “Terutama terkait konflik, jangan gara-gara komitmen ini seakan-akan mereka menjadi baik semua,” katanya di Jakarta, Kamis (25/9/14).
Dia melihat, di lapangan masih banyak konflik-konflik antara perusahaan dan warga. Hak-hak masyarakat masih terabaikan.  Edi mencontohkan, konflik lahan warga dengan Sinar Mas di Padang Halaban, Sumatera Utara (Sumut) sampai sekarang belum ada penyelesaian. “Ini yang membuat kita khawatir, komitmen hanya di atas kertas, terlebih di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ucap Edi.
Dia mengatakan, jangan sampai komitmen ini hanya sebagai pembenaran buat mengamankan  bisnis mereka di mata lembaga keuangan (bank) dan konsumen serta pemerintah yang akan terus melanggengkan bisnis. “Secara deklarasi cukup baik. Ya, harapannya pasar dan bank kuat mengawasi ini agar tak sekadar imej.”
Guna memastikan perusahaan menjalankan praktik baik, TUK pernah mendesak bank asing melakukan due diligence atas uang-uang yang mereka pinjamkan.
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional menduga, ada upaya menyembunyikan praktik mereka sebelum mendeklarasikan komitmen.
Dia mencontohkan, Wilmar  berani berkomitmen menurunkan deforestasi non persen kawasan gambut. Nyatanya, dua “cucu” perusahaan ini , PT Sawindo Cemerlang dan PT Sawit Tiara Nusa, masih menebang di hutan alam, di Pahuwato, Gorontalo. Wilmar punya saham pada PT Agri Kencana Grup, induk kedua perusahaan itu.
Contoh lagi, titik api alias kebakaran hutan dan lahan masih banyak ditemukan pada konsesi perusahaan. Misal, titik api pada 2013-2014, di Sumatera Selatan,  mayoritas ditemukan di konsesi HTI, antara lain Sinar Mas.  “Ga cukup hanya komitmen lalu diklaim jadi contoh baik. Luar biasa.”
Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi
Zenzi melihat, dengan manifesto global (komitmen) ini malah berpotensi berbahaya bagi hutan dan masyarakat. Sebab, pemodal di bisnis sumber daya alam bisa membuat skenario dengan menunggangi isu iklim.
Dari skenario ini, katanya, tak hanya terjadi intervensi kesepakatan global juga lokal. Di Indonesia, pemerintah sedang proses RUU Konservasi Air dan Tanah. “Ini curiga jadi payung hukum perampasan lahan baru.” Sedang perusahaan sektor konservasi lancar dengan ‘bisnis’ restorasi ekosistem (RE).
Dalam salah satu draf Pasal dalam RUU ada klausul pengguna air wajib membayar jasa kepada yang melakukan konservasi air dan tanah.  “Itu berpotensi menyusahkan warga atau petani. Bisa jadi petani pakai air konsesi RE wajib bayar pada perusahaan. Pemegang modal punya skenario pegang bisnis di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, RE akan diklaim para pengusaha skala besar sebagai bentuk kontribusi  rehabilitasi hutan.  Padahal, kawasan itu memang hutan lestari bahkan sebagian wilayah kelola masyarakat. perampasan sumber kehidupan rakyat atas nama penyelamatan iklim global.”
WWF: Momentum luar biasa
Sementara itu, WWF menyambut baik dan menyatakan, komitmen itu momentum luar biasa. Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, komitmen ini mengarah pada transformasi industri minyak sawit global. WWF, katanya,  menaruh keyakinan komitmen para petinggi  industri sawit terkemuka dan Kadin ini memberikan titik terang di pasar global. “ Bahwa Indonesia serius menjalankan langkah-langkah perbaikan menuju produksi minyak sawit berkelanjutan.”
Dia sadar, tantangan yang dihadapi dalam menjalankan komitmen ini sangat besar dan keberhasilan implementasi komitmen mutlak memerlukan dukungan para produsen lain, organisasi lingkungan, pedagang, konsumen, pemerintah dan masyarakat.
Irwan Gunawan, Strategic Leader of Agriculture & Fisheries Market Transformation WWF-Indonesia mengatakan, sebenarnya pasar global merupakan pendorong penting membantu industri sawit Indonesia mencapai standar keberlanjutan.
“Memboikot atau mencari pengganti sawit bukanlah jalan keluar. Justru berpotensi membawa dampak sampingan terhadap banyak hal di luar komoditas  itu. Yang penting bagaimana menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan,” katanya dalam rilis kepada media.
WWF percaya, komitmen yang disampaikan di New York berada di jalur tepat dalam mencapai keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Perlindungan hutan dan REDD+
Sementara itu, dalam event REDD+ di New York, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menekankan pentingnya melindungi hutan tropis dan lahan gambut. Terlebih, Indonesia memiliki hutan tropis ketiga dunia dan lahan gambut terbesar yang menyimpan banyak karbon.
“Melindungi mereka penting guna menghindari dampak perubahan iklim lebih buruk.  Komitmen Indonesia melawan deforestasi dan degradasi lahan gambut bagian dari kontribusi kami kepada dunia dalam menekan laju perubahan iklim,” katanya.
Dia mengatakan, alih fungsi hutan dan lahan memberikan kontribusi besar dalam pelepasan emisi karbon, terbesar diberikan deforestasi dan degradasi hutan. Untuk Indonesia, lebih dari dua pertiga gas rumah kaca disumbangkan oleh alih fungsi lahan dan hutan ini. “Namun di waktu sama, kami juga melindungi hutan guna melawan perubahan iklim ini.”
Dalam kesempatan itu, SBY memaparkan BP REDD+ yang sudah terbentuk sebagai bukti upaya Indonesia menekan deforestasi dan degradasi. Dia secara pribadi terlibat dalam pemberntukan badan ini.
Menurut dia, ada beberapa pelajaran penting dari keberadaan REDD+.  Pertama, ada REDD+ itu mengubah pola pikir dalam penggunakan dan pengelolaan hutan. Yakni, menggunakan pendekatan baru tata kelola hutan yang menekankan pada kontribusi hutan bagi konservasi lingkungan.
Kedua, REDD+ relevan dan tak hanya mengenai lingkungan tetapi juga sosial. Bentuk ini juga memberikan penekanan pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Ketiga, guna memastikan REDD+ berjalan, dengan melibatkan semua stakeholders. “Ini penting untuk bekerja bersama, pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat.”
Keempat, menekankan pentingnya regulasi. Sebagai contoh, kebijakan moratorium izin baru pada kawasan hutan dan lahan gambut pada 2011. Dengan kebijakan itu, SBY mengklaim, Indonesia bisa melindungi lebih dari 63 juta hutan primer dan gambut. Kebijakan ini sudah diperpanjang hingga 2015.
Sumber: mongabay.co.id

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Release
TUK-Indonesia, Silvagama, Elsam, WALHI

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Climate Summit Delegation , Wake Up before Leave !!

Jakarta 25 September 2014, Dalam acara Climate Summit 2014 yang diselengarakan oleh PBB di New York 23 September 2014, 27 Negara dan  34 perusahaan yang berkaitan dengan proses deforestasi, serta berbagai Organisasi masyarakat sipil, menandatangani Deklarasi New York untuk Penyelamatan Hutan Dunia. Deklarasi ini menargetkan pemulihan hutan 150 juta hektar pada tahun 2020 dan hingga 200 juta hektar pada tahun 2030. Komitmen ini didasar oleh fakta bahwa 1,6 milyar masyarakat dunia bergantung dengan hutan, sedangkan laju deforestasi mencapai 14 juta hektar setiap tahunnya.1*
Hadirnya perwakilan sejumlah perusahaan besar sector sawit dan kertas dalam konferensi ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah organisasi di Indonesia, seperti halnya Norman Jiwan Direktur Eksekutif TUK-Indonesia dalam konferensi pers mereka di kantor WALHI menilai “Dari segi substansi, deklarasi ini terjebak dan tergiring dalam agenda negara maju agar kewajiban penghentian dan pengurangan radikal emisi gas rumah kaca tidak akan pernah dipandang sebagai solusi cepat dan tepat. Sebaliknya hutan dilihat sebagai solusi cepat, tepat, tersedia dan paling murah saat ini”
“”Wilmar, GAR dan Cargil (bersama KADIN) tidak bisa diklaim menjadi contoh yang baik. Ini jelas contoh kegagalan negara mengendalikan industri perusak hutan dan lahan Indonesia, justru Beberapa group perusahaan sawit dan pulp and paper tersebut berhasil memanfaatkan climate summit sebagai manifesto global bahwa mereka terdepan dalam komitmen ‘zero deforestasi’. Dimana Pengusaha baru komitment diatas kertas sudah menyandera PBB dan Climate Summit untuk mendapatkan insentif””. Lanjut Norman
Sedangkan Syahrul Fitra dari Silvagama, mengungkapkan “” Asian Pulp and Paper (APP) salah satu group yang menandatangani deklarasi New York ini merupakan salah satu group yang Koalisi Anti Mafia Hutan laporkan ke KPK tanggal 16 September 2014 yang lalu, dimana mereka menjadi pihak yang menikmati hasil gratifikasi perizinan yang telah menempatkan beberapa kepala bupati termasuk Gubernur Riau menjadi terpidana kasus korupsi perizinan HTI” 2*
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI, memandang bahwa “Komitmen penurunan deforestasi dan pemulihan hutan pada deklarasi tersebut fiksi iklim yang tidak akan mungkin menjadi kenyataan baik oleh Pemerintah maupun oleh sederet group bisnis monokultur tersebut, di KTT tersebut mereka tanda tangani komitmen penurunan angka deforestasi di Indonesia group pengusaha berselingkuh dengan pemerintah menargetkan 1,1 juta hektar hutan untuk sawit di 2015 dan 5,9 juta hektar untuk HTI dari 14 juta hektar yang terancam mengalami deforestasi””.
“”Deklarasi Neow York ini selain menyembunyikan para pelaku penghancur hutan tropis Indonesia dari mata public, juga telah berhasil melanggengkan target phase keempat bisnis SDA alam Indonesia, setelah selamat dari sanksi apapun atas rangkaian penghancuran lingkungan melalui bisnis ekstraksi, sawit dan pulp and paper, saat ini group besar menunggangi Isu Perubahan iklim untuk bisnis konservasi dan karbon dimana saat ini kavling konsesi bisnis konservasi dan karbon sudah mencapai 397.878 hektar pada tahun 2013 dengan target 2,6 juta hektar.””
“”Kalau Pemerintah mau berangkat ke KTT tersebut dengan kenyataan, seharusnya group perusahaan seperti APP, GAR dan WILMAR tidak berada dalam forum tersebut, karena dari tahun 2013 konsesi mereka langganan titik api penyebab kabut asap Indonesia 3*. kita juga menemukan upaya menyembunyikan penebangan hutam alam pada layer ke-2 anak perusahaan Group WILMAR seperti yang dilakukan PT. Sawindo Cemerlang dan PT. Sawit Tiara Nusa anak group Kencana Agri di Pohuwato provinsi Gorontalo, Dimana sebagian saham Kencana Agri Group milik WILMAR”” 4*
“Persoalan iklim dan keselamatan rakyat gagal menjadi skala priotas yang ril dalam KTT Iklim 2014” ini tutup Zenzi.
Kontak Person :
Zenzi Suhadi – WALHI : 081384502601
Edi Sutrisno – TUK Indonesia : 081315849153
Syahrul – Silvagama : 08116611340
—-
1* http://www.un.org/climatechange/summit/wp-content/uploads/sites/2/2014/09/FORESTS-New-York-Declaration-on-Forests.pdf
2* http://m.antarariau.com/berita/42504/walhi-laporkan-27-korporasi-riau-diduga-korupsi
3* http://walhi-sumsel.blogspot.com/2014/09/cabut-izin-perusahaan-penyebab-bencana.html
4* http://regional.kompas.com/read/2013/02/13/02501484/Hutan.Jadi.Lahan.Sawit
 
 

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Release
TUK-Indonesia, Silvagama, Elsam, WALHI

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Climate Summit Delegation , Wake Up before Leave !!

Jakarta 25 September 2014, Dalam acara Climate Summit 2014 yang diselengarakan oleh PBB di New York 23 September 2014, 27 Negara dan  34 perusahaan yang berkaitan dengan proses deforestasi, serta berbagai Organisasi masyarakat sipil, menandatangani Deklarasi New York untuk Penyelamatan Hutan Dunia. Deklarasi ini menargetkan pemulihan hutan 150 juta hektar pada tahun 2020 dan hingga 200 juta hektar pada tahun 2030. Komitmen ini didasar oleh fakta bahwa 1,6 milyar masyarakat dunia bergantung dengan hutan, sedangkan laju deforestasi mencapai 14 juta hektar setiap tahunnya.1*
Hadirnya perwakilan sejumlah perusahaan besar sector sawit dan kertas dalam konferensi ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah organisasi di Indonesia, seperti halnya Norman Jiwan Direktur Eksekutif TUK-Indonesia dalam konferensi pers mereka di kantor WALHI menilai “Dari segi substansi, deklarasi ini terjebak dan tergiring dalam agenda negara maju agar kewajiban penghentian dan pengurangan radikal emisi gas rumah kaca tidak akan pernah dipandang sebagai solusi cepat dan tepat. Sebaliknya hutan dilihat sebagai solusi cepat, tepat, tersedia dan paling murah saat ini”
“”Wilmar, GAR dan Cargil (bersama KADIN) tidak bisa diklaim menjadi contoh yang baik. Ini jelas contoh kegagalan negara mengendalikan industri perusak hutan dan lahan Indonesia, justru Beberapa group perusahaan sawit dan pulp and paper tersebut berhasil memanfaatkan climate summit sebagai manifesto global bahwa mereka terdepan dalam komitmen ‘zero deforestasi’. Dimana Pengusaha baru komitment diatas kertas sudah menyandera PBB dan Climate Summit untuk mendapatkan insentif””. Lanjut Norman
Sedangkan Syahrul Fitra dari Silvagama, mengungkapkan “” Asian Pulp and Paper (APP) salah satu group yang menandatangani deklarasi New York ini merupakan salah satu group yang Koalisi Anti Mafia Hutan laporkan ke KPK tanggal 16 September 2014 yang lalu, dimana mereka menjadi pihak yang menikmati hasil gratifikasi perizinan yang telah menempatkan beberapa kepala bupati termasuk Gubernur Riau menjadi terpidana kasus korupsi perizinan HTI” 2*
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI, memandang bahwa “Komitmen penurunan deforestasi dan pemulihan hutan pada deklarasi tersebut fiksi iklim yang tidak akan mungkin menjadi kenyataan baik oleh Pemerintah maupun oleh sederet group bisnis monokultur tersebut, di KTT tersebut mereka tanda tangani komitmen penurunan angka deforestasi di Indonesia group pengusaha berselingkuh dengan pemerintah menargetkan 1,1 juta hektar hutan untuk sawit di 2015 dan 5,9 juta hektar untuk HTI dari 14 juta hektar yang terancam mengalami deforestasi””.
“”Deklarasi Neow York ini selain menyembunyikan para pelaku penghancur hutan tropis Indonesia dari mata public, juga telah berhasil melanggengkan target phase keempat bisnis SDA alam Indonesia, setelah selamat dari sanksi apapun atas rangkaian penghancuran lingkungan melalui bisnis ekstraksi, sawit dan pulp and paper, saat ini group besar menunggangi Isu Perubahan iklim untuk bisnis konservasi dan karbon dimana saat ini kavling konsesi bisnis konservasi dan karbon sudah mencapai 397.878 hektar pada tahun 2013 dengan target 2,6 juta hektar.””
“”Kalau Pemerintah mau berangkat ke KTT tersebut dengan kenyataan, seharusnya group perusahaan seperti APP, GAR dan WILMAR tidak berada dalam forum tersebut, karena dari tahun 2013 konsesi mereka langganan titik api penyebab kabut asap Indonesia 3*. kita juga menemukan upaya menyembunyikan penebangan hutam alam pada layer ke-2 anak perusahaan Group WILMAR seperti yang dilakukan PT. Sawindo Cemerlang dan PT. Sawit Tiara Nusa anak group Kencana Agri di Pohuwato provinsi Gorontalo, Dimana sebagian saham Kencana Agri Group milik WILMAR”” 4*
“Persoalan iklim dan keselamatan rakyat gagal menjadi skala priotas yang ril dalam KTT Iklim 2014” ini tutup Zenzi.
Kontak Person :
Zenzi Suhadi – WALHI : 081384502601
Edi Sutrisno – TUK Indonesia : 081315849153
Syahrul – Silvagama : 08116611340
—-
1* http://www.un.org/climatechange/summit/wp-content/uploads/sites/2/2014/09/FORESTS-New-York-Declaration-on-Forests.pdf
2* http://m.antarariau.com/berita/42504/walhi-laporkan-27-korporasi-riau-diduga-korupsi
3* http://walhi-sumsel.blogspot.com/2014/09/cabut-izin-perusahaan-penyebab-bencana.html
4* http://regional.kompas.com/read/2013/02/13/02501484/Hutan.Jadi.Lahan.Sawit