Press Release: Sime Darby Unsustainable, Buyers dan Financiers Harus Menghentikan Hubungan Bisnisnya.

Jakarta, 21 Maret 2019 – Masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat menyampaikan keberatan atas dijualnya PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) oleh Sime Darby Plantation, perusahaan asal Malaysia.

PT MAS, anak perusahaan milik Sime Darby plantation telah ingkar janji dan melanggar Undang-Undang serta Peraturan Indonesia, hukum internasional, standar tata kelola terbaik sukarela internasional RSPO, dan Panduan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sime Darby Plantation merampas tanah masyarakat adat Dayak Hibun di dusun Kerunang dan Entapang dengan menjadikan tanah masyarakat adat sebagai wilayah hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT MAS. PT MAS melanggar janji awal penyuluhan tahun 1995 bahwa perusahaan hanya meminjam tanah masyarakat untuk membangun perkebunan kelapa sawit selama 25 tahun. Namun tanpa pengetahuan dan persetujuan masyarakat PT MAS menjadikan tanah masyarakat sebagai hak guna usaha (HGU).

“Sime Darby dan manajemen PT MAS jangan lari dari tanggung jawab menyelesaikan konflik tanah yang telah berlarut-larut sejak tahun 1999. Pemerintah Indonesia tidak boleh mengizinkan dan mengesahkan penjualan PT MAS, sampai konflik tanah dengan masyarakat diselesaikan sepenuhnya. Tanah hak adat yang dirampas PT MAS seluas 1.462 hektar harus dikembalikan kepada masyarakat Kerunang dan Entapang,” kata Redatus Musa, perwakilan masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang – Entapang.

Sime Darby Plantations, perusahaan sawit Malaysia terbesar di dunia adalah pendiri dan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Penjualan PT MAS merupakan tindakan arogan, ilegal dan sewenang-wenang sebab Sime Darby tanpa niat baik mengabaikan musyawarah serta menafikan mufakat dengan masyarakat adat Dayak Hibun sebelum menjual PT MAS.

Bahkan dalam norma produksi dan tata kelola industri minyak sawit global, tindakan penjualan PT MAS oleh Sime Darby Group tidak sesuai dengan semangat dan komitmen Kode Etik keanggotaan RSPO. Tindakan penjualan PT MAS tidak transparan, melanggar asas kepatutan dan kepatuhan norma-norma hukum internasional dan hak asasi manusia.

“Tindakan Sime Darby menjual PT MAS menunjukan ada yang salah dengan sertifikasi RSPO karna gagal memberikan penghormatan, perlindungan dan pemulihan hak asasi manusia sebagaimana disyaratkan RSPO. Sejak 2012 RSPO telah memberikan sertifikat minyak sawit berkelanjutan kepada 10 pabrik dan perkebunan kelapa sawitt anak perusahaan Sime Darby meskipun konflik akibat perampasan hak tanah akibat HGU di PT MAS tidak pernah diselesaikan. Ini jelas melanggar RSPO etika kepatutan dan kepantasan, kepatuhan hukum, HAM dan FPIC serta kewajiban pemulihan dampak HAM oleh perusahaan multi-nasional negara-negara anggota OECD. Resolusi Majelis Umum RSPO November 2018 melarang Anggotanya menjual anak perusahaan, pabrik dan perkebunan yang sedang berkonflik,” kata Norman Jiwan mantan Executive Board RSPO.

Pihak penyandang dana serta pembeli minyak sawit Sime Darby juga perlu mengambil sikap dalam menyikapi konflik ini. Sejak 2012-2018, Sime Darby mendapatkan dukungan pendanaan dari lembaga keuangan antara lain Maybank, HSBC, Standard Chartered, Deutsche Bank, Credit Suisse dan Lembaga Dana Pensiun Norwegia. Beberapa pembeli minyak sawit seperti Cargill, Musim Mas, Unilever, dan Wilmar International yang menerapkan komitmen RSPO dan kebijakan No Deforestation, No Peat dan No Exploitation (NDPE) juga memasok minyak sawit dari Sime Darby.

“Kepada para penyandang dana, bank, investor dan pemegang saham serta pembeli minyak sawit Sime Darby Group segera menghentikan hubungan bisnis dengan Sime Darby Group. Sudah sepantasnya hubungan bisnis dihentikan sebab sejak 2012 Sime Darby gagal menyelesaikan konflik tanah dengan masyarakat Kerunang dan Entapang sesuai Prinsip dan Kriteria RSPO. Bahkan RSPO terbukti gagal mendorong Sime Darby memulihkan hak tanah adat masyarakat,” kata Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

Marcus Colchester dari Forest Peoples Program memengatakan sebagai sebuah organisasi hak asasi manusia internasional dan anggota RSPO, FPP sangat kecewa bahwa Sime Darby telah mengabaikan Resolusi yang dikeluarkan RSPO pada bulan November 2018 yang meminta para anggota tidak menjual anak perusahaan yang sedang menjadi subjek pengaduan RSPO. Tindakan Sime Darby akan dilihat oleh anggota RSPO lainnya sebagai sebuah ungkapan niat tidak baik. Masyarakat Dayak Hibun telah dirampas hak adat atas tanah-tanah mereka oleh PT MAS tanpa keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan mereka. Tindakan penjualan PT MAS ini merupakan sebuah pelanggaran salah satu dari ketentuan standar RSPO yang dirancang untuk menghindari perampasan lahan dan konflik tanah. Masyarakat Dayak Hibun meminta dikembalikannya tanah mereka sesuai dengan hak mereka didalam hukum internasional dan perjanjian hak asasi manusia yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Sayangnya Panel Pengaduan RSPO sangat lamban selama beberapa tahun tetakhir menindaklanjuti pengaduan ini sampai akibatnya kasus ini dilaporkan ke OECD. Saat ini ketika OECD mulai menggagas beberapa pertemuan untuk memulai proses resolusi konflik, Sime Darby malah memutuskan menjual PT MAS.

Dengan adanya konflik lahan atas perampasan hak tanah adat akibat izin HGU di PT MAS, masyarakat adat Dayak Hibun dari Kerunang dan Entapang pemilik dan ahli waris mendesak Pemerintah, OECD-National Contact Point Swiss (Swiss NCP), RSPO, bank, investor, pemegang saham, dan pembeli minyak sawit agar Sime Darby segera mengembalikan tanah adat masyarakat.

“Kami juga mengingatkan kepada perusahaan yang mengakuisisi PT Mitra Austral Sejahtera bahwa sampai saat ini tanah HGU PT MAS masih bersengketa dan masih menyisakan banyak permasalahan,” tutup Redatus Musa.

Contact Person:

Mubarok – TuK INDONESIA (0813-1109-8787)

 

 

Sertifikasi RSPO diberikan kepada Sime Darby antara 2012-2018

No. Pabrik dan Perkebunan Tahun
Inti Plasma
1 PT. Bina Sains Cemerlang 2012  
2 PT Sajang Heulang 2013
3 PT Paripurna Swakarsa 2012
4 PT Swadaya Andhika 2012
5 PT Laguna Mandiri 2012
6 PT Tamaco Graha Krida 2012 2015
7 PT Bahari Gembira Ria 2012
8 PT Perkasa Subur Sakti 2013
9 PT Sandika Nata Palma 2014
10 PT Guthrie Pecconina Indonesia 2012 2016

 

Modul Sekolah Lapang untuk Petani

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu pada tahun 2018 ini, agenda Advokasi dan Pendampingan Petani di Kabupaten Seluma provinsi Bengkulu telah memasuki tahap peningkatan kapasitas kelompok Tani sebagai upaya dalam memperkuat sumber-sumber ekonomi keluarga Petani di Kelompok-kelompok yang didampingi.

Untuk melakukan pendampingan yang lebih Intensif salah satu strategi pendekatannya adalah dengan melakukan Serial Pelatihan untuk para petani yang sedang membangun organisasi kelompoknya masing-masing di beberapa desa di Kabupaten Seluma provinsi Bengkulu.

Modul Sekolah Lapang untuk Petani ini merupakan Seri dan Cetakan Pertama dari Walhi Bengkulu yang bekerjasama dengan TuK INDONESIA (Transformasi Untuk Keadilan Indonesia) yang akan diujicobakan di Kabupaten Seluma pada tahun 2018 ini.

Modul Sekolah Lapang ini disusun dan didesain untuk digunakan dalam pelatihan yang akan dilaksanakan dalam rangka Penguatan kelompok Tani dalam bidang Pertanian dengan mengembangkan potensi lokal di desa masing-masing.

4. MODUL SEKOLAH LAPANG Bengkulu_compressed (1)

Buku Panduan Teknik Budidaya Jagung

Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan karena banyak mengandung karbohidrat, kalium, asam jagung dan minyak lemak. Di Indonesia, jagung merupakan tanaman pangan terpenting kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan untuk bahan baku industri dan pakan ternak. Kebutuhan jagung di Kabupaten Banggai terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan industri yang memerlukan bahan baku jagung.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka produksi jagung harus ditingkatkan. Produktifitas jagung di Kabupaten Banggai dari tahun 2010 sampai 2014 secara berturut-turut yaitu 35,76 ton/ha, 36,06 ton/ha, 37,68 ton/ha, 43,35 ton/ha, dan 44,38 ton/ha (BPS, 2015). Usaha peningkatan produksi jagung dapat dilakukan dengan perbaikan teknik budidaya, salah satunya dengan perbaikan teknik pemupukan. Para petani umumnya masih menggunakan pupuk anorganik untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Padahal penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dan terus menerus dapat merusak lingkungan, diantaranya struktur tanah menjadi keras dan mikroorganisme tanah menjadi berkurang yang berakibat pada menurunnya produktivitas tanah. Oleh karena itu, dibutuhkan pupuk organik yang dapat mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, meningkatkan kemampuan menyimpan air, meningkatkan kemudahan pengolahan dan kesuburan tanah.

Modul Perencanaan & Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga (ERT)

Perencanaan dan pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga (ERT) merupakan upaya mempertahankan keberlanjutan hidup keluarga. Orang sadar bahwa mereka harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Setiap orang harus berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang sudah dirasakan maupun yang timbul di kemudian hari.

Pokok permasalahannya adalah bagaimana dengan segala daya upaya, seseorang “cukup” dapat menjamin hidupnya. Pengertian cukup sangat relative bagi setiap orang. Tidak dapat diukur dengan dengan tersedianya materi yang berlebihan. Tetapi lebih pada adanya kepuasan yang dirasakan oleh yang bersangkutan. Seseorang dapat merasakan kepuasan apabila tidak selalu merasa kekurangan, dan diburuh oleh kebutuhan yang selalu sangat mendesak, yang menjerumuskan mereka ke jalan ber-hutang atau “tutup lobang 2 gali lobang“ karena kurang menyadari perlunya pemisahan antara kebutuhan dan keinginan. Perkembangan industri, kemajuan perdagangan, iklan-iklan, sangat merangsang seseorang untuk membeli barang-barang yang menjadi keinginan dan bukan kebutuhan mereka. Seseorang dapat termotivasi untuk memenuhi keinginan, tanpa memikirkan jumlah penghasilan yang diperoleh. Ketika seseorang memperoleh penghasilan cukup tinggi, mereka cenderung tergoda untuk membelanjakannya dengan membeli barangbarang mewah seperti radio, tipe recorder, TV dan lain-lain. Pada akhirnya, seseorang harus gali lobang tupu lobang atau berhutang. Jika keadaan tersebut secara terus menerus berulang-ulang, akan dapat mendorong seseorang masuk dalam proses pemiskinan diri mereka sendiri.

Perencanaan dan pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga (ERT) yang berhasil, dapat membantu seseorang mengatur hidupnya dan keluarganya agar dapat keluar dari jerat “tutup lobang gali lobang“. Penegasan yang perlu diperhatikan disini bukanlah “bagaimana cara melakukannya” melainkan “apakah ada kemauan untuk melaksanakannya”. Bagaimana baiknya cara tersebut tidak akan ada artinya kalau hanya sekedar teori kosong yang tidak pernah diterapkan.

Perencanaan dan pengelolaan ERT lebih mementingkan adanya penghayatan terhadap arti hidup yang tercermin di dalam setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil di dalam memenuhi kebutuhan yang kita rasakan. Kemauan mengatur ekonomi keluarga dengan sebaik-baiknya, didorong dengan adanya sikap tertentu yang harus dimiliki setiap orang yang ingin mencapai keberhasilan. Sedangkan kemampuan mengaturnya didorong oleh “keterampilan yang telah dimiliki”. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan saling melengkapi.

Oleh karena itulah “Perencanaan & Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga“ sangat perlu dilakukan bagi Ibu-Ibu di daerah yang telah didampingi oleh Transformasi untuk Keadilan (TUK) INDONESIA di Kabupaten Banggai, Propinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Dengan tujuan agar keluarga mampu menggunakan daya dan dana yang tersedia dalam jumlah terbatas, sehingga tercipta kesejahteraan dan kepuasan lahir dan bathin. Kesejahteraan dimaksud meliputi adanya rasa kecukupan, rasa keadilan dan kejujuran, serta rasa ketentraman bathin.

Adapun strategi yang perlu dipegang teguh untuk memecahkan masalah ini adalah melalui proses penyadaran diri, serta penyadaran akan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dengan pendapatan kecil. Pencapaian strategi diatas akan mudah jika anggota keluarga terbuka, wajar/realistis serta bertanggung jawab.

2. Modul – Perencanaan & Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga (ERT)_Final (NEW)_compressed

Modul Kepemimpinan Perempuan

Pelatihan untuk penyadaran perempuan yang kerapkali disebut sensitifitas gender sudah selayaknya disesuaikan dengan kondisi geografis, problem kelas, problem ekologis, maupun problem identitas (ras/etnik/agama), sehingga cara fasilitator pelatihan dalam memandang problem gender tidak sempit. Artinya, yang harus dipahami oleh fasilitator pelatihan adalah bahwa problem gender tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ber-interseksi dengan problem yang berkaitan dengan kondisi geografis, problem kelas, problem ekologis, maupun problem identitas (ras/etnik/ agama) dalam struktur sosial dan waktu tertentu.

Kondisi geografis mempertimbangkan konteks rural (pedesaan) atau urban (perkotaan atau semi perkotaan), di mana problemnya mungkin berbeda. Problem perempuan pedesaan –termasuk pedesaan di sekitar hutan, mungkin dalam transisi produsen agraris menjadi tenaga kerja upahan atau pedagang eceran bagi barang-barang pabrikan, infrastruktur kesehatan yang buruk, mobilitas terbatas dan terisolasi dari arus informasi. Ada pun problem perempuan perkotaan, barangkali berkaitan dengan posisi mereka sebagai pekerja serabutan (dan juga pedagang serabutan), fasilitas hidup di kota yang buruk –termasuk dalam hal fasilitas air bersih, persaingan dan kekerasan, individualis, dan sebagainya. Selain itu kita juga musti mencermati perbedaan kondisi geografis di Jawa dan luar Jawa yang dipengaruhi oleh perbedaan karakter industrialisasinya. Industrialisasi di Jawa dan Sumatra Timur telah terjadi sejak abad 19, sementara di sebagian wilayah Luar Jawa baru terjadi sejak 1970an – 1990an. Jenis industri di Jawa saat ini didominasi manufaktur, jasa dan otomotif, sementara di luar Jawa kebanyakan adalah industri ekstraktif.

Modul pelatihan ini secara khusus disusun bagi perempuan yang bermukim di pedesaan –termasuk desa sekitar hutan, pantai, sungai, rawa, atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, pertimbangan adanya pelanggaran hak asasi manusia –baik sipil politik maupun ekonomi, sosial, budaya—yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif (terutama perkebunan sawit dan pertambangan) terhadap masyarakat pedesaan di sekitar hutan, pantai, sungai, rawa, terutama di luar Jawa. Kedua, pelanggaran hak asasi  manusia itu mengakibatkan krisis sosial dan ekologis, di mana perempuan pedesaan kehilangan sumberdaya pangannya, menjadi buruh harian lepas yang permanen, beban kerja dan alokasi waktu untuk kerja produktif dan reproduktif semakin berat, hingga membuat mereka semakin terisolasi dari informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Dengan mempertimbangkan kait-kelindan masalah perempuan pedesaan dan relasi gender dalam struktur sosial masyarakat pedesaan di bawah kapitalisme, sekali lagi, harus menjadi wawasan fasilitator untuk cermat menganalisa masalah perempuan pedesaan tidak dengan generalisasi. Persisnya, bagi seorang fasilitator, harus memiliki kepekaan untuk menganalisa persamaan dan perbedaan “perempuan” dan problem relasi gendernya dalam kelompok sosio-kultural dan geografis yang berbeda-beda. Modul ini disusun untuk membantu fasilitator dapat mengidentifikasi masalah perempuan pedesaan yang berbeda-beda, namun kemudian kita bangun ke dalam kesadaran yang sama, yaitu membangun gerakan perempuan pedesaan untuk menjadi subyek perubahan adil bagi perempuan dan sejahtera bagi desanya.

http://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2019/03/1.-Modul-Kepemimpinan-Perempuan-Ukuran-A4_compressed.pdf

Mendesak Pemerintah Untuk Menjalankan Putusan MA tentang Keterbukaan Informasi HGU

Kami menyayangkan pernyataan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Syofyan Djalil menolak membuka data Hak Guna Usaha (HGU) dengan alasan membahayakan kepentingan nasional, dalam hal ini melindungi industri sawit.

Desakan untuk membuka HGU telah sejak lama dilakukan oleh masyarakat sipil. HGU merupakan salah satu informasi bersifat publik yang harus bisa diakses semua orang. Hal ini salah satunya mengacu putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang memenangkan gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) dalam perkara Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tanggal 22 Juli 2016 yang diperkuat dengan putusan Nomor 121 K/TUN/2017 tertanggal 6 Maret 2017. Putusan tersebut memerintahkan Mentri ATR/BPN membuka data HGU yang masih berlaku hingga tahun 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara baik informasi nama pemegang HGU, tempat/lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditi, peta area HGU yang dilengkapi titik koordinat. Namun sampai sekarang tidak pernah diberikan.  “FWI mencatat dari rentang tahun 2013-2018, Kementerian ATR/BPN sudah 11 kali diadukan oleh kelompok masyarakat sipil maupun perorangan untuk kasus sengketa informasi terkait dokumen HGU. Mulai dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan yang terkahir putusan Komisi Informasi Papua Nomor : 004/III/KI-Papua-PS-A/2018 yang menyatakan informasi yang dimohonkan LBH Papua terkait dokumen HGU 31 perusahaan perkebunan sawit di Papua sampai 2016-2017 bersifat terbuka,kata Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye  Forest Watch Indonesia (FWI).

Beberapa sengketa sampai saat ini terus bergulir di Komisi Informasi baik Pusat maupun Daerah. Greenpeace Indonesia saat ini tengah menjalani sidang gugatan informasi HGU di Komisi Informasi Pusat (KIP) terhadap Kementerian ATR/BPN. Argumen pemerintah tidak memiliki dasar hukum, bertentangan dengan Undang-undang Informasi Publik serta yang telah dipatahkan oleh Mahkamah Agung. Kami mendukung langkah YLBHI mensomasi Kementerian ATR/BPN dan mengambil langkah hukum jika  pemerintah bersikeras dengan sikapnya. kata Asep Komarudin Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

“Masalah tumpang tindih perizinan, seperti izin perkebunan yang berada di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan lahan gambut hingga konflik masyarakat dengan korporasi akan terus terjadi di masa depan, dan apa yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN merupakan langkah mundur dari keterbukaan informasi serta contoh buruk dari lembaga negara yang membangkang terhadap Putusan MA,” tambah Asep.

Usaha menghambat informasi HGU sebetulnya juga dilakukan oleh Menteri ATR/BPN melalui kebijakan (permen 7/2017),” kata Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Bidang Pengembangan Program ICEL. “Pasal 61 Permen tersebut menyatakan bahwa hanya pihak yang berkepentingan saja yang dapat mengakses informasi HGU. Ini bertentangan dengan putusan KIP dan PTUN yang menyatakan bahwa HGU merupakan informasi publik. Selain itu, permen tersebut juga menyebutkan bahwa pemberian informasi akan diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis, yang sampai sekarang belum ada. Bahkan jika Menteri ATR/BPN bersikukuh informasi HGU sebagai informasi rahasia, maka Presiden yang mengungkap informasi HGU di debat Pilpres-pun berpotensi diperkarakan secara pidana berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU KIP dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara,” tegasnya. 

Berdasarkan UU 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Peundang-Undangan, kedudukan Peraturan Menteri hanyalah bersifat teknis administratif dan tidak pada posisi memberikan mengecualian, menambahkan, mengurangi apa-apa yang sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apalagi menyangkut hak-hak informasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, Permen ini bertentangan dengan UU, Putusan Pengadilan dan UUD 1945 khususnya Pasal 28F. Jika diteruskan maka Menteri dapat dikatan telah bertindak sewenang-wenang (onrechtmatige overheidsdaad),” kata Charles Simabura, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.

YLBHI mensomasi mentri ATR/BPN pada Senin, 11/3/2019 untuk membuka data HGU. Menteri ATR akan dilaporkan secara pidana ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia jika dalam tenggat waktu satu minggu tak membuka data HGU. “Sikap Mentri ATR yang menolak membuka data HGU, berulang kali mengabaikan putusan pengadilan dan putusan lembaga auxiliary bodies seperti Komisi Informasi Publik  adalah penghinaan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia. Mentri ATR/BPN dapat dipidana jika tidak membuka informasi HGU,” kata Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.

Sejak adanya Putusan final sengketa informasi HGU yang menyatakan informasi HGU merupakan informasi terbuka, maka seharusnya Menteri ATR/BPN tunduk dan melaksanakan putusan tersebut. Pasal 11 ayat (2) UU KIP juga menyatakan bahwa informasi yang dinyatakan terbuka sebagai hasil sengketa maka otomatis menjadi informasi yang dapat diakses publik dalam kategori wajib disediakan setiap saat. Badan Publik yang dengan sengaja tidak mau memberikan dan atau menerbitkan informasi publik yang harus diberikan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dapat dipidana menurut Pasal 52 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pejabat tersebut dikenakan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah.

Pembangkangan terhadap putusan dan penerbitan peraturan menteri tersebut diatas telah cukup membuktikan Mentri ATR/BPN sengaja tidak mau memberikan dan atau menerbitkan informasi publik dalam hal ini HGU. Padahal tidak dibukanya informasi HGU telah menimbulkan kerugian dan dampak yang sangat luas terhadap kepentingan hajat hidup orang banyak karna telah berkontribusi besar menyebabkan konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan. Belum lagi dampak turunan yang disebabkan seperti penggusuran secara paksa dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup dan bermukim di sekitar wilayah HGU terutama terhadap petani maupun masyarakat adat.

Perkumpulan HuMa Indonesia, hingga Desember 2018, mendokumentasikan 326 konflik yang berlangsung di 158 kabupaten/kota di 32 provinsi, dengan luas areal konflik 2.101.858,221 Ha, yang melibatkan 286.631 jiwa korban, yang terdiri dari 176.337 jiwa masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal. Jika dibagi berdasarkan sektor, konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Konflik perkebunan dengan jumlah 156 konflik seluas 619. 959,04 Ha, yang melibatkan 46.934 jiwa korban. Sementara konflik kehutanan dengan jumlah 86 konflik seluas 1.159.710,832 Ha, yang melibatkan 121.570 jiwa korban. Disisi lain, perusahaan menjadi pihak yang paling sering menjadi pelaku konflik – terlibat dalam 221 konflik- dalam konflik agraria dan sumberdaya alam.

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, kurun waktu 2009 – 2018 telah terjadi sedikitnya 3.168 letusan konflik agraria di seluruh provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1194 letusan konflik terjadi di wilayah (sektor) perkebunan yang disebabkan perampasan tanah secara paksa melalui pemberian HGU secara sepihak maupun HGU yang tumpang tindih dengan wilayah garapan dan pemukiman masyarakat.

“Salah satu akar masalah di konflik agraria adalah terkait tumpang tindih HGU perusahaan dan tanah warga. HGU perusahaan berasal dari tanah publik seharusnya bisa diakses sangat mudah oleh publik. Kalau informasi soal HGU yang berasal dari publik tidak bisa diakses artinya memang ATR/BPN perlu dievaluasi oleh presiden,” kata Ronal M. Siahaan, Manager Hukum Lingkungan da Litigasi, Walhi. HGU utamanya perkebunan sawit juga menyumbang pada kerusakan lingkungan, rusaknya lahan-lahan pertanian dan perekonomian masyarakat.  Salah satu contoh adalah kasus PT Waringin Agro Jaya,  mulai tahun 2007 PT. Waringin Agro Jaya telah membuka sekat kanal yang mengakibatkan menurunnya produktivitas pertanian di Kawasan Areal Lebak Belanti. Pada tahun 2008 keseluruhan lahan Lebak Belanti sekitar ± 2.708 Ha terendam banjir. Tidak ada jalan keluar air di areal lebak. Area ini terus menerus menjadi langganan banjir. Sudah 10 Tahun lamanya tergenang air dan ditumbuhi setedok atau rumput malu setebal ± 1,5 meter. Rusaknya lahan pertanian menjadi kerugian negara selama 10 tahun bahkan lebih dari itu jika tidak segera diselesaikan.

Keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan SDA menjadi hal yang sangat fundamental bagi Masyarakat adat. Masyarakat adat tidak pernah tahu bagaimana proses lahirnya izin HGU dan penetapan kawasan hutan diatas wilayah adat mereka,” kata Arman Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, AMAN.

Berdasarkan data hasil overlay sementara yang dilakukan oleh AMAN, sebaran tumpang tindih izin-izin HGU dengan wilayah adat, tersebar di 307 komunitas adat yang masuk dalam HGU, dengan luasan 313.687.38 Hektar” lanjutnya.

Hal yang sama dengan program reforma agraria (ala presiden Jokowi), AMAN menilai bahwa program RA yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini, justru berpotensi kuat menjadi sumber konflik baru perampasan wilayah adat karena tidak adanya informasi yang jelas mengenai lokasi tanah objek reforma agraria (TORA) dan ketiadaan hukum pengakuan masyarakat adat beserta wilayah adatnya. Dari data sementara yang dioverlay oleh AMAN, menunjukkan lokasi TORA yang tumpah tindih dengan wilayah adat tersebar di 24 Kabupaten/Kota dengan luas 383.729.21 hektar, “ tegas Arman

Senada dengan itu, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Agraria mengatakan, “Ketertutupan HGU juga yang berdampak terhadap mandegnya pelaksanaan reforma agraria dalam 4 tahun ini. Padahal reforma agraria merupakan salah satu janji prioritas pemerintahan Jokowi – JK. Sejumlah organisasi masyarakat sipil juga telah menyerahkan data-data wilayah konflik kepada pemerintah sebagai prioritas penyelesaian konflik agraria. Salah satunya data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang telah diusulkan KPA sejak 2017. Dari 462 lokasi LPRA yang telah diserahkan, sebanyak 224 lokasi dengan luasan 411.465 hektar berkonflik dengan HGU, baik HGU perusahaan Negara (PTPN) maupun HGU perusahaan swasta.

Tuntutan atas reforma agraria bukan karna semata-mata merupakan janji pemerintah yang sedang berkuasa. Namun reforma agraria merupakan mandat konstitusi yang wajib dijalankan oleh siapapun Presiden Indonesia sebagai mandatoris. Salah satu langkah awal untuk menjalankan mandat tersebut, pemerintah harus segera membuka data informasi HGU untuk selanjutnya dikoreksi guna menyelesaikan konflik agraria dan menguarai ketimpangan penguasaan lahan.

“Urgensi pentingnya membuka data HGU juga terkait dengan pendapatan negara, jika HGU tidak dibuka maka publik tidak mengetahui apalagi mengawasi seberapa besar pendapatan negara yang harus diterima dari industri perkebunan,” jelas Vera Falinda, Program Officer TuK Indonesia 

Koalisi mendesak Menteri ATR/BPN untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan membuka data HGU. Jika ini tidak dipenuhi paling lambat sejak satu minggu menerima somasi, maka koalisi akan melaporkan menteri ATR/BPN secara pidana. Koalisi juga mengingatkan Presiden untuk segera memerintahkan dan memastikan menteri ATR/BPN membuka data HGU dan menggunakan data-data itu untuk menyelesaikan konflik-konflik Agraria. Jika tidak maka Koalisi menganggap Pembangkangan hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Menteri ATR-BPN sebagai sikap rezim, dalam arti dilakukan atas restu Presiden.

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK ADVOKASI BUKA DATA HGU

YLBHI, Eknas Walhi, FWI, KPA, Sawit Watch, HUMA, TuK Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, Greeapeace, Elsam

Cp:

  1. Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI  (081210322745)
  2. Asep Komarudin Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia (081310728770)
  3. Ronal M. Siahaan, Manager Hukum Lingkungan da Litigasi, Walhi (087775607994)
  4. Beni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Reforma Agraria (085363066036)
  5. Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, AMAN (081218791131)
  6. Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye  Forest Watch Indonesia 085783517913
  7. Vera Falinda, Program Officer TuK Indonesia  (082177889183)
  8. Mega Dwi Yulyandini, Staf Advokasi dan Kampanya HuMa (081217135686)
  9. Muhammad Busyrol Fuad, Staf Advokasi Hukum ELSAM (085655004863)
  10. Wida Nindita, Staf Pengelola dan Analisis Data Sawit Watch (087873904204)