Pos

Karpet Merah Mafia Sumber Daya Alam: Inisiatif Siapa?

Siaran Pers – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Mafia SDA

Jakarta, Selasa, 10 September 2019 – Sejak Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat paripurna yang mengesahkan agenda revisi Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai inisiatif DPR pada Kamis, 6 September 2019, situasi gaduh yang lagi-lagi mempertanyakan eksistensi lembaga anti-korupsi Indonesia (KPK) kembali terjadi. Hal ini disebabkan karena pemerintah, bukannya secara tegas menolak, namun justru seolah-olah membentangkan karpet merah untuk mafia sumber daya alam (SDA) dengan memberi isyarat setuju terhadap beberapa poin revisi ini akan secara perlahan membunuh KPK, sehingga penjarahan SDA dapat melenggang dengan tenangnya di negeri ini.

Sudah jelas, selama ini, komisi antirasuah itu berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya, dalam hal membredel para koruptor di SDA. Terbukti KPK lebih getol. Berulang kali KPK menjebloskan para mafia dan koruptor ke penjara terkait korupsi perizinan hutan, kebun dan tambang. Setidaknya 17 kasus mafia SDA telah ditangani KPK, termasuk yang terakhir melibatkan mafia tambang dan partai politik pendukung revisi UU KPK.

Tak hanya itu, triliunan rupiah uang negara telah diselamatkan oleh KPK dalam kegiatan pencegahan korupsi di sektor SDA. Melalui program itu, tercatat peningkatan penerimaan negara dari tahun 2014-2017 hingga mencapai 33 triliun rupiah. Pada bulan Maret 2019, Presiden Joko Widodo bahkan pernah membanggakan indeks persepsi korupsi Indonesia yang terus membaik. “Di tahun 1998, kita negara terkorup di Asia. Indeksnya berada di angka 20. Di tahun 2014 angkanya sudah membaik, dan sekarang (2019) semakin membaik di angka 38, artinya ada perbaikan terus. Tidak mungkin kita ingin instan, langsung membaik,” kata Presiden dalam debat Capres 2019.

Gestur politik merevisi UU KPK sebenarnya mencurigakan. Dari manakah inisiatif ini berasal? Seperti pernyataan di atas, publik sering mendengar janji-janji politik dan kampanye Presiden Jokowi yang ingin memperkuat peranan KPK dalam pemberantasan korupsi. Tapi, faktanya tak seindah ucapan, justru Presiden tak tegas merespon revisi inisiatif DPR itu.

Bisa dipastikan, dengan membunuh KPK secara perlahan, agenda-agenda Pemerintahan Jokowi kedepan sulit diwujudkan. Bagaimana mungkin Presiden mampu mensejahterakan rakyat dan membangun SDM unggul bila korupsi masih merajalela. Pemberantasan korupsi yang nyata dan kuat adalah prasyarat utama untuk pembangunan SDM dan infrastruktur, percepatan reformasi birokrasi, peningkatan investasi dan penggunaan APBN tepat sasaran, seperti visi pemerintahan Jokowi lewat pidato kemenangannya di Sentul, Jawa Barat, bulan Juli 2019 lalu.

Melihat serangan DPR kepada KPK, sikap pasif Jokowi justru menimbulkan keraguan bagi rakyat atas komitmennya mensejahterakan rakyat. Terutama menimbang bahwa tata kelola pemerintah yang koruptif selama ini justru menguntungkan para mafia, terutama di sektor SDA.

Sebagai “Koalisi Masyarakat Sipil Anti-mafia Sumber Daya Alam”, kami melihat ada tiga sumber masalah yang membunuh KPK secara perlahan dan memberi keuntungan bagi para koruptor yang hobi mengeksploitasi SDA di negeri ini, antara lain:

Pertama, tidak semua nama hasil seleksi panitia seleksi calon pimpinan KPK tepat untuk menjadi figur kepemimpinan dalam pemberantasan korupsi. Faktanya, hasil seleksi justru mencakup nama-nama yang memiliki rekam jejak pelemahan terhadap gerakan anti korupsi – bahkan diragukan integritasnya. Padahal posisi pimpinan KPK adalah pemimpin sekaligus sumber kekuatan pemberantasan korupsi di sektor SDA yang seringkali dilatarbelakangi oleh aktor-aktor yang berkuasa.

Kedua, upaya mempreteli kewenangan KPK melalui poin-poin perubahan di UU KPK membuat independensi KPK rentan. Selama ini, kewenangan KPK terbukti berhasil menjerat koruptor pejabat publik dengan ragam modusnya. Independensi penyidikan dan penuntutan memberikan keleluasaan untuk penegakan hukum yang lebih berintegritas. Termasuk untuk mendorong putusan yang lebih mencerminkan keadilan – misalnya dengan pencabutan hak politik. Sementara itu, kewenangan upaya paksa yang tegas mengarahkan KPK untuk lebih berhati-hati dalam penanganan kasus. Keseluruhan itu membuat KPK memiliki netralitas terhadap kekuasaan di setiap rezim. Rezim yang dari masa ke masa memperkaya dirinya dengan korupsi di bidang sumber daya alam.

Ketiga, jika revisi UU KPK ini terwujud dengan menempatkan KPK di bawah koordinasi lembaga pemerintah, maka upaya pemberantasan korupsi tidak lagi dipandang sebagai prioritas nasional, tapi dipersempit menjadi sekedar bagian dari kerja pemerintah sehari-hari. Pada akhirnya, pelemahan KPK akan mengakibatkan kondisi rente ekonomi SDA yang semakin tergerus jauh dari kepentingan publik. Hal ini akan merugikan upaya pemberantasan korupsi, karena selama ini hanya KPK yang getol untuk mendiskusikan kerugian negara di sektor SDA dan kerusakan lingkungan hidup dalam upaya pemberantasan korupsinya.

Akhirnya, kita tidak boleh membiarkan itu terjadi, Presiden tak boleh membentangkan karpet merah untuk para koruptor dan mafia SDA. Presiden, Anda harus hentikan revisi Undang-Undang KPK!

Catatan: data-data korupsi dan penyelamatan uang negara di sektor SDA dapat dikutip dari laporan Nota Sintesis “Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA” – https://www.kpk.go.id/images/pdf/LITBANG/Nota-Sintesis-Evaluasi-GNPSDA-KPK-2018-Final.pdf

Narahubung:
Prof Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar IPB)
Monica Tanuhandaru (Kemitraan): 081519027839
Nur Hidayati (Walhi): 081316101154
Edi Sutrisno (Transformasi untuk Keadilan-TuK): 087711246094
Eko Cahyono (Sajogyo Institute): 082312016658
Iqbal Damanik (Auriga Nusantara): 08114445026

KERUGIAN EKONOMI NEGARA DARI PRAKTEK BISNIS SEKTOR SUMBER DAYA ALAM DAN BIAYA SOSIAL KORUPSI

Laporan Narasi Diskusi Terbatas

4 JULI 2019

RIMAWAN PRADIPTYO

Ketua Dept. Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Gajah Mada

 

Pada tanggal 4 Juli 2019, TuK INDONESIA melaksanakan diskusi dengan tema “KERUGIAN EKONOMI NEGARA DARI PRAKTEK BISNIS SEKTOR SUMBER DAYA ALAM DAN BIAYA SOSIAL KORUPSI” di Hotel Amaris Tebet, Jakarta Selatan. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA mengatakan bahwa diskusi ini bergerak dari kekhawatiran TuK INDONESIA atas tata kelola perkebunan sawit di Indonesia yang cenderung berpotensi merugikan negara. Ditambah lagi, beberapa pemberitaan media mengabarkan bahwa menurut BNPB, beberapa bencana terjadi di Indonesia itu akibat pembukaan perkebunan sawit dan tambang wilayah hulu. Diskusi ini bertujuan untuk mempertajam khasanah para pihak yang menaruh perhatian mereka pada pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).  Harapannya, dengan pemahaman yang semakin baik, kita dapat melakukan kerja-kerja advokasi yang lebih tepat guna.

Rimawan Pradiptyo, pakar ekonomi dari Universitas Gajah Mada mengatakan bahwa basis segala tindak pidana yang berpotensi merugikan negara di Indonesia tidak hanya mengenai sawit saja atau bahkan SDA. Kita berangkat dari Zona Ekonomi Eksklusif yang menjadi landasan kedaulatan Indonesia. Maka dengan demikian, konsentrasi hal ini merupakan satu kesatuan dan komprehensif. Ini yang kemudian menjadi konsep SATU INDONESIA dengan tiga pilar yakni pertama, melihat Indonesia secara utuh dan berfokus Sumber Daya Manusia. Fokus aspek ini adalah mencapai keseimbangan aspek spasial dan intertemporal serta fokus pada pembangunan SDM dengan menempatkan manusia sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Kedua, rasionalitas dalam Konteks Indonesia. Rasionalitas dalam hal ini adalah menyadari kelangkaan SDA, memiliki sens of crisis, sehingga membangkitkan cara berpikir kritis dan strategis dalam konteks ke-Indonesia-an. Ketiga yakni mengenai Incentive Compability bagian dari Indonesia. Tujuannya adalah berupaya menciptakan Incentive compability untuk bersatu dibawah naungan Indonesia.

Setelah memahami hal diatas, maka kita dapat berlanjut pada pemahaman bahwa isu utama yang muncul saat ini sebenarnya ada international organized crime. Contohnya, kasus Illegal Fishing. Jika kita telaah lebih dalam, banyak aspek kriminal lain yang tidak bisa dilepaskan dari illegal fishing seperti Human trafficking (perdagangan manusia), Slavery (Perbudakan), dan Narkoba. Kasus lain yang juga tergolong international organized crime dapat kita lihat pada kasus korupsi Setya Novanto. Investigasi kasus ini mencapai dua tahun dan kesulitan utama adalah melacak bukti pergerakan transaksi keuangan. Mereka menggunakan modus lama dengan istilah “hawala” milenial. Teknik hawala tersebut sudah berkembang sejak ribuan tahun lalu di Timur Tengah. Teknik ini adalah membawa uang dengan cara menitipkannya kepada kerabat dan dibawa manual (secara fisik).  Salah satu hambatan dalam melakukan penyelidikan international organized crime adalah keterbatasan regulasi kita. Contoh kasus yang menunjukkan kelemahan hukum Indonesia di Internasional adalah Kasus Garuda Indonesia. Kasus ini memerlukan waktu investigasi 10 tahun di Inggris yang melalui mekanisme The Bribery Act. Maka demikian, pihak Inggris bisa mengejar kasus tersebut sampai ke Indonesia, tetapi tindakan yang sama tidak dapat berlaku sebaliknya. UU kita tidak mengakomodir urgensi kerjasama antar negara. Ini perlu dilakukan karena perlu ada sikap resiprokal di dunia Internasional.

Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah kesadaran transparansi yang rendah pada sektor Institusi di Indonesia. Status quo menjadi bias akibat kekeliruan dalam penerapan strategi pembangunan. Strategi pembangunan Indonesia saat ini masih menggunakan teori klasik 1950an, sedangkan negara-negara maju telah menerapkan teori Endogeneous Growth yang berkembang sejak tahun 2000-an. Aspek kelembagaan adalah rule of the game dan ini tidak dimiliki Indonesia. Pelaku dari 59% korupsi di Indonesia tahun 2001 – 2015 berasal dari korporasi swasta yang disebabkan oleh pengadaan dan suap.  Namun, regulasi tipikor di sektor  korporasi swasta tidak diatur oleh UU Tipikor Indonesia sedangkan di negara-negara maju justru sangat ketat.

Selain itu, struktur pasar formal adalah orientasi ekonomi yang diterapkan di negara maju dengan landasan institusi formal yang kuat. Sedangkan pasar formal Indonesia hanya memegang peranan sebesar 20% dari total piramida fondasi ekonomi Indonesia. Sedangkan pasar informal masih memegang peranan 30%. Keduanya pun berdiri diatas landasan institusi yang tidak jelas dan lemah. Ini jelas sangat bergaya kolonialisme dan perlu direformasi. Salah satu contoh kecil dari reformasi institusi Indonesia adalah perlunya penerapan liability public officer di sektor-sektor pelayanan publik. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan masyarakat pada institusi negara.

Lebih lanjut Rimawan mengatakan “kita perlu masuk berbagai sektor di SDA karena jika hanya di sawit maka ini sangat sayang sekali. Sebagai contoh disektor perikanan, syarat berat kotor kapal dibawah 30GT dapat diurus di daerah saja tanpa melalui KKP. Sedangkan diatas tonnase tersebut perijinan harus melalui  KKP. Fakta di lapangan, kapal seberat 87GT bisa dikatakan hanya 19GT sehingga dapat lolos dari KKP. Konteks manipulasi yang sama juga terjadi potensial pada kasus HGU di sektor perkebunan sawit. Untuk  itu, bila kita menginginkan Indonesia menjadi negara maju maka mereformasi hukum dan institusi tidaklah dapat dihindari. Reformasi yang dilakukan harus berangkat dari dua kata kunci yakni KEMAKMURAN & KEADILAN.

Rimawan Pradiptyo, Ketua Dept. Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada

Rimawan Pradiptyo, Ketua Dept. Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada

Maka demikian, lanjutnya, kita harus terus mendorong Pengarusutamaan Anti Korupsi. Salah satunya dengan pembangunan kualitas SDM pada aspek pendidikan dan kesehatan. Indonesia pun tertinggal dalam aspek pembangunan SDM ini ketika Malaysia sendiri 1970-an sudah menerapkan pemerataan. Sehingga perlu ada reformasi pada hukum konvensional untuk memahami hukum lainnya seperti hukum adat. Dengan demikian, reformasi di sektor hukum dan institusi Indonesia akan melahirkan peradaban kehidupan masyarakat yang maju, makmur, dan berkeadilan”.

Untuk itu, Edi Sutrisno mengatakan bahwa perlu dilakukan peningkatan kapasitas dan SDM termasuk untuk perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang ada ditingkat kabupaten. Hasil yang diharapkan adalah pemerataan pemahaman terhadap aspek pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Dengan demikian, akan tercipta advokasi yang baik di setiap daerah dan kesadaran akan pengelolaan potensi sumber daya alam yang sesuai dengan konsep pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

 

Revisi UU KPK Untungkan Koruptor SDA

Meski banyak ditolak, sejumlah partai politik nampaknya nekat ingin menyelesaikan “Proyek Cepat“ Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi  (Revisi UU KPK). Dari sepuluh Partai Politik di DPR, saat ini baru Partai Gerindra, Demokrat dan PKS yang menyatakan menolak, tujuh Partai lainnya lainnya masih belum bersikap tegas untuk menolak Revisi UU KPK. Jika tidak ada perubahan sikap, maka dapat dipastikan Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/2) mendatang akan menghasilkan keputusan Revisi UU KPK akan dilanjutkan dibahas sebagai usul inisiatif DPR. Jika Revisi UU KPK mulai dibahas dan disahkan di DPR maka artinya eksistensi KPK sedang terancam.

Secara subtansi naskah Revisi UU KPK yang beredar di publik sangat jelas dan nyata tidak dimaksudkan untuk memperkuat KPK namun justru berupaya menghambat kerja-kerja KPK dan menjadikan KPK menjadi tidak independen. Pimpinan KPK pernah menyatakan 90 persen subtansi dalam Revisi UU KPK dinilai melemahkan institusi KPK.

Subtansi yang dinilai melemahkan KPK antara lain mengenai prosedur Penyadapan dan Penyitaan KPK yang harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas, tidak bolehnya KPK melakukan rekruitmen penyidik dan penyelidik sendiri diluar Kepolisian dan Kejaksaan, Dewan Pengawas yang diangkat dan dipilih oleh Presiden, hingga KPK dapat melakukan penghentian perkara. 

Niat Sejumlah Partai Politik yang katanya memperkuat KPK melalui Revisi UU KPK juga patut diragukan. Justru kecurigaan yang muncul ini adalah upaya balas dendam sejumlah partai politik kepada KPK. Hal ini mengingat sudah banyak kader dan pimpinan partai politik – baik dengan status sebagai anggota parlemen, kepala daerah maupun menteri – yang telah dijerat oleh KPK dalam perkara korupsi.  Juga tidak sedikit politisi yang memiliki usaha disektor Sumber Daya Alam yang selama ini terganggu dengan kerja penindakan dan pencegahan korupsi.

Keberadaan Revisi UU KPK jika disahkan tidak saja menghambat atau mengancam kerja-kera institusi KPK namun juga berdampak serius pada terancamnya upaya pemberantasan korupsi di sektor Sumber Daya Alam. Dibandingkan dengan institusi atau kementrerian lainnya, selama ini hanya KPK yang memiliki perhatian serius terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penyelamatan Sumber Daya Alam.

Pada aspek penindakan, Sejak KPK berdiri – akhir tahun 2003 lalu – hingga 2015 sedikitnya terdapat 7 (tujuh) perkara korupsi di sektor sumber daya alam khusus kehutanan yang telah ditangani oleh lembaga antikorupsi ini.  Perkara korupsi tersebut antara lain adalah: Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada 15 perusahaan yang tidak kompeten dalam bidang kehutanan; Menerbitkan izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk perkebunan sawit di Kalimantan Timur , dengan tujuan semata untuk memperoleh kayu ; Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp  89 miliar; Suap terhadap anggota dewan terkait dengan Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan dan alih fungsi lahan ; Suap terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau ; Suap terkait alih fungsi lahan hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api, Banyuasin, Sumatera Selatan ; Dugaan suap terkait pemberian Rekomendasi HGU Kepada Bupati Buol oleh PT Hardaya Inti Plantation.

Dari perkara-perkara tersebut, tercatat sedikitnya 23 orang aktor telah diproses oleh KPK, diadili dan divonis oleh pengadilan tipikor dan mayoritas telah menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan. Mereka terdiri dari 14 orang dari lingkungan eksekutif (mantan kepala daerah, pejabat dinas/kementrian kehutanan atau dinas kehutanan provinsi),  6 orang dari politisi/legislatif dan 3 orang dari pihak swasta. Beberapa pelaku korupsi tertangkap seperti Al Amin Nasution, Hartati Murdaya dan Bupati Buol salah satunya akibat proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK

Penanganan perkara korupsi kehutanan yang dilakukan oleh KPK juga memberikan kontribusi dalam pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery). Tercatat pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh Marthias – terpidana perkara korupsi Penerima IPK dan penikmat kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Kaltim, Suwarna AF – sebesar Rp 346 miliar merupakan yang terbesar yang diperoleh KPK hingga saat ini.

Pada aspek pencegahan,  pada tahun 2013 KPK juga melakukan inisiasi adanya Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia dengan 12 Kementrian yang terkait. Selajutnya pada 19 Maret 2015,  KPK bersama dengan 20 Kementrian dan lembaga negara menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Penandatanganan yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain itu disepakati pula Deklarasi Aparat Penegak Hukum untuk mendorong upaya penegakan hukum dalam rangka penyelamatan SDA di Indonesia.

Berdasarkan kajian KPK, munculnya ketidakjelasan status hukum kawasan hutan mengakibatkan tumpang tindih dan potensi korupsi dalam proses perizinan. Pada tahun 2014 ditemukan sekitar 1,3 juta Ha izin tambang berada dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta Ha berada dalam kawasan hutan lindung. Akibatnya negara kehilangan potensi penerimaan negara sebesar Rp 15,9 triliun per tahun. Belum lagi kerugian negara akibat pembalakan liar yang bisa mencapai Rp 35 triliun per tahun.

Peran KPK yang sudah terbukti kuat dalam melakukan penindakan mempunyai efek positif dalam menjalankan kewenangannya melakukan perbaikan sistem dan kebijakan PSDA itu. Pelemahan KPK berarti juga akan melemahkan perbaikan sistem dan kebijakan PSDA yang  korup dan tidak adil selama ini.

AURIGA mencatat upaya pencegahan korupsi sektor sumber daya alam yang lain dilakukan KPK melalui kegiatan Koordinasi Supervisi Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) di 12 Propinsi di Indonesia. Berdasarkan rekomendasi Korsup Minerba  ditingkat propinsi pada tahun 2014, pemerintah daerah harus melakukan evaluasi dan penataan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah, baik permasalahan administrasi, keuangan maupun wilayah. Salah satu indikator evaluasi izin adalah IUP bermasalah dengan status non Clean and Clear (CNC). Dimana, izin-izin yang belum mendapatkan sertifikat CNC direkomendasikan untuk dicabut.

Berdasarkan data Korsup Minerba tahun 2014, propinsi dengan jumalah IUP Non-CNC tertinggi adalah Propinsi Bangka Belitung (601 IUP) diikuti Propinsi Kalimantan Timur (450 IUP) dan Kalimantan Selatan (441 IUP). Dari jumlah IUP yang bermasalah dan berstatus Non-CNC, hingga september 2015 tercatat 721 IUP telah dicabut di 12 Propinsi. Tiga Propinsi dengan jumalah pencabutan tertiggi adalah Sulawesi Tengah 160 IUP, Sumatera Selatan 148 IUP dan Kepulauan Riau 93 IUP. Walaupu demikian, dibeberapa Propinsi penataan izin bermasalah ini juga dilakukan perbaikan dan penyelesaian permasalahan sehingga IUP yang Non-CNC menjadi bersertifikat CNC.

TuK Indonesia melihat bahwa harus ada tindakan pencegahan atas kebijakan pendanaan di bidang perkebunan, salah satunya adalah alokasi dana melalui kebijakan CPO Fund (dana kelapa sawit/Crude Palm Oil Fund). Kami mensinyalir bahwa selain menguntungkan perusahaan kelapa sawit, CPO Fund menyediakan ruang yang sangat besar bagi pejabat publik yang mengurusi hal ini. Tidak adanya transparansi yang jelas oleh badan pengelola dana kelapa sawit (BPDPKS) sebagai pengampu dana terkait mekanisme pemungutan dan distribusi dana serta penentuan harga sehingga ada kemungkinan penyelewangan dana yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dengan direvisinya UU KPK, akan membuka peluang sangat besar bagi segala kebijakan pendanaan sumber daya alam dan idealnya, revisi UU KPK bukan melemahkan namun mengawal ketidaktransparanan atas kebijakan pendanaan yang ada salah satunya CPO Fund.

Jika Revisi UU KPK disahkan dan proses penyadapan KPK dipersulit maka salah satu yang diuntungkan adalah koruptor Sumber Daya Alam. Proses perizinan disemua sektor Sumber Daya Alam seperti kehutanan, perkebunan, pertambagan dan migas saat ini masih rentan terhadap praktek suap menyuap. Apabila proses penyadapan dipersulit dan dihambat maka penangkapan terhadap pelaku suap disektor sumber daya alam juga sangat mungkin dilakukan. Dengan demikian maka pihak yang paling bergembira atas Revisi UU KPK adalalah aktor-aktor korupsi yang bermain di sektor Sumber Daya Alam. Muncul kekhawatiran bahwa kepentingan untuk melakukan Revisi UU KPK selain berasal dari Politisi juga datang dari pihak swasta/Pengusaha atau Korporasi disektor kehutanan yang selama ini terlibat dalam praktek suap maupun korupsi untuk melancarkan usaha.

Oleh karena itu maka kami dari dari Koalisi Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam menyatakan menolak Revisi UU KPK seperti yang digagas oleh sejumlah Partai Politik. Setuju Revisi UU KPK hanya akan mengancam penyelamatan Sumber Daya Alam.

Jakarta, 20 Februari 2016

KOALISI ANTI MAFIA SUMBER DAYA ALAM

(AURIGA, WALHI Kalbar, Publish What You Pay, Indonesia Corruption Watch, Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan, Public Interest Lawyer Network indonesia, Sajogyo Institute)

Cp: Dimas NH – AURIGA Hp 0811520404
CP: M. Hadiya Rasyid – TuK Indonesia Hp 085355631430

Hapus UU Privatisasi Air, MK Tunjukan Pemerintah Simpangi UU SDA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10637#.VPAAdHWUfDE
Senin, 23 Februari 2015 | 09:59 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Padahal UU yang juga dikenal dengan sebutan UU Privatisasi Air itu dinyatakan berlaku oleh MK pada tahun 2004. Mengapa putusan MK berubah?
\”Meskipun pengujian UU SDA yang diputuskan di tahun 2015 menggunakan dasar konstitusional yang sama dengan pengujian di tahun 2004, hal tersebut tidak melanggar Pasal 60 UU MK karena sifat putusan 2004 yang konstitusional bersyarat tersebut,\” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
Berdasarkan Pasal 60 UU MK menyebutkan terhadap UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem) kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Namun putusan MK tahun 2004 sifatnya conditionally constitusional(konstitusional bersyarat).
\”Yaitu apabila UU SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka terhadap UU SDA tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali,\” ujar Bayu.
Putusan MK kali ini juga menunjukan pemerintah selama 10 tahun terakhir menyimpangi putusan MK tahun 2004 lalu. Secara jelas putusan MK tahun 2004 menyebutkan pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak utama.
\”Namun nyatanya selama 10 tahun terakhir, pemerintah selama ini telah menafsirkan pelaksanaan UU SDA secara berbeda bahkan menyimpangi putusan MK tentang UU SDA,\” ujar pengajar Universitas Jember itu.
Penyimpangan ini tergambar dalam PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang lebih condong kepada kepentingan swasta secara berlebihan
\”Dengan dibatalkannya UU SDA oleh MK, untuk mengisi kekosongan hukum sambil dibentuk UU SDA yang baru,\” cetus Bayu.
Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Untuk itu pemerintah sebaiknya segera menyusun UU SDA yang baru dengan benar-benar memperhatikan 6 pembatasan MK terkait pengusahaan air di Indonesia, yaitu:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;
3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD; 6. Apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
\”Putusan MK kali ini harus benar-benar diperhatikan oleh DPR sebagai pembentuk UU dan Pemerintah sebagai pelaksana UU, karena jika dilanggar kembali diyakini MK tidak segan akan membatalkannya kembali,\” cetus Bayu.
Putusan ini juga menunjukkan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan tidak disebar di MK dan MA melainkan sebaiknya diletakkan di satu atap yaitu di MK
\”Mengingat dalam putusan ini MK tidak secara langsung telah mempraktekkan menguji Peraturan pelaksana UU meskipun pintu masuknya adalah pengujian UU,\” cpungkas Bayu.
==================================
Nasakah Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dapat diunduh di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2131_85_PUU_2013-UU_SumberDayaAir-Dikabulkan-telahucap-18Feb2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf

Hapus UU Privatisasi Air, MK Tunjukan Pemerintah Simpangi UU SDA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10637#.VPAAdHWUfDE
Senin, 23 Februari 2015 | 09:59 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Padahal UU yang juga dikenal dengan sebutan UU Privatisasi Air itu dinyatakan berlaku oleh MK pada tahun 2004. Mengapa putusan MK berubah?
\”Meskipun pengujian UU SDA yang diputuskan di tahun 2015 menggunakan dasar konstitusional yang sama dengan pengujian di tahun 2004, hal tersebut tidak melanggar Pasal 60 UU MK karena sifat putusan 2004 yang konstitusional bersyarat tersebut,\” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
Berdasarkan Pasal 60 UU MK menyebutkan terhadap UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem) kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Namun putusan MK tahun 2004 sifatnya conditionally constitusional(konstitusional bersyarat).
\”Yaitu apabila UU SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka terhadap UU SDA tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali,\” ujar Bayu.
Putusan MK kali ini juga menunjukan pemerintah selama 10 tahun terakhir menyimpangi putusan MK tahun 2004 lalu. Secara jelas putusan MK tahun 2004 menyebutkan pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak utama.
\”Namun nyatanya selama 10 tahun terakhir, pemerintah selama ini telah menafsirkan pelaksanaan UU SDA secara berbeda bahkan menyimpangi putusan MK tentang UU SDA,\” ujar pengajar Universitas Jember itu.
Penyimpangan ini tergambar dalam PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang lebih condong kepada kepentingan swasta secara berlebihan
\”Dengan dibatalkannya UU SDA oleh MK, untuk mengisi kekosongan hukum sambil dibentuk UU SDA yang baru,\” cetus Bayu.
Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Untuk itu pemerintah sebaiknya segera menyusun UU SDA yang baru dengan benar-benar memperhatikan 6 pembatasan MK terkait pengusahaan air di Indonesia, yaitu:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;
3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD; 6. Apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
\”Putusan MK kali ini harus benar-benar diperhatikan oleh DPR sebagai pembentuk UU dan Pemerintah sebagai pelaksana UU, karena jika dilanggar kembali diyakini MK tidak segan akan membatalkannya kembali,\” cetus Bayu.
Putusan ini juga menunjukkan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan tidak disebar di MK dan MA melainkan sebaiknya diletakkan di satu atap yaitu di MK
\”Mengingat dalam putusan ini MK tidak secara langsung telah mempraktekkan menguji Peraturan pelaksana UU meskipun pintu masuknya adalah pengujian UU,\” cpungkas Bayu.
==================================
Nasakah Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dapat diunduh di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2131_85_PUU_2013-UU_SumberDayaAir-Dikabulkan-telahucap-18Feb2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Release
TUK-Indonesia, Silvagama, Elsam, WALHI

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Climate Summit Delegation , Wake Up before Leave !!

Jakarta 25 September 2014, Dalam acara Climate Summit 2014 yang diselengarakan oleh PBB di New York 23 September 2014, 27 Negara dan  34 perusahaan yang berkaitan dengan proses deforestasi, serta berbagai Organisasi masyarakat sipil, menandatangani Deklarasi New York untuk Penyelamatan Hutan Dunia. Deklarasi ini menargetkan pemulihan hutan 150 juta hektar pada tahun 2020 dan hingga 200 juta hektar pada tahun 2030. Komitmen ini didasar oleh fakta bahwa 1,6 milyar masyarakat dunia bergantung dengan hutan, sedangkan laju deforestasi mencapai 14 juta hektar setiap tahunnya.1*
Hadirnya perwakilan sejumlah perusahaan besar sector sawit dan kertas dalam konferensi ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah organisasi di Indonesia, seperti halnya Norman Jiwan Direktur Eksekutif TUK-Indonesia dalam konferensi pers mereka di kantor WALHI menilai “Dari segi substansi, deklarasi ini terjebak dan tergiring dalam agenda negara maju agar kewajiban penghentian dan pengurangan radikal emisi gas rumah kaca tidak akan pernah dipandang sebagai solusi cepat dan tepat. Sebaliknya hutan dilihat sebagai solusi cepat, tepat, tersedia dan paling murah saat ini”
“”Wilmar, GAR dan Cargil (bersama KADIN) tidak bisa diklaim menjadi contoh yang baik. Ini jelas contoh kegagalan negara mengendalikan industri perusak hutan dan lahan Indonesia, justru Beberapa group perusahaan sawit dan pulp and paper tersebut berhasil memanfaatkan climate summit sebagai manifesto global bahwa mereka terdepan dalam komitmen ‘zero deforestasi’. Dimana Pengusaha baru komitment diatas kertas sudah menyandera PBB dan Climate Summit untuk mendapatkan insentif””. Lanjut Norman
Sedangkan Syahrul Fitra dari Silvagama, mengungkapkan “” Asian Pulp and Paper (APP) salah satu group yang menandatangani deklarasi New York ini merupakan salah satu group yang Koalisi Anti Mafia Hutan laporkan ke KPK tanggal 16 September 2014 yang lalu, dimana mereka menjadi pihak yang menikmati hasil gratifikasi perizinan yang telah menempatkan beberapa kepala bupati termasuk Gubernur Riau menjadi terpidana kasus korupsi perizinan HTI” 2*
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI, memandang bahwa “Komitmen penurunan deforestasi dan pemulihan hutan pada deklarasi tersebut fiksi iklim yang tidak akan mungkin menjadi kenyataan baik oleh Pemerintah maupun oleh sederet group bisnis monokultur tersebut, di KTT tersebut mereka tanda tangani komitmen penurunan angka deforestasi di Indonesia group pengusaha berselingkuh dengan pemerintah menargetkan 1,1 juta hektar hutan untuk sawit di 2015 dan 5,9 juta hektar untuk HTI dari 14 juta hektar yang terancam mengalami deforestasi””.
“”Deklarasi Neow York ini selain menyembunyikan para pelaku penghancur hutan tropis Indonesia dari mata public, juga telah berhasil melanggengkan target phase keempat bisnis SDA alam Indonesia, setelah selamat dari sanksi apapun atas rangkaian penghancuran lingkungan melalui bisnis ekstraksi, sawit dan pulp and paper, saat ini group besar menunggangi Isu Perubahan iklim untuk bisnis konservasi dan karbon dimana saat ini kavling konsesi bisnis konservasi dan karbon sudah mencapai 397.878 hektar pada tahun 2013 dengan target 2,6 juta hektar.””
“”Kalau Pemerintah mau berangkat ke KTT tersebut dengan kenyataan, seharusnya group perusahaan seperti APP, GAR dan WILMAR tidak berada dalam forum tersebut, karena dari tahun 2013 konsesi mereka langganan titik api penyebab kabut asap Indonesia 3*. kita juga menemukan upaya menyembunyikan penebangan hutam alam pada layer ke-2 anak perusahaan Group WILMAR seperti yang dilakukan PT. Sawindo Cemerlang dan PT. Sawit Tiara Nusa anak group Kencana Agri di Pohuwato provinsi Gorontalo, Dimana sebagian saham Kencana Agri Group milik WILMAR”” 4*
“Persoalan iklim dan keselamatan rakyat gagal menjadi skala priotas yang ril dalam KTT Iklim 2014” ini tutup Zenzi.
Kontak Person :
Zenzi Suhadi – WALHI : 081384502601
Edi Sutrisno – TUK Indonesia : 081315849153
Syahrul – Silvagama : 08116611340
—-
1* http://www.un.org/climatechange/summit/wp-content/uploads/sites/2/2014/09/FORESTS-New-York-Declaration-on-Forests.pdf
2* http://m.antarariau.com/berita/42504/walhi-laporkan-27-korporasi-riau-diduga-korupsi
3* http://walhi-sumsel.blogspot.com/2014/09/cabut-izin-perusahaan-penyebab-bencana.html
4* http://regional.kompas.com/read/2013/02/13/02501484/Hutan.Jadi.Lahan.Sawit
 
 

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Release
TUK-Indonesia, Silvagama, Elsam, WALHI

Fiksi Iklim Langgengkan Phase 4 Bisnis Kotor SDA Indonesia

Climate Summit Delegation , Wake Up before Leave !!

Jakarta 25 September 2014, Dalam acara Climate Summit 2014 yang diselengarakan oleh PBB di New York 23 September 2014, 27 Negara dan  34 perusahaan yang berkaitan dengan proses deforestasi, serta berbagai Organisasi masyarakat sipil, menandatangani Deklarasi New York untuk Penyelamatan Hutan Dunia. Deklarasi ini menargetkan pemulihan hutan 150 juta hektar pada tahun 2020 dan hingga 200 juta hektar pada tahun 2030. Komitmen ini didasar oleh fakta bahwa 1,6 milyar masyarakat dunia bergantung dengan hutan, sedangkan laju deforestasi mencapai 14 juta hektar setiap tahunnya.1*
Hadirnya perwakilan sejumlah perusahaan besar sector sawit dan kertas dalam konferensi ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah organisasi di Indonesia, seperti halnya Norman Jiwan Direktur Eksekutif TUK-Indonesia dalam konferensi pers mereka di kantor WALHI menilai “Dari segi substansi, deklarasi ini terjebak dan tergiring dalam agenda negara maju agar kewajiban penghentian dan pengurangan radikal emisi gas rumah kaca tidak akan pernah dipandang sebagai solusi cepat dan tepat. Sebaliknya hutan dilihat sebagai solusi cepat, tepat, tersedia dan paling murah saat ini”
“”Wilmar, GAR dan Cargil (bersama KADIN) tidak bisa diklaim menjadi contoh yang baik. Ini jelas contoh kegagalan negara mengendalikan industri perusak hutan dan lahan Indonesia, justru Beberapa group perusahaan sawit dan pulp and paper tersebut berhasil memanfaatkan climate summit sebagai manifesto global bahwa mereka terdepan dalam komitmen ‘zero deforestasi’. Dimana Pengusaha baru komitment diatas kertas sudah menyandera PBB dan Climate Summit untuk mendapatkan insentif””. Lanjut Norman
Sedangkan Syahrul Fitra dari Silvagama, mengungkapkan “” Asian Pulp and Paper (APP) salah satu group yang menandatangani deklarasi New York ini merupakan salah satu group yang Koalisi Anti Mafia Hutan laporkan ke KPK tanggal 16 September 2014 yang lalu, dimana mereka menjadi pihak yang menikmati hasil gratifikasi perizinan yang telah menempatkan beberapa kepala bupati termasuk Gubernur Riau menjadi terpidana kasus korupsi perizinan HTI” 2*
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI, memandang bahwa “Komitmen penurunan deforestasi dan pemulihan hutan pada deklarasi tersebut fiksi iklim yang tidak akan mungkin menjadi kenyataan baik oleh Pemerintah maupun oleh sederet group bisnis monokultur tersebut, di KTT tersebut mereka tanda tangani komitmen penurunan angka deforestasi di Indonesia group pengusaha berselingkuh dengan pemerintah menargetkan 1,1 juta hektar hutan untuk sawit di 2015 dan 5,9 juta hektar untuk HTI dari 14 juta hektar yang terancam mengalami deforestasi””.
“”Deklarasi Neow York ini selain menyembunyikan para pelaku penghancur hutan tropis Indonesia dari mata public, juga telah berhasil melanggengkan target phase keempat bisnis SDA alam Indonesia, setelah selamat dari sanksi apapun atas rangkaian penghancuran lingkungan melalui bisnis ekstraksi, sawit dan pulp and paper, saat ini group besar menunggangi Isu Perubahan iklim untuk bisnis konservasi dan karbon dimana saat ini kavling konsesi bisnis konservasi dan karbon sudah mencapai 397.878 hektar pada tahun 2013 dengan target 2,6 juta hektar.””
“”Kalau Pemerintah mau berangkat ke KTT tersebut dengan kenyataan, seharusnya group perusahaan seperti APP, GAR dan WILMAR tidak berada dalam forum tersebut, karena dari tahun 2013 konsesi mereka langganan titik api penyebab kabut asap Indonesia 3*. kita juga menemukan upaya menyembunyikan penebangan hutam alam pada layer ke-2 anak perusahaan Group WILMAR seperti yang dilakukan PT. Sawindo Cemerlang dan PT. Sawit Tiara Nusa anak group Kencana Agri di Pohuwato provinsi Gorontalo, Dimana sebagian saham Kencana Agri Group milik WILMAR”” 4*
“Persoalan iklim dan keselamatan rakyat gagal menjadi skala priotas yang ril dalam KTT Iklim 2014” ini tutup Zenzi.
Kontak Person :
Zenzi Suhadi – WALHI : 081384502601
Edi Sutrisno – TUK Indonesia : 081315849153
Syahrul – Silvagama : 08116611340
—-
1* http://www.un.org/climatechange/summit/wp-content/uploads/sites/2/2014/09/FORESTS-New-York-Declaration-on-Forests.pdf
2* http://m.antarariau.com/berita/42504/walhi-laporkan-27-korporasi-riau-diduga-korupsi
3* http://walhi-sumsel.blogspot.com/2014/09/cabut-izin-perusahaan-penyebab-bencana.html
4* http://regional.kompas.com/read/2013/02/13/02501484/Hutan.Jadi.Lahan.Sawit