Laporan "In the Red" – Kebijakan bank di sektor pulp dan kertas

In the Red – Kebijakan Bank gagal untuk memastikan mereka akan menghindari dari investasi tidak bertanggung jawab di dalam industri kertas
Sebuah penilaian baru oleh EPN (Environmental Paper Network) atas kebijakan-kebijakan bank telah diselesaikan dan diterbitkan di sini: http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
Penilaian ini mempelajari seberapa siap sektor keuangan dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial dari keterlibatan sektor keuangan dengan industri pulp dan kertas. Dari 2016 sampai dengan 2017 kami melakukan penilaian benchmark atas kebijakan-kebijakan pulp dan kertas dari 42 bank swasta terhadap persyaratan yang ditetapkan pada tahun 2017 di dalam Green Paper, Red Lines. Red Lines adalah kriteria lingkungan dan sosial, yang mengartikulasikan persyaratan minimum yang perusahaan-perusahaan pulp dan kertas wajib penuhi sebelum investasi dipertimbangkan ke dalam perusahaan-perusahaan tersebut.
42 bank terpilih tersebut terdiri dari salah satu pemodal terbesar sektor pulp dan kertas, dan/atau terlibat di dalam “Kesepakatan-Kesepakatan yang Tidak Jujur”, misalnya proyek pabrik kertas yang menjadi subyek kampanye aktif dari anggota organisasi kami karena dampak lingkungan dan sosial mereka yang berbahaya. Kami melakukan sebuah studi kualitatif yang mendalam atas kerangka kebijakan yang tersedia secara publik dari tiap bank dan menilai hingga sejauh apa kebijakan bank melindunginya dari risiko klien untuk melanggar setiap Red Line.
Hasil dari penilaian kami menyingkap bahwa kebijakan-kebijakan bank sangatlah mengecewakan. Sayangnya tidak satupun dari bank yang kami nilai mampu benar-benar melindungi dirinya dari klien yang melanggar Red Lines. Memang untuk sebagian besar Red Lines, kebanyakan bank tersebut, paling bagus hanya terlindungi sebagian. Kami hanya dapat menyimpulkan kalau sektor perbankan tidak memiliki kebijakan yang sesuai untuk menghindari investasi ke dalam proyek dan perusahaan pulp dan kertas yang merusak.
Red Lines kami sangat didukung oleh lebih dari 140 organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia. Kami harap sektor perbankan akan bekerja sama dengan kami untuk mendorong industri pulp dan kertas menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Seluruh penilaian dan rekomendasi tersedia di sini: http://www.environmentalpaper.eu/in-the-red/
 

In the Red

An assessment of bank policies for financing pulp and paper
Download

Jalan Panjang dan Berliku Keuangan Berkelanjutan

 
Penantian panjang sejak diterbitkannya Roadmap Keuangan Berkelanjutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada bulan Desember 2014, kami kira, telah berakhir.  Betapa menyenangkannya mendapatkan undangan untuk hadir dalam peresmian Bali Center for Sustainable Finance (BCSF) sekaligus peluncuran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan  Keuangan Berkelanjutan (POJK-KB).  Undangan  yang diterima setelah libur Idul Fitri itu seakan menjadi hadiah Lebaran bagi kami yang telah cukup lama memerjuangkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Namun, apa mau dikata, ketika kami hadir pada acara yang diselenggarakan di kampus Universitas Udayana, Denpasar, 12 Juli 2017 itu, yang pertama kali kami terima adalah perubahan susunan acara.  Peluncuran POJK-KB hilang dari susunan acara yang baru.  Susunan acara lainnya tidak berubah, namun fisilitator dan para pembicara diskusi panel yang sedianya menjadi penutup seluruh rangkaian acara hari itu juga berganti.
Ketika acara demi acara kami ikuti, benar saja, hingga akhir tak ada pengumuman tentang POJK-KB itu.  Kami tak bisa masuk ke konferensi pers yang memang hanya diperkenankan diikuti oleh jurnalis undangan.  Kami mendengar kabar bahwa materi konferensi pers sendiri memang akan memuat tentang POJK-KB, tapi karena akses yang terbatas, kami tak bisa menerima kepastian pada waktu tersebut.
Keniscayaan, Tapi Terus Tertunda
Sesungguhnya, keuangan berkelanjutan merupakan keniscayaan zaman.  Bumi sudah berada dalam kondisi yang sedemikian mengkhawatirkan.  Batas-batas keberlanjutan sudah banyak yang terlampaui, sehingga cara kita membangun segera harus diperbaiki secara radikal.  Dari cara membangun yang destruktif menjadi restoratif dan regeneratif.
Konsekuensi dari keharusan itu adalah perubahan dari pangkalnya, yaitu pembiayaan.  Kalau kita terus membayari beragam aktivitas ekonomi yang destruktif, maka kondisi Bumi akan semakin mengkhawatirkan. Dalam perubahan iklim misalnya, kalau kita terus membayari business as usual, jelas kita tak bisa mencapai target peningkatan suhu maksimum 2 derajat Celsius, apalagi 1,5 derajat.
Oleh karena itu, ide dasar dari keuangan berkelanjutan adalah untuk memastikan bahwa Bumi menjadi tempat yang layak huni, dan keadilan sosial serta ekonomi bisa diwujudkan, dengan cara hanya membayari aktivitas ekonomi yang kompatibel dengan tujuan tersebut.  Konsekuensi dari tujuan tersebut adalah bahwa semua keputusan pembiayaan disandarkan tidak saja pada kelayakan keuangan seperti biasanya, melainkan juga kelayakan ekonomi secara luas, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Ketika ukuran ekonomi, sosial, dan lingkungan—juga tata kelola—dipergunakan untuk menimbang keputusan pembiayaan maka akan timbul daftar aktivitas ekonomi yang bisa dibiayai, bisa dibiayai dengan modfifikasi, atau tidak bisa dibiayai sama sekali.  Secara umum, aktivitas yang jelas-jelas mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) serta Kesepakatan Paris lah yang bisa dibiayai.  Sementara yang bertentangan dengan keduanya haruslah dihentikan pembiayaannya.  Tentu, penghentiannya membutuhkan periode transisi untuk menghindari guncangan ekonomi.
Kalau kita simak Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibuat, ketegasan seperti itu belum tampak.  Namun, Indonesia harus memulainya dari titik tertentu.  Sehingga munculnya POJK-KB memang ditunggu-tunggu oleh seluruh pemangku kepentingan.  Kita semua sudah mendengarkan janji OJK untuk meluncurkan regulasi itu sejak tahun 2015, muncul kembali di tengah dan akhir 2016, namun semuanya berakhir dengan ketiadaan kemajuan.  Ancer-ancer waktu yang diberikan selalu meleset, hingga muncul kabar yang tampaknya lebih pasti di bulan Juni, yang bertepatan dengan Ramadan 2017.
Akhirnya para pemangku kepentingan melihat draft POJK-KB yang dijanjikan.  Draft yang diedarkan itu dipandang secara berbeda-beda oleh pemangku kepentingan yang berbeda.  Dari perbankan terdengar selentingan bahwa mereka berpikir substansinya terlampau berat.  Namun bagi organisasi masyarakat sipil yang progresif, kesannya lain sama sekali: ada terlampau banyak hal yang luput dari pengaturan.  Kewajiban membuat berbagai kebijakan sektoral (mis. migas, tambang, perkebunan, kehutanan) maupun tematik (HAM, ketenagakerjaan, lingkungan) tidak ada.  Padahal, penilaian pertama dari keuangan berkelanjutan yang selama ini dikenal adalah terhadap ada-tidaknya kebijakan bank terlebih dahulu.
Namun, terlepas dari pro-kontra substansi draft tersebut, prospek bahwa kita akan segera memiliki POJK-KB tetaplah merupakan kabar yang menyenangkan.  Apalagi, ketika undangan dari OJK datang setelah Idul Fitri, dengan susunan acara yang jelas-jelas menyebutkan peluncuran POJK-KB, kegembiraan jelas dirasakan banyak pihak, termasuk kami.  Ketika kemudian susunan acara berubah, dan peluncuran POJK-KB itu hilang dari daftar, kegembiraan itu sirna.  Ternyata penantian panjang kami belum berakhir.
Pentingnya Pusat Keuangan Berkelanjutan
Dalam kekecewaan lantaran harapan yang belum terkabul, peresmian BCSF dan diskusi panelnya menjadi perhatian berikutnya.  Dari acara tersebut kami mendapati bahwa sesungguhnya dalam pendirian BCSF OJK masih akan menyelesaikan penilaian awal terlebih dahulu.  Apa yang bakal benar-benar dikerjakan di situ akan ditentukan oleh hail dari penilaian tersebut.
Secara umum memang dinyatakan oleh Pimpinan OJK, Gubernur Bali, maupun para panelis diskusi bahwa BCSF akan menjadi pusat penelitian tentang keuangan berkelanjutan dilakukan oleh jejaring peneliti dari berbagai universitas.  BCSF adalah hub.  Selain itu, BCSF akan menjadi tempat peningkatan kapasitas bagi para bankir dalam mengaplikasikan keuangan berkelanjutan.  Dalam hal ini, BCSF adalah sebuah training center.
Sejujurnya, kami masih kerap mendapati pertanyaan sangat mendasar dari kalangan akademisi soal apa yang dimaksud dengan keuangan berkelanjutan.  Termasuk dari mereka yang bertungkus lumus dalam urusan keuangan atau ekonomi secara umum.  Kalau kita lihat latar belakang akademisi di Indonesia, hingga kini jumlah akademisi yang memiliki pendidikan formal di bidang ini masih hampir nol.  Orang seperti Dr. Aidy Halimanjaya dari Pusat Studi SDGs di Universitas Padjajaran—yang kepakarannya dalam keuangan perubahan iklim sudah diakui di level internasional—bisa dihitung dengan jari.
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan juga, lantaran keuangan berkelanjutan sendiri memang bergerak sangat cepat dari pinggiran di awal 2000an menjadi pusat segala perhatian dalam 15 tahun saja.  Universitas-universitas terbaik di dunia—di antaranya Harvard dan Columbia di Amerika Serikat—memang sudah menyediakan sarana pendidikan untuk isu ini, namun di tempat lain masih sangat sulit ditemui.  Kalau Indonesia bergerak lewat BCSF, ini termasuk salah satu yang awal.
Tentu saja, tugas pertama dari pada akademisi adalah mendidik dirinya sendiri dalam keuangan berkelanjutan.  Buku-buku dasarnya harus dikuasai, demikian juga dengan artikel-artikel jurnal terkemuka yang menyediakan perkembangan mutakhir. Perpustakaannya harus dibuat selengkap mungkin, dengan buku-buku dan jurnal, agar akselerasi pengetahuan memang terjadi.  Penelitian di Indonesia harus digenjot dengan cepat, sehingga terkumpul body of knowledge keuangan berkelanjutan yang khas Indonesia, dan benar-benar bisa dimanfaatkan.
Dalam masa yang sama, para akademisi itu perlu untuk membuat berbagai mata kuliah yang relevan, dan membimbing mahasiswa untuk membuat skripsi, tesis, dan disertasi yang mendorong kemajuan pengetahuan dalam bidang ini juga.  Buktinya tentu saja adalah meningkatnya jumlah publikasi ilmiah yang datang lewat perantaraan BCSF.  Dengan demikian, tugas untuk meningkatkan kapasitas para bankir yang disematkan kepada mereka juga bisa dilakukan secara kontekstual Indonesia.
(Tetap) Menanti Kabar Baik
Bagi kami, masih ada satu hal lagi yang sangat mengganjal ketika mendengar bagaimana BCSF itu hendak difungsikan.  Tak ada satupun pihak yang menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil.  Padahal, kita semua tahu, bahwa hanya apabila kelompok masyarakat sipil juga menguasai keuangan berkelanjutan maka akan tercipta kekuatan penyeimbang dan pendukung bagi kemajuan keuangan berkelanjutan.  Kalau ada yang bisa dinyatakan sebagai kekecewaan kami yang kedua, itu adalah tak masuknya agenda meningkatkan kapasitas masyarakat sipil Indonesia di dalam kenduri di Bali itu.
Di level global, keuangan berkelanjutan menjadi agenda masyarakat sipil yang sangat kokoh.  Dalam Pertemuan Puncak Civil20 di Hamburg pada minggu ketiga Juni 2017, keuangan berkelanjutan menjadi topik yang sangat ditekankan, dan menjadi salah satu dari tujuh rekomendasi yang diberikan kepada Kanselir Angela Merkel untuk digodok lebih lanjut dalam Pertemuan Puncak G20.  Jelas, masyarakat sipil di Indonesia butuh peningkatan kapasitas juga agar bisa lebih banyak berkontribusi dalam keuangan berkelanjutan di dalam negeri maupun di kancah internasional.
Presiden Joko Widodo sendiri telah menyinggung keuangan berkelanjutan dalam pidatonya di Pertemuan Puncak G20.  Tentu, Indonesia kemudian akan dinilai oleh negara-negara G20 lainnya, apakah memang pidato itu serius diwujudkan, atau sekadar basa-basi tingkat dewa.  BCSF memegang peranan penting dalam pembuktian itu.  Tapi, tanpa POJK-KB, rasanya sulit untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa kita serius.  Batalnya peluncuran POJK-KB, kami percaya, bukan sekadar membuat kecewa segelintir orang, namun juga jadi perhatian pihak-pihak di luar Indonesia—apalagi perwakilan berbagai negara sahabat juga hadir dalam acara tersebut.
Semoga, pernyataan Dr. Muliaman Hadad bahwa POJK-KB itu segera diluncurkan—sebagaimana yang dikutip oleh Koran Tempo dan Kompas pada tangal 13 Juli 2017, sehari setelah acara—memang berarti dalam bilangan hari saja.  Kami masih menahan nafas hingga sekarang, khawatir bahwa penantian ini ternyata masih butuh waktu lebih lama lagi.  Padahal, komisioner OJK periode ini hanya bertugas hingga beberapa hari ke depan.  Kalau tengat waktunya terlampaui, konon prosesnya harus dimulai dari awal lagi.  Jadi, selain merasakan kekecewaan, kami juga merasa sesak nafas, lantaran kombinasi harapan dan kekhawatiran.  Semoga sesak nafas ini bisa segera berakhir dengan kabar baik dari OJK.
Penulis:

  • Rahmawati Retno Winarni – Executive Director, TuK Indonesia
  • Jalal – Reader on Corporate Governance and Political Ecology, Thamrin School

Sumber: Indonesiana.tempo.co
 

Siaran Pers: Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri (Civil Society Forum on Foreign Policy – ICFP)

Perlu Kerja Ekstra-Keras!
Sikap Masyarakat Sipil Jelang KTT G20 di Jerman
 
Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil Indonesia telah hadir di dalam pertemuan puncak Civil20 (C20) di Hamburg, Jerman, tanggal 18-19 Juni 2017.  Pertemuan tersebut adalah forum yang dibuat secara khusus untuk merumuskan masukan organisasi masyarakat di seluruh dunia kepada negara-negara anggota G20.  Perwakilan Indonesia telah turut serta—bersama-sama dengan perwakilan lebih dari 300 organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia—dalam merumuskan Komunike C20.
Dalam komunike tersebut, jelas dapat bisa dilihat butir-butir pemikiran utama masyarakat sipil yang telah disampaikan kepada Presiden G20, Angela Merkel, Kanselir Jerman.  Secara umum, masyarakat sipil melihat bahwa sistem ekonomi neoliberal yang saat ini mewarnai dunia adalah ancaman terhadap keberlanjutan.  Bila umat manusia serius untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan serta menjalankan Kesepakatan Paris untuk melindungi generasi mendatang dari bencana perubahan iklim, perubahan mendasar atas sistem ekonomi haruslah dilakukan.  Dan ini membutuhkan kerja ekstra-keras dari seluruh negara G20, termasuk dan terutama Indonesia.

Komunike C20

KEBUTUHAN MENDESAK UNTUK

KERJASAMA INTERNASIONAL YANG LEBIH BAIK

Kesimpulan dari Pertemuan Puncak Civil20, Hamburg, 19 Juni 2017

Lebih dari 300 organisasi masyarakat sipil dari seluruh wilayah di dunia berkumpul pada tanggal 18-19 Juni 2017 di Universitas HafenCity di Hamburg, Jerman untuk memberi saran kepada pemerintah negara-negara Kelompok 20 (G20) tentang bagaimana mencapai the world we want atau dunia yang kita inginkan. Jelas bagi kita semua bahwa tantangannya sangat besar, dan sistem ekonomi global kita berada di jalur yang salah. Dunia belum pernah melihat ketimpangan yang sedemikian parah: delapan individu super-kaya sekarang memiliki kekayaan setara dengan separuh bagian bawah populasi dunia. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin melebar di kebanyakan negara di seluruh dunia.  Demikian juga dengan  ketimpangan gender.
Tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang diadopsi oleh kepala negara dan pemerintahan dunia dua tahun yang lalu di Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak akan tercapai. Dunia juga akan tetap rentan terhadap krisis ekonomi baru dan degradasi lingkungan. Selain itu, kecuali pemerintah berkomitmen pada sistem jaminan sosial dan upaya penciptaan lapangan kerja yang semakin luas, digitalisasi dan otomasi akan meningkatkan pengangguran, yang berpotensi menyebabkan penurunan upah, mengikis hak-hak buruh dan menimbulkan ketidakstabilan politik. Tindakan yang gagah berani dibutuhkan oleh semua pemerintah, terutama oleh pertemuan di KTT G20 bulan depan. Prinsip Leave No One Behind berarti tindakan afirmatif untuk orang miskin dan kurang beruntung, mereka yang didiskriminasikan, juga bagi orang dan negara yang dieksklusikan. Ini membutuhkan perubahan kebijakan dalam bidang perdagangan, fiskal, energi, iklim, pertanian dan lainnya.
Pengumuman baru-baru ini oleh Pemerintah AS untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris tidak hanya ditolak oleh masyarakat sipil global namun oleh banyak negara bagian, kota, dan perusahaan—di AS dan seluruh dunia. Krisis iklim global merupakan salah satu risiko terbesar bagi pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, inklusivitas, pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas keuangan, dan bahkan kelangsungan hidup sendiri bagi mereka yang paling rentan. Transisi dan kerjasama yang tepat untuk masa depan yang berkelanjutan dapat mendorong pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi ketidaksetaraan. Kami mengharapkan 19 anggota G20 lainnya untuk menegaskan kembali komitmen kokoh mereka terhadap langkah-langkah implementasi yang komprehensif dan konkret dalam Perjanjian Paris.
Beberapa minggu yang lalu, G20 dan pemerintah lainnya bertemu di Forum Pembiayaan PBB untuk Pembangunan dan sepakat bahwa “trajektori global saat ini tidak akan mencapai tujuan untuk memberantas kemiskinan pada tahun 2030.” Kita perlu segera melangkah lebih efektif dan progresif. Kebijakan dan administrasi pajak yang lebih baik, termasuk kerja sama internasional yang lebih dalam untuk meningkatkan pengumpulan pajak dan mengurangi arus keuangan terlarang. Langkah-langkah ini, ditambah dengan menghormati komitmen pada bantuan pembangunan yang resmi, diperlukan untuk memobilisasi pendanaan yang diperlukan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Dunia tetap sangat rentan terhadap krisis keuangan sementara sektor keuangan dan institusinya terus berkembang. Sekarang, alih-alih memperbaiki peraturan keuangan (yang merupakan salah satu alasan utama untuk mengangkat pertemuan G20 ke tingkat tertinggi), malah ada kemungkinan untuk melonggarkan peraturan yang ada. Selain itu, lantaran tidak adanya mekanisme kesepakatan secara internasional untuk restrukturisasi hutang luar negeri dengan adil, transparan dan efektif, telah membuat persoalan hutang menjadi semakin mengkhawatirkan.  Karenanya, tidak mengherankan bila IMF menilai semakin banyak negara berkembang yang mengalami peningkatan risiko tekanan hutang.
Sementara Agenda 2030 untuk mencapai SDG memerlukan investasi berskala besar dan jangka panjang, termasuk di bidang infrastruktur, kami khawatir menyaksikan kondisi pemerintah G20 terutama mencari investor untuk menyediakan sebagian besar pembiayaannya. Kami khawatir bahwa persyaratan investasi yang diusulkan, terutama melalui kemitraan publik-swasta (public private partnerships/PPP), dapat secara signifikan mengurangi kapasitas pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.  Kami mendesak agar dilakukan pertimbangan yang bertanggung jawab dan transparan mengenai pembagian risiko sebelum setiap kontrak PPP ditandatangani.
Banyak kemajuan dalam bidang kesehatan global akan menghadapi risiko jika ekonomi terbesar di dunia tidak menangani beragam masalah kesehatan global melalui penguatan dan pendanaan yang lebih baik atas organisasi kesehatan dunia. Konsekuensi dari ketidaksiapan dalam mengatasi wabah dan resistensi antimikrobial jelas akan melampaui batas-batas negara dan membahayakan keamanan kesehatan global.
Singkatnya, kita sekarang memerlukan transformasi radikal yang menjauh dari sistem ekonomi neoliberal dengan:

  • Menghentikan perlakuan atas lingkungan, lautan dan atmosfer seolah-olah tempat pembuangan sampah tanpa batas untuk beragam jenis polusi dan gas rumah kaca (GRK),
  • Mengatur pasar keuangan sehingga mereka tidak lagi berperilaku seperti kasino spekulasi, tetapi benar-benar melayani kebutuhan ekonomi yang nyata,
  • Memperkuat investasi publik dan kesejahteraan sosial dengan tidak lagi menoleransi penghindaran pajak secara ilegal maupun legal oleh perusahaan multinasional dan orang-orang super-kaya, serta terus mendorong kebijakan pajak progresif,
  • Melaksanakan dengan segera Kesepakatan Paris dengan strategi iklim jangka panjang yang ambisius, menghapuskan subsidi bahan bakar fosil, menetapkan sinyal harga karbon yang efektif dan adil, menggeser arus keuangan untuk mempromosikan transformasi dan ketahanan, serta berpegang teguh pada janji untuk meningkatkan pembiayaan iklim,
  • Mereformasi perjanjian perdagangan sehingga memudahkan perdagangan barang dan jasa yang adil, memberi manfaat kepada masyarakat luas dan bukan hanya kepada segelintir orang, serta membatalkan ketentuan-ketentuan terkait deregulasi ekonomi, perlindungan hak kekayaan intelektual, liberalisasi pengadaan, dan pengalihan hak dan kekayaan dari negara kepada investor,
  • Mengakhiri kebijakan pemotongan anggaran dan mendorong peningkatan anggaran publik untuk mempromosikan pembangunan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial, dan
  • Mengatur pasar tenaga kerja melalui cara-cara yang menjamin hak pekerja atas pekerjaan dan Pe

Oleh karena itu, kami mendesak para pemimpin G20 untuk mengambil langkah-langkah yang gagah berani untuk secara mendasar merancang ulang sistem keuangan dan ekonomi global saat ini sehingga benar-benar menghormati hak asasi manusia, melayani kepentingan rakyat dan planet ini.
Untuk Rekomendasi C20 kami yang lebih terperinci, silakan lihat tujuh catatan kebijakan yang dapat dibuka melalui laman berikut ini: https://civil-20.org/media/positions/
Menindaklanjuti Komunike tersebut, berbagai kelompok masyarakat sipil di Indonesia kemudian melakukan diskusi lanjutan untuk merumuskan sikap secara spesifik dari kepada Pemerintah Republik Indonesia dan negara-negara G20 lainnya.  Sikap spesifik tersebut terkait dengan fokus kerja masing-masing organisasi, dikaitkan dengan agenda G20.
 
Transparansi, Investasi dan Perdagangan, serta Migrasi
TuK Indonesia secara spesifik menyoroti tiga hal, yang seluruhnya terkait dengan bagaimana perusahaan harus diatur.  Sangat jelas bahwa perusahaan-perusahaan di dunia ini masih cenderung menutupi berbagai dampak negatif dari operasinya terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.  Oleh karenanya, bersepakat dengan rekomendasi C20, TuK Indonesia menuntut agar Pemerintah Indonesia bisa melakukan pewajiban pelaporan keberlanjutan dengan segera.  Perusahaan-perusahaan besar serta yang melantai di Bursa Efek Indonesia sudah seharusnya diwajibkan melaporkan kebijakan, program dan kinerja keberlanjutannya dengan komprehensif.
Pewajiban pelaporan itu, dengan pengawasan yang ketat atas kebenaran isinya, juga kejelasan tentang apa yang menjadi kewajiban ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan akan bisa mengubah praktik dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dan seluruh dunia.  Ini bisa dilakukan oleh pemerintah dengan membuat regulasi yang tegas, serta menciptakan sistem (dis)insentif yang komprehensif.  Pembedaan antara perusahaan yang bertanggung jawab sosial dengan yang tidak sangatlah perlu dilakukan, sehingga pemangku kepentingan lainnya juga bisa memberikan sikap yang tepat kepada perusahaan-perusahaan itu.
Salah satu pemangku kepentingan yang paling perlu untuk diubah perilakunya adalah lembaga-lembaga jasa keuangan.  “Kalau kita sungguh-sungguh menginginkan perusahaan beroperasi secara berkelanjutan, maka harus dipastikan bahwa hanya mereka yang serius dalam mencapai tujuan keberlanjutan saja yang bisa mendapatkan akses pendanaan.” Demikian pernyataan Jalal, penasihat kebijakan keuangan berkelanjutan TuK Indonesia.  Lebih lanjut lagi, dia menyatakan “Sudah saatnya pendanaan publik maupun swasta ditimbang dengan ukuran yang tegas.  Yang membantu mencapai tujuan SDGs dan Kesepakatan Paris, itulah yang dibiayai.  Yang bertentangan dengan keduanya, segera perlu untuk dimasukkan ke dalam daftar negatif dan tidak dibiayai.  Hanya dengan demikian saja Indonesia dan dunia bisa benar-benar bisa melihat masa depan yang lebih baik.”
Isu perdagangan dan investasi akan menjadi salah satu pembahasan yang juga penting dalam agenda G20. Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai agenda G20 dalam memerangi proteksionisme melalui reformasi kebijakan perdagangan dan investasi internasional harus disikapi secara hati-hati oleh Pemerintah Indonesia, karena hal ini bisa menjadi pukulan balik bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, berpendapat dorongan G20 untuk pendisiplinan terhadap regulasi domestik atas kebijakan perdagangan dan investasi internasional termasuk penegakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, akan semakin mempersempit ruang kebijakan pemerintah Indonesia.  “Jangan sampai, reformasi kebijakan perdagangan dan investasi ini nantinya akan menghambat pencapaian paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan daya saing nasional. Perlu diingat, Pemerintah Indonesia sudah diprotes dan digugat banyak negara akibat menerapkan kebijakan pelarangan ekspor konsentrat untuk memperkuat industri hilir, persyaratan kandungan lokal, dan pembatasan impor di sektor tertentu,” terang Rachmi.
Wahyu Susilo, direktur eksekutif Migrant Care, menyoroti kondisi dunia yang berubah dalam kurun waktu yang sangat cepat. “Kecenderungan politik anti-migrasi yang mengemuka di Amerika setelah terpilihnya Donald Trump dan penguatan populisme kanan di negara-negara anggota G20 adalah ancaman bagi kebebasan bermobilitas pekerja dari negara-negara berkembang dan juga mempersempit ruang aman bagi para pengungsi yang terusir di negara asalnya.” Oleh karena itu, Migrant Care berharap bahwa butir terakhir dari Komunike C20 bisa ditambahkan dengan pernyataan “…tidak diskriminatif, dan memastikan mobilitas pekerja antar-negara dilindungi dalam skema hak asasi manusia.”
 
Sumberdaya Alam, Perubahan Iklim dan Energi
Bersetuju dengan kesimpulan C20, WALHI menilai bahwa selama negara-negara anggota G20 tidak mengoreksi sistem ekonomi neoliberal yang menjadi paradigma ekonomi mereka, maka G20 tidak akan pernah berhasil mencapai pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Rezim pertumbuhan ekonomi global, yang juga dianut oleh pemerintah Indonesia, justru semakin melanggengkan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, termasuk sumber-sumber agraria.  Penguasaan oleh segelintir korporasi atas sumberdaya tersebut hampir selalu berujung pada konflik.
“Ketimpangan ekonomi semakin nyata dan krisis global terus terjadi—seperti krisis iklim dan krisis pangan—akibat monopoli atau penguasaan korporasi dalam sistem pangan global dan sistem produksi pertanian dunia.  Karena mengacu pada perjanjian perdagangan internasional yang memihak pada kepentingan korporasi dan membatasi peran negara, maka ketidakadilan dan krisis adalah keniscayaan.”  Demikian ungkap Khalisah Khalid, juru bicara WALHI.
Terkait dengan perubahan iklim, negara-negara G20 mempunyai peran penting memimpin dunia menuju pembangunan rendah karbon. G20 yang menghasilkan 85% GDP global, bertanggung jawab terhadap 75% emisi global.  Berdasarkan Brown to Green Report 2017 yang diluncurkan oleh Climate Transparency pada awal pekan ini, negara-negara G20 telah memulai transisi menuju ekonomi rendah karbon, namun dinilai masih sangat lambat untuk mencegah terjadinya kenaikan di bawah 2 derajat C sesuai target Kesepakatan Paris.
Indonesia sendiri telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 yang dinyatakan dalam NDC, namun, sayangnya, belum sejalan dengan target Kesepakatan Paris. Kebijakan iklim Indonesia di tingkat sektoral dinilai belum cukup baik, dan minim strategi penurunan emisi jangka panjang.  Walaupun dinilai cukup berhasil dalam upaya pengurangan subsidi bahan bakar fosil, namun di sisi lain dukungan instrumen-instrumen pendanaan publik atas energi terbarukan tidak bertambah. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan Indonesia juga sangat rendah bandingkan dengan negara-negara G20 lainnya.
Berkenaan dengan kondisi tersebut, Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR, menyatakan “Kami meminta Presiden Joko Widodo dalam KTT G20 di Hamburg untuk memperkuat komitmen Indonesia atas Kesepakatan Paris dan mendorong pengurangan emisi GRK di sektor kehutanan, lahan gambut dan energi yang lebih ambisius sebelum 2020.”
 
Pajak dan Industri Ekstraktif
Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, menilai pertemuan KTT G20 di Jerman penting untuk disikapi secara kritis, karena secara langsung akan berimbas pada kebijakan dalam negeri Indonesia.  Terdapat sejumlah butir penting khususnya di sektor pajak dan industri ekstraktif yang harus didorong oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh pemimpin G20.
Lima hal yang menjadi perhatian PWYP Indonesia terutama adalah: Pertama, Indonesia dan negara-negara G20 untuk serius menindak dan mencegah praktik aliran uang ilegal yang berasal dari praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, pencucian uang dan tindakan kriminal lainnya dengan membentuk mekanisme pengawasan yang tepat.  Kedua, Indonesia perlu mendorong adanya transfer pengetahuan dari negara-negara G20 dalam implementasi  Automatic Exchange of Information (AEoI) agar penerapan dapat berjalan secara baik dan efektif.  Ketiga, Pemerintah Indonesia dan negara-negara G20 dituntut serius untuk segera mensahkan peraturan soal beneficial ownership dari perusahaan dan entitas legal lainnya yang mengambil keuntungan di Indonesia.  Keempat, Indonesia dan negara-negara G20 harus mendesak perusahaan multinasional untuk mengimplementasikan informasi country-by-country reporting secara terpisah namun dapat diakses antarnegara.  Terakhir, Indonesia dan negara-negara G20 lainnya penting untuk memastikan perusahaan di sektor ekstraktif untuk mematuhi standar-standar internasional dalam pembangunan berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek HAM, lingkungan, tata kelola (transparansi dan akuntabilitas), serta hak-hak pekerja pada sepanjang rantai nilainya.
Sementara, Prakarsa menyatakan dukungannya bagi langkah Presiden Joko Widodo yang akan mendorong agenda perang terhadap penggelapan pajak secara global pada KTT G20. Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi korban dari praktik penghindaran dan pengelakan pajak harus memaksa seluruh kepala negara anggota G20 untuk bersama-sama memerangi penggelapan pajak.  Pemerintah Indonesia juga harus mendorong kebijakan pajak progresif dan redistributif secara global melalui G20 dan forum multilateral lainnya.  Pajak harus menjadi instrumen bagi peningkatan investasi publik dan peningkatan kesejahteraan sosial serta penurunan ketimpangan.  Selain itu, Presiden Joko Widodo juga harus berani memimpin kerjasama global antar-jurisdiksi pajak dan penegak hukum untuk pencegahan dan penanganan kejahatan ekonomi dan perpajakan.
“Pemerintah Indonesia perlu mengkampanyekan kepatuhan pajak secara global, khususnya kepatuhan korporasi global dan orang super-kaya. Selain itu, Indonesia perlu mendorong kerjasama pemajakan terhadap bisnis digital. Ini penting karena potensi pajak dari sektor bisnis digital sangat besar dan kepatuhan mereka masih sangat rendah.”  Demikian pernyataan Ah Maftuchan, direktur eksekutif Prakarsa.  Dia kemudian melainjutkan,  “Indonesia juga perlu mengajak seluruh negara G20 untuk mendesakkan pembentukan Intergovernmental UN Tax Body. Selain, perlu juga mendorong realisasi kesepakatan global tentang Automatic Exchange of Information (AEoI) dan Base Erosion Profit Shifting (BEPS) agar dilaksanakan secara global pada tahun 2017. Jika mundur, maka akan makin mempersulit langkah-langkah untuk memobilisasi penerimaan negara dari pajak secara akseleratif dan massif.”
 
Pilihan bagi Indonesia
Seluruh organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung di dalam ICFP sangat menekankan betapa pentingnya agenda-agenda tersebut untuk segera dijalankan, agar penerimaan negara dari pajak terus meningkat tajam dan kemampuan negara untuk membiayai pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk menciptakan kesejahteraan sosial, akan makin meningkat pula.  Reformasi perpajakan memang dapat menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk bahu-membahu mendorong sistem ekonomi-politik yang lebih berkeadilan, menyejahterakan majoritas masyarakat, dan berkelanjutan.  Tidak saja bagi rakyat Indonesia tetapi juga bagi rakyat di belahan lain secara global.
Namun, yang sangat penting diingat adalah bahwa seluruh tugas tersebut sangatlah berat, sehingga membutuhkan disiplin yang sangat tinggi dalam merencanakan dan mengeksekusinya.  Indonesia kini masih dipandang sebagai anak bawang di antara negara-negara G20, terutama lantaran ukuran ekonomi yang masih berada di nomor 16.  Tetapi, kalau memang Indonesia ingin berdiri tegak di antara negara-negara G20 lainnya—dan mewujudkan ramalan bahwa kita akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 7 (menurut McKinsey) atau nomor 6 (menurut PwC) di tahun 2030, dan menjadi nomor 5 di tahun 2050—tak ada pilihan selain bersama-sama seluruh komponen bangsa Indonesia yang progresif untuk bekerja keras mewujudkannya, di antaranya dengan menjalankan berbagai masukan di atas.  Menjalankan masukan-masukan tersebut sangatlah penting karena menjadi kekuatan ekonomi yang lebih besar dibandingkan sekarang tidaklah otomatis berarti kebaikan bagi masyarakat Indonesia apabila keadilan dan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak terwujud.
Pilihan lainnya adalah terus bekerja secara business as usual, menyia-nyiakan berbagai peluang yang sekarang sebetulnya dimiliki Indonesia, dan terus menjadi negara yang berada di hampir nomor buncit di antara negara-negara G20, dan terus terancam keberlanjutannya.  “Kalau memang tidak bersedia bekerja keras untuk memantaskan diri naik peringkat di G20, mungkin lebih baik menyerah saja sekarang.  Keluar dari G20 mungkin lebih terhormat, daripada mempermalukan 250 juta warga Indonesia di hadapan lebih dari 7 miliar penduduk Bumi.”  Demikian yang disampaikan Edi Sutrisno, direktur advokasi TuK Indonesia, menutup diskusi.
 
Jakarta, 6 Juli 2017
Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri (Indonesia Civil Society Forum on Foreign PolicyICFP) terdiri dari IESR – IGJ – INFID – Migrant Care – Prakarsa – PWYP Indonesia – Transparency International Indonesia – TuK Indonesia – WALHI.  Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ICFP, hubungi Asri Nuraeni (+62-813-54723226) dan Agung Budiono (+62-812-91697629).

Pengalaman Inisiatif Perbankan

Makalah ini menjelaskan regulasi tentang keberlanjutan dalam perbankan dan menyajikan beberapa pengalaman yang dapat diambil hikmahnya oleh OJK dalam melaksanakan tugas mereka.
Download