Pos

Konferensi Pers: Keterlibatan Bank dalam Pembiayaan Tambang yang Merusak Lingkungan dan Melanggar HAM

 

Hasil temuan terbaru kami di dalam dataset Forests & Finance mengungkapkan besarnya dana investasi dan kredit yang disalurkan kepada 24 perusahaan tambang yang beroperasi di tiga wilayah hutan tropis terbesar di dunia. Kegiatan pertambangan untuk industri membawa berbagai dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan di seluruh dunia serta menjadi pendorong deforestasi yang cukup signifikan di kawasan tropis. Temuan kunci kami menunjukkan bahwa bank dan investor mengucurkan kredit sebesar 37,7 miliar dolar AS selama tahun 2016-2021, di mana 43% di antaranya (16 miliar dolar AS) digelontorkan pada perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain itu, investor telah memiliki aset lebih dari 61 miliar dolar AS dalam bentuk saham dan obligasi di perusahaan tambang yang menjadi objek penelitian ini.
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mengundang rekan–rekan jurnalis kiranya berkenan bergabung dan meliput konferensi pers terkait “Keterlibatan Bank dalam Pembiayaan Tambang yang Merusak Lingkungan dan Melanggar HAM”. Konferensi pers ini akan dilaksanakan pada:

Hari/tanggal: Rabu, 20 April 2022

Pukul: 13.00–14.30 WIB

Media: Via Zoom, ID: 818 7553 2558, pass: miningdata, https://us02web.zoom.us/j/81875532558?pwd=ZWh4V3czOFBHQXoxMDJXOXl5TGl2QT09

Bersama para panelis:
  1. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  2. Hadi Jatmiko, Kadiv Kampanye WALHI Eknas
  3. Andriansyah Manu, Direktur Celebes Bergerak
Dan, penanggap:
Bhima Yudhistira, Direktur Celios

Belajar dari Dua Pakar Keuangan Berkelanjutan Global

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Dalam kurun waktu hanya sekitar satu bulan, dua pakar keuangan berkelanjutan global datang ke Indonesia.  Keduanya punya beragam urusan, namun sama-sama bersedia meluangkan waktu untuk berbagi pemikiran dengan publik di Indonesia.  Yang pertama, Myriam Vander Stichele dari SOMO (Center for Research on Multinational Corporation), yang memberikan kuliah di Universitas Trisakti pada tanggal 5 Agustus 2017. Yang kedua, Jan Willem van Gelder dari Profundo, yang mempresentasikan gagasannya di Mercantile Club pada 7 September 2017.
Apa yang bisa kita pelajari dari kedua pakar tersebut?  Sangat banyak, tentu saja.  Namun, untuk kepentingan keringkasan dari artikel ini, maka hanya pelajaran-pelajaran yang terpenting saja yang akan disampaikan di sini.  Pertama-tama, dengan meringkas isi materi yang mereka sampaikan masing-masing.  Kedua, dengan menunjukkan kesimpulan paling penting yang bisa kita ambil dari keduanya.
Myriam dan Praktik Keuangan Berkelanjutan
Presentasi Myriam diberi judul Sustainable Finance: What It Means in Practice (for Accountants).  Dalam pembukaannya, dinyatakan bahwa tujuan presentasi ini untuk mendiskusikan tiga hal.  Pertama, apa nilai penting dari keuangan berkelanjutan terhadap profesi akuntan dan ekonomi secara keseluruhan.  Kedua, bagaimana peran yang dimainkan oleh berbagai lembaga jasa keuangan terhadap pembangunan berkelanjutan—termasuk dan terutama SDGs dan Kesepakatan Paris.  Ketiga, apa saja alternatif solusi yang tersedia dari keuangan berkelanjutan.
Hingga sekarang, laporan perusahaan yang dianggap paling penting adalah laporan keuangan tahunannya.  Isinya adalah pernyataan keuntungan serta strategi bagaimana keuntungan itu diperoleh.  Sayangnya, laporan itu tidak berisikan bagaimana keuntungan itu dalam praktiknya benar-benar didapat.  Demikian juga, tak ada laporan tentang dampak yang komprehensif atas praktik perusahaan dalam mendapatkan keuntungannya itu.  Lantaran dibatasi periode pelaporan setahun, maka apa yang terjadi dalam jangka yang lebih panjang juga tak dilaporkan secara memadai.  Padahal, dampak jangka panjang inilah yang akan memengaruhi kondisi—termasuk profitabilitas—perusahaan dan ekonomi secara umum.
Karenanya, perusahaan—termasuk para akuntan yang berada di dalamnya—sangat perlu untuk menyadari bahwa laporan keberlanjutan adalah norma baru yang penting.  Perusahaan-perusahaan global sudah mengadopsi bentuk pelaporan ini.  Governance and Accountability Institute melakukan pelacakan dan menemukan perkembangan yang sangat cepat.  Apabila pada tahun 2011 baru 20% dari perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam S&P 500 yang memiliki laporan tersebut, pada awal 2016 proporsinya sudah mencapai 81%.  Dan, yang terpenting untuk disadari, adalah isinya yang komprehensif, yaitu isu-isu tata kelola, ekonomi, sosial, dan lingkungan terkait perusahaan—bukan kegiatan karitatif.
Tantangan bagi perusahaan jasa keuangan adalah ragam dari jasa keuangan terasuk transaksi derivatif.  Ini berarti memerlukan pemahaman atas dampak apa saja dari jasa keuangan yang mereka berikan.  Lebih jauh lagi, kalau di masa depan kita harus menggeser ke arah ekonomi yang rendah (atau bahkan tanpa) karbon, maka perlu diketahui pula berapa jumlah pembiayaan yang dibutuhkan dan oleh siapa.  Di level global kini diperkirakan bahwa transisi itu membutuhkan USD90 triliun dalam 15 tahun, tetapi berapa nilainya di Indonesia belumlah diketahui secara tepat.  Di level global juga sudah diketahui bahwa sekitar 10% pinjaman bank sekarang ditujukan untuk mendukung projek-projek yang ramah lingkungan, sementara obligasi yang demikian hanya sekitar 1% saja.  Di Indonesia, kita belum mengetahuinya.
Bagi lembaga jasa keuangan, isu-isu keberlanjutan—seperti perubahan iklim, polusi, kemiskinan dan HAM—sesungguhnya sangat relevan.  Namun, belum banyak yang menyadarinya.  Dari sudut pandang risiko saja, sangat jelas bahwa membiayai kredit perumahan yang nilainya turun lantaran ternyata daerahnya kerap dikunjungi angin topan, membiayai operasi migas yang mengalami masalah aset terdampar (stranded assets), membiayai kegiatan pertanian yang menghadapi bencana kekeringan dan banjir, atau membiayai perkebunan yang tanahnya bersengketa dengan masyarakat, seluruhnya memiliki risiko tinggi.  Sudah seharusnya para analis kredit memahami isu-isu seperti itu dalam mengambil keputusan pembiayaan.
Soal stranded assets ini menjadi perhatian Myriam dengan sungguh-sungguh.  Dengan mengambil contoh industri kelapa sawit dengan berbagai konteksnya, stranded assets—yang didefinisikan  sebagai segala jenis properti berharga milik perusahaan yang mengalami penurunan nilai dalam waktu yang relatif cepat—memang sangat penting.  Kebun yang sudah dikembangkan perusahaan, bila kemudian terbukti adalah milik pihak lain bisa tiba-tiba tidak berharga.  Bila perusahaan tidak mengelola hubungan sosial dengan memadai, dan masyarakat menghentikan operasi perusahaan, aset kemudian menjadi sulit dimanfaatkan.  Bila perusahaan terlibat dalam kebakaran hutan, dan mendapatkan hukuman dari pemerintah, maka nilainya juga bisa turun.  Bahkan, lantaran perusahaan dianggap merusak hutan dan bertanggung jawab pada perubahan iklim, bisa jadi konsumen—terutama di Eropa dan AS—memutuskan kontrak pembelian dan perusahaan menjadi sasaran kampanye negatif.  Itu semua bisa menurunkan nilai (properti) perusahaan dalam waktu yang sangat cepat.
Myriam mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti yang telah disebutkan sesungguhnya bisa dicegah dari hulu, apabila lembaga-lembaga jasa keuangan mau mengadopsi keuangan berkelanjutan.  Apa yang menjadi karakteristik keuangan berkelanjutan ada 4, yaitu: menghormati standar nasional dan internasional terkait isu-isu keberlanjutan; melindungi lingkungan dan mencegah perubahan iklim; mencegah dampak negatif jangka panjang atas keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan transparen dalam apa saja dan bagaimana projek dibiayai.  Terkadang, keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai implementasi kebijakan lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, disingkat ESG).  Masalahnya, memang apa yang masuk ke dalam masing-masing aspek itu belum secara tegas diregulasi.
Myriam kemudian mengajukan sebuah definisi progresif atas keuangan berkelanjutan, yaitu: “…contribute in transparent way to improving social and environmental aspects in short and long term, pro-actively aim to achieve the SDGs and the Paris Agreement, implement ESG issues throughout their value chain, and avoid financial instability.”  Menariknya, ia juga melihat bahwa keuangan Islam—atau keuangan syariah—yang relatif popular di Indonesia bisa menjadi dasar bagi keuangan berkelanjutan yang progresif itu, apabila memasukkan kebijakan terkait dukungan terhadap SDGs, misalnya terkait pengentasan orang miskin dan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan.
Lalu, bagaimana caranya memastikan bahwa transisi menuju keuangan berkelanjutan itu terjadi?  Menurut Myriam, ada 4 hal terpenting untuk itu.  Pertama adalah regulasi keuangan yang memasukkan unsur-unsur ESG yang jelas.  Kedua, pembiayaan yang menghindari berbagai dampak negatif, mendukung projek-projek berkelanjutan, dan pada akhirnya menunju kepada pembentukan bank-bank berkelanjutan.  Ketiga, analisis risiko dan penilaian dampak yang kokoh, termasuk oleh lembaga pemeringkatan kredit, uji tuntas oleh pemberi pinjaman, sertifikasi keberlanjutan, serta informasi dari komunitas dan LSM.  Dan terakhir, transparensi informasi maksimum oleh perusahaan jasa keuangan atas dampak keberlanjutan yang benar-benar dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan.
Dalam hal tersebut, Myriam menekankan bahwa LSM memang sudah aktif dalam memberikan masukan dan tekanannya, kumpulan perusahaan sendiri sudah bergerak untuk membuat standar-standar sukarela seperti RSPO di industri kelapa sawit, namun itu tidak memadai tanpa regulasi yang kokoh dan pemerintah.  Yang belakangan inilah yang dinilai Myriam paling terbelakang, sehingga perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.  Masih terlampau sedikit negara yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan, termasuk di Eropa.  Regulasi pendukungnya, seperti insentif fiskal dan indikasi jumlah uang yang dibutuhkan untuk mencapai SDGs dan Kesepakatan Paris, juga belum jelas.
Jan Willem dan Tantangan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia
Jan Willem memulai presentasinya dengan menunjukkan tiga grafik yang menunjukkan tantangan keberlanjutan.  Pertama, grafik yang menunjukkan bahwa populasi global yang kini telah melampaui 7 miliar orang diperkirakan akan mencapai 9 miliar di tahun 2050.  Pada saat yang sama, kebutuhan pangan masing-masing orang cenderung meningkat.  Kalau pada dekade 1960an setiap orang mengkonsumsi sekitar 2.000 kalori/hari, pada tahun 2030 saja diperkirakan akan semakin dengan dengan 3.000 kalori/hari.  Demikian juga dengan kebutuhan energi global yang bila pada tahun 2015 lalu belum mencapai 600 exajoules, pada 2035 kelak diperkirakan mencapai hampir 800 exajoules.  Dengan peningkatan yang seperti itu, Jan Willem mengingatkan: kita hanya punya satu Bumi, dan kita sekarang sudah memanfaatkan sumberdaya yang melampaui 1,5 kali lipat daya dukungnya.
Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah tujuan, target, dan cara yang disepakati oleh 193 negara—termasuk Indonesia—untuk menjawab tantangan itu.  Sehingga, keuangan berkelanjutan sangatlah terkait dengan SDGs, yaitu sistem keuangan yang diarahkan untuk mencapai SDGs dan tujuan lain yang terkait, seperti Kesepakatan Paris.  Menurut Jan Willem, ada tiga cara mencapainya, yaitu, (1) melalui pembiayaan inovasi produk yang memenuhi beragam kebutuhan global di bidang pangan, energi, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, (2) melalui pembiayaan yang menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara hati-hati dan efisien, dan (3) melalui pembiayaan yang berperspektif keadilan sosial, yang memastikan bahwa setiap orang bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
Kebijakan-kebijakan keuangan berkelanjutan pun diperlukan untuk memastikan ketiganya bisa terlaksana.  Hingga sekarang, dikenal dua jenis kebijakan, yaitu yang dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan, terutama bank, sendiri; serta yang dikembangkan secara kolektif.  Yang disebut belakangan ini contohnya adalah UNEP Finance Initiative, Equator Principles, dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises.  Kebijakan-kebijakan yang dibuat secara kolektif kemudian juga banyak diadopsi dan diadaptasi oleh perusahaan keuangan.
Indonesia sendiri, dalam pandangan Jan Willem, memiliki sejumlah tantangan yang menurutnya membuat keuangan berkelanjutan menjadi mendesak untuk diberlakukan.  Mengutip survei yang dilakukan oleh OECD pada Oktober 2016, masih ada 28 juta warga Indonesia yang masuk kategori miskin, sementara kesenjangan kaya-miskin di sini adalah salah satu yang paling lebar di dunia.  Anggaran pembangunan oleh pemerintah, dan pemasukan dari pajak, juga masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk tetangga terdekat.  Korupsi masih tinggi, dan menghambat pertumbuhan serta kesejahteraan.  Kondisi lingkungan dan kesehatan yang buruk juga menjadi tantangan tersendiri untuk keberlanjutan dan dalam mewujudkan inklusi pembangunan.
Dalam kondisi yang penuh tantangan seperti itu, bank-bank yang ada di Indonesia—sebagai bagian penting dari lembaga jasa keuangan—sendiri masih jauh dari praktik atau bahkan ide keuangan berkelanjutan.  Mengutip penelitian mutakhir Responsibank, Jan Willem menunjukkan bahwa bank lokal yang skor kebijakannya terbaik adalah Danamon, yang hanya mendapatkan 16,35 dari 100.  BNI yang mendapatkan tempat kedua terbaik—dan satu-satunya bank dari Indonesia yang menjadi anggota UNEP FI—malahan hanya mendapatkan skor 9,89.  CIMB Niaga, yang terendah dalam penelitian tersebut, memiliki skor 3,46.
Jan Willem kemudian menunjukkan sisi yang lain mengapa keuangan berkelanjutan itu penting, yaitu melalui industri kelapa sawit.  Secara ‘teori’, industri ini sangatlah menjanjikan bagi Indonesia.  Perkebunan kelapa sawit bisa memanfaatkan kekayaan lahan yang dimiliki Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.  Pendapatan dari kelapa sawit bisa diperoleh dari ekspor ke berbagai negara, pajak yang dibayarkan, selain pendapatan lainnya.  Peluang ketenagakerjaan yang timbul juga tidak sedikit, dan tentu saja peluang kerjasama produksi antara perkebunan inti dan plasmanya.  Indonesia yang kini menguasai setidaknya 47% produksi minyak sawit dunia bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Sayangnya, sisi baik dari industri ini juga disertai berbagai ekses yang membuat ‘teori’ itu tak seindah realitasnya.  Dari sisi lingkungan, deforestasi dalam 15 tahun sangat banyak yang terkait dengan pembukaan kebun kelapa sawit, demikian juga dengan kebakaran hutan.  Hilangnya keanekaragaman hayati, hutan dengan carbon stock yang tinggi, termasuk lahan-lahan gambut juga terkait dengan ekspansi kelapa sawit.  Di sisi sosial, konflik lahan dengan masyarakat, pelanggaran hak-hak tenaga kerja, serta ketimpangan hubungan dengan petani kecil telah banyak didokumentasi.  Persoalan tata kelola juga sangat jelas, terutama terkait dengan penghindaran pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan kelapa sawit, juga korupsi.
Di sinilah peran penting keuangan berkelanjutan.  Bagaimanapun, industri kelapa sawit—dan industri apapun—membutuhkan pembiayaan.  Sehingga, apabila para pembiaya itu bisa memersyaratkan aspek-aspek ESG itu secara merata, mencipatkan level playing field dalam keberlanjutan, tentu pengaruhnya akan sangat besar.  Apa yang perlu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, menurut Jan Willem, adalah memahami isu-isunya secara komprehensif, mengembangkan visi yang jelas untuk keberlanjutan setiap sektor yang dibiayai, membuat berbagai kebijakan dengan standar yang jelas, melatih staf untuk menegakkan kebijakan yang dibuat, menapis proposal pembiayaan dari klien dengan kebijakan yang baru, melakukan pemantauan terhadap kinerja keberlanjutan klien, merundingkan tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan oleh klien, serta membuat mekanisme penyelesaian keberatan.
Dalam hal ini, Jan Willem menyatakan bahwa HSBC—yang merupakan tuan rumah dalam diskusi tersebut—berada di jalur yang tepat.  HSBC, dalam penilaian Responsibank, adalah bank dengan skor kebijakan kehutanan tertinggi, yaitu 56,25 dalam skala 100.  Selain karena sudah lama memiliki sejumlah kebijakan keberlanjutan, sebagai anggota RSPO yang baru saja memerbarui kebijakan untuk industri kelapa sawitnya, HSBC mendapatkan skor yang jauh di atas bank-bank Indonesia.  Tetapi, tentu saja skor tersebut masih bisa ditingkatkan lebih jauh.  Masalahnya, kompetisi yang belum adil dengan bank-bank lainnya di kawasan Asia Tenggara mungkin membuat HSBC ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.
Tetapi, HSBC jelas memiliki kepasitas untuk menjadi lebih baik lagi.  Jan Willem menunjukkan setidaknya dua jalur pengaruh yang sangat kuat bisa dimainkan oleh HSBC.  Pertama, dalam pembiayaan industri kelapa sawit, antara 2010-2017 berpartisipasi dalam 102 sindikasi pembiayaan, dengan total USD2,9 miliar.  Kedua, HSBC sendiri juga meminjamkan uang kepada bank-bank lainnya di kawasan ini, termasuk melalui loan sebesar USD4,4 miliar, serta underwriting sebanyak USD9,7 miliar (termasuk obligasi yang bernilai USD4,5 miliar).  Dengan kekuatan kapital seperti itu, jelas HSBC punya pengaruh besar yang bisa dimanfaatkannya untuk mendorong keuangan berkelanjutan.
Jan Willem kemudian menjelaskan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan membuat Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan dan POJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan sangatlah tepat.  Langkah selanjutnya yang dipandang sangat krusial adalah mewajibkan pelaporan berkelanjutan yang memanfaatkan standar dari Global Reporting Initiative (GRI), memastikan adanya mekanisme penyelesaian keberatan terhadap pembiayaan, serta membuat regulasi tanggung jawab bersama dalam kinerja sosial dan lingkungan antara klien dengan pembiayanya.  Khusus terkait industri kelapa sawit, OJK bisa memastikan eksklusi deforestasi, high conservation value (HCV), dan gambut; menerapkan free, prior and informed consent terhadap masyarakat adat dan lokal; mengadopsi standar ILO tentang ketenagakerjaan dan UN Guiding Principles on Business and Human Rights; dan mengidentifikasi serta mencegah korupsi dan penghindaran pajak.
Harapan juga disematkan Jan Willem kepada LSM seperti TuK Indonesia yang menjadi salah satu penyelenggara diskusi. Pertama, agar semakin giat mendampingi masyarakat yang mengalami konflik, dan berusaha menuntaskan kasus-kasus itu.  Kedua, mendukung lembaga jasa keuangan dalam mengadopsi berbagai kebijakan yang relevan untuk keberlanjutan, serta mendorong pemanfaatan kekuatan lembaga jasa keuangan dalam menyelesaikan konflik.  Terakhir, memberikan data yang relevan kepada lembaga jasa keuangan supaya mereka bisa mengambil keputusan pembiayaan dengan tepat, juga dalam melakukan pemantauan.
Pesan-pesan Terpenting
Jelas, kedua pakar tersebut menyatakan bahwa keuangan berkelanjutan ini bukanlah tantangan yang mudah diselesaikan oleh Indonesia atau negara manapun.  Menyeimbangkan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang adalah keniscayaan, dan karena selama ini fokusnya kebanyakan hanya di jangka pendek, maka cakrawala waktu perlu ditarik jauh ke depan.  Ini bukanlah pekerjaan yang ringan.  Keniscayaan yang lain untuk hal itu adalah kerjasama erat antar-pemangku kepentingan keuangan berkelanjutan, bukan saja dengan pemangku kepentingan di dalam negeri, melainkan juga di tingkat regional dan global—mengingat asal kapital yang diinvestasikan di Indonesia adalah juga dari negeri-negeri lain.
Berbagi data adalah hal yang sangat ditekankan oleh Myriam dan Jan Willem.  Keduanya menyatakan bahwa baik untuk keperluan uji tuntas sebelum keputusan pembiayaan itu diambil, maupun untuk keperluan pemantauan, data yang sahih adalah esensial.  Data yang sahih juga yang bisa berperan penting dalam menyelesaikan berbagai konflik; sementara minimnya konflik adalah prasyarat agar operasi bisa berjalan lancar dan manfaat bagi seluruh pihak bisa dirasakan.
Konflik juga merupakan sumber dari permasalahan aset terdampar yang bakal membuat perusahaan dan lembaga jasa keuangan yang membiayainya terpapar pada risiko finansial.  Sehingga, penyelesaian konflik dengan cara-cara yang adil dan menjamin kedamaian yang hakiki sesungguhnya merupakan kepentingan seluruh pihak.  Kedua pakar menekankan bahwa Indonesia perlu memastikan bahwa kebun atau aset berharga perusahaan-perusahaan sektor apapun tidak menjadi terdampar dan muspra.  Oleh karenanya, isu ini perlu benar-benar dipahami untuk dihindari.
Terakhir, sangat jelas bahwa Myriam dan Jan Willem menempatkan SDGs dan Kesepakatan Paris sebagai aspirasi yang tepat untuk memandu keberlanjutan seluruh sektor, tak terkecuali sektor keuangan.  Jelas, keduanya itu tidaklah mudah dicapai, dan interpretasinya yang tepat secara lokal dan oleh masing-masing sektor juga masih perlu dibuat.  Jelas, bukan tugas yang mudah.  Tetapi, seperti kalimat terakhir yang dinyatakan oleh Jan Willem dalam presentasinya, “A long road to go, but there’s no alternative,” jalan itulah satu-satunya yang perlu ditempuh agar Indonesia menjadi lebih baik.

Kelompok Tenaga Ahli Eropa untuk Keuangan Berkelanjutan Meminta Masukan

Myriam Vander Stichele
Peneliti Senior
SOMO

 
Sejak Januari 2017, Kelompok Tenaga Ahli Tingkat Tinggi untuk Keuangan Berkelanjutan (High-Level Expert Group on Sustainable Finance/HLEG) telah bekerja untuk menyediakan rekomendasi yang sesuai dan konkret kepada Komisi Eropa untuk strategi Uni Eropa yang komprehensif, untuk memastikan agar sektor keuangan memberikan kontribusi kepada keberlanjutan sosial, lingkungan dan ekonomi jangka panjang. HLEG mempublikasikan sebuah laporan interim pada pertengahan Juli 2017, yang telah dipresentasikan pada sebuah acara dengar pendapat umum (public hearing) di Brussels pada tanggal 18 Juli 2017. Komentar terhadap laporan interim tersebut akan tersedia dengan mengisi sebuah kuesioner konsultasi pada tanggal 20 September 2017. Laporan HLEG akhir diharapkan selesai pada akhir Desember 2017. Komisi Eropa telah menyatakan bahwa akan mengkaji rekomendasi akhir pada kuartal pertama 2018.
Kelompok HLEG dibentuk sebagai bagian dari kebijakan Capital Markets Union (CMU) Uni Eropa, dan merupakan hasil dari sebuah kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dengan berinvestasi di dalam energi bersih (setidaknya dibutuhkan €180 miliar per tahun untuk Uni Eropa) dan infrastruktur. Para Anggota datang dari berbagai sektor investasi, begitu juga dengan satu perwakilan perbankan, seorang akademisi, dan beberapa perwakilan LSM, termasuk SOMO.
Fokus utama rekomendasi interim laporan adalah mengenai investasi “hijau” atau iklim yang dilakukan oleh manajer aset dan manajer investasi, perusahaan asuransi dan dana pensiun, melalui lebih banyak kewajiban untuk investasi yang bertanggung jawab (“fiduciary duty”), melalui produk-produk keuangan seperti obligasi hijau (“green bond”) telah didefinisikan dengan lebih baik dibandingkan dengan yang ada saat ini, atau melalui labelled funds yang juga tersedia bagi perorangan.
Namun demikian, bank diakui untuk memiliki kolam aset terbesar, yang mana dapat memainkan peran yang penting di dalam transisi menuju sistem keuangan berkelanjutan. Sayangnya, hingga saat ini belum didefinisikan apakah ini dilakukan dengan melonggarkan persyaratan modal untuk bank-bank yang menyediakan pinjaman hijau atau dengan menghukum pinjaman yang diberikan kepada projek-projek yang tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan (“brown activities”) dengan mengenakan persyaratan modal yang lebih ketat.
Sebuah isu penting bagi HLEG adalah untuk menggeser keputusan finansial menjauh dari pendekatan dampak jangka pendek ke pendekatan dampak jangka panjang, yang mana seringkali tidak terlihat di dalam rentang waktu investasi. HLEG mengenali kenyataan bahwa dampak-dampak jangka panjang seperti perubahan iklim dapat menyebabkan ketidakstabilan finansial, misalkan ketika perubahan iklim menyebabkan devaluasi layanan keuangan atau aset (mis. badai yang lebih sering terjadi dan lebih parah akan mempengaruhi perumahan, operasi pertanian dan bisnis-bisnis yang mana sudah menerima pinjaman dari bank atau yang mana sudah menerima investasi).
HLEG sering mengacu kepada aspek sosial, lingkungan dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG), namun tidak memberikan sebuah definisi. HLEG membedakan antara keuangan untuk iklim, lingkungan (bersama-sama dengan iklim, didefinisikan sebagai “hijau”) dan keuangan “berkelanjutan”, di mana aspek sosial dan tata kelola digabungkan dengan aspek “hijau”. Laporan interim tidak memasukan komitmen Uni Eropa terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), juga tidak memberikan rekomendasi yang konkret mengenai bagaimana mempromosikan kebutuhan sosial masyarakat Eropa, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi ketimpangan dan pendidikan berkualitas bagi semua.
Di dalam laporan interim mereka, rekomendasi tahap pertama HLEG kepada Komisi Eropa adalah:

  • Mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk aset-aset berkelanjutan.
  • Menetapkan standar dan label Eropa untuk obligasi hijau dan produk-produk keuangan berkelanjutan lainnya.
  • Mengklarifikasi bahwa keberlanjutan merupakan bagian dari “fiduciary duty” dan perwujudan Prinsip Kehati-hatian dan yang terkait, oleh manajer investasi dan investor.
  • Memperkuat persyaratan bagi semua perusahaan untuk mengungkap dampak ESG, strategi, dan manajemen risiko.
  • Memastikan bahwa seluruh legislasi keuangan Uni Eropa dilakukan “uji (dampak) keberlanjutan”.
  • Membentuk fasilitas Uni Eropa untuk menyalurkan pembiayaan kepada projek-projek infrastruktur berkelanjutan.
  • Memperkuat peran Otoritas Pengawas Eropa (European Supervisory Authorities/ESA) terhadap bank, pasar keuangan dan dana pensiun untuk menilai risiko-risiko terkait ESG yang mempengaruhi stabilitas keuangan.
  • Mengubah aturan-aturan akuntansi relevan untuk membuka investasi di bidang efisiensi energi.

Selain daripada itu, HLEG mengidentifikasi 12 area kebijakan untuk didiskusikan lebih lanjut, seperti:

  • Memberikan sinyal-sinyal politik mengenai kebutuhan finansial jangka panjang.
  • Mengkaji regulasi untuk membantu pengambilan keputusan yang berbasis jangka panjang.
  • Mengintegrasikan keberlanjutan dan risiko-risiko ESG ke dalam peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkatan kredit.
  • Menyelaraskan indeks-indeks dan benchmark, yang saat ini cenderung pada investasi pasif dan tidak berkelanjutan, menjadi semakin dekat dengan keberlanjutan.
  • Melonggarkan regulasi untuk pembiayaan jangka panjang yang dilakukan oleh bank dan perusahaan asuransi.
  • Secara resmi mendukung pengembangan projek-projek berkelanjutan dan pembiayaannya.
  • Meningkatkan keterlibatan lembaga-lembaga penelitian dan masyarakat di dalam keuangan berkelanjutan.
  • Memobilisasi modal swasta bagi pengelolaan dimensi sosial, khususnya melalui bisnis sosial.

Walaupun HLEG memiliki mandat untuk mengusulkan langkah-langkah regulasi, namun HLEG masih belum memberikan rekomendasi regulasi konkret untuk mendorong modal kepada kegiatan-kegiatan yang terfokus untuk membalik perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, mendorong pembangunan yang berkelanjutan secara sosial, dll. Ketika inisiatif, usaha dan kegiatan berkelanjutan mungkin hanya membutuhkan investasi atau pinjaman dalam jumlah kecil, laporan interim berasumsi bahwa investor kelembagaan (“institutional investors”) ingin melakukan investasi dengan jumlah besar dalam bentuk insentif, pelonggaran regulasi dan metode terstandardisasi, atau melalui dukungan resmi untuk mengelompokkan projek-projek kecil di dalam kolam aset yang besar.
Sekelompok LSM Eropa telah mengeluarkan sebuah pernyataan penting terhadap laporan interim HLEG. Antara lain, LSM-LSM tersebut menyesalkan bahwa ESG belum didefinisikan dengan jelas, dan juga belum dijelaskan bagaimana proses Uni Eropa untuk mendefinisikan ESG tersebut, hak asasi manusia, dan isu-isu lingkungan yang lebih luas belum dimasukkan. Mereka meminta langkah-langkah regulasi yang lebih ketat.
Terlepas dari HLEG dan Unit EC (DG FISMA) yang meluncurkan HLEG, Unit Penelitian Kebijakan Strategis Komisi Eropa juga telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Membiayai Keberlanjutan – Memicu Investasi untuk Ekonomi Bersih” pada tanggal 8 Juni 2017. Laporan ini menekankan kebutuhan akan perubahan di dalam sektor keuangan, begitu juga di dalam kebijakan dan regulasi Uni Eropa. Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup dari Komisi Eropa juga baru-baru ini memulai sebuah studi mengenai “Keuangan Hijau: Definisi dan Implikasinya bagi Investasi”.
Sumber: SOMO
 
 

Pertemuan G20 dan Keuangan Berkelanjutan: Apa yang Perlu Disampaikan Presiden Jokowi di Hamburg?

Pertemuan pimpinan keuangan negara-negara G20 telah berakhir di pada Sabtu 18 Maret 2017. Hasilnya ‘mengejutkan’ seluruh pihak karena benar-benar menunjukkan bahwa proteksionisme Amerika Serikat memang bisa mengubah banyak kesepakatan yang sudah dicapai bertahun-tahun. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan Amerika Serikat, secara terang-terangan menyatakan bahwa pendekatan G20 yang selama ini menentang proteksionisme telah menjadi “not really relevant.”
Perwakilan Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa sudah menyatakan kekecewaannya yang mendalam atas sulitnya memertahankan perdagangan bebas, saling menguntungkan dan lebih adil di antara negara-negara G20. Mereka semua telah berupaya keras untuk mencapai kesepakatan dengan mengakomodasi kepentingan Amerika Serikat tanpa mencederai tujuan dan pendekatan yang selama ini dipercaya sebagai yang terbaik. Tetapi sikap non-kompromistik perwakilan Amerika Serikat membuat kesepakatan tak bisa dicapai.
Selain proteksionisme, Amerika Serikat juga benar-benar menunjukkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan dalam bentuk penentangan terhadap upaya pengendalian perubahan iklim. Kalau di dalam negeri sendiri Amerika Serikat memotong 31% anggaran perlindungan lingkungan dan mulai menghidupkan kembali industri batubara dan mendorong pertumbuhan industri minyak secara besar-besaran, dalam pertemuan G20 Amerika Serikat bersama-sama dengan Arab Saudi bahkan mengutuk sekadar referensi terhadap pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di dalam teks perjanjian.
Ketidaksetujuan kedua negara kemudian benar-benar menghilangkan referensi itu, lantaran teks perjanjian haruslah hanya yang disetujui oleh seluruh pihak. Dengan Donald Trump sebagai presiden yang secara terbuka menyatakan bahwa perubahan iklim adalah hoax buatan Tiongkok untuk merugikan ekonomi Amerika Serikat, dan pembiayaan untuk menanganinya adalah pemborosan belaka, menjadi mustahil bagi Amerika Serikat untuk berpartisipasi di dalam pengendaliannya.
Dengan hilangnya pernyataan tentang perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil, serta pernyataan tentang pendanaan untuk penanganan perubahan iklim, maka pertemuan tersebut dinyatakan gagal oleh banyak pihak. Untungnya, kesepakatan mengenai stabilisasi nilai tukar dan penghentian kompetisi devaluasi mata uang bisa masuk ke dalam perjanjian. Tetapi, dengan kegagalan di dua isu kunci tersebut, seluruh negara—selain Amerika Serikat, dan Arab Saudi, tentu saja—berharap perbaikan luar biasa bisa terjadi pada pertemuan kepala negara G20 di Hamburg.
Oleh karena itu, kehadiran Presiden Jokowi di Hamburg pada bulan Juli mendatang perlu dipersiapkan dengan baik. Pesan-pesan Presiden Jokowi perlu menjadi bagian penting dari upaya untuk mengembalikan dua isu tadi ke dalam teks perjanjian yang disepakati para kepala negara. Sementara, di sisi lain, Indonesia juga perlu mendapatkan keuntungan berjangka panjang dari pertemuan tersebut. Bukan saja dari perdagangan, namun juga dari investasi dan pendanaan untuk kepentingan rehabilitasi/restorasi lingkungan Indonesia yang juga menguntungkan bagi dunia. Beberapa pesan yang perlu disampaikan adalah:
Pertama, menunjukkan keuntungan-keuntungan model perdagangan yang selama ini diperjuangkan oleh G20. Perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil adalah apa yang dinyatakan sebagai salah satu raison d’etre dibentuknya G20. Kemajuan perekonomian telah dicapai melalui model tersebut, dan hal ini perlu disokong oleh bukti-bukti nyata berupa statistik perdagangan dan lainnya. Selama ini Presiden Trump ‘terkenal’ dengan kesalahan-kesalahan data yang sangat elementer. Tanpa harus menyatakan kesalahan dalam apa yang dipercaya oleh Trump, penekanan terhadap kemajuan bersama perlu disampaikan secara gamblang.
Kedua, memberikan gambaran kompehensif mengenai kemungkinan dampak proteksionisme terhadap ekonomi Amerika Serikat. Proteksionisme memiliki daya tarik jangka pendek, yang mungkin saja merupakan satu-satunya hal yang dihitung oleh Trump. Namun, dunia memiliki sejumlah besar contoh bahwa dalam jangka panjang proteksionisme tidaklah menguntungkan. Kerugian dalam jangka panjang, yang akan dirasakan oleh rakyat Amerika Serikat jauh setelah Donald Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden perlu disampaikan, agar menjadi bahan pertimbangan tim ekonomi Trump yang dipastikan akan hadir di Hamburg.
Ketiga, menekankan tentang penting dan urgennya penanganan perubahan iklim bagi seluruh dunia. Sejumlah 97% ilmuwan mumpuni dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan terkait iklim telah sepakat bahwa perubahan iklim itu terjadi, penyebabnya adalah antropogenik, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan segera, serta dunia akan mengalami dampak yang semakin buruk bila penanganannya diperlambat. Amerika Serikat, sebagai negara penghasil emisi nomor dua tertinggi di dunia setelah Tiongkok, tidak bisa mengabaikan hal ini, lantaran rakyatnya sendiri yang akan menderita, selain juga akan membahayakan negara-negara lain. Dampak terhadap Amerika Serikat sendiri perlu menjadi penenkanan.
Keempat, memberikan gambaran mengenai keuntungan ekonomi-sosial-lingkungan yang telah dan bisa diperoleh bagi negara-negara yang telah mulai menjalankan new climate economy. Menangani perubahan iklim dengan sungguh-sungguh bukan sekadar membawa konsekuensi biaya, melainkan juga membawa keuntungan ekonomi. Seluruh ekonom lingkungan sepakat bahwa semakin awal perubahan iklim ditangani, maka biayanya semakin kecil; selain keuntungan yang bisa diperoleh dari investasi itu semakin besar. Contoh-contohnya bisa ditemukan di banyak negara G20, namun terutama bisa ditunjukkan contoh sukses dari kota dan negara bagian Amerika Serikat sendiri yang banyak di antaranya sudah menerapkan ekonomi yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan perubahan iklim.
Kelima, menyatakan dukungan kepada investasi untuk pencapaian SDGs. Bukan saja terkait dengan perubahan iklim, seharusnya seluruh investasi pemerintah dan swasta diarahkan kepada pembiayaan yang sesuai dengan pencapaian SDGs di tahun 2030. Inilah yang dinyatakan sebagai pengertian keuangan berkelanjutan (sustainable financing) yang mutakhir. Amerika Serikat sendiri masih memiliki kesenjangan yang tinggi dalam banyak Tujuan SDGs, sehingga perlu untuk mengarahkan pembiayaan publik yang bisa menutup kesejangan itu. Seluruh negara lain juga demikian. Presiden Jokowi juga bisa menekankan bahwa SDG17 menekankan pada kerjasama intra- dan antarnegara dalam pencapaiannya, sehingga investasi dalam pencapaian SDGs juga perlu dilakukan di negara-negara berkembang yang lebih membutuhkan.
Keenam, menyatakan dukungan terhadap GreenInvest Platform di bawah kepemimpinan Jerman. Pada Januari 2017telah disepakati bahwa salah satu program penting G20 di bawah kepemimpinan Jerman adalah menjalankan GreenInvest Platform, bukan hanya untuk negara-negara G20, melainkan juga untuk negara-negara berkembang yang membutuhkannya. Dalam perhitungan GreenInvest Platform, untuk membuat dunia benar-benar bisa masuk ke dalam ekonomi hijau—rendah karbon, memiliki resiliensi atas perubahan iklim, tidak menghasilkan polusi—dibutuhkan USD90 triliun, yang sebagian besarnya diinvestasikan di negara-negara berkembang. Presiden Jokowi perlu menyatakan dukungan terhadap platform ini untuk menunjukkan pemihakan kepada ekonomi hijau dan negara-negara berkembang. Selain, tentu saja, hal ini akan menguntungkan Indonesia sendiri.
Ketujuh, mendesak diberlakukannya safeguards sosial dan lingkungan bagi investasi yang dilaksanakan oleh dan di negara-negara G20. Kebanyakan lembaga keuangan dari negara-negara G20 telah memiliki kebijakan perlindungan sosial dan lingkungan di dalam investasi mereka. Namun, seluruhnya bersifat voluntari dan/atau terbatas keberlakuannya. Kiranya pendekatan voluntari tersebut sudah tidak lagi memadai, mengingat berbagai permasalahan sosial dan lingkungan terkait dengan investasi sudah semakin mengemuka, dan banyak di antaranya yang malah membuat negara-negara sasaran investasi menjadi dirugikan, sementara keuntungan ekonomi tetap diperoleh negara asal investasi. Pemberlakuan safeguards sosial dan lingkungan di seluruh negara-negara G20, yang merupakan negara asal sekaligus sasaran investasi yang utama akan menguntungkan negara-negara G20 sendiri lantaran menjamin dampak bersih positif dari investasi, baik bagi negara asal maupun sasaran.
Terakhir, mengundang berbagai investasi berkelanjutan untuk masuk ke Indonesia. Indonesia adalah negara tujuan investasi yang sangat menarik untuk berbagai sektor ekonomi. Apalagi, peringkat ease of doing business di Indonesia terus meningkat. Presiden Jokowi perlu menekankan pada sektor-sektor ekonomi yang memang bisa menarik minat investasi asing, namun dengan menegaskan bahwa investasi yang diinginkan Indonesia adalah investasi yang memerhatikan keberlanjutan dengan dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang kokoh. Indonesia sudah banyak menderita karena investasi domestik maupun asing yang secara ekonomi bisa mendatangkan keuntungan bagi investor namun keuntungan ekonomi bagi Indonesia sendiri jauh lebih kecil; sementara dampak negatif sosial dan lingkunganya ditanggung oleh Indonesia. Hal ini perlu diakhiri, dengan hanya menerima investasi berkelanjutan.
Agar pesan-pesan tersebut bisa dianggap serius oleh negara-negara G20 lainnya, Indonesia perlu menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunannya memang mengarah ke sana. Di antara yang terpenting adalah memastikan bahwa Indonesia memiliki regulasi tentang keuangan berkelanjutan. Hingga sekarang, bentuk yang dimiliki barulah soft regulation berupa peta jalan yang sudah dibuat Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diluncurkan pada Desember 2014. Ada baiknya, sebelum ke Hamburg Presiden Jokowi memastikan terlebih dahulu bahwa peta jalan tersebut telah diresmikan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Ini sungguh penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia.

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif

Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan

2016: Tahun Keuangan Berkelanjutan

Simon Zadek, pakar keberlanjutan yang telah lama malang melintang sejak 3 dekade lalu, mencanangkan bahwa 2016 adalah tahun keuangan berkelanjutan.  Beberapa tahun terakhir, ia memang menjadi seorang pemuka dalam bidang ini. Dengan jabatan sebagai co-chair dari UNEP Inquiry, tentu pendiriannya itu bukannya tak berdasar.
Setidaknya ada tiga laporan penting yang diluncurkan tahun lalu.  Semuanya di penghujung tahun.  Pertama, The Financial System We Need: Momentum to Transformation, yang diluncurkan pada pertemuan tahunan IMF di awal Oktober.  Kedua, Financing Sustainable Development: Moving from Momentum to Transformation in a Time of Turmoil yang diluncurkan awal Desember. Terakhir, Fintech and Sustainable Development, yang diluncurkan pertengahan Desember.  Ketiga laporan itu benar-benar memerkaya pemahaman kita terhadap keuangan berkelanjutan.  Juga semakin menunjukkan bahwa keuangan berkelanjutan artinya adalah sistem keuangan yang ditujukan untuk mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Seabreg kegiatan bertemakan keuangan berkelanjutan juga memenuhi kalender sepanjang 2016. Ada peluncuran Green Digital Finance Alliance di Davos, bulan Januari. Pertemuan G20 di Jerman juga mengusung tema Greeninvest Initiative, yang tahun 2017 ini akan disambung dengan pertemuan G7 yang salah satu fokusnya Green Finance for SMEs.
Di Asia Pasifik sendiri kita juga menyaksikan berbagai pertemuan.  Pada penghujung Februari ada acara Responsible Investor Asia di Tokyo, yang mengusung tema Investing for Resilience.  Kemudian ada acara UN Principles for Responsible Investment, PRI in Person, awal September, di Singapura.  Kemudian, yang paling penting, acara Sustainable Banking Network di awal Desember, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali.
Semua itu menunjukkan gairah yang luar biasa terhadap keuangan berkelanjutan.  Namun, gairah tersebut dinyatakan belum memadai.  Kalau kita ingin membuat penyatuan pada level yang fundamental antara sistem keuangan dengan pembangunan berkelanjutan, pekerjaan rumah masih menunggu.  Karena itu, kita semua harus memastikan gairah keuangan berkelanjutan semakin menyala di tahun 2017, dan itu ditunjukkan melalui tindakan-tindakan nyata oleh seluruh pihak.
Oleh: Jalal.

Apakah bank serius terhadap keanggotaannya di RSPO?

Sebuah analisis dari website ForestsandFinanace.org telah mengungkapkan bahwa antara tahun 2010 dan 2016, 8 bank yang menjadi anggota RSPO terlibat dalam pembiayaan untuk setidaknya 4 grup kelapa sawit non-anggota RSPO yang beroperasi di Asia Tenggara
Download analisa selengkapnya disini.
Download