Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20: Agar Perusahaan Bertanggung Jawab kepada Seluruh Pemangku Kepentingannya

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Insentif dan Regulasi
G20 adalah kumpulan pemerintahan, bukan kumpulan bisnis.  Sehingga, ketika kelompok masyarakat sipil global yang tergabung dalam Civil20 atau C20 diminta untuk memberikan rekomendasi kepada G20, maka rekomendasi itu ditujukan kepada pemerintahan negara-negara yang tergabung di dalamnya.  Tidak langsung kepada perusahaan.
Sebelum rekomendasi diberikan, C20 sendiri menyatakan tuntutatnya terlebih dahulu, sehingga jelas mengapa butir-butir rekomendasi yang disampaikan menjadi seperti itu.  Apa yang kemudian dituntut oleh C20 dinyatakan dalam satu kalimat sebagai berikut: “Incentivize and regulate responsible business conduct in line with international conventions and standards.”  Itulah salah satu tuntutan yang diberikan kepada Kanselir Jerman, Angela Merkel, pada penutupan C20 Summit tanggal 19 Juni 2017, acara yang saya ikuti sejak sehari sebelumnya.
Mengapa insentif dan regulasi?  Jelas, itu adalah dua hal yang bisa diberikan oleh pemerintah kepada dunia usaha bila ingin perusahaan yang berbisnis di wilayahnya bisa benar-benar bertanggung jawab.  Yang benar-benar menarik, C20 memilih untuk menyatakan insentif terlebih dahulu, sebelum menekankan bahwa regulasi juga diperlukan.  Buat saya, ini adalah pertanda bahwa C20 mengetahui sifat ‘alamiah’ dari perusahaan yang memang bereaksi positif terhadap insentif.  Bila bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingannya bisa memberikan insentif dari beragam pihak, termasuk pemerintah, maka tanggung jawab kemudian tak lagi dirasakan sebagai beban, melainkan sebagai peluang.  Corporate social responsibility kemudian menjelma menjadi corporate social opportunity, seperti yang diyakini oleh Grayson dan Hodges, lebih dari satu dekade lampau.
Tetapi, masyarakat sipil global juga paham sepenuhnya bahwa tidak semua perusahaan bisa dikendalikan perilakunya semata-mata dengan insentif atas kebaikan atau kinerja yang lebih baik.  Ada perusahaan-perusahaan yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan lewat cara-cara yang secara normatif tidak bisa dibenarkan.  Mereka mencemari alam, merusak tatanan sosial, dan hanya memikirkan keuntungan ekonomi bagi dirinya semata.  Oleh karena itu, di samping insentif yang menarik bagi perusahaan berperilaku baik, regulasi yang ketat juga diperlukan.  Setidaknya, regulasi diperlukan untuk melindungi (safeguard) pemangku kepentingan dari dampak sosial dan lingkungan yang negatif.  Sekali lagi, regulasi tetap diperlukan.
Tuntutan soal insentif dan regulasi kemudian diikuti dengan pernyataan sebagai berikut: “The G20 must ensure that the private sector actively contributes to sustainable development and respects human rights, labor rights, and upholds environmental and governance standards in their global operations, including throughout their supply chains. Sustainable supply chains can help to further economic growth and development, eradicate poverty and inequality, and realize the SDGs.”
Di situ—menurut saya—tampak tujuan sebenarnya dari pemberian insentif maupun pembuatan regulasi yang dituntut.  Jelas maksudnya adalah agar seluruh perusahaan yang berada di negara-negara G20 dipastikan berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs). Di situ juga disebutkan komponen-komponen yang paling relevan buat perusahaan, yaitu HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, serta tata kelola.  Kemudian, ditegaskan bahwa pengelolaan yang benar atas komponen tersebut hatus dilakukan sepanjang rantai pasokannya, lantaran hanya dengan demikian saja maka pertumbuhan ekonomi yang menghilangkan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan menjadi mungkin.
Begitu membaca komponen yang disebutkan itu, saya langsung teringat pada subjek inti ISO 26000.  Dalam dokumen standar yang sudah berusia lebih dari lima tahun itu dinyatakan bahwa subjek inti tanggung jawab sosial adalah tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat. Kalau pernyataan bahwa keseluruhannya harus dilakukan sepanjang rantai pasokannya disamakan dengan keberlakuan tanggung jawab sosial di keseluruhan sphere of influence dalam ISO 26000, maka sesungguhnya ada tiga subjek inti yang belum termaktub dalam tuntutan C20, yaitu tiga subjek inti terakhir.
Saya berusaha untuk memahami mengapa demikian, dengan cara membaca seluruh dokumen rekomendasi—seluruhnya ada tujuh—namun jawaban memuaskan tak bisa saya temukan.  Ada beberapa isu di dalam praktik operasi yang adil yang bisa dianggap sudah masuk, lewat misalnya anti-korupsi; atau, ketika menyebut sosial dan ESG tentu bisa juga dianggap termasuk pelibatan dan pengembangan masyarakat.  Tetapi bagi saya itu memang belum memuaskan.  Oleh karenanya, saya berkesimpulan bahwa C20 memang masih luput dalam tiga subjek inti tersebut, seraya berharap di masa mendatang mereka bisa membuatnya lebih eksplisit.
 
Dari HAM Kembali ke Insentif
Lalu, apa saja rekomendasi yang diajukan?  Yang pertama adalah “Implement the UN Guiding Principles on Business and Human Rights and develop substantive National Action Plans on the implementation of these principles.”  HAM kini telah menjadi bagian yang sangat penting dalam tanggung jawab sosial perusahan, namun kemungkinan merupakan yang paling lemah dalam implementasinya.  Dunia telah mengenal Ruggie Framework yang kemudian menjadi UN Guiding Principles on Business and Human Rights.  Tak mengherankan bila C20 menuntut agar prinsip-prinsip itulah yang kemudian menjadi rujukan.
Sangat jelas bahwa implementasi adalah hal yang masih lemah.  Perusahaan-perusahaan paling progresif memang sudah menunjukkan itikad baiknya dengan membuat human rights due diligence atau human rights impact assessment.  Namun, dari praktik itupun kita mengetahui bahwa kinerja HAM perusahaan-perusahaan paling progresif sekalipun masih harus ditingkatkan.  Karenanya, menjadi pantas apabila rekomendasi C20 juga mengenai diperlukannya sebuah rencana tindakan di tingkat nasional untuk implementasinya.  Tentu, di dalamnya termasuk pengawasan atas kinerja perusahaan, dan tindakan hukum bagi pelanggaran bila memang sudah ada kerangka hukum yang mengaturnya.
Kedua, “Accede to the OECD Guidelines on Multinational Enterprises, ensure that their National Contact Point (NCP) system is capable of delivering effective remedy, and commit to NCP peer review.”  Rekomendasi ini berdasarkan kenyataan bahwa OECD Guideline on Multinational Enterprises memang merupakan panduan yang paling komprehensif untuk perusahaan multinasional. Kalau rekomendasi ini ditujukan untuk seluruh perusahaan mungkin menjadi tidak masuk akal karena ukuran dan kemampuan perusahaan yang berbeda-beda, namun bila hendak diberlakukan untuk perusahaan multinasional di manapun mereka beroperasi, tampaknya memang pantas.  Beragam panduan OECD memang yang paling ketat, sehingga kerap menjadi rujukan yang baik bila memang hendak mencapai kinerja yang tinggi.  Salah satu yang paling popular bagi kita di Indonesia mungkin adalah adopsi ASEAN Corporate Governance Scorecard yang berasal dari standar tata kelola perusahaan OECD.
Namun, lagi-lagi C20 melihat bahwa permasalahannya bukanlah pada standar yang disepakati para pakar sebagai salah satu yang paling kuat itu, melainkan pelaksanaannya.  Oleh karena itu, bagian berikutnya dari NCP yang harus bisa dipastikan bekerja secara efektif di tingkat naional, bila terdapat kasus pelanggaran.  NCP ini berfungsi untuk memastikan bahwa tindakan perbaikan memang dilakukan, sehingga keluhan yang diajukan tidak sekadar menjadi masukan hampa tanpa tindak lanjut.  Saya kira, C20 sangat jeli melihat bahwa titik krusialnya adalah pada kapasitas NCP, termasuk dalam menerima peer review.
Require mandatory due diligence throughout supply chains to identify, prevent, mitigate, track and communicate possible human rights or labor rights violations, corruption, and adverse environmental
Impacts.” Ini merupakan rekomendasi ketiga, dan mungkin akan dinilai banyak pemerintah dan perusahaan sebagai yang paling berat.  Sudah menjadi suratan sejarah bahwa harapan pemangku kepentingan sejak lama, yaitu konsep extended CSR, kini sudah menjadi norma.  Tak bisa lagi perusahaan mengaku bertanggung jawab sosial namun mereka memanfaatkan pasokan yang diproduksi dengan cara-cara yang melanggar HAM, hak-hak tenaga kerja, korup, serta merusak lingkungan.
Dahulu, mata pemangku kepentingan memang terpaku pada operasi perusahaan tertentu saja, namun kini mata pemangku kepentingan melihat seluruh rantai nilai (value chain) dari perusahaan.  Nah, di sini C20 agaknya kecolongan.  Walau sudah meminta tindakan penelitian mendalam atau uji tuntas (due diligence), yang diminta baru terhadap para pemasok.  Sementara, rantai nilai berikutnya, setelah diproduksi oleh perusahaan masih lolos dari rekomendasi.  Apakah kita mau bila perusahaan tidak bertanggung jawab atas sampahnya?  Atau, apakah kita biarkan pihak lain yang menjual produk perusahaan tertentu ternyata membuat dampak negatif sosial dan lingkungan?  Tentu tidak.  Oleh karena itu, sebetulnya yang perlu direkomendasikan kepada pemerintah negara-negara G20 memang untuk mewajibkan penelitian mendalam sepanjang rantai nilai.
Yang keempat, “Mainstream responsible investment by broadening the legal concepts of fiduciary duty and due diligence applied to pension funds, sovereign wealth funds, and other institutional investors to take account of any potential ESG risk in their investment activities.”  Rekomendasi ini juga tak ringan, karena menyangkut upaya untuk meluaskan atau bahkan mengganti model tata kelola.  Kalau selama ini kebanyakan perusahaan diwajibkan untuk sekadar bertanggung jawab kepada para pemegang saham (shareholders) belaka, perluasan konsep tugas fidusiari itu berarti model tata kelolanya diubah menjadi bertanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
Apakah ini mungkin?  Pada kenyataanya perusahaan—dalam hal ini direksi dan komisaris—memang harus memertimbangkan para pemangku kepentingan yang lain setiap mengambil keputusan, lantaran sebagian pemangku kepentingan bisa memengaruhi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.  Tetapi, memang dari memertimbangkan pemangku kepentingan menjadi bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan itu membutuhkan langkah regulatori yang serius dari pemerintah.  Saya sendiri berpendirian bahwa sebuah stakeholder governance, di mana para pemangku kepentingan memang selalu terwakili dalam semua pengambilan keputusan perusahaan yang mengenai diri mereka—jadi bukan sekadar perusahaan bertanggung jawab kepada mereka—adalah bentuk yang akan dominan di masa mendatang.
Bagian berikutnya juga tak kalah pentingnya, karena merekomendasikan agar pemerintah negara-negara G20 menuntut seluruh jenis institutional investor untuk melakukan penelitian mendalam atas seluruh risiko potensial lingkungan, sosial, dan tata kelola.  Ini sebetulnya juga merupakan bantuan C20 kepada para investor karena dengan demikian maka manajemen risiko investasi mereka bisa menjadi lebih baik.  Kalau diperhatikan dengan saksama, investor-investor institusional yang paling progresif memang sudah melakukannya, sehingga sama sekali tidak masalah bisa kemudian diwajibkan oleh pemerintah.  Yang masih harus diyakinkan, dibantu untuk memahami dan melakukannya memang adalah para investor yang masih konservatif.
Rekomendasi kelima dan terakhir adalah “Incentivize companies to operate above minimum ESG standards through fair and sustainable government procurement policies, tax policies, and subsidies, that reflect the true ESG costs of given products and services for example by granting procurement contracts to companies who provide employees a living wage as opposed to the minimum wage.”
Karena pada rekomendasi-rekomendasi sudah menekankan perlunya beragam regulasi, maka C20 kembali ke moda yang dinyatakan di awal: insentif.  Kepada siapa insentif perlu diberikan?  Kepada mereka yang telah menunjukkan kinerja di atas standar ESG minimal yang telah ditetapkan pemerintah.  Pemerintah tentu perlu terlebih dahulu membuat kebijakan belanja yang memihak kepada keberlanjutan.  Demikian juga sistem pajak dan subsidinya.
Salah satu aplikasinya adalah bahwa bila ada dua perusahaan yang sama dalam semua kriteria kontrak, tetapi yang satunya memiliki kebijakan kompensasi pekerja yang lebih baik yaitu upah layak (living wage), sementara yang lain masih menggunakan upah minimum (minimum wage), maka kontrak diberikan kepada yang melampaui ketentuan upah tersebut.  Hal yang lain juga bisa menjadi contoh preferensi pemberian kontrak pemerintah, misalnya berdasarkan kinerja lingkungan tertentu, atau kinerja sosial yang lain.  Dengan begitu, perusahaan tidak akan sekadar menjadi patuh kepada regulasi, melainkan berusaha melampauinya.
 
Kembali ke Tanah Air
Bagaimana dengan Indonesia? Setiap saya membaca butiran rekomendasi yang bernas ini, terus terang saya teringat dengan draft RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang siajukan oleh DPR.  Saya sedih, lantaran kemajuan berpikir C20 ini—walau masih juga menyisakan ruang perbaikan—demikian jauhnya dari isi kepala para anggota DPR yang hanya ingin mengambil bagian dari keuntungan perusahaan.  CSR di Indonesia mustahil maju kalau regulasinya malah diserahkan kepada gerombolan politisi yang ngiler pada duit perusahaan tanpa tahu apa hakikat dan tujuan CSR itu.
Rekomendasi C20 ini jelas disusun oleh orang-orang yang kapasitas intelektualitasnya, dan integritasnya, jauh di atas anggota DPR Republik Indonesia.  Tapi saya tak mau berputus asa.  Selain terus menulis dan berbicara—dengan memanfaatkan kemajuan di level global yang sudah diraih bangsa-bangsa besar lainnya—untuk menyadarkan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, saya juga akan berdoa, semoga para anggota DPR itu lekas mendapatkan wangsit dan wisik agar bisa menjadi anggota DPR yang pantas untuk mewakil rakyat sebuah negara anggota G20. Setidaknya dalam urusan CSR yang sedang saya bicarakan.  Untuk urusan yang lain, mungkin akan ada doa yang lain lagi.  Buat pemerintah, saya berdoa agar mereka menyatakan tak sudi membahas draft RUU TJSP yang kepentingannya sangat jelas bukan buat rakyat maupun lingkungan Indonesia itu, dan menggantikan RUU yang tak produktif itu dengan sistem insentif dan regulasi yang benar-benar memihak pada keberlanjutan Indonesia dan dunia.
 
Koln, 21 Juni 2017

Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20: Menuntut Transparensi Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola Perusahaan

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Keniscayaan Kewajiban Pelaporan ESG
Perusahaan sudah lama mengklaim dirinya bersedia untuk bekerjasama dengan aktor pembangunan lainnya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.  Ada cukup banyak perusahaan progresif yang memang tampak serius mewujudkan hal tersebut, namun tak sedikit yang sesungguhnya hanya menyatakan untuk sekadar lip service.  Lebih buruk lagi, ada juga perusahaan yang menyatakannya untuk kepentingan greenwashing.  Yang terakhir ini akan melakukan tindakan-tindakan kecil yang tak berarti, tak sesuai dengan dampaknya, tetapi akan mengomunikasikan habis-habisan.
Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana memastikan bahwa perusahaan tertentu memang benar-benar melakukan seluruh tindakan yang seharusnya dan sepantasnya mereka lakukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan—atau dalam konteks sekarang lebih tepat dituliskan sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)—ataukah sebaliknya?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting karena kita seharusnya menghindari gebyah uyah atas perusahaan.  Mereka yang memang punya rekam jejak keberlanjutan yang solid seharusnya bisa kita hargai dan jadikan teladan.  Perusahaan yang serius memerbaiki dirinya perlu ditolong untuk mencapai tujuan perbaikannya.  Sementara, mereka yang sekadar menunggangi istilah pembangunan berkelanjutan untuk kepentingannya sendiri yang sempit dan bertentangan dengan keberlanjutan harus juga kita identifikasi dan permalukan (naming and shaming), bahkan perlu disingkirkan agar tak menghalangi trajektori umat manusia ke arah dunia yang kita inginkan. (Saya kerap melabel perusahaan-perusahaan itu sebagai perusahaan hebat, perusahaan tobat, dan perusahaan jahat, dan dalam beberapa kesempatan telah juga menuliskan karakteristik masing-masing.)
Jawaban masyarakat sipil untuk pertanyaan tersebut salah satunya adalah transparensi dalam aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, ESG).  Dan, karena periode belajar untuk pelaporan itu telah lebih dari satu setengah dekade, sudah saatnya pelaporan ESG menjadi sebuah kewajiban.  Begitulah yang dipercaya oleh kelompok masyarakat sipil global yang tergabung dalam Civil20 atau C20, yang mengadakan pertemuan puncaknya di Hamburg, Jerman, pada 18-19 Juni 2017.  Saya sepenuhnya mengamini pendirian ini.  Sudah terlampau lama kita membiarkan perusahaan—terutama yang berukuran raksasa—tidak melaporkan apapun, atau melaporkan semaunya dalam bingkai inisiatif voluntari.  Kiranya ini sudah tak pantas dan tak memadai lagi.
Pertemuan tersebut adalah untuk merumuskan apa yang masyarakat sipil dapat rekomendasikan kepada para kepala negara yang akan berkumpul di Hamburg pada minggu kedua Juli 2017.  Dan, menyangkut transparensi ESG itu yang dituntut adalah “Ensure transparency through mandatory Environmental, Social, and Governance (ESG) disclosure by private sector actors.” Tuntutan tersebut merupakan salah satu yang disampaikan di bawah judul besar Investasi yang Bertanggung Jawab dan Peran Sektor Swasta.  Kalau selama ini transparensi dan akuntabilitas kerap dibaca dalam satu tarikan nafas, hal itu karena tanpa transparensi, akuntabilitas mustahil bisa ditegakkan.  Transparensi bisa aktif atau sukarela, namun bisa pula diwajibkan.  Dan, demi penegakan akuntabilitas yang benar, maka jalan pewajiban transparensi inilah yang dipilih.
Tuntutan tersebut diikuti penjelasan yang bernas sebagai berikut: “Disclosure standards that address the social and environmental impact of the private sector are intrinsic to responsible investment. The G20 can play a significant role in initiating better international monitoring and tracking of private sector actions against the SDGs and the Paris Agreement.” Dari situ kita bisa mengetahui bahwa selain bahwa urusan investasi yang bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya, tuntutan ini juga terkait dengan bagaimana sektor swasta benar-benar bisa diketahui kontribusinya atas SDGs dan juga Kesepakatan Paris.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Scheyvens, Banks, dan Hughes dalam The Private Sector and the SDGs: The Need to Move Business as Usual (akan terbit di jurnal Sustainable Development), sektor swasta sudah banyak ikut memberikan masukan kepada formulasi SDGs di satu sisi, namun kontribusi nyatanya melalui perilaku dalam berbisnis kerap setengah hati atau bahkan berpotensi menggagalkan apa yang telah diformulasikan itu.  Dalam soal Kesepakatan Paris, idem ditto.  Kita memang menyaksikan banyak perusahaan progresif—misalnya yang ikut dalam gerakan We’re Still In, melawan keputusan Presiden Trump yang secara sepihak keluar dari Kesepakatan Paris—yang telah punya komitmen kuat dalam menangani perubahan iklim.  Tapi, itu bukanlah gambaran majoritas perusahaan.
 
Tiga Rekomendasi
Lantaran menghadapi ragam sikap perusahaan itu, C20 merumuskan tiga rekomendasinya.  Yang pertama, “Require mandatory ESG disclosures on impact on human rights (including digital rights such as privacy and freedom of expression), human capital, social and employment aspects, corruption, bribery, and environmental and climate matters by all companies with +500 employees, and require companies listed on G20 stock markets to incorporate non-financial ESG information into their mainstream financial reports.”
Di sini C20 menegaskan rekomendasi dalam topik apa saja pelaporan tersebut harus dilakukan dan kepada siapa itu diberlakukan.  Saya sangat setuju dengan topik-topik pelaporan yang disebutkan, karena aspek-aspek itu sesungguhnya memang material untuk seluruh perusahaan.  Tentu, itu bisa dibuktikan bila uji materialitas memang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang menguasai isu-isu tersebut.  Kerap perusahaan membuat pernyataan bahwa isu-isu tertentu tidaklah material karena mereka sesungguhnya tidak melakukan uji materialitas dengan benar, atau bahkan tidak melakukannya sama sekali.
Bagian berikutnya dari rekomendasi itu menyatakan bahwa perusahaan yang punya lebih dari 500 pekerja seharusnya menjadi subjek pelaporan.  Sementara, perusahaan-perusahaan yang sudah melantai di bursa saham sudah seharusnya memasukkan informasi ESG itu ke dalam laporan tahunan yang mereka produksi.  Tentu, ini membutuhkan regulasi di tingkat nasional masing-masing negara G20.  Berefleksi ke Indonesia sendiri, regulasi kita belum mewajibkan pelaporan ESG untuk perusahaan dengan pekerja di atas 500, walau sudah diwajibkan bagi perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia.  Tetapi, melihat bagaimana kebanyakan perusahaan menampilkan informasinya di dalam laporan tahunan, jelas ada masalah penegakan yang harus diselesaikan.
Rekomendasi kedua adalah “Ensure that ESG information is comparable, consistent, and of high-quality to allow it to be assessed and measured. Referencing adequate reporting frameworks such as CDP/CDSB for natural capital disclosure and the GRI G4 Sustainability, Common Good Report, or UNGP Reporting Framework for human rights/social responsibility reporting can facilitate comparable and consistent disclosure.
Saya kira sangat jelas penekanannya pada bagian pertama, yaitu bahwa pelaporan ESG yang diwajibkan itu harus dibuat terbandingkan, konsisten, dan bermutu tinggi, sehingga bisa dinilai (kebenarannya) dan diukur (kinerjanya).  Bagian selanjutnya memberikan ide bahwa sebetulnya sudah ada beberapa kerangka pelaporan yang selama ini bersifat voluntari yang bisa membantu pemerintah negara-negara G20 untuk menegakkan pelaporan yang bersifat demikian.  Beberapa kerangka memiliki popularitas di negara-negara maju, seperti CDP/CDSB itu.  Namun, yang kini sudah dianggap sebagai standar pelaporan de facto adalah yang diproduksi oleh GRI.  Di standar GRI, prinsip-prinsip pelaporannya bahkan lebih komprehensif lagi, sehingga bila dijadikan regulasi maka akan menjadi sangat kokoh.
Hanya saja, sebetulnya GRI sekarang sudah memerkenalkan generasi terbaru standar pelaporannya, yaitu GRI SRS (Sustainability Reporting Standards) yang akan sepenuhnya menggantikan G4 mulai tahun depan.  Sehingga, akan lebih baik bila pemerintah negara-negara G20 menggunakan GRI SRS sebagai dasar bagi regulasinya, bukan GRI G4 yang sebentar lagi berakhir masanya.  Indonesia sendiri tertinggal lebih jauh lagi.  Peraturan Bapepam LK tentang laporan tahunan yang terbit beberapa tahun lalu masih merujuk pada GRI G3, yang kemudian digantikan oleh GRI G3.1, lalu G4.  Sudah saatnya Pemerintah Indonesia melihat GRI SRS untuk memerbarui regulasinya, agar bisa sesuai dengan perkembangan paling mutakhir.  Selain, tentu saja, menegakkannya dengan serius.
Terakhir, rekomendasi C20 adalah “Implement the recommendations of the Financial Stability Board Task Force on Climate-Related Financial Disclosure (FSB TCFD) into national legislation and facilitate standardized climate risk reporting amongst G20 member countries.” Menurut saya, tak ada jalan lain kalau memang kita serius hendak menangani perubahan iklim, maka perusahaan-perusahaan memang harus dipaksa untuk melaporkan risiko perubahan iklim yang terkait dengan bisnisnya, baik dari sudut pandang perusahaan sebagai entitas terdampak maupun sebagai entitas yang membawa dampak perubahan iklim.
Yang penting diingat di sini adalah bahwa yang dimaksud dengan risiko itu bukanlah semata-mata ancaman, melainkan juga peluang.  Risiko, dalam entreprise risk management yang modern, memang berarti ketidakpastian.  Dan ketidakpastian itu melekat pada ancaman maupun peluang.  Jadi, tak seharusnya perusahaan berpikir bahwa pengelolaan perubahan iklim dan pelaporannya sepenuhnya bersifat beban yang tempatnya ada pada cost center.  Pengelolaan perubahan iklim, sebagaimana yang telah banyak ditunjukkan pada pakar, memiliki sejumlah besar peluang penghematan, inovasi produk, ceruk pasar baru, arus penerimaan, yang berujung pada peningkatan keuntungan perusahaan.
Secara umum, memang begitulah sifat dari pengelolaan keberlanjutan perusahaan.  Perusahaan-perusahaan yang sudah berada pada posisi progresif sejak awal telah menikmati first-mover advantage.  Dan, banyak di antara perusahaan itu yang memulainya karena mereka melihat bahwa beragam aspek keberlanjutan yang mereka laporkan secara sukarela maupun wajib ternyata menyimpan peluang yang besar.  Studi  bertajuk The Consequences of Mandatory Corporate Sustainability Reporting oleh Ioannou dan Serafeim (2012) di seluruh negara yang memiliki regulasi pelaporan keberlanjutan membuktikan hal tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebetulnya apa yang dituntut oleh C20 itu adalah demi kebaikan perusahaan dan negara sendiri.  Mereka yang (akan) melawannya, menurut hemat saya, hanyalah mereka yang tak mengetahui kenyataan dan basis ilmu pengetahuan dari rekomendasi pewajiban itu.  Atau, merupakan perusahaan jahat yang tak ingin kinerja buruknya terbongkar.
 
Dortmund, 20 Juni 2017

Aspek Lingkungan dalam Laporan Keberlanjutan Bank

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Imperatif Extended Responsibility
Baru-baru ini saya membaca laporan keberlanjutan dua buah bank di Indonesia yang membuat saya benar-benar prihatin.  Kedua bank itu menyatakan tidak melaporkan indikator-indikator lingkungan, sebab mereka tidak memiliki dampak langsung atas lingkungan.  Saya sedih, karena dalam dunia pelaporan keberlanjutan ada pemahaman yang masih jauh dari beres tentang apa itu batas-batas dampak keberlanjutan yang menjadi tanggung jawab perusahaan.
Sudah sejak GRI G3 menjadi G3.1 sebetulnya sangat terlihat penerimaan konsep extended producer responsibility atau extended CSR yang membuat perusahaan perlu menunjukkan dampak keberlanjutannya sepanjang rantai nilai (value chains), bukan hanya pada operasi dirinya saja.  Bayangkan, bila Perusahaan X bisa mengelola kinerja ekonomi-sosial-lingkungan dengan optimal, namun mereka mengambil pasokan dari perusahaan pemasok yang memekerjakan pekerja anak, membuang limbahnya ke alam tanpa pengolahan terlebih dahulu.  Bisakah kemudian dinyatakan bahwa Perusahaan X itu kinerja keberlanjutannya memang baik?  Tidak bisa.
Pada standar yang lebih lanjut, GRI G4, posisi tersebut menguat.  Banyak indikator baru diperkenalkan untuk memastikan bahwa perusahaan melakukan pengecekan terhadap rantai pasokannya.  Dan, kalau kita intip isi GRI SRS (Sustainability Reporting Standards) yang akan diberlakukan secara penuh mulai tahun depan, penerimaan itu semakin dikokohkan.  Jadi, semua perusahaan—dan organisasi non-perusahaan yang menggunakan GRI sebagai standar pelaporan keberlanjutannya—sudah seharusnya menerima keniscayaan bahwa pemangku kepentingan global itu, bukan sekadar para pakar CSR dan keberlanjutan, memang menghendaki hal tersebut.
Bagaimana dengan bank?  Sama saja.  Tetapi, dalam penilaian saya, bank sangat mungkin punya lebih banyak isu yang penting diperhatikan di sisi lain dari rantai nilai.  Rantai pasokan bank tentu saja penting diperhatikan.  Bukan cuma pemasok kebutuhan kantor mereka—saya teringat sebuah bank internasional di Indonesia bertanya kepada saya mengapa mereka hanya diperbolehkan membeli kertas bersertifikat ekolabel dan dianjurkan membeli karpet di Interface—saja, melainkan, dan mungkin yang utama, juga sumber uang yang ditanamkan nasabah ke dalam bank.  Kita semua tak ingin bank menjadi tempat pencucian uang oleh para bandar narkoba atau menjadi tempat transfer sumberdaya finansial para teroris, bukan?
Tetapi, selain dari mana asalnya barang dan uang yang dimanfaatkan bank dalam berbisnisnya, sangatlah penting untuk melihat ke mana saja bank menaruh uang nasabah itu.  Mengapa?  Karena melalui investasi itulah bank memiliki dampak ekonomi-sosial-lingkungan yang utama.  Semua pemangku kepentingan kini bersepakat tentu tak sama dampaknya bila bank membiayai pendirian atau ekspansi perusahaan rokok dengan pembiayaan untuk pengembangan rumah sakit atau bisnis kesehatan.  Yang satu merusak kesehatan, yang lainnya memulihkan dan menjaga kesehatan.
Pemangku kepentingan juga mafhum bahwa bank yang membiayai ekspansi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang berpotensi atau bahkan telah terbukti menyebabkan kebakaran hutan dan lahan tentu berbeda dengan bank yang benar-benar berhati-hati dalam memberikan pembiayaan bagi perkebunan kelapa sawit.  Bank yang membayari pertambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga batubara tentu juga dianggap berbeda dengan yang membayari pembangkit listrik yang memanfaatkan jenis-jenis energi bersih dan terbarukan.
 
Menengok Kembali Standar GRI
Jadi, menyatakan bahwa bank tak memiliki dampak langsung terhadap lingkungan benar-benar membuat saya sedih.  Dan marah, sejujurnya.  Marah lantaran bank di Indonesia bisa sebegitu jauhnya tertinggal dibandingkan dengan standar dan praktik terbaik di dunia internasional.  Kalau kita tengok isi GRI Financial Services Sector Disclosure (FSSD) yang melekat pada standar G4, kita akan tahu bahwa mustahil sebuah bank yang mengatakan mengacu pada G4 kemudian bisa menyatakan bahwa isu-isu lingkungan tidaklah material buat mereka.  Ada seabreg isu lingkungan yang seharusnya dilaporkan.
GRI sendiri menekankan bahwa materialitas harus diuji dengan melakukan pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan.  Untuk membantu setiap industri untuk mengetahui sikap dari para pemangku kepentingan, GRI telah mengeluarkan dokumen Sustainability Topic per Sector: What Stakeholders Really Want to Know (2013).  Bank, asuransi dan lembaga jasa keuangan lainnya ada di nomor 34 dokumen itu, dan pemangku kepentingan sektor itu menyatakan mereka memiliki perhatian terhadap 42 topik.
Ada berapa dari 42 topik itu yang terkait dengan lingkungan? Ada 16. Topik-topik itu adalah: sumber material, pemanfaatan material, emisi CO2 yang berasal dari perjalanan bisnis, pengelolaan sampah kertas dan elektronik, desain untuk memberikan manfaat lingkungan, penelitian mendalam (due diligence) tentang risiko lingkungan, kebijakan lingkungan dalam pengembangan produk, penilaian dan manajemen risiko lingkungan, investasi di sektor yang berpengaruh pada kelestarian hutan, strategi value-creation dalam jangka panjang, proporsi pengambilan keputusan (voting shares) dalam isu-isu lingkungan, strategi menghadapi perubahan iklim, pertimbangan dalam pengambilan keputusan di lingkungan yang sensitif, strategi bisnis dalam menghadapi perubahan lingkungan jangka panjang, strategi bisnis dalam menghadapi bencana lingkungan, dampak lingkungan dari investasi, proses audit dan penapisan lingkungan dalam pengambilan keputusan investasi.
Topik-topik itu bukan saja dinyatakan oleh para pemangku kepentingan yang berasal dari kelompok masyarakat sipil yang terkenal ‘cerewet’ soal lingkungan, namun juga dari kelompok-kelompok yang lain.  Lembaga perantara, bisnis, pasar modal, dana pemanfaat informasi seperti analis seluruhnya menuntut hal itu, walaupun berbeda-beda penekanannya pada tiap topik.  Tapi, bank betul-betul tak bisa lolos dari kewajiban melaporkan beragam topik lingkungan bila memang mengacu pada standar dan melakukan ujia materialnya dengan benar-benar bertanya kepada para pemangku kepentingan.
 
Belajar dari Westpac
Kalau kemudian tuntutannya seperti itu, apakah bank-bank yang dianggap progresif di seluruh dunia melakukan pelaporan itu?  Tentu saja.  Silakan buka berbagai laporan keberlanjutan bank yang ada di dalam DJSI atau FTSE4Good, misalnya.  Di situ akan terpampang jelas apa yang mereka laporkan.  Kalau mau yang ekstrem, bisa tengok bank yang dinyatakan paling berkelanjutan oleh keduanya.  Di sini saya akan tunjukkan sebagian saja dari apa yang dilakukan dan dilaporkan oleh Westpac, yang merupakan pemegang tampuk tertinggi bank berkelanjutan di DJSI.
Sementara bank-bank di Indonesia masih ingkar atas dampak lingkungannya, Westpac sudah memiliki kebijakan perubahan iklim sejak hampir satu dekade lalu.  April lalu, mereka meluncurkan pembaruan ketiga rencana kerja perubahan iklimnya, yang terdiri dari (lihat https://www.westpac.com.au/about-westpac/media/media-releases/2017/28-april/)

  • $10 billion target for lending to climate change solutions by 2020 and $25 billion by 2030.
  • Tighter criteria for financing any new coal mines. Financing for any new thermal coal projects limited to existing coal producing basins and where the calorific value of coal meets the energy content of at least 6,300kCal/kg Gross as Received – i.e. projects must rank in the top 15% globally.
  • Commitment to actively reduce the emissions intensity of the power generation sector, targeting 0.30 tCO2e/MWh by 2020.
  • Continued commitment to a broad market-based price on carbon as the most efficient way to encourage emissions reductions at the lowest cost to the economy.
  • Setting target to reduce Westpac’s direct footprint emissions (i.e., in our workplaces, across our branch network and IT operations) by 9% by 2020, and 34% by 2030.
  • Building on our commitment to helping households become more climate-resilient, improving their energy efficiency, and reducing their environmental impact.

Satu hal yang sangat jelas: Westpac tidak melihat perubahan iklim—dan isu lingkungan manapun—sekadar sebagai beban, sehingga pengelolaannya terasa berat.  Mereka melihat peningkatan efisiensi sebagai peluang penghematan.  Mereka melihat investasi dalam penyediaan solusi perubahan iklim sebagai peluang pasar.  Mereka bahkan tidak taku membuat kriteria yang lebih ketat bagi kriteria pembiayaan batubara, padahal mereka adalah bank asal Australia yang memanfaatkan tenaga batubara sedemikian massifnya.
Laporan keberlanjutan tahun 2015 mereka bisa dilihat dan diunduh melalui alamat URL berikut ini:     https://www.westpac.com.au/content/dam/public/wbc/documents/pdf/aw/sustainability/2015%20Westpac%20Group%20Sustainability%20Performance%20Report.pdf. Di situ bisa dibaca bahwa mereka membiayai teknologi bersih sebanyak AUSD6,1 miliar, 61% portofolio listrik yang mereka biayai adalah dari energi terbarukan, mereka mereduksi 116 ton kertas sepanjang tahun itu, dan bukan saja mereka tetap netral karbon, mereka juga menurunkan 6,1% karbon mereka dalam setahun masa pelaporan itu.
Membaca itu, saya benar-benar ingin segera melihat apa yang mereka hasilkan di sepanjang 2016 dan berharap agar kinerja lingkungannya—dan juga kinerja finansialnya—membaik.  Dalam kondisi ekonomi dunia yang lesu, sepanjang 2016 mereka masih bisa menghasilkan keuntungan AUD7,4 miliar, yang AUD6,3 miliar di antaranya dibagikan kepada para pemilik modalnya.  Tidakkah menakjubkan bank yang mengelola lingkungannya dengan sungguh-sungguh bisa menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar buat para pemilik modalnya?  Kalau bank dengan keuntungan terbesar di Indonesia, BRI, mampu menghasilkan Rp25,8 triliun di tahun 2016, Westpac menghasilkan untung setara Rp75,6 triliun, alias hampir 3 kali lipatnya.
Satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa laporan keberlanjutan adalah cerminan dari apa yang dilakukan oleh organisasi pelapornya.  Bank yang tidak mengelola dampak lingkungannya dengan benar akan menampilkan dirinya secara demikian pula.  Mereka tidak bisa memberi tahu para pemangku kepentingannya tentang apa yang mereka capai, karena memang tidak melakukannya.  Dalam dunia di mana extended CSR telah diakui sebagai norma, tidak melaporkan kinerja lingkungan dengan dalih bahwa  mereka tidak memiliki dampak langsung sesungguhnya hanya akan dibaca sebagai ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian.
 
Menuju Bank yang Regeneratif
Dari GRI G4, GRI FSSD, GRI SRS dan pengalaman Westpac sesungguhnya bank-bank di Indonesia bisa belajar banyak, yaitu bahwa keberlanjutan sudah jadi imperatif.  Di dalamnya termasuk pengelolaan dampak lingkungan sepanjang rantai nilai.  Kalau mengikuti pendirian John Fullerton (Regenerative Capitalism: How Universal Principles And Patterns Will Shape Our New Economy, 2015), Kate Raworth (Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist, 2017), dan Klaus Schwab (The Fouth Industrial Revolution, 2017), jelas kini perusahaan yang bisa berkelanjutan—dalam pengertian bukan sekadar survive melainkan juga flourish—adalah mereka yang bukan saja menjaga lingkungan yang masih baik (konservatif), melainkan juga yang mengembalikan lingkungan ke kondisi semula (restoratif), bahkan menjadikan lingkungan semakin kuat mendukung kehidupan manusia dan makhluk lainnya (regeneratif).  Dan saya berharap melihat bank-bank di Indonesia menjadi seperti itu, agar bisa menjadikan dirinya dan Indonesia—bahkan dunia—menjadi lebih baik.
Dalam kaitan dengan harapan ini, saya kemudian teringat bahwa laporan keberlanjutan akan diwajibkan di dalam Peraturan OJK.  Dalam draft yang saya baca, bank-bank besar dan asing akan wajib membuat laporan keberlanjutan mulai tahun 2020.  Yang lain akan menyusul kemudian.  Tentu itu adalah perkembangan yang menggembirakan dari sisi regulasi.  Namun, regulasi itu perlu sangat jelas memberikan ketentuan bahwa bank-bank harus benar-benar mengetahui kewajiban pelaporannya, dan diawasi dengan ketat kepatuhannya, sehingga tidak akan ada lagi kasus mengulangi pengabaian oleh dua bank yang saya baca laporan keberlanjutannya itu.  Mengapa demikian?  Karena hanya dengan memastikan pelaporan yang komprehensif sajalah maka pengelolaannya menjadi benar.
Buat bank, yang sangat penting diperhatikan adalah bagaimana membuat pengelolaan dan pelaporan kinerja lingkungan menjadi peluang untuk meningkatkan kinerja keuangannya.  Buat Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Indonesia—siapa tahu masih ragu memberikan pewajiban yang lebih tegas—saya mau menyarankan untuk membaca dokumen The Consequences of Mandatory Corporate Sustainability Reporting yang ditulis dua profesor Harvard University, Ioannis Ioannou dan George Serafeim di tahun 2011. Dari situ akan disadari bahwa sesungguhnya pewajiban pelaporan keberlanjutan itu bakal menguntungkan perusahaan sekaligus negara.  Yang terakhir ini akan diuntungkan dengan semakin kokohnya sustainability advantage dari keseluruhan ekonominya.
Bagaimana kalau OJK tetap mewajibkan dengan setengah hati seperti yang terbaca dalam draft yang ada?  Saya akan berharap OJK kelak akan membuat aturan turunan yang lebih detail, lalu merevisi POJK Keuangan Berkelanjutan itu menjadi lebih baik.  Kepada bank, saya sematkan harapan agar menjadi mau melampaui kewajiban regulatorinya.  Alasannya jelas koq, mereka yang melihat keberlanjutan bukan sebagai ancaman atau beban, melainkan sebagai peluang, memang terbukti punya lebih banyak uang.  Begitu kesimpulan sebreg penelitian mutakhir.  Bank yang regeneratif, saya percaya betul, akan menghasilkan jauh lebih banyak keuntungan daripada yang destruktif.
 
Hamburg, 17 Juni 2017     

Siaran Pers: Pelibatan penyandang dana, dalam konflik PTPN II dan masyarakat di kabupaten Jayapura (Keerom)

A. SEJARAH KONFLIK
1. Konflik MA Keerom dan PTPN II
Pertama : bahwa pemerintah Kabupaten Jayapura, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat yang menguasai hak atas sumber daya alam masyarakat adat Keerom telah melakukan tindakan melawan hukum berupa penipuan, penyerobotan / perampasan hak atas sumber daya tanah dan hutan dari masyarakat adat Keerom sebagai pemilik yang sah.
Kedua : bahwa sebagaimana luas dan lokasi   yang telah di sepakati antara masyarakat adat Keerom dan Pemerintah Kabupaten Jayapura adalah tanah seluas 500 hektar dan berlokasi di wilayah berhutan dan bukan pada area yang saat ini menjadi area konsesi. Namun dengan berbagai cara dan dalil, pemerintah berhasil menguasai area yang menjadi Wilayah Kelola Rakyat (WKR) / sumber-sumber penghidupan tersebut. Adapun cara yang di gunakan pemerintah untuk mengubah luas dan lokasi yang telah di sepakati adalah sbb: (1). Pada tahun 1982 sebelum land clearing, pemerintah  meminta masyarakat menandatangani  surat dengan menyodorkan lembaran tanda tangan (saja). Sedangkan redaksi / isi surat tersebut di tutup (tertutup); alasan penandatanganan surat tersebut adalah bahwa alat berat akan di turunkan ke lokasi namun sebelum alat di turunkan masyarakat harus menandatangani surat dimkasud. (2). Usai menandatangani surat tersebut, kira-kira berselang 2 (dua) bulan, kemudian pemerintah (Bupati: Bas Youwe,alm, Sekda: Yosep Leroks, dan Camat: Frans Dumatubun), kembali menemui masyarakat. Kedatangan ini dengan menyuguhkan minuman beralkohol kepada para tokoh masyarakat setempat. Dalam keadaan beralkohol, pemerintah menyampaikan niatnya bahwa mereka ingin miliki tanah yang berdekatan dengan masyarakat agar masyarakat dapat mengawasi lokasi tersebut dari gangguan keamanan. (3). Selain itu pemerintah juga menyampaikan bahwa sawit dan sagu bisa tumbuh bersama-sama (berdampingan) karena keduanya berduri. Dengan keterbatasan pemahaman, dan kondisi yang telah dikuasai alkohol para tokoh masyarakat setuju dengan penyampaian pemerintah. Atas persetujuan masyarakat, tahun 1985 alat berat di turunkan ke lokasi dusun sagu atau diluar dari area yang di sepakati bersama, dan membabat habis dusun sagu yang menjadi sumber pangan lokal Masyarakat Adat Keerom dan sumber kehidupan lainnya. Disitulah awal – mula terjadinya konflik.
 Ketiga : bahwa pemerintah menguasai lokasi dan luasan area yang di rubah secara sepihak, adalah dengan pandangan stigmatisasi gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal senada juga di ungkapkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa apabila masyarakat tidak memberi lokasi, sama hal-nya dengan masyarakat menyembunyikan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
 Keempat : bahwa selama 15 tahun (1983-1998) perusahaan beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Dan hal ini sangat bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku secara nasional di Indonesia. Sejak tahun 1998 barulah perusahaan menggunakan HGU. Setelah dikeluarkannya HGU tahun 1998, perusahaan menghitungnya sebagai tahun dimulainya masa kontrak dengan jangka waktu 35 tahun (1998-2033). Jika di hitung dari tahun 1983, untuk jangka waktu 35 tahun maka perusahaan harus mengakhiri investasinya tahun 2018.
 Kelima : bahwa adanya ruang investasi bagi korporasi, selain pemberian izin oleh pemerintah, terindentifikasi pula bantuan pendanaan dari pihak penyandang dana. Hal ini merupakan arah kebijakan pihak penyandang dana yang lebih berorientasi pada nilai profit tanpa memiliki niat partisipasi dalam perlindungan manusia dan lingkungan di Papua secara khusus, dan Indonesia pada umumnya.
Keenam : Disamping permasalahan / konflik Masyarakat Adat Keerom dan PTPN II yang di latarbelakangi oleh pembiayaan, ada juga upaya perusahaan (korporasi), yang tergabung dalam APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) yang ingin menguasai tanah dan hutan di Indonesia pada umumnya dan Papua khususnya melalui RUU Perkelapasawitan yang sedang dalam proses pembahasan di DPR adalah pembungkaman akses Masyarakat Adat terhadap hutan dan lingkungannya.
Ketujuh : bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), sebagai wakil rakyat mestinya menjadikan beragam konflik lahan/ agraria, kerusakan lingkungan hidup, dan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia serta berdampak pada kehidupan sosial, budaya Masyarakat Adat, adalah akibat dari masifnya korporasi maka seharusnya DPR tidak mengkhianati rakyatnya dengan membahas RUU Perkelapasawitan tersebut.
Kedelapan : Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua melalui pengelolaan Sumber Daya Alam, secara khusus hutan dan lingkungan hidup, Provinsi Papua memiliki Perdasus 21/2008 tentang “Pengelolaan Hutan Berkelanjutan” yang lahir dari amanat UU 21/ 2001 tentang OTSUS  merupakan dasar hukum yang legal di Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian Walhi Papua dan TuK Indonesia menyerukan, menegaskan serta meminta semua komponen/ elemen bangsa untuk menghargai dan menjalankan amanat konstitusi dengan cara-cara yang adil, jujur dan bijaksana.
Selengkapnya dapat dibaca di SIARAN PERS WALHI-TuK_ELABORASI_Final

Mendorong Skema Pembiayaan yang Berkeadilan bagi Petani Kelapa Sawit

Kajian “Mendorong Skema Pembiayaan yang Berkeadilan bagi Petani Kelapa Sawit” ini secara umum bertujuan untuk memperoleh model alternatif untuk petani kelapa sawit, akses pembiayaan dan rekomendasi-rekomendasi teknis dalam skema pembiayaan alternatif tersebut. Secara khusus, kajian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: a) mengetahui kondisi tata kelola perkebunan rakyat, faktor produksi, rantai distribusi, peremajaan kebun, transformasi pertanian, informasi dan akses perkebunan rakyat terhadap pembiayaan perbankan, kondisi sosial dan ekonomi rumah tangga petani kelapa sawit terkini; b) menganalisa skema pembiayaan oleh perbankan terhadap petani kelapa sawit; c) mengidentifikasi skema pembiayaan oleh perbankan terhadap petani kelapa sawit.
Studi dilakukan sejak November 2015-April 2016 di Kabupaten Siak dan Kampar, Provinsi Riau, dengan fokus perkebunan rakyat yang dikelola dengan skema mandiri dan kemitraan. Dua Kabupaten tersebut terpilih, karena: 1) Kabupaten dengan luas perkebunan rakyat paling besar, 2) terdapat 4 jenis pengelolaan perkebunan yaitu mandiri, plasma, koperasi (KKPA) dan bantuan pemda.
Hasil kajian yang dilakukan oleh TuK Indonesia menunjukkan petani kelapa sawit menghadapi kendala dalam peningkatan produktivitas TBS, yang disebabkan: Pertama, petani kelapa sawit memiliki keterbatasan terhadap sarana produksi seperti bibit, pestisida dan pupuk. Kedua, Harga TBS yang dijual oleh petani dihargai rendah. Ketiga, Tidak adanya pendampingan sehingga pengetahuan petani kelapa sawit tentang pengelolaan kebun dan peremajaan kebun sangat minim. Keempat, petani tidak memiliki modal untuk melakukan perawatan. Petani kelapa sawit juga menghadapi keuslitan untuk mengakses pembiayaan di perbankan, yaitu: proses administrasi yang rumit, masalah agunan, dan jarak ke bank yang cukup jauh. Petani kelapa sawit akhirnya memilik untuk mengakses pembiayaan di rentenir, pengumpul kecil, dan keluarga terdekat. Petani memiliki harapan agar bank memberikan fasilitas pinjaman sebagai berikut: pinjaman bunga yang rendah, pinjaman tanpa agunan, pinjaman angsuran yang rendah, persyaratan pinjaman yang mudah, cara pembayaran yang mudah.
Petani kelapa sawit tetap menghadapi kesulitan untuk mengakses program-program yang didorong oleh pemerintah untuk meningkatkan akses pembiayaan bank terhadap perkebunan rakyat, seperti: Kredit Revitalisasi Perkebunan, Kredit Ketahanan Pangan, Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
 
Selengkapnya https://drive.google.com/open?id=0B-NrsmIaftChVHd4LWhGYk5Ya3c

Keuangan Berkelanjutan di Indonesia: Harapan dan Tantangannya

TuK INDONESIA, sesuai nama yang kami pilih, bertekad untuk membantu mewujudkan keadilan di Indonesia melalui pendekatan transformatif. Kami melihat kenyataan di lapangan dan menemukan bahwa berbagai ketimpangan memang memiliki penyebab yang beragam, namun hampir pasti melibatkan persoalan struktural.
Salah satu persoalan struktural paling penting yang kami amati datang dari bagaimana alokasi capital dilakukan oleh pasar. Selama ini, capital memang terutama mengalir deras kepada korporasi, dengan konsekuensi yang bisa kita lihat bersama. Betul bahwa ukuran-ukuran klasik dalam ekonomi menunjukkan pertumbuhan, namun korban social dan lingkungannya tak bisa dimungkiri. Kalau ini terus terjadi, pertumbuhan ekonomi yang dimiliki Indonesia kemudian akan menyurut dan kelak akhirnya tak bisa lagi dipertahankan.
Kondisi itu sudah lama dikhawatirkan di seluruh dunia. Kita tentu membutuhkan pertumbuhan ekonomi, namun bukan pertumbuhan yang mengorbankan kualitas social dan lingkungan yang akhirnya menjerumuskan Indonesia. Kita tentu membutuhkan pertumbuhan ekonomi, namun terutama diarahkan kepada masyarakat kebanyakan yang memang masih membutuhkannya, sehingga kelak bisa mengangkat Indonesia. Kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan, sehingga bisa menyehatkan Indonesia masa depan.
Selengkapnya https://drive.google.com/open?id=0B-NrsmIaftChaDdUbGR3eno2ZFU

Review Perizinan

PT Wira Mas Permai dan Dampaknya terhadap Kehidupan Masyarakat Lokal di Kecamatan Bualemo, Kab. Banggai, Sulawesi Tengah. 
 
PT. Wira Mas Permai (PT WMP) adalah salah satu perusahaan budidaya kelapa sawit di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai yang mendapatkan Izin Lokasi dari Bupati Banggai pada tahun 2009. Meski demikian, kemunculan PT WMP di Bualemo dapat ditelusuri sejak tahun 2007 dan 2008 dimana PT WMP mulai melakukan negosiasi-negosiasi terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini.
Keberadaan PT. Wira Mas Permai (PT WMP) di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sejak awal sudah memunculkan kontroversi, bahkan mendapatkan penolakan dari masyarakat. PT WMP merupakan anak perusahaan dari Kencana Agri Group yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia dan bergerak di bisnis perkebunan kelapa sawit. Salah satu alasan utama dari penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap PT WMP yang muncul saat ini dikarenakan keberadaannya telah memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan dan kehidupan social ekonomi masyarakat.
PT. Wira Mas Permai sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit awalnya mengantongi izin lokasi seluas 17.500 hektar berdasarkan Keputusan Bupati Banggai Nomor: 522.26/Disbun tertanggal 3 Februari 2009 tentang Penetapan Izin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit Kepada PT. Wira Mas Permai. Sedangkan areal Hak Guna Usaha (HGU) yang dikuasai oleh PT WMP seluas 8.493 Ha. Namun faktanya sampai saat ini, pihak perusahaan tidak mengusahakan secara aktif –bahkan dapat dikatakan tidak sepenuhnya menguasai luasan lahan sebagaimana yang disebutkan dalam izin di atas.
Sejatinya, keberadaan suatu perusahaan di suatu wilayah dapat memberikan dampak perekonomian yang baik bagi masyarakat sekitar. Karena akan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat sekitar. Namun keberadaan PT. WMP di Kecamatan Bualemo justru mengakibatkan kondisi kehidupan masyarakat terpuruk dan merusak lingkungan di sekitarnya. Dari awal keberadaannya, PT WMP diindikasikan mendapatkan tanah melalui proses-proses penyerobotan paksa lahan masyarakat untuk dijadikan lokasi perkebunan kelapa sawit….
 
Selengkapnya https://drive.google.com/open?id=0B-NrsmIaftChb2tXNm1sQlVod28

Walhi Minta Bank Green Kredit, ini Alasannya

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi memeringati Hari Lingkungan Hidup dengan mengadakan aksi damai di simpang Bank Indonesia, Telanaipura, Senin (5/6).
“Sekaligus kami dari Walhi dan Sahabat Walhi, mengampanyekan perbankan hari ini masih banyak memberikan kredit ke perusahaan pelaku pengrusakan lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia,” kata Abdul, Manajer Kampanye dan Penguatan Jaringan Walhi Jambi.
Walhi menuntut bank-bank yang memberikan kredit harusnya lebih teliti. “Atau memberikan semacam garansi ketika memberikan modal dan kredit. Atau lebih terbuka memberikan kredit ke perusahaan-perusahaan dan industri kelapa sawit. Misalnya juga menerapkan seperti green kredit dan semacamnya,” ungkapnya.
Pihaknya sudah melakukan tracking ke beberapa bank. Walhi akan mempublikasikan setelah data lengkap.
Sumber http://www.walhi-jambi.com/2017/06/walhi-minta-bank-green-kredit-ini.html – .WT_2_6Nh1p8
 

SOLIDARITAS ORGANISASI SIPIL (SOS) di TANAH PAPUA

Kami yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua (SOS TANAH PAPUA) , Jayapura, Papua. Secara bersama melakukan aksi solidaritas untuk mengingatkan kepada kita semua dan juga kepada negara. Bahwa sejarah telah tertulis sejak adanya UU No 1 /1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) telah menyebabkan terjadinya konflik agraria, perampasan lahan , kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM, karena inilah awal mulanya masuk investor asing ke Indonesia. Dua tahun kemudian yakni tahun 1969 Tanah Papua baru masuk menjadi bagian dari Indonesia.
Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudia pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia meratifikasi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights –  ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No.11 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pada tataran Papua dan Papua Barat telah mempunyai UU Otonomi Khusus yakni dengan adanya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan perubahan UU Otsus melalui UU Nomor 35 Tahun 2008 yang didalamnya tersirat Perlindungan (Protection), Pemberdayaan (empowerment) dan keberpihakan (alfirmasi action) yang merupakan roh dari Undang-undang Otonomi khusus Papua kepada masyarakat adat Papua.
Selengkapnya PERNYATAAN SIKAP SOS di TANAH PAPUA

Database forestsandfinance.org telah Diperbaharui

INVESTOR DAN BANK DARI JEPANG DAN MALAYSIA TERUS MEMASUKAN MILIARAN DOLAR KE DALAM PERUSAHAAN YANG BERISIKO KEPADA HUTAN, TANPA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL YANG CUKUP                                                                                                         
Juni 2017
 
Database forestsandfinance.org telah diperbarui dengan informasi mengenai aliran uang ke perusahaan-perusahaan di kawasan Asia tenggara yang berisiko kepada kehutanan sejak tahun 2010, mengungkapkan besarnya peran bank dan investor dari Jepang dan Malaysia dalam membiayai perusahan-perusahaan yang operasinya memberikan dampak kepada hutan tropis alami dan masyarakat yang bergantung kepada hutan tersebut.
Semenjak menerbitkan database awal pada September 2016, beberapa perubahan telah dilakukan kepada metodologi dan pemilihan perusahaan, supaya dapat lebih merepresentasikan aliran uang ke rantai pasok minyak sawit, pulp dan kertas, kayu ,dan karet di kawasan Asia Tenggara. Database-nya saat ini memasukan lebih dari 180 perusahaan dan didasarkan kepada metodologi yang lebih komprehensif, yang mencakup tidak hanya uang yang disediakan ke aktivitas pengolahan utama dan produksi dari perusahaan-perusahaan yang berisiko kepada kehutanan, namun sekarang juga kepada aktivitas-aktivitas rantai pasok hilir dan tengah (midstream), termasuk aktivitas perdagangan dan pabrikan.
Penelitian menemukan bahwa antara tahun 2010 dan 2016 terdapat fasilitas penjaminan (underwriting) dan pinjaman perusahaan (corporate loans) yang bernilai setidaknya USD 72 miliar disediakan untuk operasi yang berisiko kepada kehutanan dari 183 perusahaan yang terdapat di database.2 Bank-bank yang berkantor pusat di Jepang, Malaysia, Eropa, Cina, Indonesia, Singapura, Amerika Serikat dan Taiwan merupakan pemodal terbesar, dan bank-bank yang paling terekspos adalah Sumitomo Mitsui Financial, Malayan Banking, Mizuho Financial, CIMB, RHB Banking, HSBC, Mitsubishi UFJ, Bank Rakyat Indonesia, OCBC, DBS, China Development Bank, Standard Chartered, Credit Suisse, Bank Mandiri & Industrial dan Commercial Bank of China.
Selengkapnya https://drive.google.com/open?id=0B-NrsmIaftChcElwOUxHNDVSMVU