Korupsi Subur, Hutan Sumatera Hancur

images3HUTAN SUMATERA HANCUR OLEH KORUPSI. Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2014 terkait Sistem Perizinan di Sektor Kehutanan menemukan potensi suap di sektor perizinan mencapai Rp 22 miliar. Kajian tersebut seolah mengafirmasi apa yang terjadi pada kasus-kasus yang terjadi di Riau selama ini. Sumatera bagian utara berulang kali didera kasus korupsi kehutanan. Korupsi terbukti oleh Adelin Lis di Mandailing Natal, terang juga terlihat dalam Azmun Jaafar di Riau. Selain Tengku Azmun, belum lama, Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK terkait dengan suap menyuap perubahan kawasan hutan untuk perkebunan PT Duta Palma. Pembelajaran kasus-kasus dan kajian, tersebut mendorong KPK untuk menginisiasi ditanda tanganinya Nota Kesepakatan Bersama 29 Kementerian dan Lembaga Negara tentang Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam (NKB GN-PSDA) yang ditanda tangani pada 19 Maret 2015.
Kertas posisi ini disusun sebagai respon kelompok masyarakat sipil yang bersumber dari hasil pemantauan dan kerja-kerja kelompok masyarakat sipil di isu perkebunan dan hutan. Berdasarkan temuan koalisi:

  • Pembiaran hutan tanpa kepastian hukum,
  • Kesemrawutan penerbitan izin hutan dan perkebunan,
  • Pengelolaan hutan dan kebun menjadi ruang konflik, dan

Penegakan hukum masih memberikan keuntungan bagi korporasi hitam.
Unduh (PDF)

SIARAN PERS: UU Perbankan Baru Harus Dorong Bank Agar Peka terhadap Aspek Sosial dan Lingkungan Hidup

siaran persSektor perbankan berperan penting dalam pembiayaan pembangunan di Indonesia. Namun demikian, berbagai perubahan dalam konteks global maupun lokal menuntut perubahan peraturan perundang-undangan mengenai Perbankan yang telah digunakan selama 17 tahun ini. Berbagai aktifitas ekonomi yang dibiayai bank juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan bagi masyarakat luas, sehingga proses pembahasan RUU Perbankan tidak hanya perlu dicermati oleh pelaku industri perbankan, namun juga oleh seluruh komponen masyarakat.
Menanggapi bergulirnya proses legislasi RUU Perbankan di DPR, koalisi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam ResponsiBank Indonesia telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI pada tanggal 11 Juni 2015 yang lalu.
Menurut Edi Sutrisno perwakilan Koalisi ResponsiBank dari Transformasi untuk Keadilan (TuK), “Bank bukan menara gading yang hanya semata-mata mengejar profit, bank juga adalah bagian tak terpisahkan dari society, yang memiliki tanggung jawab sosial juga. Karena itu investasi yang mereka lakukan juga perlu memperhatikan hak-hak masyarakat yang terkena dampak investasinya”,
Senada dengan itu, Kurniawan Sabar dari Walhi juga menegaskan bahwa kebijakan bank perlu lebih tegas lagi dalam meminta persyaratan legal dari calon debiturnya sebelum memberikan kredit, “..karena seringkali pelanggaran aspek legalitas itulah yang menjadi masalah di lapangan, sehingga ujung-ujungnya terjadi perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak masyarakat”, tegasnya lagi.
Sebagai bagian dari jaringan masyarakat sipil global, Fair Finance Guide Internasional, Koalisi ResponsiBank Indonesia mendorong diakomodasinya empat pilar utama dalam RUU Perbankan, yaitu pertama, tanggung jawab lingkungan hidup dan sosial, terutama terkait dengan prinsip pembangunan berkelanjutan; kedua, perlindungan konsumen, terutama terkait dengan mekanisme pengaduan nasabah serta penyediaan informasi mengenai produk dan layanan perbankan secara transparan; ketiga, inklusi keuangan, terutama terkait peranan bank dalam membiayai sektor riil dan UMKM dan; keempat, tata kelola – transparansi, terutama terkait pelaporan dan pengawasan bank serta peranan bank dalam mencegah transaksi keuangan ilegal.
“Setelah OJK mengeluarkan Peta Jalan Keuangan yang Berkelanjutan, menurut hemat kami, industri perbankan di Indonesia tidak dapat mundur lagi dari kecenderungan global untuk menekankan aspek keberlanjutan dalam dunia bisnis”, pungkas Akbar Ali, peneliti Sustainable Development di Perkumpulan Prakarsa sekaligus Koordinator Sekretariat Koalisi ResponsiBank Indonesia menutup pernyataan dari koalisi masyarakat sipil ini sebagaimana disampaikan dalam Konferensi Pers Koalisi ResponsiBank Indonesia untuk masukan terhadap RUU Perbankan, tanggal 26 Juni 2015 di Hotel Amaris Tebet, Jakarta.
Untuk konfirmasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Akbar Ali
Peneliti Sustainable Development Perkumpulan Prakarsa
(Koordinator Sekretariat Koalisi ResponsiBank Indonesia)
Email: [email protected] HP: 087770178960; 081388596137

[mongabay.co.id] Sengketa Tak Berkesudahan, Potret Wilmar Group di Nagari Kapa

June 12, 2015 Riko Coubut, Padang

Sudah 17 tahun, sengketa antara PT. Permata Hijau Pasaman (PHP) dengan masyarakat Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat terjadi. Sudah berlarut-larut keprihatinan yang diungkapkan masyarakat pemilik lahan yang terkena dampak pembangunan perkebunan sawit oleh perusahaan. Sudah berkali-kali pemerintah gagal mengupayakan penyelesaian sengketa yang terjadi, ungkap salah seorang perwakilan masyarakat Nagari Kapa yang diwawancarai Mongabay di Padang pada Kamis, (14/5/2015). Ada persoalan apa di Nagari Kapa?
Nagari Kapa merupakan salah satu Nagari yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, tempat tinggal 4.454 Kepala Keluarga dengan berjumlah 18.704 jiwa (BPS,2010). Hampir keseluruhan lahan di Nagari ini telah diusahakan, mulai dari pemukiman, peladangan, perkebunan sawit swadaya milik masyarakat dan perkebunan sawit milik perusahaan.
Kantor lapangan PT. Permata Hijau Pasaman, jalan akses menuju perusahaan juga menjadi pintu masuk ke Jorong Rantau Panjang, Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pesisir. Foto: Riko Coubut Kantor lapangan PT. Permata Hijau Pasaman, jalan akses menuju perusahaan juga menjadi pintu masuk ke Jorong Rantau Panjang, Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pesisir. Foto: Riko Coubut
Zainul Abidin Dt. Majo Bosa, salah seorang ninik mamak Nagari Kapa kepada Mongabay mengatakan ada empat jenis pengelompokan kepemilikan tanah di nagari Kapa; pertama, tanah yang dikuasai langsung oleh adat yaitu tanah yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat. Biasanya tanah ini merupakan kawasan hutan, rawa, kawasan perairan. Kedua, tanah hak milik yang dikuasai oleh seorang datuk, dikenal dengan nama tanah bosa/kampung. Ketiga, tanah milik kaum kerabat berdasarkan garis keturunan seorang ibu atau dikenal dengan nama tanah pusaka tinggi. Keempat,tanah yang dimiliki secara pribadi yang diperoleh melalui pembukaan lahan baru atau melalui pembelian, tanah seperti ini dikenal dengan tanah pusaka rendah.
Kewenangan pengelolaan tanah adat berada di tangan pucuk adat dan datuk, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tanah ulayat. Apabila ada diantara anak, cucu dan kemenakan yang hendak mengelola tanah ulayat maka mereka harus memperoleh izin dari pucuk adat dan membayar uangsiliah jariah/uang adat, seperti kata pepatahnya “adaik diisi, limbago dituang”. Setelah itu barulah mereka dapat mengelola lahan tersebut dengan status hak pakai, maka terhadap pengelolaannya berlaku ketentuan adat “ka rimbo babungo kayu, ka lauik babungo karang, ka sawah babungo ampiang, ka sungai ba bungo pasie,” artinya si pengelola mesti menyisihkan sebagian dari hasil pengelolaannya untuk diserahkan kepada ninik mamak, tambahnya.
Di Nagari Kapa, tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak ada pemiliknya. Untuk mengusahakan tanah-tanah di Nagari Kapa, pengelola harus mendapatkan persetujuan dari pucuk adat dan para ninik mamak. Lantas bagaimana halnya dengan PT. PHP yang mengusahakan lahan di Nagari Kapa?
Dalam buku yang berjudul “Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan” yang diterbitkan oleh Forest People Programme, Sawit Watch dan TUK Indonesia, tentang berbagai penelitian terhadap permasalahan pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia.
Salah satu penelitian dilakukan terhadap persoalan konflik sawit yang terjadi antara masyarakat Nagari Kapa dengan PT. PHP Pasaman. Konflik berawal pada 1997, ketika pucuk adat dan ninik mamak di Nagari Kapa menyerahkan tanah ulayat kepada Bupati Pasaman untuk dijadikan tanah negara dan selanjutnya diserahkan lahan tersebut kepada perusahaan untuk kegiatan perkebunan sawit dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak pengusahaannya.
Penyerahan itu ternyata tidak dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan masyarakat Nagari Kapa sehingga banyak diantara masyarakat Nagari tidak mengetahui proses penyerahan, luasan, lokasi dan sebagainya. Akhirnya banyak kalangan anak nagari (masyarakat kampung) dirugikan karena merasa kehilangan tanah, termasuk dari kalangan bundo kanduang yang notabene sebagai pemilik ulayat. Bahkan mereka mengangap penyerahan lahan yang dilakukan oleh pucuk adat dan ninik mamak pada saat itu kepada perusahan hanya mewakili kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat Nagari Kapa.
Walau Jorong Rantau Panjang diapit oleh perusahaan perkebunan besar milik Wilmar Group, masyarakatnya masih tetap hidup penuh keterbatasan dan kemiskinan. Foto: Riko CoubutWalau Jorong Rantau Panjang diapit oleh perusahaan perkebunan besar milik Wilmar Group, masyarakatnya masih tetap hidup penuh keterbatasan dan kemiskinan. Foto: Riko Coubut

Pada tahun 1999-2000, pecah konflik di Nagari Kapa, dimana sekitar 150 KK menggarap sisa lahan sekitar 200 hektar yang lokasinya berdampingan dengan perkebunan perusahaan. Aparat kepolisian kemudian datang dan mengusir masyarakat pengarap. Kejadian itu memantik kemarahan masyarakat dan menyerang kantor perusahaan. Akibatnya beberapa orang laki-laki yang diduga melakukan pengrusakan, ditahan, disidangkan dan dipenjara.

Konflik juga terjadi akibat persoalan plasma. Sekitar tahun 2000, masyarakat Nagari Kapa berunjuk rasa menuntut untuk menyerahkan kebun plasma yang menjadi kewajiban perusahaan, dengan menghalangi kegiatan perusahaan untuk memanen tandan buah segar lahan perkebunannya. Hingga pada tahun 2004, perusahaan menyerahkan lahan plasma seluas 353 hektar dan pada tahun 2009 seluas 344 hektar kepada masyarakat Nagari Kapa.
Ketidakjelasan luas izin konsesi perkebunan juga membuat masyarakat menuntut pengukuran ulang lahan perusahaan. Selanjutnya ada upaya penyingkiran sejumlah tokoh-tokoh ninik mamak yang menolak menyerahkan lahan kepada pemerintah.
Buku itu juga menyebutkan perusahaan mengaku telah memberikan seluruh kebun plasma kepada masyarakat yang menjadi kewajiban perusahaan. Tetapi masyarakat tidak puas dengan luasan kebun plasma yang telah diserahkan. Masyarakat juga mempermasalahkan rendahnya harga tandan buah segar yang dibayarkan oleh koperasi, terkait tanggung jawab perusahaan. Perusahaan juga mengaku telah membayar uang siliah jariah kepada ninik mamak saat pertama kali datang untuk mengusahakan lahan perkebunan di Nagari Kapa.
Areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Google Areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Google
PT. PHP merupakan anak perusahaan Wilmar Group, dengan luas perkebunan berdasarkan SK HGU No.65/HGU/BPN/2004 sekitar 1.600 hektar, yang terletak di Nagari Kapa dan sebagian lahannya masuk dalam administrasi Nagari Sasak Ranah Pesisir.
Lahan merupakan tanah gambut di tepi pantai barat Pasaman Barat, yang dikeringkan lalu ditanami sawit. Akibat pengeringan lahan, masyarakat kesulitan mencari ikan, kepiting, udang sebagai mata pendaharian mereka.
Berdasarkan SK Menteri Negara Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor: 49 V/PMA/1999 tentang Perubahan Status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), Perusahaan ini awalnya PMDN, berubah status menjadi Penanaman Modal Asing (PMA). Sahamnya dimiliki oleh; Keyflow Limited (British Virgin Islands), Caffery International Limited (UK), HPR Investment Limited (British Virgin Islands), Banoto Investment Limited (British Virgin Islands), Wilmar Plantation Limited (British Virgin Islands) dan PT. Kartika Prima Vegetable, terakhir dikabarkan dijual kepada PT. Karya Prajona Nelayan.
Sejak pertengahan tahun 1992, perusahaan telah memperoleh beberapa perizinan untuk usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintah. Pertama, berdasarkan rekomendasi Gubernur Sumbar dan Bupati Pasaman (kini Pasaman Barat), perusahaan diberikan rekomendasi pencadangan lahan seluas 12.000 hektar di Nagari Sasak, Kecamatan Pasaman. Kedua, pada tahun 1995 melalui rekomendasi dari Bupati Pasaman dan Gubernur Sumbar diberikan izin membuka lahan seluas 4.000 hektar di Nagari Sikilang, Kecamatan Pasaman. Ketiga, tahun 1998 dua proposal pembangunan perkebunan sawit yang diajukan kepada Bupati Pasaman kembali disetujui untuk dibangun di Nagari Kapa yaitu seluas 1.600 hektar dan di Nagari Maligi seluas 3.500 hektar. PT. PHP memiliki dua perusahaan yang terdiri I dan II dengan total lahan perkebunan seluas 5.450 hektar.
Kegiatan perkebunan PT. PHP  terdiri perkebunan sawit, pengelolaan tandan buah segar (TBS) dan pengolahan minyak biji inti sawit. Kapasitas produksinya mencapai 135.250 ton TBS, 28.600 ton CPO dan 6.900 ton minyak kernel sawit per tahun. Sekitar 25 persen atau sebanyak 7.150 ton CPO yang dihasilkan dijual dalam pasar domestic, dan 75 persen atau sebanyak 21.450 ton dijual di pasar international.
Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Riko Coubut Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Riko Coubut
Terpisah, Simon Siburat Perwakilan Wilmar Group dalam acara pemantauan publik atas terlaksananya kebijakan Wilmar tentang larangan deforestasi, larangan konversi lahan gambut dan larangan eksploitasi manusia serta persoalan sosial yang pelakunya perusahaan sawit di Sumbar mengatakan persoalan konflik masyarakat Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat dengan PT. PHP sudah disampaikan masyarakat kepada lembaga Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) di Malaysia beberapa waktu yang lalu dan kami akan tunduk dengan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Bahkan guna menindaklanjuti komplain masyarakat tersebut, dalam waktu dekat lembaga RSPO akan mengunjungi pemkab Pasaman Barat guna meminta klarifikasi mengenai masalah ini.
Simon menambahkan Wilmar berkomitmen untuk tidak melakukan pengelolaan perkebunan di lahan gambut dan untuk lahan gambut yang sudah di land clearing maka tidak akan diusahakan dan dibiarkan menjadi hutan kembali. Selanjutnya tidak akan membuka lahan baru serta tidak akan bekerjasama dengan perusahaan supplier penghasil tandan buah segar (TBS) jika diketahui perusahaan mitra tersebut tidak ramah terhadap lingkungan.
Kami telah menyediakan layanan pengaduan secara online melalui website perusahaan, maka melalui layanan ini masyarakat dan stakeholder lainnya dapat menyampaikan komplain secara langsung dengan perusahaan,” ucapnya kepada Mongabay pada Rabu, (10/6/2015).
Menurut Prof. Afrizal, MA, pakar antropologi dari Universitas Andalas kepada Mongabay pada Senin (18/05/2015), memandang kasus konflik masyarakat dengan Nagari Kapa dengan PT. PHP akibat ketidakjelasan proses penyerahan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit. Dimana Ninik Mamak terindikasi berperan sendiri-sendiri tanpa mengikutsertakan masyarakat nagari. Seharusnya keputusan penyerahan ulayat yang menjadi kewenangan pucuk adat dan ninik mamak, setelah melalui musyawarah di tingkat nagari.
Saya melihat, hal ini yang tidak dilakukan semenjak awal. Akhirnya konflik ini berlarut-larut sampai sekarang, mulai dari persoalan penyerahan lahan, persoalan plasma dan sebagainya. Pemerintah juga terlihat kurang berperan dalam menginisiasi percepatan penyelesaian konflik masyarakat dan cenderung membiarkannya. Lihatlah, sudah 17 tahun konflik ini terjadi tanpa penyelesaian,” katanya.
Afrizal menambahkan sepantasnyalah Pemerintah Pasaman Barat memfasilitasi penyelesaian sengketa perkebunan di daerah sentral perkebunan sawit Sumbar itu. Hampir seluruh wilayah Pasaman Barat terdapat perkebunan, dengan berbagai kasus yang terjadi.  PT PHP selayaknya selalu melibatkan masyarakat, baik dalam rapat konsultasi pengambilan keputusan, pengembangan program pemberdayaan, termasuk membangun mekanisme penyelesaian konflik.
Link:
http://www.mongabay.co.id/2015/06/12/sengketa-tak-berkesudahan-potret-wilmar-group-di-nagari-kapa/

[Kompas] Panen Sawit di Kebun Majikan, Sukimin Jadi Tersangka

Senin, 1 Juni 2015 | 17:44 WIB
1515057780x390BENGKULU, KOMPAS.com – Sukimin (40), seorang buruh panen kelapa sawit di kebun milik Sahrul Iswandi (45), warga Desa Tumbu’an, Kecamatan Lubuk Sandi, Seluma, Bengkulu, ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian setempat karena dituduh mencuri kelapa sawit milik salah satu perusahaan perkebunan.
Penetapan tersangka oleh polisi kontan membuat tak kurang dari 20 orang petani setempat mendatangi Polres Seluma, Senin (1/7/2015) sore, dan meminta agar tersangka Sukimin tak ditahan.
“Kasus ini aneh, Pak Sukimin memanen buah kelapa sawit milik Sahrul Iswandi tapi Sukimin ditetapkan tersangka pencurian, padahal itu kebun milik Sahrul,” kata Manajer Kampanye Walhi Bengkulu, Sony Taurus, Senin (1/7/2015).
Dia melanjutkan, puluhan petani tersebut mendatangi kantor polisi meminta agar rekan mereka tidak ditahan oleh polisi. Sebelumnya, konflik ini sempat juga terjadi saat warga sempat melaporkan perusahaan ke polisi dengan tuduhan mencuri buah kelapa sawit milik masyarakat.
Sony membeberkan selama ini, kebun seluas 1,5 hektare itu telah lama ditanami oleh Sahrul, namun pada 2014 datang perusahaan perkebunan yang juga mengklaim tanah itu milik perusahaan.
Konflik PT SIL dengan ratusan warga bermula pada perusahaan PT Way Sebayur mengalami perkara hukum dalam pinjaman keuangan dengan perbankan dan dijatuhi hukuman sehingga seluruh aset perusahaan itu disita termasuk HGU seluas 2.800 hektare di Kabupaten Seluma yang sekarang dimiliki PT SIL.
Selanjutnya, berdasarkan perintah pengadilan, tanah yang telah dikuasi negara karena disita itu harus dilelang untuk mengembalikan kerugian negara lalu dilelanglah PT Way Sebayur dan dimenangkan oleh PT SIL.
Saat dikonfirmasi, Kapolres Seluma AKBP Joko Sadono menyatakan, dia akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan bawahannya, mengingat banyaknya kasus serupa di Seluma.
“Saya koordinasi dulu ke Kasat Reskrim, karena kasus seperti itu cukup banyak terjadi,” ujarnya.


Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah
Editor : Caroline Damanik

 
Link:
http://regional.kompas.com/read/2015/06/01/17440071/Panen.Sawit.di.Kebun.Majikan.Sukimin.Jadi.Tersangka

Workshop Penyusunan Strategy Litigasi: Litigasi sebagai Strategy Mempertahankan Hak Rakyat

Jpeg
Jakarta, 27-28 Mei 2015. Dalam dua dekade terakhir ini, industri kelapa sawit mengalami ‘economic booming‘ dipicu oleh tingginya permintaan minyak nabati dunia untuk memenuhi konsumsi aneka makanan, kosmetik dan agrofuel. Indonesia menyikapi situasi tersebut dengan mendorong ekspansi industri perkebunan sawit. Tujuannya adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan investasi dan mengurangi gelombang pengangguran pasca krisis ekonomi 1997.
Salah satu upaya pemerintah adalah mencari para investor sebanyak mungkin untuk menanamkan modal untuk mengentaskan kemiskinan dan disisi lain disambut baik juga oleh para investor untuk menanam modal industri kelapa, hal itu bisa dilihat luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun terakhir cenderung menunjukan peningkatan, naik sekitar 2,49 sampai dengan 11,33 persen per tahun.
Dari luasan tersebut dikuasai oleh segelintir kelompok korporasi besar. Bayangkan total luasan kelapa sawit di daerah dikendalikan oleh taipan yang menguasai oleh hingga 5,1 juta ha. Hal itu dapat dilihat seperti gambar dibawah ini yang menjelaskan struktur luasan perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh 25 korporasi raksasa. Dengan adanya ekspansi industri perkebunan kelapa sawit dalam skala luar biasa ini, banyak menyingkirkan hak-hak atas tanah rakyat sehingga konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Meningkatnya konflik agraria jika dilihat dari aktor, maka yang paling banyak berkonflik adalah warga vs perusahaan swasta dengan 221 konflik Dengan adanya berbagai permasalahan yang ditimbulkan adanya ekspansi industri perkebunan kelapa sawit, maka diperlukan sebuah mekanisme yang jelas dan tegas untuk mencari solusi yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas tanah untuk masyarakat dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Oleh sebab itu terkait dengan permasalahan yang di alami oleh masyarakat, TuK INDONESIA menilai perlu untuk mengadakan workshop yang bertujuan untuk menyusun langkah strategi sebagai langka advokasi secara litigasi.
Workshop dilaksanakan selama 2 hari bertempat di Hotel Ibis Arcadia, Jakarta. Dan diikuti oleh teman-teman jaringan seperti Walhi Eknas, Walhi Bengkulu, Walhi Sulteng, PIL-Net, TuK INDONESIA dan masyarakat dari Seluma, Bengkulu. Workshop ini dipandu oleh Zenzi Suhadi dari Walhi Eksekutif Nasional.
Workshop ini sebagai langkah dan upaya konsolidasi di tingkat daerah dan nasional terkait dalam upaya penyusunan strategy dan langkah-langkah advokasi secara litigasi sehingga tersedianya dokumen rencana advokasi secara litigasi.