Analisa Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan Pada Aspek Lingkungan

Pada awal tahun 2022, pemerintah mengumumkan mencabut ribuan izin usaha tambang, kehutanan, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan (Kemensetneg 2022). Pencabutan ini merupakan evaluasi besar-besaran terhadap izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan lahan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Hanya saja, pencabutan izin yang dilakukan ini lebih didasari pada efisiensi ekonomi, bukan terkait masalah lingkungan (Mongabay 2022). Pertama, pernyataan Presiden bahwa pencabutan tersebut terdiri atas izin-izin yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan (Kemensetneg 2022). Kedua, basis argumentasi KLHK (2022)didalam pencabutan izin konsesi kehutanan lebih mengutamakan optimalisasi produktivitas kawasan hutan untuk penyiapan lapangan kerja dalam mendorong produktivitas pertumbuhan Indonesia, dibandingkan sebagai upaya pemulihan lingkungan dan sosial.

Padahal, upaya pemulihan lingkungan tidak bisa dikesampingkan, sebab faktualnya. ancaman perubahan iklim meningkat secara signifikan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2021 mencatat sebanyak 5.402 kejadian bencana, dan 99,5% didominasi oleh bencana hidrometeorologi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kejadian bencana tersebut meliputi banjir 1.794 kejadian, cuaca ekstrem 1.577 kejadian, longsor 1.321 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 579 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 91 kejadian, dan kekeringan 15 kejadian. Prediksi WALHI (2022) bahwa bencana hidrometeorologi pada 2022 akan meningkat sebesar 7% dibandingkan pada 2021.

Tingginya bencana menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap dampak dari perubahan iklim. Kerentanan tersebut tercermin dari kenaikan Global Climate Risk Index (CRI) Indonesia pada 2018 di peringkat 64 menjadi peringkat 14 dunia pada 2019 (Eckstein et. al 2020, 2021). Akibat dampak dari perubahan iklim, Kementerian Keuangan (2019) memperkirakan pada 2050 Indonesia akan alami kerugian ekonomi sebesar 1,4% dari nilai PDB 2019.

Pengendalian perubahan iklim termasuk dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) memerlukan dana tidak kecil. Dalam dokumen Second Biennial Update Report (2018), agar tercapai target penurunan emisi pada 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional, estimasi pendanaan yang dibutuhkan Indonesia mencapai 247,2 miliar USD. Sektor hutan dan energi menjadi sektor utama dalam target penurunan emisi yang memiliki kebutuhan dana paling besar yaitu 5,56 miliar USD dan 236,2 miliar USD (BUR 2018).

Berkenaan dengan pendanaan iklim, ketidakjelasan konsekuensi khususnya terkait mekanisme disinsentif yang minim membuat implementasi di lapangan memiliki gap besar antara komitmen dan implementasi. Sejumlah uang banyak disalurkan oleh penyandang dana kepada sektor-sektor yang justru telah merisikokan hutan dan memperburuk iklim (TuK INDONESIA 2020, Responsibank 2022).

Dalam konteks pencabutan ribuan izin, mengindikasikan bahwa implementasi kerangka Environmental, Social, dan Governance (ESG) lemah. Sejumlah korporasi yang dicabut izinnya pada Januari 2022, tercatat telah menerima utang dan penjaminan sebesar 26,62 miliar dolar AS sepanjang 2017-2021. Sebesar 9,37 miliar dolar AS atau 35% diantaranya berasal dari BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan Bank Sinar Mas (TuK INDONESIA 2022). Dengan demikian, sejumlah pembiayaan yang telah disalurkan tersebut akan menjadi risiko bagi penyandang dana.

Sebagai upaya perbaikan tata kelola Sumberdaya Alam (SDA) dan penguatan sistem perizinan, TuK INDONESIA memandang pencabutan izin merupakan langkah positif pemerintah yang perlu didukung. Namun, TuK INDONESIA menekankan bahwa momentum pencabutan izin ini semestinya mampu menjawab persoalan ketimpangan kepemilikan lahan, penyelesaian konflik tenurial, dan pemulihan lingkungan. Sehingga, indikator di dalam pencabutan izin dapat diperluas pada aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata kelola (LST) dan evaluasi dapat dilakukan secara berkala.

Dalam konteks demikian, TuK INDONESIA memandang perlu menyusun sebuah studi terkait kelayakan pencabutan izin pada aspek LST. Studi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian terkait agar dapat dilakukan eskalasi pencabutan izin yang layak dari aspek LST dan sebagai bahan pertimbangan agar tidak menerbitkan izin baru.

Lembar fakta hasil studi tersaji pada laman berikut: lembar fakta analisa pencabutan izin konsesi kawasan hutan pada aspek lingkungan

TuK INDONESIA Temukan 72% Pencabutan Izin Konsesi Layak dari Aspek Lingkungan

Jakarta, 5 Januari 2023. Pencabutan izin konsesi kawasan hutan telah berjalan satu tahun. Dalam rentang waktu tersebut, Pemerintah Indonesia belum juga menunjukkan tanda-tanda keseriusan dalam melakukan penataan ulang lahan kawasan hutan.

Pada saat mengumumkan pencabutan izin, Presiden didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan lahan-lahan yang telah dicabut izinnya akan dialihkan kepada warga, komunitas, organisasi lainnya untuk digunakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Tidak hanya itu, pencabutan izin tersebut ditujukan untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang terus mengalami degradasi dan deforestasi yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, mengatakan bahwa pencabutan izin ini harusnya menjadi langkah awal dalam melakukan penataan terhadap industri kehutanan di Indonesia. Namun, tidak dalam perencanaan dan pelaksanaan yang baik sehingga berdampak pada tidak dapat dieksekusinya lahan kawasan hutan yang telah dilakukan pencabutan. Bahkan perusahaan berpeluang besar untuk melakukan gugatan hukum terhadap Negara.

Penelitian TuK INDONESIA menemukan kebijakan pencabutan izin konsesi kehutanan ini harusnya bisa menjadi langkah besar dalam perbaikan penataan lingkungan hidup. Dalam hasil skoring fungsi kawasan hutan menunjukkan bahwa pencabutan izin layak dari aspek lingkungan. Sebab, sebesar 72% areal konsesi yang dicabut 2022 dan dievaluasi merupakan areal dengan fungsi hutan lindung (HL) dan fungsi hutan produksi terbatas (HPT) yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit. Areal tersebut juga dominan pada kelas tanah dengan tingkat kepekaan sangat tinggi dan dalam kelas kelerengan sangat curam. Hal ini mengindikasikan kerentanan bencana ekologis pada kawasan–kawasan konsesi tersebut.

Faktualnya, izin konsesi kawasan hutan yang telah dicabut telah beralih menjadi perkebunan sawit dan masih beroperasi hingga kini. Sebagai contoh PT Agriprima Cipta Persada Grup Gama/Ganda, PT Agrinusa Persada Mulia Grup KPN Corp Plantation Division/Gama, PT Papua Agro Lestari Grup Korindo, PT Berkat Cipta Abadi (II) Grup TSE yang berada di Merauke, Papua. Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan bahwa didalam keputusan yang berangkai, ketika induknya sudah dicabut namun masih beroperasi, itu termasuk aktivitas illegal.

Fakta lain, 24 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat telah dilakukan evaluasi perizinan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2021, namun hanya 12 perusahaan yang dilakukan pencabutan izin konsesi kehutanan. Padahal hasil evaluasi, perusahaan tersebut terbukti telah melakukan pelanggaran.

Atas dasar tersebut TuK INDONESIA menyampaikan usulan kepada pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan perencanaan yang lebih sistematis terhadap pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Sehingga dapat diakses oleh masyarakat disekitar kawasan hutan dan mengembalikan fungsi lindung terhadap kawasan hutan yang telah dilepasakan sebelumnya. “Sebagai tindak lanjut perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai redistribusi memberikan tanah miskin kepada warga miskin”, ungkap Edi. Hal ini senada yang disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian, bahwa upaya yang harus dilakukan setelah pencabutan izin ini yaitu pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan.

Pencabutan izin konsesi dinilai belum menuju kepada terciptanya keadilan. “Keadilan tidak dapat tercipta dalam ruang tertutup. Persoalan ini menjadi rumit sebab publik dalam republik ini tidak diberikan akses untuk tahu sejauh mana perjalanan negara ini sudah ditempuh”, lanjut Bayu.

Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan, menambahkan bahwa pencabutan izin ini harusnya juga direspon oleh Lembaga jasa keuangan, khususnya terkait dengan kebijakan keuangan berkelanjutan yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini layak dikorelasikan dengan kebijakan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Sehingga investasi yang berkelanjutan memiliki jaminan pada masa depan, memiliki jaminan hukum, serta secara berimbang memiliki apresiasi dan penalti (carrot and stick).

Dalam konteks regulasi yang lebih detail, Riawan menekankan bahwa Instrumen Hukum Administrasi Negara diperlukan dalam mengembangkan green investment policy yang meliputi: instrumen peraturan perundang-undangan (termasuk amandemen produk-produk hukum yang belum mencerminkan konsep green investment), instrumen rencana (het plan) untuk mempersiapkan kebijakan, instrumen keuangan negara melalui green budget policy, instrument peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) dan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst) dan instrumen benda-benda publik (publiek domein) yang berkaitan dengan kebijakan investasi hijau.

Sosilog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, mengajak publik intelektual agar merepolitisasi demokrasi dan merepresentasi rakyat. Sebab, demokrasi tidak bias hanya mengandalkan hukum. Keruhnya demokrasi ditandai ruang publik yang di dalamnya tidak terdapat pertarungan ide. Maka dalam rangka mendorong pencabutan izin konsesi perlu kontrol publik untuk mendorong kualitas kebijakan yang baik. “Kita perlu menciptakan ruang publik yang di dalamnya ramai pertarungan ide khususnya mengenai isu substantif yaitu penguasaan sumber daya alam yang tidak berbatas pada wacana-wacana prosedural”, pungkas Arie.

***

Narahubung:

  1. Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected])
  2. Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian ([email protected] )
  3. Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan ([email protected])
  4. Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jogyakarta, Riawan Tjandra ([email protected])
  5. Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito ([email protected])

Materi narasumber dapat diunduh pada link berikut:Pencabutan Izin Konsesi dan Investasi Hijau, Analisis_Pencabutan_Izin,

Media Briefing: Satu Tahun Pencabutan Izin Konsesi & Investasi Hijau

Pada 5 Januari 2022, pemerintah mengumumkan mencabut ribuan izin usaha tambang, kehutanan, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan (Kemensetneg 2022). Pencabutan ini merupakan evaluasi besar-besaran terhadap izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan lahan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Hanya saja, pencabutan izin yang dilakukan ini lebih didasari pada efisiensi ekonomi, bukan terkait masalah lingkungan. Pertama, pernyataan Presiden bahwa pencabutan tersebut terdiri atas izin-izin yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan (Kemensetneg 2022). Kedua, basis argumentasi KLHK (2022) didalam pencabutan izin konsesi kehutanan lebih mengutamakan optimalisasi produktivitas kawasan hutan untuk penyiapan lapangan kerja dalam mendorong produktivitas pertumbuhan Indonesia, dibandingkan sebagai upaya pemulihan lingkungan dan sosial. Padahal, upaya pemulihan lingkungan tidak bisa dikesampingkan, sebab faktualnya ancaman perubahan iklim meningkat secara signifikan.

Dalam konteks pencabutan ribuan izin, mengindikasikan bahwa implementasi kerangka Environmental, Social, dan Governance (ESG) lemah. Sejumlah korporasi yang dicabut izinnya pada Januari 2022, tercatat telah menerima utang dan penjaminan sebesar 26,62 miliar dolar AS sepanjang 2017-2021. Sebesar 9,37 miliar dolar AS atau 35% diantaranya berasal dari BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan Bank Sinar Mas (TuK INDONESIA 2022). Dengan demikian, sejumlah pembiayaan yang telah disalurkan tersebut akan menjadi risiko bagi penyandang dana.

TuK INDONESIA bersama para akademisi akan menyelenggarakan media briefing bertajuk “Satu Tahun Pencabutan Izin Konsesi & Investasi Hijau”. Mendiskusikan dengan para pakar bahwa momentum pencabutan izin ini semestinya mampu menjawab persoalan ketimpangan kepemilikan lahan, penyelesaian konflik tenurial, dan pemulihan lingkungan. Sehingga, indikator di dalam pencabutan izin dapat diperluas pada aspek Environmental, Social, dan Governance (ESG) dan investasi hijau benar-benar dapat diterapkan.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:

Kamis, 5 Januari 2023 | Pkl. 10.00-13.00 WIB | Ke:kini Coworking Space, Jl. Cikini Raya No 45, Jakpus | Zoom ID: 845 7896 9009, Pass: indonesia

dengan Panelis:

  1. Dr. Arie Sujito, Sosiolog Universitas Gadjah Mada
  2. Dr. Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB
  3. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  4. Juniati Gunawan, PhD, Kepala Trisakti Sustainability Center
  5. Dr. Riawan Tjandra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya