Pos

Conflict or Consent

bukukonflikataumufakatBuku ‘Conflict or Consent’ atau Konflik atau Mufakat merupakan kumpulan studi kasus tentang penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Studi kasus tersebut dilakukan terhadap 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Congo, Liberia dan Cameron. Kajian ini merupakan kolaborasi NGO dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Liberia, Cameron, Congo dan Inggris.
[button color=”red” size=”medium” link=”http://www.tuk.or.id/file/conflict-or-consentbahasaindonesiaversion2lowres.pdf” icon=”” target=”false”]Unduh PDF[/button]

Taruhan bagi Perkebunan Sawit Berkelanjutan

SELASA, 12 NOVEMBER 2013 | 19:41 WIB

169597_620 Untung TempoTEMPO.COJakarta – Puluhan spanduk mengepung Hotel Santika yang terletak di Jalan Pengadilan, Medan. Sekitar 3.000 petani, buruh, serta aktivis organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat dari berbagai provinsi di Sumatera terus meneriakkan tuntutannya kepada peserta Pertemuan Tahunan Ke-11 dari The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di hotel itu.

Mereka memajang tuntutan yang berbeda-beda pada spanduk, sesuai konflik yang terjadi dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerahnya. “Kami ingin bertemu langsung dengan pimpinan Wilmar Group karena eksekutif PT Jatim Jaya Perkasa tak bisa menyelesaikan masalah di desa kami,” kata Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Selasa (12/11). 
PT Jatim, yang merupakan anak perusahaan Wilmar, ujar Isnadi, baru menyerahkan 600 hektare kebun sawit pada 2012 kepada warga empat desa di Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Kubu Babusalam, Riau. Padahal, sesuai dengan skema kredit koperasi tahun 2004, lahan yang harus diserahkan seluas 2.150 hektare.
Unjuk rasa hingga mengadu ke pejabat pemerintah daerah sudah dilakukan, namun tak membuahkan hasil. Karena itu, Isnadi berharap dapat menyampaikan langsung tuntutannya ke bos Wilmar yang datang dalam acara RSPO Meeting. Harapan senada juga datang dari aktivis petani, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo), Walhi Sumatera Utara, Indonesian People Aliance, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, dan lainnya.
Para buruh menuntut penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing) di perkebunan kelapa sawit dan industrinya. “Perusahaan yang melanggar hak-hak buruh harus dicabut izin usahanya,” kata Herwin Nasution, koordinator aksi Serbundo.

Pada 12-14 November, Medan menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan RSPO. Ini adalah asosiasi yang didirikan pada 2004 oleh berbagai perusahaan di sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, dan investor), akademisi dan LSM bidang lingkungan. Tujuan Forum Meja Bundar itu mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

“Pertemuan kali ini berfokus pada perbaikan prinsip-prinsip dan kriteria serta berbagai aspek kritis. Sebagai inisiatif multipihak yang pertama untuk jenis komoditas global, RSPO memandang pendekatan progresif untuk menilai dan meningkatkan standar setiap 5 tahun sekali menjadi hal penting dalam rangka secara positif mempengaruhi dan mentransformasi pasar,” kata Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO, dalam pengantarnya.
Webber mengakui jalan masih panjang untuk mencapai norma minyak sawit berkelanjutan. Dia berharap, dalam pertemuan di Medan, 11-14 November, semua perwakilan peserta mampu merumuskan rencana masa depan. Dia mengklaim, saat ini pasokan Certified Sustainable Palm Oil adalah sebesar 15 persen dari keseluruhan pasokan minyak sawit dunia. Sedangkan keanggotaan RSPO naik melampaui 1.300 anggota.

Ada delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO yang merupakan standar global tata kelola perkebunan yang disusun berbagai pemangku kepentingan di sepanjang rantai pasok minyak sawit untuk mendefinisikan sawit berkelanjutan. Antara lain, komitmen terhadap transparansi, tanggung jawab lingkungan, dan konservasi kekayaan alam serta keanekaragaman hayati. Lalu, bertanggung jawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik. Serta pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab.
Grup Wilmar, Sinar Mas, Minamas Plantation, Astra Agro Lestari, Asian Agri, Duta Palma, dan perusahaan perkebunan sawit lainnya mengklaim telah mengimplementasikan prinsip dan kriteria RSPO. “Kami mengadopsi semua praktek industri terbaik dan standar dalam produksi kami. Begitu juga pengelolaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan,” demikian Wilmar menuliskan dalam website-nya.

Memang, dalam tiga dekade terakhir, jumlah konsumsi minyak nabati di seluruh dunia naik tiga kali lipat. Ternyata minyak sawit paling tinggi pertumbuhannya (hingga 10 kali lipat) ketimbang minyak kedelai, minyak lobak atau rapa, minyak bunga matahari, dan minyak nabati lainnya. Pada 1980, produksi minyak sawit cuma 5 juta ton. Namun, pada 2009, produksi melesat menjadi 45 juta ton.

Diperkirakan, permintaan dunia atas minyak sawit akan mencapai tiga kali lipat pada 2050. Alhasil, kecenderungan ekspansi perkebunan kelapa sawit akan terus berlanjut tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, tapi juga di negara-negara tropis di seluruh dunia. Saat ini, Indonesia dan Malaysia memproduksi lebih dari 85 persen minyak sawit global, dengan total lahan perkebunan kedua negara ini mencapai 14 juta hektare.
Perusahaan sawit raksasa juga melakukan ekspansi di Papua Nugini, Filipina, Thailand, dan Kamboja. Tak hanya itu, mereka merambah Benua Afrika, terutama di Liberia, Nigeria, Ghana, Pantai Gading, dan Republik Demokratik Kongo. Selain itu, di Amerika Latin, terutama di Kolombia, Honduras, dan Ekuador.

Dalam prakteknya, pembuatan kebun itu banyak terjadi di hutan primer, hutan rawa, dan lahan gambut yang kaya oksigen. Sepuluh persen deforestasi atau penggundulan hutan di Malaysia dan Indonesia sepajang 1990-2010 dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit. Sekitar 600 ribu hingga 1 juta hektare kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit setiap tahun di Indonesia. Luasnya saat ini 8 juta hektare, dan akan naik menjadi hingga 13 juta hektare pada 2020.

Tak hanya itu, hak atas persetujuan bebas, didahulukan, dan diinfomasikan (free, prior, informed and consent, FPIC)–yang sentral dalam prinsip dan kriteria–banyak dilanggar oleh perusahaan yang tergabung dalam RSPO. Hasil studi kasus di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun, Republik Demokratik Kongo, dan Liberia, yang dipublikasikan Kamis pekan lalu di Medan, menunjukkan pelanggaran itu.
Studi kasus dilakukan Forest Peoples Programme (FPP), Sawit Watch, dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, bekerja sama dengan 17 organisasi dan lembaga di negara-negara tersebut. Hasil kajian ini dibukukan dengan judul Konflik atau Mufakat? Sektor Minyak Sawit di Persimpangan.

Salah satu kasus terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Di tempat ini, tim peneliti menemukan kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas.

Perusahaan lebih memihak elite lokal daripada masyarakat penggarap lahan Melayu setempat. Salah satu responden, Resmiati, ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Beringin, menjelaskan bahwa kepala desa menawar harga tanahnya Rp 1,5 juta, dia menolak dan berkukuh harganya Rp 3,5 juta.
“Sebab, tanah sangat berharga bagi kami orang kecil ini. Jika kami mau kelapa sawit, kami akan tanam sendiri dan kami tidak mau orang lain mengambil tanah kami untuk menanam kelapa sawit,” katanya. Jika ia mampu mewariskan tanah ke anak-cucunya, “Tanah akan menjamin sumber penghidupan anak saya, bukan uang. Sebab, uang tidak pernah cukup. Tanah adalah jaminan sumber penghidupan yang paling aman,” katanya.
Riset juga menemukan, banyak produsen sawit anggota RSPO yang beroperasi di tujuh negara tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat dan warga lokal di kawasan hutan dan lahan gambut. Menurut Marcus Colchester, Penasihat Kebijakan Senior FPP, di balik kegagalan “praktek terbaik sukarela” ini, ternyata hukum dan kebijakan nasional juga menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, kata Marcus, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. “Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi, dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit yang bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka serta menghormati hak-hak masyarakat,” kata Marcus, doktor antropologi lulusan Universitas Oxford, Inggris.
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengakui RSPO telah menetapkan standar yang baik. Namun banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji di atas kertas tersebut. Dia menilai RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika mampu memberi pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat. Karena itu, ia menambahkan, kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhannya.
UNTUNG WIDYANTO 

Sumber/tautan:

http://www.tempo.co/read/news/2013/11/12/206529167/Taruhan-bagi-Perkebunan-Sawit-Berkelanjutan

Pernyataan bersama oleh peserta yang berkumpul di “Conflict or Consent Workshop”

Medan, 8-10 November 2013

Pada kesempatan lokakarya Conflict or Consent, diselenggarakan sebelum RT11 RSPO dan GA 10, peserta membawa bersama 16 studi kasus dari dua benua, menjadi saksi atas konflik tanah dan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab.1

Kami mengamati sejumlah kemajuan prosedur dan beberapa perbaikan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, dan upaya-upaya yang kuat oleh beberapa anggota dan pihak-pihak lainnya untuk mendorong upaya pemulihan. Meskipun begitu, peserta lokakarya mengamati bahwa diantara perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam berbagai pelanggaran tersebut adalah anggota RSPO. Kenyataan tersebut menggaris bawahi tantangan besar yang sedang dihadapi RSPO, keanggotaan RSPO dan pasar untuk memastikan kepatuhan dengan persyaratan-persyaratan dasar dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, seperti kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hukum nasional dan konvensi sosial dan lingkungan hidup internasional.

Itulah yang menjadi alasan keprihatinan bahwa kebijakan dan arena pasar Eropa/Belanda/Perancis/Inggris/Jerman/Belgia masih belum mampu sepenuhnya memahami berbagai implikasi sosial perdagangan dan penggunaan komoditas yang strategis ini. Laporan ini menekankan pula kegagalan RSPO juga akibat pemerintah belum berhasil mengatur sektor minyak sawit dan mencegah berbagai pelanggaran yang dicatat dalam studi kasus ini dan laporan-laporan lapangan lainnya.

Pernyataan ini juga menekankan bahwa para peserta yang mendukung pernyataan ini banyak terlibat dalam sektor minyak sawit dan arena RSPO, bekerja untuk menyusun cara-cara untuk membantu mengurangi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Beberapa diantara peserta diberikan tugas untuk terlibat dalam badan eksekutif dan pengurus RSPO.

Menghargai komitmen yang dibuat oleh Task Force … untuk mencapai target minyak sawit lolos sertifikasi, kami meminta anda meninjau laporan kami dan menyusun aksi nyata yang membantu memastikan bahwa semua minyak sawit yang masuk ke pasar adalah “bebas konflik”.

Kami mengundang anda bergabung bersama kami dalam upaya-upaya menegakkan standar RSPO dan implementasinya terutama dengan menggunakan instrumen-instrumen pemulihan seperti mekanisme pengaduan RSPO dan Fasilitas Penanganan Sengketa, dan mendesak pemerintah kami untuk memperbaiki kerangka kerja kelembagaan hukum yang memandu sektor minyak sawit. Kami meminta anda memeriksa sendiri di lapangan dalam berkonsultasi dengan masyarakat, keadaan-keadaan dimana minyak sawit diproduksi dan membantu menyusun bersama serta menerapkan berbagai upaya untuk membawa standar RSPO dalam praktek. Kami siap untuk dialog dengan semua pihak dan melakukan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Hormat kami,

Peserta dari:

  1. Andalas University, Padang, Sumatra
  2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Indonesia
  3. Bitra Indonesia, North Sumatra
  4. Both ENDS, Netherlands
  5. Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement (CIRAD), France

  6. École des Hautes Études en Sciences Sociales, France

  7. ELSAKA, North Sumatra
  8. Forest Peoples Programme, United Kingdom
  9. Front Mahasiswa Nasionalis Medan, North Sumatra
  10. Gabungan Serikat Buruh Indonesia, North Sumatra
  11. HuMa, Indonesia
  12. HUTAN, Malaysia
  13. Hutan Rakyat Institute (HARI), North Sumatra
  14. IDEAL, Malaysia
  15. Impartial Mediators Network, Indonesia
  16. Indigenous Peoples’ Foundation for Education and Environment, Thailand
  17. Indonesia Peoples’ Alliance, North Sumatra
  18. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia
  19. Jaringan seOrang Asal SeMalaysia (JOAS)
  20. Keystone Foundation, India
  21. Komunitas Peduli Hutan Sumatra Utara (KPHSU), Indonesia
  22. Lembaga Gemawan, West Kalimantan, Indonesia
  23. Natural Justice, South Africa
  24. Oxfam Novib, The Netherlands
  25. PUSAKA Indonesia, Indonesia
  26. PUSAKA, Indonesia
  27. Qbar Association, Padang, Indonesia
  28. Rainforest Action Network (RAN), United States
  29. Sawit Watch, Indonesia
  30. SCALE UP, Indonesia
  31. Setara Jambi, Indonesia
  32. Socio-Pastoral Institute, Cameroon
  33. StaB-LB, North Sumatra, Indonesia
  34. Transformasi Untuk Keadilan INDONESIA
  35. Wahana Bumi Hijau (WBH), Indonesia
  36. Walhi Kalbar, Indonesia
  37. Walhi Kalteng, Indonesia
  38. Walhi Riau, Indonesia
  39. Walhi SumSel, Indonesia
  40. Walhi Sumut, Indonesia
  41. Warsi, Jambi, Indonesia
  42. Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Indonesia

Penelitian Terbaru: Banyak Anggota RSPO Melanggar Hak Masyarakat

November 7, 2013 Ayat Suheri Karokaro dan Sapariah Saturi

Penelitian terbaru dari Forest Peoples Programme (FPP), Transformasi Untuk Keadilan (TUK) dan Sawit Watch yang dirilis di Medan, Sumatera Utara (Sumut) Kamis (7/11/13) mengungkapkan banyak anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, termasuk Indonesia. Dalam kajian berjudul Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan ini, merinci kinerja 16 aktivitas perusahaan sawit, mayoritas anggota RSPO, yang melanggar HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Penelitian ini menjabarkan kasus-kasus produsen minyak sawit yang gagal mendapat persetujuan dari masyarakat, lewat proses yang diwajibkan RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Temuan-temuan ini mendukung bukti-bukti perusakan karena pengembangan sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Laporan ini akan disebarkan dalam pertemuan tahunan RSPO 11-14 November di Medan.

Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TUK mengatakan, sejak dibentuk delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standard tetapi banyak anggota tak memenuhi janji-janji. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan, tetapi perlu penegakan lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan,” katanya.

Senada diungkapkan Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch. Menurut dia, begitu banyak investasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation (IFC), tapi hasil minim. “Kami bisa tunjukkan satu atau dua hasil baik di lapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan sawit di Indonesia saja. Masalah ini meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika.”

Karlos Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan dan Inisiatif Kebijakan Sawit Watch, mengatakan ada beberapa perusahaan besar dianggap masih terlibat konflik dengan petani dan pemilik. Antara lain, PT Wilmar, PT London Sumatera (Lonsum), PT Sinar Mas, dan beberapa perusahaan besar lain. Mereka sampai saat ini bergerak di sektor perkebunan sawit serta turunannya.

Perusahaan menggunakan hak ulayat adat, tanah adat, dan warisan kerajaan untuk menguasai ratusan ribu hektar lahan milik masyarakat dijadikan perkebunan sawit. Pemerintah mendiamkan, meski ada aturan dan UU yang mengatur soal itu dilanggar.”

Menurut Karlos, RSPO harus bisa dan mau mengevaluasi dan mengaudit ulang semua sertifikat yang diberikan terhadap perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, termasuk membekukan dan menarik kembali sertifikasi terhadap anggotanya.

Contoh lain, masih terjadinya konflik di kebun-kebun PT Lonsum, konflik degan petani di Desa Pergulaan, dan konflik perebutan lahan di Kabupaten Deli Serdang. Konflik serupa terjadi antara petani dengan PT Wilmar, PT Musi Mas, dan hampir semua anggota RSPO masih banyak menyisakan sengketa lahan, penyerobotan dan pelanggaran aturan kerja. Kebun PTPN III di Bukit Perjuangan, Kota Rantau Parapat, ada dua kasus sengketa lahan dengan petani yang sudah menempati lahan seluas 272 hektar turun temurun.

Hak tetap hak dan harus diselesaikan. Mekanisme konflik sosial memang lebih rumit daripada konflik lingkungan. Ini terus terjadi sampai sekarang.”

Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, mengatakan, beberapa anggota RSPO sudah mengesahkan standard dan prosedur operasional baru guna memperbaiki praktik mereka di atas kertas, bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha. Namun katanya, kenyataan di lapangan menyimpulkan masih tak ada perubahan berarti. “Pejabat senior perusahaan mungkin bersedia menjalankan pendekatan baru, seringkali manajer operasional di lapangan gagal menanggapi. Prosedur memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk,” ujar dia.

Menurut dia, hukum dan kebijakan yang menolak dan mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat, dan masyarakat lokal, menjadi salah satu pemicu. “RSPO harus berani bersikap, dan memberikan tindakan tegas terhadap anggota yang tidak menjalan ketentuan berlaku. Agar ada keadilan bagi masyarakat adat dan tak ada kesenjangan sosial.”

Colchester menyebutkan, berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia, 60 persen pemegang lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah. Penelitian dari akademis dan para ahli, juga menyebutkan 80 persen lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah.

FPP, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif ini berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Referensi/Link:

http://www.mongabay.co.id/2013/11/07/penelitian-terbaru-banyak-anggota-rspo-melanggar-hak-masyarakat/

Minyak Sawit Berkelanjutan: Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

6 November 2013

EMBARGO NASKAH TIDAK UNTUK DISEBARLUASKAN HINGGA 4:00 AM GMT KAMIS, NOVEMBER 7, 2013

CATATAN EDITOR: Untuk semua publikasi, “Konflik atau Mufakat,” dan bahan-bahan pendukung, silakan kunjungi: http://www.forestpeoples.org/press-room

Minyak Sawit Berkelanjutan: Permainan Pasar atau Komitmen Nyata? Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

16 Studi Kasus Menyimpulkan Beberapa diantara Perusahaan Minyak Sawit Terbesar Dunia Meremehkan Mandat PBB Keputusan Persetujuan Masyarakat Adat & Masyarakat Lokal Sebelum Membabat Hutan, Lahan Gambut

MEDAN, INDONESIA (7 November, 2013)— Anggota RSPO melanggar hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, menurut satu publikasi kajian baru yang diluncurkan hari ini. Kajian tersebut merinci kinerja 16 kegiatan perusahaan kelapa sawit, banyak dijalankan oleh anggota RSPO, melaporkan tentang kegagalan mereka untuk menjunjung tinggi HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Sejak dibentuknya delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standar yang baik tetapi banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji diatas kertas tersebut,” kata Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, organisasi HAM berkedudukan di Jakarta. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat, tetapi untuk tercapainya hal itu kita perlu penegakan yang lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan.”

Buku Konflik atau Mufakat? Sektor minyak sawit di persimpangan, menguraikan kasus-kasus produsen minyak sawit telah gagal mendapat persetujuan dari masyarakat – proses yang diwajibkan oleh RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal sebagai keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Temuan-temuan tersebut juga mendukung bukti-bukti dampak merusak yang disebabkan pengembangan minyak sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Para pendukung berencana menyebarkan kajian ini di pertemuan tahunan RSPO yang berlangsung 11-14 November di Medan, Sumatra Utara. Sasaran rencana mereka fokus dalam tiga tema:

  • Rantai pasok — perjalanan minyak sawit dari perkebunan ke pabrik pengolahan sampai rak supermarket harus transparan dan terlacak utuh.

  • Penegakan — mandat dan kapasitas RSPO mengesahkan lembaga sertifikasi harus diperluas dan ditegakan serta prosedur pengaduan dan mekanisme resolusi konflik lebih bergigi.

  • Komitmen – janji-janji anggota RSPO menghormati HAM dan standar lingkungan harus ditegakan lebih tegas dan tidak diperlakukan sebagai pilihan.

Meningkatnya permintaan global akan minyak sawit memicu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit sepanjang hutan-hutan Asia Tenggara dan Afrika. Keprihatinan mengenai berbagai dampak lingkungan dan sosial mendesak pembentukan Roundtable on Sustainable Palm Oil tahun 2004. RSPO menjalankan sebuah standard sertifikasi untuk kegiatan usaha yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup dalam lahan yang terdampak oleh perkebunan dan juga melingungi tanah dan hutan dengan nilai konservasi tinggi.

Begitu banyak upaya diinvestasikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation, tapi hasilnya sedikit,” kata Jefri Saragih, Eksekutif Direktur Sawit Watch, salah satu anggota RSPO. “Kami bisa tunjukan satu atau dua hasil yang baik dilapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan kelapa sawit di Indonesia saja, dan masalah tersebut kini semakin meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika. Kami mendesak satu tanggapan segera dan meluas atas krisis ini.”

Walaupun beberapa dari perusahaan anggota RSPO sudah mengesahkan standar dan prosedur operasional yang baru, memperbaiki praktek mereka diatas kertas, dan bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha mereka, kenyataan di lapangan menyimpulkan bisnis-seperti-biasa. Pejabat senior perusahaan mungkin sudah bersedia menjalankan pendekatan baru, tetapi sering kali para manejer operasional di lapangan – tidak ada pelatihan wajib dan insentif – gagal menanggapi. Prosedur untuk memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk.

Dibalik kegagalan ‘praktek terbaik sukarela’ ini adalah hukum dan kebijakan nasional yang menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal,” Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, sebuah organisasi HAM internasional. “Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka dan menghormati hak-hak masyarakat.”

Indonesia Memimpin dalam Produksi Minyak Sawit dan Deforestasi

Asia Tenggara dalam pusat dari industri minyak sawit. Indonesia, dimana pertemuan RSPO akan berlangsung, adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, dengan 10.8 juta hektar lahan ditanami pohon kelapa sawit, satu angka diperkirakan meluas hingga lebih dari 20 juta hektar—lebih dari 10 persen seluruh luas daratan Indonesia — hingga tahun 2020. Indonesia juga menempati peringkat ketiga di dunia untuk emisi karbon dioksida, terutama karena deforestasi dan kerusakan lahan gambut Indonesia.

Banyak perkebunan Indonesia, dengan pabrik pengolahan dan fasilitas lainnya dalam rantai pasok minyak sawit, berkedudukan di Sumatra, sehingga menjadikan Medan ibukota tidak resmi industri minyak sawit Indonesia. Kota ini menjadi panggung untuk teater jalanan dan protes selama pertemuan RSPO.

Forest Peoples Programme, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan: Tidak dilaksanakan dan Kurang ditegakkan

Ada 16 studi kasus dalam kajian tersebut mengungkapkan bahwa proses RSPO telah menyebabkan terjadinya pemahaman yang lebih baik atas banyak persoalan penting, baik untuk masyarakat dan perusahaan, dalam mencapai ‘pembangunan berkelanjutan’ berdasarkan penghormatan terhadap HAM. Sejumlah perbaikan procedural mungkin menyediakan suatu dasar untuk penyelesaian konflik lahan, dan beberapa perusahaan telah menanggapi dengan baik dan menyelaraskan operasi mereka untuk lebih baik menampung sumber mata pencaharian dan tuntutan masyarakat.

Tetapi banyak anggota RSPO menjalankan proses yang sangat singkat dalam mendapatkan keputusan persetujuan masyarakat yang jauh dari ‘bebas’, ‘didahulukan’ and ‘diinformasikan.’ Di wilayah konsesi PT Permata Hijau Pasaman I, anak perusahaan multinasional Wilmar International berkedudukan di Singapura, di Sumatra Barat, Indonesia, proses pembebasan lahan bercirikan konsultasi selektif antara perusahaan dan perwakilan masyarakat yang terkooptasi. Dalam kasus Tanjung Bahagia Sdn Bhd, anak perusahaan Genting Plantations, tanah dan hutan terusa digusur dan ditanami meskipun masyarakat bersikukuh menolak.

Banyak perusahaan juga gagal mengikuti prosedur RSPO dengan mengabaikan langkah-langkah prasyarat untuk mengakui hak-hak adat. Di Kalimantan Barat, Indonesia, terjadi kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas, lebih memihak elit lokal daripada masyarakat panggarap lahan Melayu setempat. Di Kalimantan Timur, Indonesia, PT Rea Kaltim Plantations, dimiliki oleh perusahaan Inggris REA Holdings PLC, tidak melakukan pemetaan partisipatif atau penelitian kepemilikan tanah sebelum pembebasan lahan. Meskipun begitu, hal ini telah diakui oleh perusahaan dan pemetaan telah dimulai.

Kurang Penegakan Memicu Konflik dan Pengunduran dari RSPO

Penistaan hak kerapkali memicu konflik yang tidak berimbang, saat protes dari masyarakat lokal dihadapkan dengan penangkapan dan kekerasan fisik. SG Sustainable Oils Cameroon PLC di Selatan Barat Kamerun, dimiliki oleh perusahaan Amerika Herakles Farms, sebenarnya mundur dari RSPO bulan September 2012 sebagai reaksi terhadap pengaduan resmi terhadap dirinya dan kritik meluas atas proyek perusahaan. Di PT Permata Hijau Pasaman I, konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal mengarah pada sejumlah penangkapan dan tunggakan satu perkara pengadilan di Pengadilan Tinggi di Indonesia.

Kajian tersebut juga menunjukan bahwa mekanisme resolusi konflik yang ada, termasuk milik RSPO, belum menghasilkan nyata bagi masyarakat lokal. Proses resolusi konflik International Finance Corporation (IFC) Compliance Advisor/Ombudsman (IFC CAO) dan RSPO, kendati membentuk beberapa preseden penting, sayangnya kurang mandat dan kapasitas utnuk memulihkan banyak sengketa antara perusahaan dan masyarakat.

Kurang niat baik dan transparansi perusahaan semakin memperparah keberhasilan mekanisme IFC CAO. Sebagai contoh, dalam PT Asiatic Persada (PT AP) di Jambi, mediasi IFC CAO digagas tahun 2012, setelah perusahaan menggusur pemukiman masyarakat yang menolah ke sungai-sungai kecil terdekat, terhenti total akibat PT AP dijual oleh Wilmar tanpa konsultasi dengan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses mediasi. Wilmar benar-benar cuci tangan dan masalah yang Wilmar ciptakan sendiri.

RSPO hanya berhasil jika komitmen para anggotanya buat adalah sungguh-sungguh,” simpul Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme. “Sertifikasi RSPO tidak dimaksudkan menjadi satu permainan pasar. Harusnya sertifikasi ditujukan untuk menunjukan satu pengabdian sepenuh hati untuk menghormati hidup dan mata pencaharian masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan tanah yang mereka sebut sebagai rumah. Sebagai anggota RSPO kami mendesak RSPO sebagai satu kesatuan untuk mempertegas kembali komitmen ini dan menjalankannya.”

# # #

Forest Peoples Programme (FPP):

FPP bekerja dengan masyarakat penghuni hutan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, untuk membantu mereka mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka, mendirikan organisasi mereka sendiri, dan bernegosiasi dengan pemerintah dan perusahaan dalam menentukan cara terbaik untuk melestarikan dan mewujudkan pembangunan ekonomi di lahan mereka. Visi dari organisasi ini adalah hutan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat penghuni hutan dalam cara yang menjamin kelangsungan mata pencaharian, keadilan, dan kesejahteraan yang didasarkan pada penghormatan atas hak, pengetahuan, kebudayaan, dan identitas mereka. FPP juga telah melakukan kerja yang ekstensif di Asia Tenggara tentang pluralisme hukum serta kesempatan dan tantangan yang dialami oleh masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai akibat dari rezim hukum plural. Sebagai tambahan, FPP juga terlibat dalam penelitian, advokasi, dan kerja lapang terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara dan dampak sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Untuk informasi lebih lanjut silakan kunjungi www.forestpeoples.org.

Sawit Watch:

Sawit Watch didirikan pada tahun 1998 dan sejak saat itu telah membangun jaringan dengan lebih dari 130 anggota dan kontak lokal yang bekerja dengan puluhan komunitas lokal di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Mandat Sawit Watch adalah untuk mendukung komunitas lokal yang kehilangan hutan dan mata pencaharian mereka sebagai akibat dari ekspansi kelapa sawit skala besar, dan untuk mendukung komunitas penghuni hutan yang terus menolak pembangunan ini. Melalui mandat ini, Sawit Watch bekerja menuju konservasi dan restorasi bagi hutan di Indonesia dan mempromosikan kesepakatan terbaik yang paling mungkin bagi komunitas tersebut, yang memilih untuk hidup di tengah perkebunan kelapa sawit. Selain aktivitas-aktivitas peningkatan kesadaran komunitas, mereka terlibat dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan jaminan hak atas lahan mereka dan mempertahankan hukum tradisional (adat) mereka. Sawit Watch juga membantu komunitas untuk mengembangkan atau mempertahankan pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.sawitwatch.or.id.

Transformasi untuk Keadilan INDONESIA:

Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA) adalah sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) Indonesia yang berkedudukan di Jakarta yang berkerja mendorong terwujudnya hak konstitusional rakyat menuju keadilan, kesejahteraan dan jatidiri bangsa Indonesia. Tujuan TuK INDONESIA adalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan keadilan, HAM, solidaritas sosial, peningkatan kapasitas mayarakat, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi pasar dan modal, yang akan melahirkan Indonesia yang bebas dari praktek korupsi, jaminan kepastian hukum, kelestarian lingkungan hidup, hutan dan sumber daya alam, integrasi sosial dan keberpihakan Negara yang menghasilkan kesejahteraan rakyat. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.tuk.or.id

Referensi/link:

http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/11/Conflict%20or%20Consent%20press%20release_FINAL_7Nov_Bahasa_0.pdf

Diskusi Terbatas: Wacana Keberlanjutan dan Substansi Persyaratan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam Konteks Industri Kelapa Sawit (Putaran I)

ISPO IMenurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Peraturan Menteri Pertanian terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah keputusan peraturan tentang ISPO. Kedua berisi tentang pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Ketiga adalah dokumen persyaratan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia dan peraturan pendukungnya.
Peraturan tentang ISPO terdiri dari lima pasal tetapi pasal kelima lebih merupakan ketentuan penutup. Pasal 1 Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.
Pasal 2 Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebagai dasar dalam mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.
Pasal 3 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini.
Pasal 4 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dikenakan sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV.
Dari pendahuluan di atas, TuK INDONESIA memandang perlu untuk meletakan kembali persoalan industri sawit kontemporer dalam tujuh aspek yang terkait satu sama lain.
Ketujuh aspek tersebut adalah hak asasi manusia, hak atas tanah, hak atas pemulihan (remedies), hak atas pangan, hak atas FPIC/KBDD,  resolusi konflik,  dan sumber (legalitas) TBS (Tandan Buah Segar) sah.

  1. Hak Asasi Manusia
    Merupakan hal mendasar yang semestinya menjadi esensi dan semangat dalam segala cita-cita dan sasaran pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan hidup di Indonesia sesuai dengan semangat konstitusi Indonesia.
  1. Hak Atas Tanah
    Merupakan persoalan dan tunggakan masalah mendasar bagi kehidupan dan sumber mayoritas penduduk Indonesia yang masih dominan budaya agraris. Negara diberikan mandat oleh konstitusi untuk memanfaatkan bumi dan air dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    Bahkan, secara tegas Pasal 28G Konstitusi menyatakan (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi).
  1. Hak Atas Pemulihan
    Kasus pelanggaran hak dan perampasan tanah, penolakan sawit dibalas kekerasan dan penyiksaan, penggusuran paksa, kemitraan yang buruk dan keterlibatan aparat keamanan dan pengamanan swasta adalah sejumlah cerita dimana masyarakat korban belum diberikan dan mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Sebelum dibatalkan, Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan disiapkan untuk memenjarakan rakyat petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan hak mereka. Tetapi pada saat dicabut, hak mereka yang sudah terlanjur menjadi korban kriminalisasi tidak pernah dipulihkan dan tetap tidak mendapatkan hak mereka sebagai warga negara. Dalam perspektif HAM, semestinya semua aktifitas yang berdampak buruk dan melanggar hak masyarakat harus diupayakan langkah nyata untuk menghentikan, menyelesaikan persoalan dan tunggakan masalah masa lalu dan memperbaiki praktek yang ada serta mencegah terulangnya kembali praktek-praktek perkebunan kelapa sawit yang melanggar hak dan kehidupan masyarakat. Moratorium merupakan momentum yang baik untuk melaksanakan agenda pemulihan hak masyarakat korban di Indonesia.
  1. Hak Atas Pangan
    Merupakan wacana yang bergulir dalam ragam yang unik, tergantung dimana dan oleh siapa isu tersebut dibahas. Dalam sudut pandang pemerintah, gagasan, konsep dan implementasi hak atas pangan seringkali muncul hanya dalam perspektif ketahanan pangan saja. Di sisi lain, gerakan petani dan masyarakat adat menafsirkan memandang ketahanan pangan saja tidak cukup jika tidak disertai jaminan perlindungan atas kendali sumber dan alat produksi pangan terutama benih dan tanah oleh rakyat. Seharusnya kedua konsep tersebut dapat diletakkan sebagai dua pendekatan dari sisi yang berbeda dan saling mendukung satu sama lain. Idealnya, ketahanan pangan adalah kewajiban negara dan tanggung jawab sektor swasta sekaligus atas dampak proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat yang telah dan terlanjur menyerahkan seluruh tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit baik inti maupun plasma. Gagasan dan konsep ideal kedaulatan pangan, disisi lain, seharusnya diwujudkan oleh pemerintah dan Negara bagi wilayah-wilayah yang belum beralih menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan secara de facto telah dikuasai oleh rakyat secara turun-temurun.
  1. Hak Atas FPIC/KBDD
    Merupakan prinsip dan konsep hak masyarakat adat untuk menyatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap proyek pembangunan yang akan dan berpotensi berdampak terhadap tanah dan sumber penghidupan mereka melalui sistem dan perwakilan yang mereka tentukan sendiri tanpa paksaan. Dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit khususnya pembebasan lahan, masih banyak terjadi manipulasi informasi dan intimidasi, praktek pemaksaan dan premanisme, pecah belah tokoh adat dan adu domba sesama anggota masyarakat.
    Kualitas partisipasi dan pengambilan keputusan penting terkait dengan rencana mitigasi dan pengelolaan dampak perkebunan kelapa sawit tanpa disertai dengan AMDAL yang baik dan benar, kajian dampak lingkungan dan sosial serta kajian keberadaan nilai konservasi tinggi (NKT). Seharusnya ada salinan dan informasi atas semua dokumen-dokumen terkait dengan pelaksanaan dan penerapan peraturan dan undang-undang dalam bentuk dan bahasa yang dipahami dan dimengerti oleh masyarakat terkena dampak. Situasi semacam ini semakin rumit apabila pemerintah dan pelaku usaha perkebunan tidak mendorong proses pendataan dan penataan hak milik formal dan informal secara terbuka dan bertanggung jawab tanpa proses partisipatif yang benar dan faktual objektif seperti pemetaan partisipatif bersama masyarakat.
  1. Resolusi Konflik
    Adalah bagian yang krusial dan mendesak dalam mendorong industri sawit Indonesia yang berkelanjutan, bertanggung jawab, demokratis, dan berkeadilan. Kendala utama resolusi konflik di Indonesia bisa dijabarkan dalam beberapa perspektif yakni korupsi, kolusi dan tata kelola pemerintah buruk, budaya bisnis lemah dan buruk, budaya korupsi dan kolusi, benturan budaya dan pemaksaan sistem budidaya industri pertanian terhadap sistem lokal, dll.
    Dari sekian banyak persoalan dalam mendorong prinsip dan resolusi konflik yang berkeadilan, TuK INDONESIA memandang enam pertanyaan pokok yang harus digali dan dijawab secara kritis dalam konteks ISPO di Indonesia. Pertanyaan tersebut diantaranya:
  1. Apa saja masalah dan tantangan utama dalam mendorong resolusi konflik dalam perkebunan kelapa sawit?
  2. Apakah peraturan dan kelembagaan yang ada sudah efektif untuk penyelesaian kasus pertanahan dalam perkebunan kelapa sawit?
  3. Apakah mekanisme dan proses penyelesaian sengketa pertanahan dalam perkebunan kelapa sawit sudah efektif dan memuaskan?
  4. Apakah ISPO menyediakan mekanisme dan proses, mandat dan sumber daya yang dibutuhkan dalam resolusi konflik perkebunan kelapa sawit?
  5. Mengapa ISPO diperlukan dalam mendorong resolusi konflik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan?
  6. Bagaimana ISPO bisa meningkatkan kepercayaan dan tanggung jawab dalam mendorong resolusi konflik perkebunan kelapa sawit?
  1. Sumber (Legalitas) TBS yang Sah
    Merupakan wacana yang telah bergulir sejak lama akibat keluhan petani sawit. Sah atau tidaknya buah sawit yang diproses dan diolah oleh pabrik bisa dilacak mulai dari aspek peraturan perizinan berdasarkan Permentan 26/2007, Permentan 14/2009, dan Permentan apakah buah berasal dari lahan sengketa, kebun yang dipanen ditanam dipinggir sungai, atau berada dalam kawasan hutan, tumpang tindih dengan taman nasional, dan kawasan konservasi.
    Tetapi kemudian muncul pertanyaan dari pasar bagaimana melacak sumber buah yang sah dan mematuhi hukum dan kaidah lingkungan hidup? Bagaimana dengan petani sawit pemilik kebun mandiri atau swadaya yang tidak memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB)? Apakah proses dan sistem perkebunan yang ada sekarang ini telah menjamin keadilan dalam menentukan sumber buah tidak melanggar hak petani, masyarakat adat, buruh kebun, perempuan dan anak-anak? Mampukah ISPO menjawab persoalan tersebut? Jika tidak, apa prasyarat dan bagaimana pemerintah menegakkan ISPO?

Perdebatan publik dan wacana yang bergulir saat ini lebih banyak dan cenderung mengarah pada kelebihan dan kekurangan ISPO versus RSPO. TuK INDONESIA, melihat tarik-menarik dan arah perdebatan yang cenderung terpolarisasi oleh keinginan dan posisi, suka dan tidak suka, patut diletakan kembali dalam proporsi yang tepat dan sesuai dengan hak dan kepentingan rakyat Indonesia.
Sehingga tanpa mengabaikan kepentingan dan posisi para pihak terutama penguasa dan pengusaha, bahwa TuK INDONESIA memandang perlu meletakkan kembali persoalan industri sawit kontemporer dalam tujuh aspek yang telah dijelaskan satu persatu di atas. Dan untuk mendapatkan sejumlah aspek penting dan persoalan utama tentang wacana keberlanjutan industri sawit di Indonesia dalam perspektif keadilan sosial dan lingkungan dari tujuh aspek yang sudah disebutkan di atas, maka dibuatlah diskusi terbatas ini.
Diskusi terbatas ini (putaran pertama) dilaksanakan pada tanggal 6 September 2013 di ruangan pertemuan WALHI Eknas, dihadiri oleh YLBHI, ELSAM, Greenpeace, KPA, AMAN dan TuK INDONESIA serta dipandu oleh Untung Widyanto wartawan dari Harian Tempo sebagai moderator.
Dalam diskusi terbatas ini, dari ketujuh aspek atau analisis yang telah diuraikan di atas, ada 4 aspek atau analisis yang sudah dipaparkan oleh YLBHI terkait pemulihan/remedies, kemudian KPA mengenai hak atas tanah, dan ELSAM terkait hak asasi manusia serta AMAN soal FPIC.
Mengenai pemulihan atau remedies, banyak regulasi yang mengatur mekanisme konflik baik perundangan lingkungan hidup dan tata ruang. Pelaksanaan ISPO tidak terlepas dari perizinan yang harus ada partisipasi publik, juga harus ada akses terhadap keadilan oleh masyarakat yang juga harus diberikan, untuk ISPO sendiri belum melihat seperti apa mekanismenya. Mekanisme pemulihan terhadap korban juga dapat dengan menggunakan UU Tata Ruang,
Terkait dengan Hak Asasi Manusia, ternyata masih banyak perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, sekitar 15-20 konflik yang dilakukan oleh perusahaan. Memang tujuan ISPO adalah bukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, namun untuk menanggapi kontestasi adanya gerakan menggerogoti pasar kelapa sawit.
Sementara dalam perspektif hak atas tanah, bahwa yang terpenting adalah pemenuhan hak masyarakat atas tanah kemudian penyelesaian konflik karena dalam perkebunan persoalan terbesar adalah pemberian izin HGU.
Kebijakan ISPO ini juga tidak memberikan sumbangsih bagi penyelesaian konflik agraria struktural, sehingga sepanjang kebijakan atau peraturan itu tidak sesuai dengan reforma agraria sejati maka hanya akan membuat ketimpangan yang terjadi semakin tajam dan merugikan rakyat khususnya yang terkait dengan hak atas tanah.
Dari sisi FPIC bahwa ISPO ini hanya melihat dari konteks ganti rugi saja, melihat bahwa semua tanah tersebut adalah tanah negara.